Barra janganmarah-marah terus ya Nanti sakit lhoooo
Belum juga reda sesak di dada akibat mengetahui penyebab kematian sang istri, kini Barra kembali dikejutkan oleh satu berkas yang sempat dia minta beberapa waktu lalu. Dia mendesah lelah, menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Kesibukan menangani kasus Yasmin, ditambah tumpukan perkara dari klien-klien lain, membuatnya abai. Rekam medis itu seharusnya sudah dia buka sejak dulu.Tanpa sengaja, saat emosi melanda, berkas itu terbuka. Barra hampir menutupnya, tetapi kalimat di halaman pertama membuat alisnya bertaut dan rasa ingin tahunya terpacu. Mau tidak mau, dia membaca lebih rinci.Mata cokelatnya bergerak cepat dan cemas mengikuti baris demi baris catatan medis.Barra mendengkus. “Pantas saja dia tega bunuh Berliana,” gumamnya penuh amarah. “Mereka bukan saudara kandung .…”Di situ tertulis jelas, Cindy tidak memiliki hubungan darah langsung dengan Berliana. Fakta itu menghantam Barra bagai palu godam. Tidak hanya itu, dia juga menemukan catatan bahwa delapan tahun lalu, Cindy pernah m
Mendengar pesan dari Kezia, seketika Barra memijat pelipisnya. Dini hari tadi, dia memang sempat mengetik pesan singkat pada Samantha. Namun, seingatnya pesan itu sudah dihapus dan tidak pernah dikirim. Jadi, kenapa sekarang dokter itu tiba-tiba datang?Kini, perhatian Yasmin tertuju pada Barra, sama halnya dengan Kezia yang tidak mengetahui apa pun tentang rencana putranya itu."Mas sakit?" tanya Yasmin, sigap berdiri dan memegang kening pria itu, memeriksa suhu tubuhnya.Kezia pun menimpali, "Kalau sakit, kenapa malah telepon Samantha?" Kening wanita itu mengerut, dan Yasmin pun mengangguk kecil, membenarkan.Merasa terpojok dengan dua pasang mata yang menuntut penjelasan, Barra memutar otak dengan cepat. Tatapannya berganti-ganti antara Yasmin dan mamanya."Cuma salah kirim. Tadi malam aku begadang, baca ulang kasus Cindy, mau kirim pesan ke Bahtiar, tapi ... malah ke Tante Samantha."Kezia dan Yasmin saling berpandangan. Penjelasan itu terdengar janggal. Barra dikenal sebagai soso
"Mas ... perutku sakit banget," rintih seorang wanita dengan napas tersengal. Satu tangannya memeluk perut besar, sementara satu lainnya menggenggam ponsel usang yang berulang kali mencoba tersambung ke seberang sana. "Kamu di mana, Mas? Tolong pulang ... aku butuh kamu." Suaranya bergetar, terdengar putus asa.Nahas, berapa kali pun mencoba… hanya suara operator yang menjawab. Rasa sakit dan mulas makin intens terasa. Wanita itu menunduk, dan membelalak melihat darah mengalir dari pangkal paha. Detak jantungnya berpacu cepat dan pikirannya dipenuhi ketakutan. Jangan-jangan bayinya....Sambil menahan nyeri yang terus mencekik, dia merambat di sepanjang dinding kamar yang dingin. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena sakit, tetapi juga udara malam yang menusuk kulit.Ditemani suara rintik hujan yang mulai deras, dia melangkah terseok-seok menuju pintu di seberang. Harapannya bertumpu pada satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu.Mengandalkan sisa tenaga, dia mengetuk pintu de
