Morgan sedang meregangkan otot lehernya yang kaku saat seseorang di seberang telepon mengangkat panggilannya. "Ya, Tuan," sahut sebuah suara berat. Morgan menyandarkan punggung ke kursi dan membiarkan pandangannya menyapu luasnya laut biru. Kapal Poseidon Exports yang ditumpanginya bergoyang perlahan di tengah samudra, sangat jauh dari daratan. Morgan harus menyipitkan mata karena sinar matahari memancar dengan terik. "Bagaimana Lucas dan Vienna?" tanya Morgan langsung pada intinya dengan tajam. "Baru kemarin lusa mereka bertengkar, Tuan," jawab pria itu. "Vienna menuntut Lucas membebaskannya lebih cepat, tetapi Lucas belum menemukan orang yang mampu membantu. Selain itu, Lucas tanpa sengaja menyinggung soal rencana pembunuhan Gloria dan Terry, membuat Vienna semakin marah." "Jadi hubungan mereka memburuk?" Morgan menyeringai lebar, bibirnya melengkung licik. "Ya, Tuan. Namun, mungkin itu hanya sementara. Vienna sedang mengandung, dan Lucas sangat menginginkan anak itu,"
"Aku tidak peduli bagaimana caranya, cari dia sampai ketemu!" bentak Morgan, suaranya menggelegar di dalam helikopter yang bergetar akibat baling-baling yang berputar cepat. Pria bertubuh kekar di depannya hanya mengangguk cepat sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Morgan membenamkan tubuhnya ke dalam kursi. Tanpa sadar, Morgan mengetuk-ngetuk lutut dengan gelisah. Mata pria itu bergerak liar memandang keluar jendela, melihat hamparan awan yang lewat seolah waktu tidak pernah berjalan cukup cepat untuk menandingi ketakutannya. Sebuah denting di ponselnya membuat Morgan reflek menoleh. Ada pesan baru dari anak buahnya yang ada di Highvale. [Nona Sydney terakhir terlihat di toko perhiasan, Tuan. Beliau memesan anting untuk Nona Jane dan kalung untuk Tuan Jade. Saya menduga, Nona menghilang setelah memesan perhiasan dari toko ini, Tuan.] Morgan mengangkat kedua alisnya tinggi. Hatinya yang sejak tadi terliputi amarah kini terasa seperti dipukul sesuatu yang jauh lebih keras. Ada
“Tangan Mama dingin sekali.” Sydney mengerjap. Suara lembut itu terdengar begitu nyata di telinganya. Wanita itu menoleh cepat dan mendapati seorang anak laki-laki, mungkin berusia sekitar tujuh tahun, sedang menyentuh tangannya dengan penuh kasih. Anak itu mengenakan kaus biru muda dan celana pendek krem, dengan rambut cokelat gelap yang sedikit ikal. Namun yang paling mencolok, wajah anak itu sangat mirip dengan Isaac. “Isaac?” bisik Sydney, matanya membulat. Sydney bahkan terkejut karena dia bisa bicara lagi. Suaranya terdengar serak, tetapi dia dapat membentuk kata dengan sempurna. “Bangun, Ma.” Anak kecil itu tersenyum dan matanya bersinar penuh kasih. Sydney mengernyitkan dahi. “Apa maksudnya bangun?” tanya Sydney kebingungan. “Belum waktunya Mama di sini. Mama masih harus membesarkan adik-adik. Mereka menunggu Mama di rumah. Mama harus bangun,” jawab sosok mirip Isaac itu sambil menatap Sydney penuh harap. Kerutan di dahi Sydney semakin dalam. Sosok anak itu mulai kab
