MasukWanita itu tersenyum manis, mata indahnya berbinar-binar dengan kemenangan yang jelas terlihat. Dengan langkah santai, ia mendekati Lian, dan tanpa sungkan, ia memeluk lengan suami Hanna, menempelkan tubuhnya yang seksi ke tubuh Lian.
“Putra kita baru saja meninggal, dan kamu malah berduaan dengan wanita lain? Di kamar kita?!" bentak Hanna, kata-katanya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Lian tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, bahkan wajahnya terlihat dingin dan tidak peduli. "Kamu benar-benar pria brengsek!" Hanna melanjutkan, suaranya semakin keras. "Bisa-bisanya kamu berselingkuh sementara aku terpuruk atas meninggalnya anak kita! Kamu benar-benar..." Namun, kata-katanya terhenti di tengah jalan. Blugg! Wajah Lian tertoleh ke samping dengan ekspresi terkejut dan sakit, pipinya terasa panas yang membara. Hanna terkejut juga, matanya melebar saat ia menyadari bahwa ayahnya, Alex, telah meninju Lian dengan sekuat tenaga. “Saya menikahkan kau dengan putri kami, karena melihat kau pria yang baik. Tapi … kau adalah pria yang jahat! Brengsek! Suatu saat, kau akan merasakan balasan dari kejahatan yang kau lakukan pada keluarga kami!” bentak Alex dengan hati yang membara. “Ayo, Hanna,” Alex menarik tangan putrinya dan mengajaknya pergi. “Putri kalian itu sedang membayar kejahatannya di masa lalu. Sebaiknya kalian berkaca, putri kalian sendiri membuang anaknya tapi putraku yang harus menanggung akibat dari kejahatan ibunya!” Langkah Hanna terhenti, wajahnya pucat padi. Genggaman tangannya pada kursi roda ibunya menguat, di sertai dengan air matanya yang luruh membasahi pipinya. Perkataan Lian, memukul telak dirinya. Lalu, disepanjang perjalanan, Hanna hanya dian, melamun. Rasa sakit kehilangan putranya belum juga hilang. Ditambah lagi, suaminya mengkhianati dan mengusirnya dari rumah mereka. Orang tuanya harus menanggung penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatannnya. “Pa, aku minta maaf,” lirih Hanna dengan perasaan sesak. Ia menunduk, malu untuk menatap orang tuanya. “Papa harap, kamu dapat belajar dari kesalahan yang menimpamu. Papa marah, tapi untuk saat ini hal itu bukanlah solusi.” Saat keduanya mengobrol, tiba tiba Pina memegangi dadanya yang terasa sakit. Hanna dan Alex yang melihat itu terkejut, dan segera mereka berlari mendekat. “Mama kenapa, mah?” tanya Alex panik. “Pak, kita ke rumah sakit!” titah Hanna pada supir taksi. Kondisi pina semakin buruk, jalanan pun semakin ramai dari biasanya. Sesampainya di rumah sakit, para tenaga medis segara membawanya ke ruang UGD. Hanna dan Alex menunggu dengan penuh kecemasan, sudah terlalu banyak cobaan yang datang. Beberapa saat kemudian, seorang dokter datang dengan wajah serius, membawa hasil pemeriksaan awal. “Bapak, setelah memeriksa kondisi pasien, kami mendapati bahwa pasien mengalami serangan jantung. Mengingat kondisinya yang sebelumnya sudah terpengaruh oleh stroke, tubuhnya kini sangat rentan terhadap komplikasi lain, seperti itu.” “Apa?” Hanna kaget hingga dirinya sulit mengatakan apapun. “Kami melihat adanya tanda-tanda bahwa pembuluh darah di jantungnya mulai tersumbat. Kami juga sudah melakukan tes darah, yang menunjukkan ada tekanan yang sangat tinggi pada jantungnya, kemungkinan karena pengaruh dari stroke yang sudah ia alami sebelumnya.” Hanna merasa tubuhnya seakan melemas. Ibunya sudah cukup berjuang untuk pulih dari stroke, dan sekarang, ia harus menghadapi ancaman baru yang jatuh lebih mematikan. Dokter melanjutkan penjelasannya dengan nada yang lebih serius. “Karena kondisinya yang sudah terpengaruh oleh stroke, kami harus melakukan tindakan dengan sangat hati-hati. Kami akan melakukan angiogram untuk melihat lebih jelas pembuluh darah yang ada, untuk menentukan apakah ada sumbatan yang parah dan apakah kami perlu melakukan prosedur lebih lanjut, seperti pemasangan stent atau bypass.” Hanna menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak