LOGINHanna menoleh, wajah ayahnya tampak panik. Hatinya berdebar, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ibunya.
“Nyonya, terima kasih untuk kainnya, saya akan mengembalikannya nanti. Saya harus melihat kondisi mama saya sekarang!” Hanna berlari meninggalkan wanita paruh baya itu. tanpa sempat berkata lebih banyak, wanita itu menatap Hanna yang berlalu, perlahan menghela nafasnya. “Ibu Dian!” Suara suster memanggil wanita itu, Dian terkejut dan segera berdiri mengikuti suster yang tampak cemas. “Ada apa, Sus?” tanya Dian, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Bisa ikut dengan saya buk?” Dian mengangguk, suster pun membawanya ke ruang bayi. Di sana terlihat bayi laki laki di inkubator, menangis dengan wajah terlihat merah. “Bayi ini terus memuntahkan susu formula yang kami beri. Baru 20 Ml yang bisa masuk, sementara bayi yang baru lahir seharusnya mengonsumsi 45-90 ml. Jika kondisi ini berlanjut, berat badannya tidak akan naik,” jelas dokter dengan penuh perhatian. “Jadi susu formula tidak cocok untuknya?” Dian bertanya dengan cemas, melihat bayi yang semakin lemah itu. “Bisa jadi. Setiap bayi memiliki kemampuan berbeda dalam mencerna susu formula.” “Bagaimana solusinya, Dok?” Dian bertanya lagi dengan suara pelan. “Apakah ada kerabat yang sedang menyusui?” tanya dokter. Dian terdiam. “Tidak ada, kami tidak punya siapa-siapa.” “Tapi, jika ASI diberikan oleh wanita lain, apakah itu aman, Dok?” tanya wanita lagi. “Iya, asal ibu susu yang dipilih sehat dan ASI yang diberikan sudah melalui pemeriksaan ketat,” jelas dokter itu dengan tenang. Dian mengangguk, matanya kembali menatap bayi di inkubator, hati penuh kekhawatiran, bayi itu terus menangis. Seakan meminta sesuatu yang tidak bisa dipenuhi. Sedangkan diruang tunggu rumah sakit yang sunyi, Hanna masih memikirkan keadaan ibunya yang terbaring di UGD rumah sakit. Ia merasa khawatir dan tidak sabar menunggu keputusan dokter. Tiba-tiba, seorang suster muncul dan menghampirinya dengan wajah yang simpatik. "Maaf, nona... sesuai prosedur rumah sakit kami, kami tidak bisa memberikan kamar perawatan sebelum anda membayar biaya pengobatan," katanya dengan nada yang lembut, namun membuat Hanna merasa seperti telah dipukul keras. Hanna terdiam, tubuhnya lemas, hanya bisa menangis. Dokter itu menunggalkannya, tidak bisa berbuat lebih banyak karena kebijakan rumah sakit yang ketat. Namun, sebuah suara mengejutkan Hanna. “Maaf, saya tadi tidak sengaja mendengar apa yang kamu bicarakan dengan dokter,” Wanita yang tadi tiba-tiba muncul di sampingnya, menepuk bahunya dengan lembut. “Jangan khawatir, saya bisa membantu kamu.” Hanna menatapnya dengan terkejut, masih belum percaya. “Apa? Apa yang anda maksud?” “Saya akan membantu membayar biaya perawatan ibumu,” Dian berkata pelan, tapi pasti. “Tapi … bisakah kamu menjadi ibu susu untuk anak keponakan saya?” “Ibu susu?” “Iya, keponakan saya mencari ibu susu. Istrinya meninggal, bisakah kamu membantunya? Kami akan membayar, berapapun yang kamu inginkan. Bahkan, sampai pengobatan ibumu selesai.” Ucap Dian dengan nada yakin. Pandangan Hanna beralih, menatap sang ibu yang masih terbaring di ruang UGD. Hanna menghela nafas pelan, otaknya tengah berpikir keras untuk mengambil keputusan ini. Hingga akhirnya, dia memilih keputusan yang sudah dia mantapkan dalam hatinya. “Saya mau, Tapi … kalau anak dari ponakan Anda tidak mau, bagaimana?” Senyum Dian merekah, ia memeluk Hanna dengan perasaan bahagia. “Kita coba dulu, ayo!” Dian membawa Hanna ke dalam ruang bayi untuk melihat langsung bayi yang akan disusui Hanna. Sebelum itu, dokter bertanya lebih dulu tentang kesehatan Hanna dan apakah wanita itu mengidap penyakit tertentu. Setelah di periksa semuanya