“Kau terlalu berlebihan dengan menyebut aku pergi sendirian, padahal satu langkah saja aku keluar gerbang mansion, ada satu pengawal di dekatku dan entah berapa yang bersembunyi,” desah Sydney sambil melipat kedua tangannya.
Morgan tersenyum miring. Dia tidak berusaha membantah sedikit pun. Setelah Sydney diculik oleh Edgar, Morgan memasang pengawasan ketat, bahkan tidak ragu menambah pasukan khusus untuk menjaga gerbang Ravenfell dan mengawal keluarganya. Morgan tidak ingin mengulang tragedi itu. Cukup sekali. Sydney yang tahu Morgan tidak akan berubah pikiran, hanya menggeleng kecil sebelum berbalik dan berjalan ke arah kamar si kembar. “Tapi hari ini kau bisa ke rumah sakit, bukan?” tanya Sydney tanpa menoleh. “Ini jadwal kontrol rutin kita.” Langkah Morgan langsung menyamai langkah wanita itu. “Ya,” jawab pria itu santai, “aku baru akan berangkat nanti sore.” BMorgan tiba-tiba menghentikan langkah. Bruk! Sydney spontan menabrak punggung pria itu. “Aww, Morgan!” pekik Sydney pelan sambil memegangi dahinya. Tubuh wanita itu terpental setengah langkah ke belakang. Morgan langsung memutar tubuh. Pria itu mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Sydney. “Aku tidak akan pernah puas denganmu, Darling,” sahut Morgan sambil tersenyum miring. Sydney mengerjapkan mata. Pipinya merona, tetapi sesaat kemudian dia menepuk pelan dada Morgan agar menjauh. “Tolong beri aku ruang bernapas,” pinta Sydney sambil mengusap dahinya yang masih berdenyut. Morgan tidak menjauh sepenuhnya. Dia hanya mundur selangkah, tetapi pandangan matanya tetap melekat di wajah sang istri. “Kau sangat menginginkan anak dariku?” tanya Sydney lebih lembut. “Kau sampai marah karena tidak bisa bersamaku malam ini?” Morgan mengangkat tangan, lalu menangkup rahang Sydney. “Ya,” jawab Morgan tegas. “Aku sangat ingin memiliki keturunan darimu. Kita
“Tempat ini hangat sekali.” Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Sydney saat mereka memasuki kamar kecil yang disediakan di salah satu sudut pelabuhan. Morgan tidak langsung menanggapi. Pria itu meletakkan ponsel di meja kayu mungil yang ada di sisi ranjang, lalu membuka jendela. Angin laut menyergap masuk bersama suara ombak yang bergulung-gulung. Sydney melangkah pelan menghampiri jendela itu, lalu berdiri di samping Morgan. “Aku suka suaranya,” bisik Sydney. “Menenangkan.” Morgan menoleh dan menatap wajah istrinya yang diterangi remang lampu gantung di atas mereka. Dia tersenyum miring dan melihat Sydney dengan penuh hasrat. Tanpa basa-basi, Morgan mulai melepaskan sabuk celananya. Bunyi logam kecil terdengar jelas di antara debur ombak. “Kau siap?” tanya Morgan pelan. “Aku akan menanamkan benihku di rahimmu.” Sydney membelalakkan mata. Wajah wani
Sydney menoleh dan tersenyum tipis, lalu menjawab, “Siang ini aku harus bertemu dengan calon asisten pribadiku. Kalau memang cocok, dia bisa langsung menyiapkan keperluan untuk rapat besok.” Morgan menghela napas, tidak puas dengan jawaban itu. Namun sebelum dia sempat menimpali, Sydney menambahkan dengan sedikit cemas, “Dan si kembar ... mereka butuh ASI-ku. Stoknya menipis.” Kata-kata itu membuat dada Morgan mencelos. Dia tahu, tidak ada yang lebih penting bagi Sydney saat ini selain anak-anak mereka. “Hati-hati dan jangan terlalu lelah. Aku akan minta beberapa orang untuk menjagamu.” Morgan mengusap pipi istrinya dengan punggung tangan. Sydney hanya mengangguk dengan tetap menatap wajah suaminya. Lalu, Morgan sedikit membungkuk dan merapatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku sudah menyiapkan gelang kaki baru di ruang kerjamu. Gunakan itu. Di dalamnya ada GPS yang lebih bagus d
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya melambaikan
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
“Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Lucas.” Pelayan itu menjawab dengan suara bergetar. “Sialan! Panggil pria brengsek itu ke sini sekarang juga!” Sydney menggedor keras pintu kayu itu dengan kedua tangannya. Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki pelayan itu terdengar menjauh, membiarkan Sydney sendirian dengan amarah yang sudah mendidih. “Sial! Pantas saja Ben bersikap aneh dari tadi!” teriak Sydney seraya menghantam pintu sekali lagi, kali ini dengan bahunya. Satpam itu bersikap seolah tidak menerima dirinya, tetapi tetap membukakan gerbang. Gelagatnya pun mencurigakan. Sydney mengatupkan rahang, menahan gejolak yang terus naik hingga ke ubun-ubun. Napas wanita itu memburu. Dia memejamkan mata sebentar, berusaha mengatur napas sambil menyapu pandangan ke sekeliling kamar Isaac. Lucas sengaja menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan Isaac untuk memerangkap