menangis di hadapan dokter, namun perasaan khawatir dan cemas itu sulit untuk ditahan. “Kami akan terus memantau kondisinya dengan cermat, ini adalah waktu yang sangat krusial. Dan kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk menyelamatkan pasien,” kata dokter itu dengan penuh pengertian. Hanna menggagul pelan, meskipun hatinya penuh dengan ketakutan. Ia merasa seolah tidak punya lagi tenaga untuk berjuang, namun ia tahu satu hal, ia harus terus berusaha demi keluarganya. Hanna terburu-buru menuju resepsionis untuk membayar pengobatan ibunya. Ia membuka dompet dan mengeluarkan kartu ATM miliknya, berharap bisa segera menyelesaikan pembayan dan Pina dapat segera mendapatkan kamar perawatan. “Maaf, apa Anda punya kartu lain? Kartu ini tidak bisa di gunakan,” ucap suster dengan suara lembut. “Hah? Kok bisa, Sus?” Hanna kebingungan. “Coba lagi, pakai kartu ini, Sus.” Hanna mencoba kartu lain, namun tetap saja sama. “Maaf. Mba … semua kartu tidak bisa digunakan. Mungkin anda punya uang tunai?” tanya suster itu dengan cemas. Hanna menggenggam erat dompetnya. Begitu dibuka, ia hanya menemukan dua lembar uang merah. Dalam situasi seperti ini, seharusnya ia mempersiapkan segala sesuatu lebih matang. “Saya ambil dulu uangnya, ya Sus?” Hanna bergegas meninggalkan resepsionis, berusaha menenangkan dirinya. Seketika, ia merasa semakin lelah, baik secara fisik maupun mental. Ia duduk terkulai di kursi ruang tunggu. Pikirannya mulai kacau, hatinya kosong. Begitu banyak hal yang harus dipikirkan, namun ia merasa semuanya terlalu berat untuk dihadapi. Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya duduk di sebelahnya. Tanpa berkata apa-apa, wanita itu menyampirkan kain di dada Hanna. Hanna tersentak dan merasa tak nyaman, ingin menolaknya. Namun, wanita itu menenangkan. “Jangan di lepas, pakaianmu basah. Tidak enak dipandang orang.” Ujar wanita itu dengan lembut. Hanna terdiam, ia menunduk menatap dadanya yang basah. Karena kepanikannya, dia tak sadar jika asinya membasahi bajunya. Seharusnya asi miliknya sudah di minum oleh putrinya. Namun, hal tak terduga terjadi. “Terima kasih,” Hanna berbisik pelan. “Sama-sama, segera susui anakmu. Kalau tidak, bisa terjadi penyumbatan dan itu bisa sangat sakit.” Hanna menatap wanita itu dengan tatapan hampa. “Anak saya meninggal kemarin, jadi saya tidak bisa memberikannya.” Suaranya bergetar. Wanita itu tampak terkejut, lalu mengelus bahu Hanna dengan lembut. “Saya mengerti, dengan perasaan kamu, Nak. Saya juga dulu pernah ngerasain seperti kamu. Anak saya baru lahir tapi meninggalkan saya untuk selamanya.” Suasana di rumah sakit semakin membuat Hanna terhimpit, namun tiba-tiba suara panggilan nama terdengar. “Hanna!”Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m
Tebakan Dian benar. Raihan sudah terbangun. Tapi bayi itu tidak menangis. Ia tampak tenang karena sang kakak memeluk perut adiknya, entah sejak kapan Maira datang ke kamar itu. “Pintar enggak nangis, ya? Mau minta Nen, iya?” Hanna berceloteh sambil mengangkat Raihan dalam gendongannya. “Oaaa …. “ Raihan sudah tak sabar saat Hanna membuka kancing bajunya. Bayi itu haus dan ingin segera menyusu. “Pelan-pelan, nanti tersedak,” lirih Hanna lembut, sambil membimbing Raihan pada sumber air susunya. Saat semuanya terasa hening dan damai, sebuah suara terdengar dari pintu kamar. “Apa anak saya sudah bangun?” Degh! Hanna semakin mendekap Raihan dengan erat, detak jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin dan gemetar saat mendengar suara Evan di belakangnya. Karena dekapan itu semakin erat, Raihan pun merasa tak nyaman dan mulai menangis. Buru-buru Hanna kembali menenangkannya dan memberikan kembali sumber nutrisinya di bibir bayi itu. Evan terlihat penasaran, tapi dia ta