“Di mana anakku?” Yasmin terbangun di ruangan yang jauh lebih kecil dan sempit. Ini bukan di ruang operasi!Dia melihat ke sekeliling. Tempat ini cukup ramai. Keingintahuan yang kuat tentang kondisi sang anak, membuat Yasmin tidak lagi merasakan sakit di tubuhnya akibat bekas luka caesar. Dia bangkit dan berusaha turun dari ranjang seorang diri.Tanpa suami atau keluarga yang mendampingi, Yasmin berjalan tertatih dan membungkuk, tanpa alas. Mata bulat itu mencari-cari ke sekitar, siapa yang bisa ditanya perihal kondisi bayinya?Dia terus berjalan hingga berhenti tepat di depan ruangan bayi. Matanya yang mengembun, memindai salah satu bayi di sana. “Sus, di mana anak saya?” Mata Yasmin berkaca-kaca menatap perawat. Dia belum tahu wajah sang anak. Sedikit senyum kaku terukir di bibirnya. Dia menanti jawaban. Namun, pandangan beberapa tenaga medis terlihat iba padanya.“Anak Ibu—” Mereka mejeda beberapa detik, membuat tubuh Yasmin berpikiran buruk. “Maaf, Bu Yasmin. Saat kami bawa ba
“Kenapa Tuhan mengambilmu begitu cepat, Nak?” Di bawah gerimis yang syahdu, Yasmin bersimpuh di atas gundukan tanah mungil, tempat peristirahatan terakhir buah hatinya. Dihalau oleh beberapa perawat tadi, membuat Yasmin telat menyaksikan prosesi anaknya dimakamkan. Dia juga kehilangan kesempatan untuk bisa melihat wajah sang anak untuk terakhir kali.Tidak peduli dirinya kebasahan, dia menangis pilu sembari meremas tanah merah yang juga basah oleh hujan. Tidak peduli hari mulai gelap, dan tubuhnya gemetar kedinginan, Yasmin tetap bertahan di sana. Bahkan, ketika dia melihat darah yang merembes pada daster lusuh yang dia kenakan… Yasmin tidak peduli. Biarlah dia sakit, kehilangan banyak darah, hingga akhirnya bisa menyusul sang putri.Akan tetapi tidak lama, petugas pemakaman datang dan mengusirnya. Mau tidak mau Yasmin meninggalkan makam mungil itu dan berjalan tak tentu arah.Dalam keputusasaan, langkahnya membawa Yasmin ke suatu tempat. Wanita itu masih penasaran akan suaminya.
Yasmin bersimpuh di hadapan Bram. Kenyataan ini terlalu kejam untuk diterima. Semantara dia berusaha bernapas di antara isak tangis yang tidak terbendung, Bram justru begitu mudah melangkah, melenggang pergi kembali ke ruang tamu.Sarah meraih rambut Yasmin, menariknya kuat hingga wanita itu mendongak. “Dengar, Yasmin, jangan pernah ganggu Bram lagi! Kamu itu cuma rumput liar yang menghambat bunga untuk tumbuh!" "Bu—""Aku bukan Ibumu!" sentak Sarah, lalu menyeret Yasmin secara paksa keluar dari rumah. Ketika Sarah hendak menutup pintu, Yasmin mencoba menahan, tetapi raganya terlalu lemah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perlahan, Yasmin dengan wajah memerah karena tidak berhenti menangis sedari tadi, menyeret kakinya menjauh dari rumah mantan suami. Langkahnya tertatih di trotoar yang semalam menjadi saksi perjuangan menyelamatkan bayinya.Beberapa orang melintas, menatapnya sesaat lalu berlalu pergi. Semua mengabaikannya. Dunia benar-benar tidak peduli pada keberadaannya. T