baik, mulailah seorang suster mengeluarkan bayi itu dari inkubator dan memberikannya pada Hanna dengan perlahan. Saat bayi itu sampai di dekapannya, air mata Hanna kembali luruh. Dirinya teringat akan putranya yang telah tiada, bahkan dia belum sempat menyusuinya. Namun, semesta seolah memberiksnya pengganti dari rasa sakit dan kehilangan yang dirinya alami lewat bayi itu. “Hanna, ayo. Lihat, dia menangis dan berharap segera disusui.” Ucap Dian dengan antusias. Hanna mengangguk, perlahan membuka kancing bajunya. Namun, dia menatap Dian dengan ragu. “Apa anda akan melihat saya menyusui?” Dian mengerjapkan matanya pelan, “Ya, tentu saja. Memangnya kenapa? Saya juga memilikinya, hanya saja tidak ada isinya. Kenapa harus malu?” Ucapnya heran. Hanna malu saat dilihat sedang menyusui. Namun, benar apa kata wanita itu. Kenapa dirinya harus malu? Sesama wanita. Perlahan Hanna mengeluarkan ASI-nya. Suster pun membantunya untuk memposisikan bayi di gendongan agar dapat menyusu dengan bauk. Saat bibir kecil itu berhasil meraih sumber nutrisinya, Hanna memenjamkan matanya, merasakan sakit yang terasa menyenangkan sebagai seorang ibu. “Sakit ya? Biasanya lidah bayi memang kasar, nanti juga terbiasa.” Ucap Dian sambil mengelus punggung Hanna. Hanna mengangguk, matanya menatap bayi di gendongannya dengan mata berkaca kaca. Bayi itu mengisap kuat sumber nutrisinya, seolah dia sangat kehausan. “Lihat, dia meminumnya dengan lahap. Astaga Hanna, terima kasih banyak.” kata Dian dengan rasa haru, melihat bayi itu yang kuat menyusu. Hanna tersenyum. “Sama-sama, nyonya.” Matanya mulai kembali memandang bayi di gendongannya, dengan lembut jarinya menyentuh pipi kenyang bayi itu. Seperti ada ikatan batin di antara keduanya yang Hanna rasakan. Ponsel Dian berdering, ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat siapa yang menghubunginya. Setelah melihatnya, Dian tersenyum senang dan mengusap layar ponselnya sebelum menempelkan ke telinganya. “Disini sudah aman, sekarang sudah ada ibu Susu yang memberikan ASI untuk putramu, Evan.” Jantung Hanna berdegup kencang, pikirannya kalut saat mendengar nama yang tak asing di telinganya. “Tidak mungkin Evan, Nama Evan banyak … mantan suamiku tidak memiliki kerabat. Jadi sudah pasti, Evan yang berbeda.” Batinnya cemas.Di ruang makan, Hanna duduk dengan wajah yang tenang, dia terlihat seperti hanya ada untuk satu tujuan saja, yaitu sebagai ibu susu untuk Raihan. Evan, yang duduk di sebelahnya, tidak menoleh ke arahnya, seolah-olah dia tidak ada di sana. Tatapannya tertuju pada makanan di atas meja, tapi pikirannya jelas tidak ada di situ. Ada jarak yang jelas antara mereka, membuat suasana menjadi tidak nyaman.Hanna mencoba untuk memulai percakapan, "Evan, aku ingin meminta izin sebentar, untuk keluar hari ini. Tenang saja, aku sudah menyisakan stok Asi di dalam kulkas," katanya dengan nada yang lembut. Tapi Evan tidak menanggapi, dia masih fokus melantak makanannya, tidak memperdulikan Hanna.Hanna merasa kesal, tapi dia tidak menunjukkan, "Jika, kamu tidak menjawab! Berarti aku menganggap kamu memberi izin." Evan masih tidak menanggapi, membuat Hanna merasa diabaikan.Evan berdiri di samping Hanna, suaranya rendah dan dalam, "Tidak perlu meminta izin pada ku, jika kamu mengerti posisimu di rumah
