Saat Arka berhasil menyusul, Rindu sudah masuk ke dalam kamar, dan kamarnya terkunci. Ketika ia mengetuk pun, tidak ada jawaban.
“Tan, kamu baik-baik aja?” tanya Arka.
Hening.
Arka tidak mendengar apapun.
Pria itu mondar-mandir di pintu dengan gelisah.
Arka lalu memutuskan untuk membiarkan Rindu menenangkan diri. Tapi sampai langit berubah menjadi gelap, Rindu tidak juga keluar.
Luna menangis kencang. Arka memberinya susu dari botol, tapi bayi mungil itu menolak. Tangisnya pecah hingga Arka yakin tetangga pasti akan mendengarnya.
Rindu pun keluar dari kamarnya dengan mata sembab. Arka tahu Rindu sudah menutupi bekasnya, tapi masih terlihat seperti disengat lebah.
"Tan—"
Rindu langsung masuk ke kamar Luna dan memunggungi Arka. Ia masih belum siap berbicara dengan pria itu.
"Tante, kita perlu bicara."
"Sstt. Biar Luna tidur, jangan berisik," ujar Rindu pelan, tapi penuh penekanan hingga membuat Arka tak bisa berkutik.
Pria itu lantas membiarkan Rindu menyusui Luna yang kini tampak anteng dalam gendongannya.
**
Pagi harinya, Arka duduk di ruang kerjanya. Itu hari Minggu. Meski begitu, ia tak mungkin bisa libur. Ada banyak kerjaan yang harus ditangani dengan cepat.
Laptopnya terbuka, tumpukan dokumen menunggu ditinjau, tetapi fokusnya teralihkan oleh suara tawa kecil dari ruang tengah. Ia mendengar gumaman khas bayi, diselingi suara lembut seorang perempuan yang sangat ia kenali. Rindu.
"Abububu... ehehe!"
"Ih pinternya Luna cantik, hmm... Sayang."
Sejak Rindu datang dua bulan lalu, suasana rumah terasa berbeda. Rumah yang dulu sunyi hanya dipenuhi tangis Luna atau suara televisi kini berubah jadi hangat. Ada tawa kecil, ada nyanyian pelan, ada percakapan sederhana yang menenangkan.
Arka menutup laptopnya perlahan. Ia berjalan ke arah ruang tengah. Dengan hati-hati ia melangkah agar tidak menimbulkan suara.
Dari balik pintu, ia melihat pemandangan yang entah kenapa membuat dadanya terasa penuh.
Rindu sedang duduk di sofa, mengenakan daster warna pastel sederhana dan cardigan tipis. Rambutnya ia ikat seadanya, beberapa helai terlepas menutupi wajah manisnya. Di pangkuannya, Luna berbaring telentang, menendang-nendangkan kaki mungilnya sambil bergumam.
“Pintarnya anak Tante ini…” bisik Rindu lembut, jemarinya menyentuh perut Luna, membuat bayi itu terkekeh.
"Iiih geli gak nih? Geli gak... hmm?"
Luna merespons dengan mengoceh lebih keras, tangannya berusaha meraih wajah Rindu dengan semangat.
Arka berdiri di sana, memperhatikan.
Dulu, ia hanya mengingat Rindu sebagai ‘tantenya’, sosok kecil yang selalu menempel pada kakaknya saat mereka masih remaja. Namun, kini… entah sejak kapan, pandangannya berbeda.
Ada rasa kagum yang perlahan tumbuh, rasa yang mungkin dulu pernah ia rasakan tanpa sadar.
Ia menarik napas panjang, mencoba menepis perasaan itu. Tapi semakin ia melihat Rindu, semakin sulit menolak kenyataan bahwa perempuan itu telah membuat rumahnya hidup kembali. Atau bahkan mengisi ruang kosong di hatinya.
Arka lantas beranjak dari sana.
Suara langkahnya yang menjauh membuat Rindu menoleh. Dia melihat bayangan Arka yang perlahan tak lagi terlihat, lalu menghela napas panjang.
Rindu tidak tahu bagaimana cara berhadapan dengan pria itu. Jadi untuk saat ini, dia hanya ingin menghindar.
**
Namun, Rindu tahu ia tidak bisa menghindar lebih lama.
Bagaimanapun mereka tinggal satu rumah. Tak ada tempat untuk bersembunyi.
“Kamu belum tidur?”
Rindu menoleh, tampak sedikit terkejut melihat Arka berdiri di ambang pintu kamar bayi. Entah sejak kapan. “Belum. Aku cuma… suka lihat dia tidur. Rasanya damai aja.”
Arka tersenyum samar. Lampu kamar itu temaram. Rindu duduk di kursi goyang sambil menatap bayi yang tertidur pulas di ranjang kecilnya.