Di hari ulang tahun putranya, bukan pesta atau kado yang Sydney siapkan, melainkan peti mati dan doa perpisahan.Isaac, putra Sydney yang seharusnya meniup lilin pertamanya, kini hanya nama di batu nisan setelah meninggal akibat penyakit imun yang dideritanya."Kudengar bocah itu bisa selamat kalau mendapatkan transplantasi sumsum. Dengan kekayaan keluarganya, kenapa operasi itu tidak dilakukan saja?" ujar salah satu kerabat yang menghadiri pemakaman. “Kamu tidak tahu? Kata dokter, satu-satunya yang bisa mendonorkan sumsum itu adalah sang ayah, tapi karena hubungan Sydney dan suaminya buruk, sampai anak itu mati, tidak ada transplantasi yang dilakukan.”“Astaga, malangnya. Karena ibu dan ayahnya yang tidak bertanggung jawab, jadi anak yang menjadi korban.”Sydney tersenyum pahit mendengar gosip kerabat di sekelilingnya.Orang-orang ini tidak tahu mengenai apa yang benar-benar terjadi, tapi dengan mudah memperbincangkan keluarganya.Seperti yang dikatakan, penyakit langka yang Isaac d
“Dokter! Pasien ruang 187 sudah sadar!”Seruan bersemangat itu menembus kesadaran Sydney yang masih samar. Dia membuka matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang menusuk mata.“Telepon keluarganya! Kabarkan Nona Sydney akhirnya terbangun.”Setelah dokter dan suster menjalankan pemeriksaan terhadap dirinya, pintu bangsal Sydney terbuka.“Sydney!”Sydney menoleh, mengira yang tiba adalah orang tua atau suaminya, tapi … dia harus berakhir kecewa karena yang dia lihat malah bibi dan pamannya, Ghina dan Fred. Ghina memeluk Sydney erat. “Syukurlah kau sudah bangun, Nak,” suara Ghina terdengar lega. Namun, dalam hitungan detik, nada suaranya berubah menjadi isakan tertahan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu berniat bunuh diri seperti itu?!”Sydney mengerutkan kening, rasa pening menyelimuti kepalanya seiring kebingungan menyelimutinya.Bunuh diri? Apa maksud bibinya? Walau kepalanya sempat terbentur, tapi Sydney ingat ada yang telah mendorongnya! Sydney mendudukkan diri perlahan
“Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Lucas.” Pelayan itu menjawab dengan suara bergetar. “Sialan! Panggil pria brengsek itu ke sini sekarang juga!” Sydney menggedor keras pintu kayu itu dengan kedua tangannya. Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki pelayan itu terdengar menjauh, membiarkan Sydney sendirian dengan amarah yang sudah mendidih. “Sial! Pantas saja Ben bersikap aneh dari tadi!” teriak Sydney seraya menghantam pintu sekali lagi, kali ini dengan bahunya. Satpam itu bersikap seolah tidak menerima dirinya, tetapi tetap membukakan gerbang. Gelagatnya pun mencurigakan. Sydney mengatupkan rahang, menahan gejolak yang terus naik hingga ke ubun-ubun. Napas wanita itu memburu. Dia memejamkan mata sebentar, berusaha mengatur napas sambil menyapu pandangan ke sekeliling kamar Isaac. Lucas sengaja menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan Isaac untuk memerangkap
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya melambaikan
Sydney menoleh dan tersenyum tipis, lalu menjawab, “Siang ini aku harus bertemu dengan calon asisten pribadiku. Kalau memang cocok, dia bisa langsung menyiapkan keperluan untuk rapat besok.” Morgan menghela napas, tidak puas dengan jawaban itu. Namun sebelum dia sempat menimpali, Sydney menambahkan dengan sedikit cemas, “Dan si kembar ... mereka butuh ASI-ku. Stoknya menipis.” Kata-kata itu membuat dada Morgan mencelos. Dia tahu, tidak ada yang lebih penting bagi Sydney saat ini selain anak-anak mereka. “Hati-hati dan jangan terlalu lelah. Aku akan minta beberapa orang untuk menjagamu.” Morgan mengusap pipi istrinya dengan punggung tangan. Sydney hanya mengangguk dengan tetap menatap wajah suaminya. Lalu, Morgan sedikit membungkuk dan merapatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku sudah menyiapkan gelang kaki baru di ruang kerjamu. Gunakan itu. Di dalamnya ada GPS yang lebih bagus d
