LOGINKeheningan berjalan agak lama, sampai akhirnya Rindu memilih pamit dan pergi ke kamarnya.
Setelah Rindu pergi, Arka sendirian di kamar tersebut. Namun setelah diam lama sambil mengamati anaknya, Arka jadi mengingat apa yang diceritakan oleh ibunya--Ratna. Ibunya bercerita saat mereka akan ke rumah Rindu saat itu, ia mengatakan kalau Rindu masih di masa berduka juga atas meninggalnya sang calon bayinya. Itulah kenapa Arka tak pernah menyinggung soal rumah tangga Rindu atau mengatakan hal terkait bayi--selain Luna--karena takut menyakiti hati Rindu. Sudah begitu, nasib mereka sama. Sama-sama diselingkuhi. Akan sangat berat bagi seorang wanita harus menanggung semuanya sendiri. Dirinya mungkin kehilangan mantan istrinya, tapi tidak bayinya. Luna masih dalam dekapannya, tetapi Rindu tidak. Rindu harus memeluk luka itu sendirian, dan menanggung rasa sakit yang diberikan pria brengsek itu. Jika diingat, wajah mantan suami Rindu termasuk biasa saja, tapi memang kata-katanya sangat manis. Dibandingkan dengan Rindu, tentu ia sangat beruntung bisa mendapatkan Rindu dengan wajah itu. Rindu yang cantik dan tulus. Namun ia jadi ingat sesuatu, mantan suami Rindu kan.... +++ Pagi harinya, tidak ada yang terjadi. Baik Rindu atau Arka sama-sama ngobrol seperti biasa, tapi suasananya ada yang berbeda. Keduanya canggung. Mereka saling diam sambil sarapan, tapi kemudian Rindu berkata. "Soal kemarin, Arka..." ia tampak ragu. Namun Arka memberi ruang, ia hanya diam menunggu kelanjutannya. "Mungkin ini bukan soal reputasimu atau Luna, tapi aku sendiri. Semalam aku sudah memikirkannya dan memang benar. Akulah yang gak nyaman dengan gosip itu." Arka pun terdiam. Benar, ia harus mendengarkan pendapat Rindu tentang perasaannya pada masalah ini. Rindu pasti tertekan. Melihat ekspresi Arka yang terlihat berat, Rindu menghela napas. Ia memang tak nyaman, tapi membebani Arka dengan masalah baru bukan hal yang baik. Ada banyak hal yang Arka pikirkan. "Maaf Tante, aku gak peka." "Gak papa, wajar. Ada banyak hal yang harus kamu urus." "Enggak harusnya aku mikirin perasaan Tante juga," ungkap Arka merasa bersalah. Rindu menggeleng dengan senyum manisnya. Sesaat membuat Arka tersesat oleh senyum itu. "Sudahlah... aku akan tangani ini sendiri. Btw, nanti siang katanya Kak Ratna ke sini. Udah bilang kan sama kamu?" Arka mengangguk. Meski ia tau Rindu ingin mengalihkan pembicaraan, ia hanya bisa mengikuti alurnya saja. "Iya, aku lupa bilang. Nanti aku pulang sekitar jam empat, gak papa kan Tante sendiri sama Mama?" Rindu mengangguk, "Iya, Ar. Jangan khawatir." Arka pun pamit pergi setelah mencium kening Luna. Sekilas lewat di pikirannya kalau ia bisa mencium kening Rindu, tapi itu gila. Sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri, kalau Rindu adalah Tantenya meskipun tidak memiliki ikatan darah. . Di kantor, suasananya seperti biasa, sibuk. Arka memulai harinya dengan rapat dan mengevaluasi banyak hal. Meski di keluarganya ia terkenal kalem dan lembut. Di kantor ia adalah sosok bos yang dingin dan tegas. Ia tak segan memarahi karyawan dengan kata-kata pedas. Semua berjalan lancar pada awalnya, tetapi ia melihat satu dodok yang baru saja masuk ke dalam ruangan dengan tampang yang tidak menunjukkan rasa bersalah. Tidak ada kata maaf, hanya sapaan dan duduk seolah tidak ada bosnya di sana. Dulu mungkin ia tidak memperdulikannya karena menghargainya sebagai Paman ipar, tapi sekarang setelah apa yang orang itu lakukan pada tantenya. Ia tak bisa mengabaikannya lagi. "Pak Dimas," panggil Arka dingin. Semua orang yang tadi tersenyum mendengar Dimas yang melucu langsung diam dan menatap Arka dengan perasaan takut. "Kamu terlambat, bukankah harusnya mengakuinya dulu?" tanya Arka. Tatapan dan nada bicara Arka sudah kelihatan sekali seperti ingin memarahi orang. Semua orang ketakutan bahkan sekretarisnya, tapi tidak dengan DImas yang masih senyum