“Kamu kelihatan capek, tapi tetap betah di sini,” kata Arka.
Rindu tertawa kecil. “Capeknya hilang kalau lihat Luna, Arka. Kamu begitu juga kan?"
Arka mengangguk setuju. Melihat Luna saja sudah membuat beban yang ia bawa dari kantor terasa lebih ringan.
Keheningan turun sebentar. Arka menatap Rindu, wajahnya diterangi cahaya lampu redup.
“Aku… nggak tahu harus bilang apa,” ucap Arka akhirnya. “Tapi terima kasih. Karena kamu, rumah ini nggak sepi lagi.”
Rindu terdiam, menunduk, lalu tersenyum tipis. “Aku juga senang bisa di sini, Arka. Luna itu… bikin aku merasa berarti.”
Arka menatapnya lebih lama, tapi menahan diri. Ia tahu, ada banyak hal yang belum sempat ia pahami tentang perasaan sendiri.
Namun satu hal jelas—kehadiran Rindu perlahan menghangatkan suasana rumah kembali. Sesuatu yang selama ini hilang darinya.
“Aku… minta maaf,” ujar Arka tiba-tiba, membuat Rindu menatapnya bingung.
“Untuk?”
“Yang kemarin,” kata pria itu.
Ekspresi Rindu berubah kaku. Ia memalingkan wajahnya, tak lagi berpandangan dengan Arka. “Bukan salahmu,” ujar Rindu akhirnya.
“Tante nggak perlu pikirin gosip orang. Selama aku ada, nggak akan ada yang berani macem-macem.”
Rindu menunduk, merasakan degup jantungnya sedikit lebih cepat. “Aku nggak takut, Arka. Aku cuma… nggak mau Luna nanti dengar yang nggak-nggak. Reputasimu juga jadi terganggu kalau mereka tahu kebenarannya."
Arka mengangguk pelan. “Luna akan tahu, Tante ada di hidupnya karena sayang, bukan karena yang lain. Terkait reputasi, aku nggak peduli.”
Keesokan paginya, mereka berdua tampil seolah tak terjadi apa-apa. Arka mengenakan setelan abu-abu muda dengan dasi hitam. Wajahnya tenang, profesional, tidak ada yang tau apa yang ia rasakan sebenarnta. Nadya berdiri di sisinya, menebar senyum ramah ke semua orang di ruang rapat. Presentasi yang memakam waktu sekitar dua jam, akhirnya berjalan sempurna. Arka bicara lugas, Nadya menambahkan beberapa poin dengan suara lembutnya. Para klien tampak puas, bahkan beberapa di antaranya memuji “kecocokan” mereka sebagai tim. Saat makan siang di restoran hotel, Nadya duduk di sebelah Arka, tapi jaraknya terlalu dekat. “Kak Arka, cobain ini deh. Dagingnya empuk banget,” katanya sambil menyodorkan garpu. “Udah, Nad. Aku udah kenyang.” “Ah, masa sih? Nih, dikit aja…” Ia mencoba menyuapinya, dan Arka menatap tajam. Nadya pun hanya tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupannya. “Ya ampun, aku bercanda kok, Kak. Serius amat dari tadi," katanya pelan. Yang lain ikut tertawa sopan, mengira it
"Pak, ada Nona Nadya," ucap Sekretaris Arka dari pintu. Arka mengangguk, tanda mengizinkan Nadya masuk ke dalam. "Kamu tau kan aku mau bahas apa?" tanya Nadya. "Kamu udah bilang di WA, masih ke sini lagi. Aku kan udah jawab, iya nanti aku suruh Dian yang mewakili. Dia lebih ahli dalam bidang ini." "Tapi kan client maunya kamu yang nanganin langsung." Arka menatap Nadya dengan tatapan seperti laser yang siap melubangi besi di sekitarnya. Hal itu membuat Nadya agak merinding, tapi ia pantang mundur. "Memangnya kerjaanku cuma itu doang? Yang kerjasama sama aku gak cuma kamu Nadya, mengertilah." Nadya cemberut, tidak suka dengan keputusan Arka. Sayangnya, Nadya mengadu pada sang ayah dan entah bagaimana Arka hanya bisa menurut. Padahal jika kerjasama dibatalkan, ia juga tak aan rugi kok. Arka dan Nadya akhirnya berangkat untuk perjalanan bisnis ke Bangkok-Thailand. ••• Tiga hari perjalanan bisnis seharusnya tak terasa lama bagi Arka. Ia sudah terbiasa dengan ritme kerja c
