Malamnya, saat Rindu sedang menyiapkan susu tambahan untuk Luna, listrik mendadak padam.
Luna menangis kencang karena rumah gelap gulita. Arka segera menyalakan senter dari ponselnya dan mendekat.
“Biar aku pegang, Tante siapkan susunya.”
Dalam cahaya redup itu, Rindu dan Arka berdiri berdekatan di dapur. Luna ada di pelukan Arka, sementara Rindu meraba-raba botol susu.
Dari luar, jika ada yang melihat lewat jendela, pemandangannya pasti seperti keluarga muda yang saling bahu-membahu di tengah situasi darurat.
Rindu agak gelisah ketika Arka semakin mendekat hingga ia bisa merasakan suhu tubuh yang terasa hangat.
Karena tidak fokus, Rindu tidak sengaja menyenggol botol susu panas hingga jatuh dan mengenai tangannya.
“Akh!” Rindu memekik terkejut.
Arka juga tersentak. Ia langsung menarik tangan Rindu dan membawanya ke wastafel.
Air yang mengalir dari keran membasahi tangan Rindu yang memerah terkena susu panas.
“Shh…” Wanita itu meringis.
“Sakit?” tanya Arka, sambil tetap menggenggam pergelangan tangan Rindu agar diguyur air dingin.
Rindu menggeleng, lalu berusaha menarik tangannya. “Nggak apa-apa,” katanya.
Tapi Arka tidak melepasnya begitu saja.
Begitu listrik menyala kembali, Arka segera naik ke lantai dua. Sementara Rindu berusaha membereskan kekacauan yang dibuatnya.
Tak lama, Arka kembali dengan kotak P3K, sementara Luna tak lagi berada di gendongannya.
“Biarin aja, Tan. Nanti aku yang beresin,” kata pria itu.
Namun, Rindu tidak beranjak. “Tapi ini—”
“Sini,” Arka lebih dulu menyela dan menarik tangan Rindu yang satunya dengan lembut, lalu membawanya duduk di kitchen island.
Tanpa banyak bicara, Arka mengoleskan salep luka bakar pada permukaan kulit Rindu yang memerah dengan hati-hati.
Rindu sesekali berjengit, tapi ia berusaha agar tidak meringis.
Arka menunduk dan meniup-niup tangan Rindu dengan pelan. Hal itu membuat tubuh Rindu seketika menegang. Tubuhnya kaku. Rindu benar-benar tidak menyangka Arka tampak begitu santai, seolah apa yang ia lakukan hanya hal biasa.
Jantung Rindu semakin berdegup kencang ketika Arka mengangkat pandangannya dan tersenyum kecil. “Udah,” katanya. “Semoga sakitnya berkurang.”
Rindu menarik tangannya dengan kikuk, lalu menatap ke arah lain. Ia tidak tahu apakah Arka menyadari wajahnya yang pasti sudah memerah.
Pria itu lantas berdiri, kembali ke dapur dan membereskan semuanya tanpa mengeluh.
Rindu menatapnya dengan perasaan tak menentu.
Ini… salah, kan? Tidak seharusnya Rindu merasakan hal ini, bukan?
Sungguh, Rindu tidak ingin orang-orang menyalahartikan hubungannya dengan Arka.
Tapi, kalau pria itu sendiri bersikap tidak acuh dan justru memperlakukan dirinya dengan sangat lembut… apa yang harus ia lakukan?
**
Keesokan harinya, telepon dari ibunya kembali masuk. Kali ini, ibunya terdengar lebih serius dan tegang.
“Rin, kamu beneran nggak apa-apa? Ibu dengar… ada yang ngomong kamu ini istri kedua Arka. Ibu tahu itu nggak benar, tapi Ibu khawatir.”
Rindu berusaha tenang. “Ibu… aku nggak apa-apa. Orang ngomong apa, biarkan aja. Yang penting aku tahu batas.”
Ia lalu menggigit bibir. Semua perhatian Arka berkelebat dalam benaknya, membuat Rindu meringis dalam hati.
Tahu batas apanya?
“Apa Arka nggak keberatan kamu digosipin?”
Rindu tidak langsung menjawab. Dia belum membicarakan hal ini dengan Arka.
“Aku… nggak tahu, Bu,” sahut Rindu kemudian. “Tapi dia terlihat tenang. Jadi mungkin semuanya akan baik-baik saja.”
Hening sebentar, lalu ibunya berkata, “Ya sudah, Ibu cuma pesan satu, jangan sampai kebaikan kamu disalahpahami.”