Dengan tangan gemetar, Sydney mengetik sesuatu di tablet. “Kau salah orang. Aku tidak mengenal Morgan.” Butuh seluruh tenaga dan sisa keberanian dalam diri Sydney untuk mengetik kalimat tersebut. Jelas saja merupakan sebuah dusta, tetapi itu satu-satunya perisai yang bisa Sydney angkat di hadapan binatang buas sepertinya. Pria itu menatap layar sejenak, lalu tertawa. Tawa yang penuh penghinaan hingga menggema di ruangan lembab itu. “Lucu juga,” sinisnya. Dalam sekejap, tangannya yang besar mencengkeram rambut Sydney dan menjambaknya kuat-kuat. ‘Aaakh!’ Sydney menjerit dalam hati. Tubuh wanita itu sampai terangkat karena tarikan brutal pria di hadapannya. “Kau tidak bisa diajak bicara baik-baik ya, Jalang?!” hardik pria yang tidak punya belas kasihan pada wanita itu. Kepala Sydney mendongak ke belakang, kulit kepalanya perih seakan tercabik. Air matanya mengalir tanpa kendali, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kemarahan yang membuncah. ‘Bicara baik-baik apanya?! I
“Selamat datang di neraka, Cantik,” sapa Edgar penuh sarkasme begitu pintu ruangan terbuka. Sydney diseret masuk ke sebuah ruangan dengan tembok merah gelap yang tampak mengelupas di beberapa bagian. Namun bukan cat yang paling menyita perhatian Sydney, melainkan noda hitam keunguan yang mengering di berbagai sudut dan juga aroma anyir menyengat yang mengaduk lambungnya. Sydney mengedarkan pandangan sambil menahan mual yang naik ke kerongkongan. Rak-rak besi di sisi kiri ruangan memajang berbagai alat aneh seperti besi panas, cambuk berduri, tang penjepit, dan benda-benda yang hanya bisa Sydney lihat dari film horor thriller menegangkan. Udara terasa lebih lembab dan pengap. Bau anyir darah mengendap di dalam paru-parunya. Sydney ingin menutup hidung, tetapi dia terlalu lemas untuk menarik lengannya dari cengkeraman bawahan Edgar. BRAK! Tanpa peringatan, sebuah tinju menghantam wajah Sydney. Itu bukan tinju dari tangan kosong, Sydney sempat melihat kilau logam di buku-buku jari
Sydney menoleh dan melihat Morgan berdiri di sumber suara. Pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan masker. “Sialan! Bagaimana kau bisa masuk, Bajingan?!” Edgar membentak penuh kepanikan begitu melihat sosok Morgan berdiri tegak di ambang pintu. Morgan tidak menjawab. Dia melangkah lebar seperti singa yang baru saja menemukan pencabik sang betina. Tanpa memberi ruang pada Edgar untuk melarikan diri, Morgan langsung mencengkeram kerah baju pria itu dan menariknya mendekat. Bugh! Sebuah tinju keras menghantam wajah Edgar, membuat pria itu tersungkur ke belakang. Berbeda dengan Edgar, Morgan tidak perlu bantuan senjata untuk membuat pria itu koyak. “Bangsat!” Edgar berteriak kesakitan, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Morgan menoleh. Pandangannya jatuh pada tubuh Sydney yang terkulai di atas alat pemenggal kepala dengan tubuh penuh luka, wajah bengkak, darah mengering di
“Morgan,” panggil Sydney lirih sambil menyentuh tangan Morgan. Mobil yang mereka tumpangi sedang melaju, membelah jalanan dengan pengawalan sehingga tidak terkendala macet. Morgan agak tersentak karena belum terbiasa mendengar suara Sydney. Dia menoleh dengan cepat ke arah Sydney yang duduk bersandar lemah di sebelahnya. “Ya, Darling. Aku di sini.” Morgan langsung menggenggam tangan Sydney, lalu merengkuhnya dengan hati-hati. Morgan menyapu rambut kusut wanita itu dengan jemarinya sambil menatap wajah yang penuh lebam itu dengan getir. Kata-kata yang baru saja terucap dari bibir Sydney masih terngiang-ngiang di telinga Morgan. Pria itu belum sepenuhnya percaya bahwa Sydney benar-benar berbicara. Pelukan Morgan mengerat. Tubuhnya nyaris gemetar menahan emosi. Setelah sekian lama menunggu dan berharap, akhirnya Morgan dapat mendengar suara indah Sydney secara langsung.