“Maira? Kamu ngapain disini?” Anak itu melongo, “Maira, mau lihat adek, Nek.” Almaira Gavaputri, putri yang sempat Hanna tinggalkan, kini berdiri di hadapannya dengan mata. Bayi mungil yang dulu bahkan tak ingin ia lihat kini telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan ceria. Rasa sesak menghimpit dadanya, penyesalan melingkupi dirinya begitu erat, hingga terasa sulit untuk bernapas. Hanna merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan penyesalan, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana. "Tante, Adeknya tidur ya?" Tanya anak itu dengan senyuman merekah lepas, membuat Hanna merasa seperti disadarkan dari lamunannya. Hanna memandang Almaira dengan mata yang sedikit terkejut, dan mencoba tersenyum kembali, "Iya, Nak... Adeknya masih tidur," jawabnya dengan suara yang lembut, mencoba menyembunyikan rasa sesak yang masih menghimpit dadanya. Apalagi mendengar anak itu memanggilnya "tante" membuat hatinya seakan ditikam, sakit dan perih, seperti ada yang menusukka
Sementara itu, di sebuah pemakaman yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang pria dengan kemeja hitam masih berdiri di depan kuburan, menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap gundukan tanah di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sedih yang mulai menggejolak. Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang di kenakannya. “Evan, Papa sama Mama pulang dulu. Kabarin kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Noura tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami.” Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Evan. Evan mengangguk, “Evan pasti akan menjaga cucu kalian, Ma Pa. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Surabaya.” “Evan, tentang wasiat Naura …,” “Jangan bahas itu dulu, mah. Evan, tidak mau membahasnya sekarang.” Evan beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menghela napas pelan. Evan memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang supir mengarahkan mobi
Hanna menoleh, wajah ayahnya tampak panik. Hatinya berdebar, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ibunya. “Nyonya, terima kasih untuk kainnya, saya akan mengembalikannya nanti. Saya harus melihat kondisi mama saya sekarang!” Hanna berlari meninggalkan wanita paruh baya itu. tanpa sempat berkata lebih banyak, wanita itu menatap Hanna yang berlalu, perlahan menghela nafasnya. “Ibu Dian!” Suara suster memanggil wanita itu, Dian terkejut dan segera berdiri mengikuti suster yang tampak cemas. “Ada apa, Sus?” tanya Dian, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Bisa ikut dengan saya buk?” Dian mengangguk, suster pun membawanya ke ruang bayi. Di sana terlihat bayi laki laki di inkubator, menangis dengan wajah terlihat merah. “Bayi ini terus memuntahkan susu formula yang kami beri. Baru 20 Ml yang bisa masuk, sementara bayi yang baru lahir seharusnya mengonsumsi 45-90 ml. Jika kondisi ini berlanjut, berat badannya tidak akan naik,” jelas dokter dengan penuh perhatian. “Jadi susu formula
Wanita itu tersenyum manis, mata indahnya berbinar-binar dengan kemenangan yang jelas terlihat. Dengan langkah santai, ia mendekati Lian, dan tanpa sungkan, ia memeluk lengan suami Hanna, menempelkan tubuhnya yang seksi ke tubuh Lian. “Putra kita baru saja meninggal, dan kamu malah berduaan dengan wanita lain? Di kamar kita?!" bentak Hanna, kata-katanya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Lian tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, bahkan wajahnya terlihat dingin dan tidak peduli. "Kamu benar-benar pria brengsek!" Hanna melanjutkan, suaranya semakin keras. "Bisa-bisanya kamu berselingkuh sementara aku terpuruk atas meninggalnya anak kita! Kamu benar-benar..." Namun, kata-katanya terhenti di tengah jalan. Blugg! Wajah Lian tertoleh ke samping dengan ekspresi terkejut dan sakit, pipinya terasa panas yang membara. Hanna terkejut juga, matanya melebar saat ia menyadari bahwa ayahnya, Alex, telah meninju Lian dengan sekuat tenaga. “Saya menikahkan kau dengan putri kami, ka