Setelah ASI-nya dipastikan cocok, Yasmin dibawa ke ruang NICU. Dia menatap bayi kembar yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh mereka lebih kecil di antara bayi lainnya. Napas tersengal, dan kulit transparan dengan urat-urat halus terlihat samar. ASI Yasmin telah diperah. Perawat juga telah memasukkan ASI tersebut ke dalam selang. Saat cairan hangat itu masuk, gerakan bayi yang semula gelisah, perlahan melemah dan napasnya lebih tenang. Yasmin menempelkan jarinya ke kaca inkubator, "Minumlah, Nak. Bunda di sini." Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Sedang apa kamu di sini?!" Yasmin terlonjak. Dia menoleh dengan mata membesar. Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Seketika Yasmin menegang dan bertanya dalam hati, ‘Siapa dia?’Tatapan pria di hadapannya begitu tajam dan intimidatif, bagai katana yang menusuk tanpa ampun. Membuat udara dalam ruangan terasa berat dan menekan dada Yasmin hingga napasnya terasa sesak."Kenapa diam
“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam. Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak meresp
Mendengar pesan dari Kezia, seketika Barra memijat pelipisnya. Dini hari tadi, dia memang sempat mengetik pesan singkat pada Samantha. Namun, seingatnya pesan itu sudah dihapus dan tidak pernah dikirim. Jadi, kenapa sekarang dokter itu tiba-tiba datang?Kini, perhatian Yasmin tertuju pada Barra, sama halnya dengan Kezia yang tidak mengetahui apa pun tentang rencana putranya itu."Mas sakit?" tanya Yasmin, sigap berdiri dan memegang kening pria itu, memeriksa suhu tubuhnya.Kezia pun menimpali, "Kalau sakit, kenapa malah telepon Samantha?" Kening wanita itu mengerut, dan Yasmin pun mengangguk kecil, membenarkan.Merasa terpojok dengan dua pasang mata yang menuntut penjelasan, Barra memutar otak dengan cepat. Tatapannya berganti-ganti antara Yasmin dan mamanya."Cuma salah kirim. Tadi malam aku begadang, baca ulang kasus Cindy, mau kirim pesan ke Bahtiar, tapi ... malah ke Tante Samantha."Kezia dan Yasmin saling berpandangan. Penjelasan itu terdengar janggal. Barra dikenal sebagai soso
Belum juga reda sesak di dada akibat mengetahui penyebab kematian sang istri, kini Barra kembali dikejutkan oleh satu berkas yang sempat dia minta beberapa waktu lalu. Dia mendesah lelah, menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Kesibukan menangani kasus Yasmin, ditambah tumpukan perkara dari klien-klien lain, membuatnya abai. Rekam medis itu seharusnya sudah dia buka sejak dulu.Tanpa sengaja, saat emosi melanda, berkas itu terbuka. Barra hampir menutupnya, tetapi kalimat di halaman pertama membuat alisnya bertaut dan rasa ingin tahunya terpacu. Mau tidak mau, dia membaca lebih rinci.Mata cokelatnya bergerak cepat dan cemas mengikuti baris demi baris catatan medis.Barra mendengkus. “Pantas saja dia tega bunuh Berliana,” gumamnya penuh amarah. “Mereka bukan saudara kandung .…”Di situ tertulis jelas, Cindy tidak memiliki hubungan darah langsung dengan Berliana. Fakta itu menghantam Barra bagai palu godam. Tidak hanya itu, dia juga menemukan catatan bahwa delapan tahun lalu, Cindy pernah m
Yasmin berjalan mondar-mandir di teras rumah. Setelah makan malam dan menyusui si kembar hingga mereka terlelap, perasaannya makin tak menentu. Barra—pria itu—tak kunjung pulang. Entah apa yang terjadi. Menghubungi Barra percuma saja, sebab tidak pernah diangkat. Pesan-pesan yang dikirim ke Bahtiar pun sama, tidak ada balasan."Apa dia baik-baik saja?" gumam Yasmin. Tatapannya berkali-kali tertuju ke arah pintu pagar yang tertutup rapat. Dia menanti, dalam dingin yang makin menusuk kulit seiring malam tambah larut.Kezia sudah beberapa kali keluar, membujuk agar Yasmin masuk. Namun, Yasmin bergeming. Seolah tubuhnya terpaku di teras itu, sulit beranjak, menunggu kehadiran seseorang.Akhirnya, pukul sebelas malam, pagar tinggi di depan rumah bergeser pelan, bergerak terbuka. Lampu sorot dari mobil perlahan menyapu halaman. Yasmin menahan napas, berharap yang datang adalah Barra.Benar. Rubicon putih itu masuk dan berhenti tepat di hadapan Yasmin. Namun, alih-alih lega, matanya membulat