“Aku akan membawamu masuk,” ucap Morgan sambil membetulkan posisi gendongannya pada tubuh Sydney yang nyaris tidak sadarkan diri. Pria itu melangkah dengan tenang dan percaya diri saat menapaki anak tangga menuju pintu utama rumah. Ken mengikutinya dari belakang sambil menatap awas memindai sekeliling. Setiap anak buah Morgan yang mereka lewati langsung menundukkan kepala memberi salam. Tubuh-tubuh kekar bersenjata itu berdiri sigap di tiap sudut, tetapi tunduk penuh hormat pada Morgan. Morgan membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Interiornya mewah dengan nuansa gelap dan maskulin. Lampu gantung bergaya industrial menjuntai dari langit-langit tinggi, menyorot jalur yang dia lewati. Morgan terus berjalan sampai berhenti di depan sebuah pintu kayu gelap di lantai dua. Dibukanya pintu itu dengan bahu, lalu perlahan membaringkan Sydney ke atas ranjang berlapis linen abu-abu halus. “Kamu harus diobati dulu. Oke?
“Kami sudah bebas!” Vienna menatap seluruh ruangan dengan rahang mengeras dan tangan mengepal di atas meja rapat. Beberapa orang saling melirik dan berbisik-bisik. Namun Sydney hanya memutar bola matanya dan mengembuskan napas pendek, jelas merasa jengah. “Pak Dean bilang memiliki catatan kriminal, bukan seorang narapidana,” ucap Sydney membenarkan. “Kami semua tahu kalian sudah bebas dan dinyatakan tidak bersalah, Vienna. Jangan terlalu defensif, kita sedang bicara soal perusahaan, bukan memainkan sebuah drama keluarga.” Beberapa eksekutif tertawa kecil menahan geli, meskipun cepat-cepat menunduk agar tidak terlihat tidak sopan. Lalu Sydney menoleh ke arah pemimpin rapat. Wajahnya kembali serius. “Tolong, kondisikan, dan jangan mengulur waktu terlalu lama. Kita harus menghargai waktu Bapak dan Ibu di ruangan ini,” pinta Sydney dengan tegas. Vienna mendesis pelan, tetapi sebelum dia bisa membal
“Vienna, aku bersama Morgan. Kenapa aku harus merayu Lucas?” tanya Sydney tenang sambil menghela napas. “Aku hanya membersihkan noda di jas suamimu. Kau sedang sakit, jadi aku bisa maklum kalau Lucas agak tidak terurus.”Sydney bicara dengan santai, tetapi ucapannya sarat dengan sindiran yang menusuk tajam.Vienna menggertakkan rahang. Sorot mata wanita hamil itu menyala seperti ingin menerkam.“Hati-hati bicaranya, Sydney. Kandungan Vienna sedang lemah.” Lucas langsung melangkah maju untuk melerai.“Oh?” Vienna memutar badan menghadap Lucas sambil menatapnya tajam dan tanpa ampun. “Jangan pura-pura peduli padaku!”Lucas tampak kaget, tetapi dia tidak menjawab. Masalah akan lebih panjang jika saat ini dia bicara. Memang benar, bayi dalam kandungan Vienna melemahkannya.Lalu, Vienna kembali menatap Sydney dengan tatapan menantang.“Lalu mengapa kalian bisa pergi ke sini bersama?” tanyanya sambil mengangkat dagu.