tenang. Ia seperti biasanya merasa aman dengan backing sebagai orang yang dinaikkan jabatan karena orang dalam, tapi ia lupa orang dalam itu telah ia sakiti dan berubah menjadi boomerang. "Saya minta maaf Pak, tadi saya kena macet di jalan--" "Kamu kira yang ada di ruangan ini tidak tinggal di Jabodetabek?" "Bukan begitu, Pak. Maksud saya--" "Semua yang ada di sini tinggal di tempat yang jalannya pasti macet, Pak Dimas. Saya mungkin diam saja beberapa kali kamu melakukan pelanggaran sampai saya dikritik oleh beberapa rekan bisnis saya karena terlalu mengistimewakan kamu. Etika dasar saja kamu tidak punya--sesederhana minta maaf saat terlambat. Dan kamu malah cengengesan gak jelas. Kamu kira kamu lucu?" Hening dan sesak. Itulah yang terjadi di ruangan itu. Hanya 10 orang yang di sana tapi rasanya seperti seratus orang memenuhi ruangan dan berebut oksigen. "Maafkan saya, Pak." "Kamu harus bertanggungjawab, maaf saja tidak cukup. Kamu orang berpendidikan yang harusnya lebih tau etika lebih dari Satpam di loby." "Baik, Pak. Maaf." "Selain terlambat, laporan tim kamu jelas-jelas mengecewakan. Saya gak mau tau, kamu beresin itu, maksimal sebulan harus naik seperti penjualan sebelumnya. Saya udah sering bilang ke kamu kan kalo kamu punya peran penting sebagai ujung tombak perusahaan?" Dimas mengangguk pasrah, ia tak berani senyum lagi. "Kalo paham. Silahkan kerjakan. Dan yang lain..." Semua orang langsung menegang karena di-notice. "Jangan merasa aman. Lakukan pekerjaan kalian dengan benar. Saya tidak menoleransi orang yang tidak serius kerja. Dan buat yang berpolitik di dalam kantor, silahkan mundur perlahan. Masih banyak orang yang berpotensi untuk duduk di kursi kalian dan kesulitan cari kerja. Jadi, tau dirilah!"Semoga suka :D Jangan lupa masukin buku ini ke perpustakaan kalian ya... dan bantu kasih rating. Thanks
Benar saja, Rindu akhirnya kelelahan dan tak bisa diganggu seharian gara-gara Arka menguasainya di dalam kamar. Yang tau-tau saja mereka melakukan apa. Intinya, Bi Siti dan yang lain dibebaskan berkeliling, sekaligus membawa Baby Luna agar tak mengganggu mereka. Saat Rindu terbangun, waktu sudah gelap dan Arka sedang main gitar di balkon. Ia duduk di kursi rotan, menatap ke arah laut sambil bersenandung dengan santai. Wajahnya tampak selalu tersenyum, seolah tiada masalah dalam hidupnya. "Arka..."Arka langsung menoleh melihat bidadarinya yang baru keluar kamar. Arka langsung mengulurkan tangan dengan senyum terbaiknya. "Sini Sayang, capek ya?"Rindu pun menerima uluran tangan itu dan duduk di samping suaminya, dan bersandar di pundaknya. "Capek banget sampe susah jalan, kamu tuh energinya gak habis-habis!" protes Rindu. Seperti biasa, Arka hanya cengegesan saat ditegur. Lalu ia meletakkan gitarnya dan mengangkat istrinya ke pangkuannya. Rindu agak kaget, tapi tak kaget dengan ke
Buk! Rindu meninju lengan bisep suaminya. Bukannya kesakitan, Arka malah terkekeh. "Masa kiss doang gak mau sih?" tanya Arka sok sedih. Meliat ekspresi itu Rindu langsung bimbang. Ia terperdaya oleh tipu daya Arka yang dahsyat itu. "Minimal cium pipi kek," lanjut Arka. Ia menyodorkan pipinya agar Rindu lebih mudah menjangkaunya--dengan bibirnya. Rindu memikirkannya, mungkin tidak apa-apa cium pipi. Namun saat ia maju, memejamkan mata, dan ingin mencium pipi suaminya itu. Arka malah menoleh sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Rindu kaget dan langsung menjauh, tapi sayang Arka lebih cepat mencegahnya. Arka berhasil memperdalam ciuman mereka, sampai tak terasa Rindu sudah berbaring dengan dirinya di atasnya. "Arka..." Rindu terlihat gugup, tapi ia tidak mendorong Arka atau menunjukkan penolakan. Arka tau ini sangat tiba-tiba. Saat ia akan mendekat, Rindu terlihat memejamkan mata. Entah tak siap, atau sedang gugup untuk menerima ciuman Arka. Namun melihat Ri