“Mas yakin mau pergi sendirian?” tanya Yasmin, tepat saat Barra membuka pintu mobil untuknya, mempersilakan wanita itu turun.Setelah mengetahui beberapa fakta menarik tentang Cindy, pria itu memutuskan mengantar Yasmin pulang sebelum menuju kantor polisi.“Ya. Kamu tunggu di rumah. Main saja sama anak-anak,” kata Barra yang mencoba mengukir senyum. Meskipun Yasmin tahu pria itu sedang menahan sesuatu, tetapi demi menenangkan hati sang wanita, dia memaksakannya.Yasmin mengangguk perlahan. Keputusan Barra itu tidak bisa diganggu gugat.Sebelum pergi, pria itu merangkum lembut pipi Yasmin, lalu melabuhkan kecupan dalam di kening wanita itu. Ibu jarinya membelai pipi sang wanita dengan pelan.“Hati-hati, Mas. Umm … jangan sampai terpancing emosi,” pesan Yasmin, intonasinya lirih dan mengandung kecemasan. Namun, Barra tidak menanggapi.Pria itu langsung berlalu setelah mengecup kening Yasmin. Rubicon putihnya melaju dengan cepat, membuat sang wanita dilanda kegelisahan.Bahkan dia menghu
“Eh, aku pikir Mas Barra mau pulang duluan,” ucap Yasmin sambil tersenyum lebar, deretan gigi putihnya tampak jelas.Barra tidak membalas. Hanya desisan kecil terdengar dari mulutnya, dan rahangnya mengeras. Tatapan tajam bagai elang menyapu sekeliling Yasmin, seolah mencari seseorang yang bersembunyi.“Di mana Bagas? Tadi kamu sempat menyapanya?” tanya Barra dengan intonasi tajam. Dia melangkah makin dekat hingga Yasmin reflek mundur setapak. Senyumnya perlahan memudar, berganti raut gugup.Yasmin menggeleng pelan. “Ti—tidak,” jawabnya singkat.Tatapan Barra makin tajam. “Kamu bohong?” gumam pria itu, tetapi agak menekan. Napas yang diembuskan terdengar kasar, dan tanpa aba-aba, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Yasmin. Lalu menyeretnya keluar menuju area parkir.“Umm … maaf, Mas. Aku cuma tidak suka Mas Barra kelihatan cuek kayak tadi,” suara Yasmin lirih, dia mencoba menenangkan suasana. “Aku minta maaf, ya. Aku tahu aku salah.”Barra hanya menggumam singkat, “Hmm.” Lalu di
“Aku juga,” ungkap Barra sambil menoleh sejenak pada Yasmin.Jawaban yang tak terduga itu membuat jantung Yasmin berdebar tidak keruan. Napasnya tersendat, tetapi sorot matanya sulit berpaling dari wajah Barra yang tampak begitu tenang, hingga membuatnya gugup.“Maaf, ya, Mas. Saya—”“Bukan masalah, aku suka,” sela Barra. Tangan pria itu tiba-tiba meraih jemari Yasmin yang berada di pangkuannya.Seketika Yasmin terkesiap, otaknya memerintah untuk menarik diri, tetapi tubuhnya justru membatu. Apa-apaan ini?Sentuhan itu hangat dan membius. Tidak munafik—relung hatinya bergetar pelan. Jujur, ada rasa nyaman. Bahkan senang, seperti disentuh lembut dari dalam.Genggaman itu tidak terlepas sampai Rubicon putih yang mereka tumpangi tiba di area kampus. Lebih dari itu, Barra justru turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Yasmin.Dia tercengang. Bukan cuma karena Barra bersikap begitu manis, tetapi perutnya terasa geli seakan penuh kupu-kupu yang beterbangan.“Ayo, masuk,” ajak Barra san