“Aku ingin mengambil hati Lucas.” Kalimat itu terus berputar dalam kepala Sydney saat mobil melaju di parkiran basement Zahlee Entertainment. Kalimat yang dulu Sydney bisikkan ke telinga Morgan dengan penuh amarah, luka, dan tekad. Bukan karena Sydney masih mencintai Lucas, perasaannya pada pria itu sudah mati. Sudah dikubur bersama peti kecil putih bertuliskan nama Isaac Ryder hampir dua tahun lalu. Yang tersisa di hati Sydney untuk Lucas kini hanya dendam. ‘Kalau aku bisa membuat Vienna merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu,’ batin Sydney, ‘mungkin luka ini sedikit sembuh.’ Mendapat pengkhianatan saat berjuang mengobati anak yang sakit, apalagi Vienna juga mengompori Lucas untuk membenci Isaac. Sydney melirik ke arah Lucas yang tengah menempelkan kartu parkir ke mesin otomatis. Suara bip terdengar. Lalu palang parkir pun terangkat. ‘Seand
“Apa yang kau katakan, Jalang?” bentak Lucas lantang dengan napas memburu. Sydney menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. ‘Sial! Aku mual!’ batin Sydney. Bahkan udara di kamar ini terasa menyesakkan. Sydney kembali mengangkat wajah dan mengukir senyum. Bersikap seolah umpatan Lucas bukanlah apa-apa, padahal hati Sydney sedang meraung-raung karena pria itu mengatainya jalang berulang kali. “Ah, maaf!” jawab Sydney pura-pura merasa bersalah. “Karena melihat kamar ini dan sadar bahwa tidak banyak yang berubah, aku jadi mengenang masa lalu.” Lucas menyipitkan mata dan menatap Sydney dengan curiga seakan wanita itu sedang melakukan hal yang tidak masuk akal di depan wajahnya. Sydney mengangkat bahu pelan sambil tetap tersenyum. “Apalagi aku juga baru melihat kamar Isaac,” lanjut Sydney setelah menghela napas. “Aku pasti sudah gila karena mendadak merinduk
Mata wanita itu melebar saat melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka, entah karena dorongan angin atau Lucas yang lupa menutupnya rapat. Sydney tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Tanpa pikir panjang, wanita itu melesat ke arah pintu dengan langkah cepat. Rasa sakit di bahu dan sikunya tidak lagi Sydney rasakan, tertutup oleh adrenalin yang membanjiri seluruh tubuh wanita itu. “Berhenti, Sydney!” teriak Lucas dari belakang. Sydney tidak menoleh. Napas wanita itu memburu dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dia mengintai pintu utama. Namun langkah Sydney mendadak terhenti. Ben tiba-tiba muncul dari arah tujuan Sydney. Pria itu menatap Sydney dengan tajam. “Oh, sial!” maki Sydney. Sydney menoleh ke belakang. Lucas semakin dekat. Pria itu berlari cepat seperti banteng lepas kendali. Spontan, Sydney berbelok ke kiri dan menabrak pintu pertama yang bisa dia raih. Dia hanya bisa mempercayai instingnya untuk melindungi diri. Jika tetap berada di sana, satu
“Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Lucas.” Pelayan itu menjawab dengan suara bergetar. “Sialan! Panggil pria brengsek itu ke sini sekarang juga!” Sydney menggedor keras pintu kayu itu dengan kedua tangannya. Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki pelayan itu terdengar menjauh, membiarkan Sydney sendirian dengan amarah yang sudah mendidih. “Sial! Pantas saja Ben bersikap aneh dari tadi!” teriak Sydney seraya menghantam pintu sekali lagi, kali ini dengan bahunya. Satpam itu bersikap seolah tidak menerima dirinya, tetapi tetap membukakan gerbang. Gelagatnya pun mencurigakan. Sydney mengatupkan rahang, menahan gejolak yang terus naik hingga ke ubun-ubun. Napas wanita itu memburu. Dia memejamkan mata sebentar, berusaha mengatur napas sambil menyapu pandangan ke sekeliling kamar Isaac. Lucas sengaja menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan Isaac untuk memerangkap
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya me
Sydney menoleh dan tersenyum tipis, lalu menjawab, “Siang ini aku harus bertemu dengan calon asisten pribadiku. Kalau memang cocok, dia bisa langsung menyiapkan keperluan untuk rapat besok.” Morgan menghela napas, tidak puas dengan jawaban itu. Namun sebelum dia sempat menimpali, Sydney menambahkan dengan sedikit cemas, “Dan si kembar ... mereka butuh ASI-ku. Stoknya menipis.” Kata-kata itu membuat dada Morgan mencelos. Dia tahu, tidak ada yang lebih penting bagi Sydney saat ini selain anak-anak mereka. “Hati-hati dan jangan terlalu lelah. Aku akan minta beberapa orang untuk menjagamu.” Morgan mengusap pipi istrinya dengan punggung tangan. Sydney hanya mengangguk dengan tetap menatap wajah suaminya. Lalu, Morgan sedikit membungkuk dan merapatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku sudah menyiapkan gelang kaki baru di ruang kerjamu. Gunakan itu. Di dalamnya ada GPS yang lebih bagus d