Rindu tersenyum, meski matanya terasa panas. “Iya, Bu.”
Setelah memutus panggilan, Rindu menghela napas panjang.
Bagaimanapun, ia tidak bisa mundur lagi. Kontrak itu akan tetap berjalan selama dua tahun sebagaimana mestinya.
Berbekal tekad itu, Rindu berusaha menjalani rutinitas seperti biasa. Meski ada rasa waspada yang mulai tumbuh di hatinya.
Setiap kali keluar rumah bersama Arka, ia bisa merasakan tatapan yang mengikuti.
Dan masih ada ibu-ibu yang jahil dan bertanya padanya tentang hubungan mereka.
"Eh Mas Duda dan Mbak Rindu... kalian berdua serasi banget. Udah sah ya ... jadi suami istri?" tanya salah satu ibu-ibu itu.
Rindu pun menoleh pada Arka yang terlihat sangat cuek. Hal itu membuat Rindu makin tidak nyaman, tapi ia juga tidak bisa membiarkan semua ini berlalu begitu saja seperti bagaimana Arka menanggapinya.
Maka ia pun menjawab, "Bukan, Bu. Saya pengasuhnya."
Arka terlihat terkejut, tapi ketika ia akan mengatakan sesuatu, Rindu sudah pergi terlebih dahulu tanpa pamit. Ia terlihat kesal sekali.
"Saya pamit dulu ya, Bu."
Arka pun mengejar Rindu, ia tak bisa membiarkan Ridnu tertekan sebegitu jauh. “Tunggu, Tan!”
Saat Arka berhasil menyusul, Rindu sudah masuk ke dalam kamar, dan kamarnya terkunci. Ketika ia mengetuk pun, tidak ada jawaban.“Tan, kamu baik-baik aja?” tanya Arka.Hening.Arka tidak mendengar apapun.Pria itu mondar-mandir di pintu dengan gelisah.Arka lalu memutuskan untuk membiarkan Rindu menenangkan diri. Tapi sampai langit berubah menjadi gelap, Rindu tidak juga keluar.Luna menangis kencang. Arka memberinya susu dari botol, tapi bayi mungil itu menolak. Tangisnya pecah hingga Arka yakin tetangga pasti akan mendengarnya.Rindu pun keluar dari kamarnya dengan mata sembab. Arka tahu Rindu sudah menutupi bekasnya, tapi masih terlihat seperti disengat lebah."Tan—"Rindu langsung masuk ke kamar Luna dan memunggungi Arka. Ia masih belum siap berbicara dengan pria itu."Tante, kita perlu bicara.""Sstt. Biar Luna tidur, jangan berisik," ujar Rindu pelan, tapi penuh penekanan hingga membuat Arka tak bisa berkutik.Pria itu lantas membiarkan Rindu menyusui Luna yang kini tampak anten
Malamnya, saat Rindu sedang menyiapkan susu tambahan untuk Luna, listrik mendadak padam.Luna menangis kencang karena rumah gelap gulita. Arka segera menyalakan senter dari ponselnya dan mendekat.“Biar aku pegang, Tante siapkan susunya.”Dalam cahaya redup itu, Rindu dan Arka berdiri berdekatan di dapur. Luna ada di pelukan Arka, sementara Rindu meraba-raba botol susu.Dari luar, jika ada yang melihat lewat jendela, pemandangannya pasti seperti keluarga muda yang saling bahu-membahu di tengah situasi darurat.Rindu agak gelisah ketika Arka semakin mendekat hingga ia bisa merasakan suhu tubuh yang terasa hangat.Karena tidak fokus, Rindu tidak sengaja menyenggol botol susu panas hingga jatuh dan mengenai tangannya.“Akh!” Rindu memekik terkejut.Arka juga tersentak. Ia langsung menarik tangan Rindu dan membawanya ke wastafel.Air yang mengalir dari keran membasahi tangan Rindu yang memerah terkena susu panas.“Shh…” Wanita itu meringis.“Sakit?” tanya Arka, sambil tetap menggenggam pe