Evan menghembuskan napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan egonya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan ini demi putranya. Dengan langkah berat, ia pergi ke alamat yang dikirim oleh Hanna, mencoba untuk tidak memikirkan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Saat ia tiba di tempat alamat dikirimkan, Hanna sudah menunggu di sana, wajahnya terlihat sedikit khawatir. Evan mencoba untuk tidak memperhatikannya, langsung menyuruh Hanna untuk masuk ke dalam mobil "Masuklah," Evan mengatakan, suaranya terdengar nyaris.Sepanjang jalan, hanya ada keheningan tanpa saling bicara. Hingga akhirnya, mereka tiba di tujuan. Hanna lekas turun, dia tidak sabar bertemu Raihan dan juga Maira. Namun, Evan meraih tangannya yang mana membuat langkahnya berhenti.Dengan bingung, Hanna menatap pria yang sedang menatapnya serius saat ini. “Kamu disini hanya sebatas ibu susu bagi putraku, dan jangan dekati putriku seolah-olah kamu adalah sosok ibu yang baik! Jadi … jaga batasanmu! Cukup Maira tahu kamu ada
Hanna terus mencari kosan yang sesuai dengan bujetnya, sambil memikirkan rencana untuk mencari pekerjaan baru. Ia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya, tidak ingin mereka khawatir tentang keadaannya. Ia ingin membuktikan diri bahwa ia bisa hidup mandiri, tanpa bantuan siapa pun. Dengan tekad yang kuat, Hanna terus mencari informasi tentang lowongan pekerjaan, sambil berharap bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan keahliannya.Setelah beberapa jam mencari, Hanna akhirnya menemukan sebuah kosan yang cukup terjangkau dan nyaman. Ia langsung menghubungi pemilik kosan untuk melakukan survei dan memastikan bahwa tempat itu sesuai dengan kebutuhannya. Dengan semangat baru, Hanna mulai mencari pekerjaan baru. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari lowongan pekerjaan di internet, sambil mempersiapkan resume dan surat lamaran. Ia juga meminta rekomendasi dari teman-temannya, berharap bisa mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan yang tidak dipublikasikan. Hanna merasa tidak
Evan berjalan mondar-mandir di ruang tamu, mencoba menenangkan Raihan yang terus menangis. Ia memeluk anak itu erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan. Tapi, Raihan tidak berhenti menangis, suaranya terus meninggi dan meninggi.“Sssestt, Raihan! Ini papa, Nak.” Evan merasa frustrasi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mencoba memberikan botol susu, tapi Raihan menolaknya. Ia mencoba menggendong anak itu, tapi Raihan terus menangis.Evan baru ingat kata-kata bibinya, bahwa Raihan tidak cocok dengan susu formula. Evan merasa sedih, bahwa ia tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tiba-tiba, Evan teringat sesuatu. Ia berlari ke dapur, lalu membuka kulkas, mencari ASI yang Hanna tinggalkan. Mungkin, ini bisa menjadi solusi untuk menenangkan Raihan sementara.Dian muncul di balik tubuh Evan, memandang pria itu dengan mata yang tajam. "Kenapa kamu mengusir Hanna?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran. "Apa, kamu tidak ingat? Putramu memerlukan ASI Hanna
Air mata Hanna luruh, matanya memandang Evan yang menatapnya dengan penuh amarah. Bukan lagi pandangan teduh seperti biasanya, setiap kali pria itu menatapnya. Kini, tatapan Evan berbeda. Seperti dirinya sedang menghadapi orang yang berbeda. Kata kata yang keluar dari mulut Evan menghantamnya dengan keras, seolah menampar wajahnya. Seakan dirinya tak lagi memiliki hak atas Maira sejak hari itu.“Kamu yang menolak kehadirannya di saat dia masih membutuhkan ibunya. Dia harus mengalami kesulitan, sementara ibunya hidup dengan baik. Apa kamu tahu? Sepanjang hari dia menangis merindukan sentuhan hangat seorang ibu? Apa kamu memikirkan apakah dia sehat atau sakit? Sekarang, untuk apa kamu di sini, Hanna? Karena … uang?”Evan kembali ke mejanya, mengambil beberapa gepok uang dan mendekati Hanna. Tangannya terukur, menawarkan uang itu pada mantan istrinya. Hanna kaget, menatap tangan Evan yang dingin, tak ada sedikit pun rasa empati yang tercermin dari tatapannya.“Ambil uang ini, dan pergi.
Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m