Rindu merasa lega, karena Ratna bisa memberinya sedikit waktu untuk melepaskan Arka perlahan.Sore itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Luna tidur di box-nya, suasana cukup tenang. Rindu dan Ratna sedang mencatat daftar kebutuhan bulanan. “Rin, bulan depan Luna udah dua belas bulan, ya?” tanya Ratna sambil menghitung di kalender. Rindu mengangguk. “Iya, Mbak. Aku kepikiran, gimana kalau kita adain syukuran kecil aja kayak biasanya?” Ratna tersenyum. “Boleh juga. Kayak tiap bulan, ya. Kita undang beberapa tetangga aja.” “Iya. Mungkin bikin nasi tumpeng kecil, terus kue buat Luna.” “Boleh, nanti aku bantu belanja bahan. Tapi…” Ratna berhenti sebentar, matanya melirik ke arah jam. “Arka kok belum pulang, ya?” Rindu ikut menatap jam, sudah lewat magrib. Biasanya Arka sudah pulang sebelum jam segitu. “Mungkin lembur?” katanya mencoba terdengar santai. Ratna menggeleng. “Kayaknya bukan lembur. Tadi dia bilang ada meeting bareng Nadya.” Nama itu membuat dada Rindu terasa aneh. Ia
“Bagaimanapun juga, yang salah di sini itu Arka.” Suara berat pria paruh baya itu terdengar memenuhi ruang tamu yang tiba-tiba sunyi. Semua mata terarah padanya—suami Ratna, ayah Arka, yang selama ini lebih banyak diam dan membiarkan istrinya menangani konflik rumah tangga. Tapi kali ini, ia ikut bersuara. “Rindu di sini bukan karena apa-apa. Dia gak salah. Yang keliru itu Arka, karena sudah kurang ajar, suka sama Tantenya sendiri,” lanjutnya tegas. Tatapannya menusuk ke arah Arka yang duduk di sofa, bahunya sedikit turun, mata sembab tapi masih menatap lurus ke depan. “Dan karena Arka yang memulai semua ini,” tambah sang ayah, “maka Arka juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya.” Ucapan itu membuat suasana semakin berat. Rindu menunduk, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Ia merasa ingin membantah, tapi sungkan. Bagaimanapun, pria itu adalah suami kakaknya. Orang yang ia hormati sejak dulu. “Pah,” ucap Ratna pelan, mencoba membantah. “Aku juga udah bilang, p
“Arka--” "Cukup, Arka!" Kali ini Rindu yang membentak Arka, sehingga Arka tak berani melawan lagi. "Aku kesulitan karenamu! Tujuanku cuma buat Luna, tapi kamu malah memupuk perasaan padaku." Arka menatap Rindu dengan napas yang memburu. Ia memang salah karena tidak memperhatikan norma dalam silsilah, tapi bukan itu yang membuat ia kesal. Rindu juga memiliki perasaan padanya, tapi kenapa ia menolak. "Kalau kamu begini terus, aku yang kesulitan Arka. Di dunia ini, perempuan akan punya posisi yang selalu disalahkan lebih dulu! Kalau orang lain tau, aku juga yang akan dituduh merayumu, genit sama kamu, atau julukan yang lebih buruk lagi. Apalagi statusku sebagai Janda!" "Aku juga, Duda kok!" Rindu, Ratna, suami Ratna, bahkan Bi Siti shock mendengar ucapan Arka yang terkesan 'asbun' alias asal bunyi itu. Maksudnya di situasi seperti ini, mengapa kata itu yang keluar. "Bukan itu intinya, Anak Setan! Aku yang akan dirugikan." Kali ini Rindu benar-benar mengumpat, yang bahkan memb
“Kok Mama di sini?” tanya Arka dengan wajah polos, masih setengah sadar, suaranya serak karena baru bangun tidur. Suasana ruang tengah yang biasanya hangat berubah jadi beku seketika. Rindu terpaku, wajahnya pucat pasi, sementara Ratna berdiri tegak di depan pintu kamar, masih mengenakan pakaian sederhana dengan scarf menutupi sebagian luka bekas operasi di pelipisnya. Matanya memancarkan api kemarahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Bisa-bisanya kamu tanya kenapa Mama di sini?!” bentak Ratna lantang. Nada suaranya menggema sampai ke ruang makan. Bahkan Bi Siti yang tadi menyiapkan sarapan di dapur spontan menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Rindu refleks memeluk Baby Luna lebih erat, jantungnya berdebar keras, sementara Arka mendadak benar-benar sadar sepenuhnya. Suami Ratna bahkan memilih bungkam tak berani menengahi kalau Ratna sudah semurka itu. “M–Mama…” Arka berusaha bicara, tapi kata-katanya tertelan di tenggorokan. Ratna melangkah maju, menatap anak lelak