“Tempat ini hangat sekali.” Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Sydney saat mereka memasuki kamar kecil yang disediakan di salah satu sudut pelabuhan. Morgan tidak langsung menanggapi. Pria itu meletakkan ponsel di meja kayu mungil yang ada di sisi ranjang, lalu membuka jendela. Angin laut menyergap masuk bersama suara ombak yang bergulung-gulung. Sydney melangkah pelan menghampiri jendela itu, lalu berdiri di samping Morgan. “Aku suka suaranya,” bisik Sydney. “Menenangkan.” Morgan menoleh dan menatap wajah istrinya yang diterangi remang lampu gantung di atas mereka. Dia tersenyum miring dan melihat Sydney dengan penuh hasrat. Tanpa basa-basi, Morgan mulai melepaskan sabuk celananya. Bunyi logam kecil terdengar jelas di antara debur ombak. “Kau siap?” tanya Morgan pelan. “Aku akan menanamkan benihku di rahimmu.” Sydney membelalakkan mata. Wajah wani
Morgan tiba-tiba menghentikan langkah. Bruk! Sydney spontan menabrak punggung pria itu. “Aww, Morgan!” pekik Sydney pelan sambil memegangi dahinya. Tubuh wanita itu terpental setengah langkah ke belakang. Morgan langsung memutar tubuh. Pria itu mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Sydney. “Aku tidak akan pernah puas denganmu, Darling,” sahut Morgan sambil tersenyum miring. Sydney mengerjapkan mata. Pipinya merona, tetapi sesaat kemudian dia menepuk pelan dada Morgan agar menjauh. “Tolong beri aku ruang bernapas,” pinta Sydney sambil mengusap dahinya yang masih berdenyut. Morgan tidak menjauh sepenuhnya. Dia hanya mundur selangkah, tetapi pandangan matanya tetap melekat di wajah sang istri. “Kau sangat menginginkan anak dariku?” tanya Sydney lebih lembut. “Kau sampai marah karena tidak bisa bersamaku malam ini?” Morgan mengangkat tangan, lalu menangkup rahang Sydney. “Ya,” jawab Morgan tegas. “Aku sangat ingin memiliki keturunan darimu. Kita
“Kau terlalu berlebihan dengan menyebut aku pergi sendirian, padahal satu langkah saja aku keluar gerbang mansion, ada satu pengawal di dekatku dan entah berapa yang bersembunyi,” desah Sydney sambil melipat kedua tangannya. Morgan tersenyum miring. Dia tidak berusaha membantah sedikit pun. Setelah Sydney diculik oleh Edgar, Morgan memasang pengawasan ketat, bahkan tidak ragu menambah pasukan khusus untuk menjaga gerbang Ravenfell dan mengawal keluarganya. Morgan tidak ingin mengulang tragedi itu. Cukup sekali. Sydney yang tahu Morgan tidak akan berubah pikiran, hanya menggeleng kecil sebelum berbalik dan berjalan ke arah kamar si kembar. “Tapi hari ini kau bisa ke rumah sakit, bukan?” tanya Sydney tanpa menoleh. “Ini jadwal kontrol rutin kita.” Langkah Morgan langsung menyamai langkah wanita itu. “Ya,” jawab pria itu santai, “aku baru akan berangkat nanti sore.” B
“Aku tidak akan melupakan itu seumur hidupku.” Tawa Sydney meledak, walau masih tergolong pelan. “Kau terlihat seperti transformer rusak.” Morgan yang duduk di dekat ranjang hanya bisa mendecak sambil melipat tangan di depan dada. “Pelankan suaramu sebelum kau membangunkan diriku yang lebih gelap, Darling,” tukas Morgan, mata pria itu menggelap sungguhan. Bukan hanya memelankan suaranya, Sydney bahkan segera menutup mulut sambil menahan senyum. Sydney perlahan bangkit dari ranjang setelah memastikan si kembar benar-benar terlelap. Lalu, Sydney menarik tangan Morgan dengan lembut. “Ayo berdiri. Aku punya ide,” ucap Sydney dengan mata berbinar. Morgan menaikkan alis, tetapi tetap mengikuti ajakan itu. Tubuh tingginya berdiri tegak, kini pria itu menghadap langsung ke Sydney yang menatap dengan senyum geli. “Honey,” panggil Sydney sembari mendekatkan
“Ayo, kita main dulu sebelum tidur,” ajak Sydney sambil menggandeng tangan Jane dan Jade menuju kamar anak yang didekor penuh warna pastel dan mural hewan lucu. Morgan menyusul dari belakang sambil menghela napas seperti pria yang baru saja menerima takdir yang tidak bisa ditolak. Pria tegap dengan lengan berotot itu berdiri kikuk di atas playmate yang penuh gambar dinosaurus dan pelangi. “Apa yang akan kau lakulan, Darling?” tanya Morgan sambil melirik ke arah lingkaran kecil yang dibentuk oleh Sydney dan si kembar. “Aku pikir kita hanya akan bermain seperti biasa.” Si kembar melompat penuh antusias, tidak mendengarkan Morgan yang tengah protes. Bermain seperti biasa bagi Morgan artinya duduk di sofa, menonton si kembar menyusun balok, lalu membacakan buku bergambar saat mereka mulai menguap. Namun kali ini berbeda. “Kau harus ikut berdiri di sini, Honey,” tukas Sydney sambil me