Kalimat ibu-ibu itu melayang-layang di udara, menusuk telinga Rindu. Namun, ia pura-pura tidak mendengar, lalu segera masuk ke dalam rumah beserta barang belanjaan.Saat tiba di kamar, Rindu menerima telepon dari ibunya di kampung.“Rin, kabar kamu gimana?” suara ibunya terdengar hati-hati.“Baik, Bu. Luna sehat, Arka juga baik.”Hening sejenak, lalu ibunya berkata pelan, “Kamu… nggak apa-apa?”Rindu tidak langsung menjawab. Jantungnya masih berdegup kencang setelah mendengar pembicaraan tetangga tadi.Tapi ia berusaha menekannya. Rindu tersenyum, meski ibunya tak bisa melihat. “Nggak apa-apa, Bu. Memangnya apa yang bisa terjadi?” katanya, lebih untuk dirinya sendiri.“Kamu yakin?” tanya ibunya.“Iya, Bu. Semuanya aman terkendali,” kilah wanita itu.Ibunya menghela napas, seolah melepaskan sedikit beban. “Ya sudah. Ibu cuma… khawatir. Beritahu ibu kalau ada sesuatu ya?”Entah mengapa, dada Rindu terasa sesak mendengarnya.Apakah ia sudah salah menentukan pilihan?“Iya, Bu. Rindu pasti
Sebulan setelah kepindahan Rindu, mereka pergi bertiga ke mal untuk membeli kebutuhan bayi.Wanita itu tampil manis, dengan dress baby blue selutut dan outer rajut tipis berwarna senada. Rambutnya diikat dengan model messy bun yang memberikan kesan santai.Tas bayi dibawa oleh Arka di bawah stroller Luna, karena memang stroller itu memiliki tempat untuk meletakkan barang.Sesekali Arka melirik Rindu yang dengan tampilan itu, ia tampak jauh lebih muda, seperti anak kuliahan yang membuatnya terlihat gemas.Dan berkali-kali, Arka mengingatkan dirinya sendiri, ‘Dia Tantemu, Arka!’Sebenarnya Rindu juga cukup kagum dengan penampilan Arka. Ia sudah terbiasa melihat Arka mengenakan pakaian formal. Tapi saat ini, pria itu hanya memakai kaos putih dan celana jeans, serta sepatu kets yang membuatnya tampak modis sekaligus… maskulin.Rindu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah sekitar, sambil dalam hati merutuki dirinya sendiri karena memperhatikan keponakannya itu tanpa sadar.Beberapa ora
Suasana kembali hening. Dari sudut matanya, Rindu bisa melihat Arka yang terdiam dengan wajah kaku di ambang pintu.Apakah kata-katanya salah? Rindu bertanya-tanya dalam hati.Bagaimanapun, mereka terikat perjanjian. Dan semua itu untuk Luna. Rindu tidak ingin merepotkan Arka lebih dari apapun.“Kamu udah makan?”Arka menoleh. Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya begitu sulit diartikan, seolah ia tengah memikirkan sesuatu, namun enggan menyuarakannya.“Udah, tadi di luar,” sahut Arka. “Kalau gitu, aku mandi dulu,” katanya, kemudian berlalu meninggalkan Rindu dan Luna berdua.Rindu menghela napas. “Ya ampun, canggung banget,” gumamnya.Mungkin memang butuh waktu untuk beradaptasi. Kejadian seperti ini juga mungkin saja kembali terulang, dan itu bukanlah sesuatu yang besar.Rindu—dan mungkin juga Arka—harus terbiasa.Tapi entah mengapa, Rindu merasa itu tidak akan berjalan dengan mudah.**Pekan pertama, Rindu lebih banyak berdiam, mencoba memahami ritme rumah.Luna minum ASI setia
Pagi-pagi sekali, Rindu duduk di beranda sambil menyeruput teh hangat. Udara kampung masih basah oleh embun. Ibunya keluar, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.Rindu sepertinya harus jujur pada ibunya sekarang. Ia menarik napas, sebelum berkata.“Aku pikir-pikir… mungkin Ibu benar,” kata Rindu akhirnya, matanya menatap jauh. “Mungkin ini cara Tuhan… ngasih aku kesempatan untuk tetap jadi seorang ibu, meski bukan anak kandungku sendiri.”Ibunya menoleh, tersenyum samar. Ia sudah menduganya. “Kamu yakin?”Rindu mengangguk. “Aku akan ikut Arka ke kota. Dua tahun, seperti yang dia tawarkan. Setelah itu… kita lihat saja.”Kabar itu cepat sampai ke telinga Arka. Sore harinya, mobil hitamnya kembali masuk ke halaman rumah. Ia keluar tergesa-gesa, menghampiri Rindu yang sedang menyirami tanaman di depan rumah.“Jadi… Tante setuju?” suaranya seperti tidak percaya.Rindu tersenyum tipis melihat wajah tampan keponakannya yang 7 tahun lebih muda darinya itu.“Iya.”Arka terlihat berkaca-ka