Dini hari, acara resepsi baru selesai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara. Para tamu mulai pulang satu per satu, dan udara desa terasa tenang lagi. Rindu duduk di teras, masih mengenakan kebayanya yang kini sedikit kusut. Angin malam mengelus lembut wajahnya, membawa aroma bunga kenanga dari halaman. Dari dalam rumah, Arka muncul sambil membawa dua gelas jahe hangat. Ia menyerahkan satu kepadanya. “Untuk istri tercantik di dunia,” katanya pelan. Rindu tertawa kecil, menatapnya. “Jadi mau udah jadi Suamiku?" “Iya dong,” balas Arka sambil duduk di sebelahnya. "Coba panggil suamiku." "Suamiku?" "Kurang mesra," protes Arka. "Suamiku~~" Arka langsung memegang dadanya sambil menunduk. Rindu langsung khawatir, ia memagang wajah Arka agar menghadapnya. Namun bukannya kesakitan yang ia lihat dalam ekspresinya, Arka justru tertawa. "Hahaha!" Rindu pun menabok lengan bisep sang suami. "Dih boongan!" "Sorry, tapi beneran kok. Dadaku rasanya pingin meledak!" "K
Nama Arka kembali mencuat dengan skandal yang beredar. Rindu sampai ragu untuk meneruskan acara pernikahan mereka, "Cinta Lama Belum Usai?" "Hubungan Arka dan Nadya Kembali Dipertanyakan." Foto-foto lama mereka diposting ulang, disandingkan dengan potongan gambar yang diedit tak bertanggung jawab. Tagar baru bermunculan, komentar publik pun terbelah antara yang membela dan yang mencaci. Rindu membaca semuanya dengan tangan bergetar. Bukan karena ia percaya, tapi karena hatinya merasa khawatir. Ia tahu betul siapa Arka, tapi melihat namanya kembali dihujat, membuat hatinya ikut perih. Pagi itu ia duduk di ruang tamu rumahnya, ponsel di pangkuan, matanya kosong menatap lantai. Ibunya datang membawa teh hangat. “Nak, jangan dibaca lagi beritanya. Sudahlah, nanti juga reda.” Rindu mengangguk, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Tapi, Bu… kenapa harus selalu muncul pas waktunya udah dekat kayak gini?” Ibu menatap putrinya pelan. “Mungkin karena bahagiamu besar, jadi ada aja ya
Meski mungkin ada kejutan lain yang menunggu, Arka secara sadar siap menghadapinya. Ia yakin sendiri pun ia bisa, tapi keberadaan Rindu akan melengkapinya. "Sayang... kangen," gumam Arka ketika ia melakukan video call dengan Rindu. Rindu hanya tersenyum melihat bayi besarnya itu. "Bukannya nanyain anak malah tiba-tiba bilang kangen. Sapa dulu nih Luna," balas Rindu. Arka hanya tersenyum lelah. Meski lelah, ia tetap menyapa putrinya yang duduk dan menatapnya. "Bilang halo ke Papa, Sayang," ajak Rindu. Baby Luna terlihat memproses, lalu berkata. "Papa!" "Bilang halo, gitu!" "Hayo..." "Halo, Papa!" "Hayo Papa!" Arka terkekeh melihat putrinya yang tampak berkembang dengan penuh kebahagiaan. Rasanya ia ingin menangis saking bahagianya. "Halo juga sayangnya Papa, udah mimi susu hari ini?" sapa Arka. "Udah gitu..." tuntun Rindu. "Udhah, udhah?" tiru Baby Luna seolah bertanya. Bayi cantik itu langsung membuat Rindu gemas dan langsung memeluknya dan menciumny
“Yang aku sesali cuma satu, kenapa aku nggak jujur dari awal, kalau hatiku bukan buat kamu. Aku gak akan bisa mencintai orang lain selain Rindu, sejak awal." Nadya terdiam. Mata yang selalu penuh percaya diri kini hanya menyimpan sisa-sisa rasa marah dan kecewa. Tangannya mengepal di atas meja, tapi suaranya pelan ketika akhirnya bicara. “Dan sekarang?” “Sekarang,” jawab Arka dengan nada tegas namun tenang, “aku nggak akan membohongi siapapun lagi.” Keheningan menggantung di antara mereka. Café itu terasa terlalu sunyi untuk dua hati yang sedang bersitegang. Nadya menatap Arka dalam, seolah masih mencari celah untuk masuk ke hati yang selalu ia harapkan. Tapi yang ia temukan hanya dinding kokoh, bukan lagi pria yang mudah ia dekati. Arka ternyata selalu memasang dinding itu, hanya kelihatan mudah didekati tapi tak mudah dimasuki. Dan sekarang semuanya terlambat, hati itu sepenuhnya adalah milik Rindu seorang. “Kalau gitu…” Nadya berbisik dengan nada getir, “ini belum