Mata Yasmin mengerjap beberapa kali. Dia sudah berguling di atas kasur, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan ucapan Barra barusan. Bahkan tangannya refleks menyentuh pipi yang terasa panas. Ini tidak wajar! Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mulai membuka perasaannya lagi?Bukankah ini terlalu cepat?“Apa Mas Barra serius, ya?” gumam Yasmin, lalu menarik napas dalam-dalam sambil menatap langit-langit kamar dengan cahaya temaram.Akibat tak kunjung bisa tidur, dia turun dari ranjang. Langkahnya pelan saat menghampiri dua bayi kembar yang tampak nyenyak di dalam boks. Setelah kenyang menyusu, mereka terlelap tanpa gelisah. Justru Yasmin yang kini terserang insomnia.Tubuhnya terasa hangat, seperti demam ringan. Namun, dia enggan menyalakan pendingin ruangan. Dia memilih keluar, ke balkon. Berharap udara malam bisa menenangkan pikiran. Dari sana, iris hitamnya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki Rubicon putih.Entah ke mana pria itu akan pergi.Rasa penasaran membuatnya
Sungguh, Yasmin tidak menyangka akan mendapat kunjungan tak terduga ini. Matanya langsung basah, tubuh bergetar, dan langka tertahan di tempat. Dia tidak sanggup mendekat hingga tamu itu menghampiri lebih dulu—memeluknya begitu erat, seolah menolak dilepaskan.“Akhirnya … aku bisa bertemu denganmu lagi, Yasmin.” Suara itu terisak, emosi yang lama tertahan.Yasmin menggigil dalam dekapan hangat itu, lalu dengan tangan gemetar, dia membalas pelukan tersebut.“Iya, Dokter … saya juga senang,” balasnya pelan, dan akhirnya menangis di bahu Samantha.“Mereka jahat, tidak mengajakku pergi. Kalau saja aku tahu, pasti aku ambil cuti dan ikut.” Tatapan Samantha pun melayang tajam ke arah Barra dan Kezia yang berdiri tak jauh dari Yasmin.“Maaf, Dokter. Menunggu lama, ya? Ayo masuk, aku punya oleh-oleh.” Yasmin melepaskan pelukan mereka, lalu mengusap air matanya sambil tersenyum kecil.Samantha mengangguk. Dia merangkul bahu Yasmin dan keduanya berjalan ke ruang tamu. Barra, Kezia, juga Leo meny
Pada akhirnya … setelah Boy dan Cleo terlelap, Yasmin pun turut terbuai dalam mimpinya malam ini. Dia bahkan menikmati kehangatan dari selimut yang menutupi tubuhnya.Ya, Barra bukannya membangunkan dan meminta Yasmin pindah. Justru pria itu membiarka tetap di sana, menikmati pemandangan hangat di sampingnya. Sebuah senyum mengembang perlahan di wajah Barra. Dia menyapu pelan kening Yasmin, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh sembarangan.Pandangan Barra kemudian bergeser pada dua bayi kembar yang tidur menempel di sisi Yasmin. Seolah keduanya enggan berjauhan dari wanita itu.Dia mengecup lembut dahi Boy, lalu saat hendak menempelkan ciuman serupa pada Cleo, gerakannya terhenti di udara. Namun, Barra menepis pikirannya. Dia tidak mau merusak momen damai ini.“Bantu Papi bujuk Bunda, ya,” bisiknya lembut di telinga Cleo.Setelah itu, pria itu ikut terlelap di samping Cleo, dan tubuhnya menghadap Yasmin.Pagi harinya, Yasmin masih tertidur pulas, sementara Barra telah terbangun leb