Maaf, kesorean :)
Sesampainya di mansion, Sydney langsung menggantikan baju si kembar pertama dan menyuapi mereka makan siang.“Aduh, tanganmu basah semua, Jane. Jangan usap ke pipi Mami dulu, ya.”Sydney tertawa kecil sambil mengangkat kedua tangan mungil putrinya yang lengket oleh saus nugget.Sydney sedang menyuapi Jade dan Jane yang kini sudah berganti pakaian rumah santai.Mereka duduk manis di kursi makan khusus anak-anak dan menatap Sydney penuh kagum.“Mami, aku bisa suap sendili!” protes Jane sambil mencoba merebut sendok dari tangan Sydney.Namun protes Jane justru membuat Jade ikut menyahut, “Tapi kamu tumpah-tumpah telus. Bial Mami saja!”Sydney tersenyum dan mencium puncak kepala keduanya satu per satu.“Sekali ini saja, ya. Biar cepat selesai makannya. Mami masih harus ke kamar adik-adik kalian,” bujuk Sydney penuh kesabaran.Dan seperti biasa, kedua bocah itu mengangguk patuh meski dengan ekspresi tidak puas.Setelah menyeka tangan mereka dengan lap basah, Sydney mengantar keduanya ke ka
Beberapa saat kemudian."Ayo, kita duduk di sana," ajak Sydney pelan sambil menarik lengan Anna dan menunjuk dua kursi kosong di deretan kursi orang tua.Anna mengangguk tenang dan melangkah bersamanya.Mama Carlo baru saja bergegas ke arah toilet dengan langkah kaku dan pipi masih merah bekas tamparan.Suasana aula masih belum sepenuhnya cair.Ada yang pura-pura mengajak orang tua di sebelahnya bicara, ada yang mengusap layar ponsel padahal tidak membuka apa pun.Saat Sydney dan Anna duduk, bisikan langsung merayap ke udara seperti kabut tipis.“Sydney benar-benar kenal Anna Laurens?”“Pakaian itu buatan khusus? Astaga, pantes saja harganya ....”Namun sebelum suara-suara itu tumbuh menjadi gelombang gosip baru, Anna menoleh tajam ke barisan ibu-ibu yang tadinya lantang tertawa bersama Mama Carlo.“Fokuslah pada anak kalian,” tegur Anna dengan tajam sekaligus elegan. “Ini komunitas batita, acara ini diadakan untuk anak-anak. Jangan merebut momen mereka dengan membuat keributan!”Sala
“Apa bisa seorang wanita perusak rumah tangga orang mengaku sebagai orang tua?” Sydney menyeringai dingin. “Setelah kau mengambil suaminya, kau ambil juga anaknya? Apa Carlo tahu kalau kau bukan wanita yang melahirkannya?” Mendadak aula terasa begitu senyap sampai suara napas pun terasa berisik. Wanita di hadapan Sydney tampak terpaku, seperti tersambar petir. Wajahnya yang semula angkuh dan penuh ejekan, kini berubah pucat, lalu merah padam karena marah dan malu bercampur aduk. Tangan wanita itu mengepal kuat-kuat di sisi tubuh hingga jemarinya gemetar hebat. Kata-kata Sydney mengenai asal-usul Carlo bukan sekadar tuduhan kosong. Meski sibuk dengan pekerjaannya belakangan ini, Sydney telah meluangkan waktu untuk mempelajari semua latar belakang para orang tua dari calon teman-teman Jade dan Jane. Bukan karena Sydney curiga, tetapi karena dia ingin memastikan bahwa anak-anaknya dikelilingi oleh lingkungan yang sehat dan aman. Sydney bukan tipe yang suka menyebarkan rahasia kel
“Jangan lari-lari, Sayang. Nanti jatuh,” ujar Sydney lembut sambil membuka pintu mobil.Jade dan Jane langsung menghambur turun, sepatu kecil mereka menjejak lantai trotoar aula komunitas dengan suara berisik.Hari itu, mereka tidak ditemani pengasuh.Bukan karena tidak ada yang bisa mengantar, tetapi karena Sydney memutuskan untuk turun langsung.Pihak komunitas juga hanya memperbolehkan orang tua yang menemani anak-anak di hari pertama perkenalan.Dan Sydney ingin si kembar pertama belajar lepas dari ketergantungan terhadap Celia dan Miran.“Mami, apa di sini ada teman Papi?” tanya Jade sambil mengedarkan pandang ke sekeliling gedung aula.Sydney terkekeh.Sejak beberapa minggu terakhir, Jade selalu tertarik dengan teman papinya.Entah siapa pun pria dewasa yang mengenakan kemeja rapi dan bicara dengan nada serius, Jade akan langsung berkata, “Sepelti Papi!”Sydney mengusap lembut rambut anak laki-lakinya itu. “Teman Papi tidak ada di sini, Sayang. Kau dan Jane akan punya teman send
“Operasi Ken berhasil,” kata salah satu dokter yang menangani langsung, beberapa jam setelahnya. “Kondisinya stabil, hanya butuh waktu beberapa jam sampai efek biusnya benar-benar hilang.”Kini, saat matahari belum juga menunjukkan batang hidungnya, rumah sakit terasa hening dan sepi.Lorong-lorongnya hanya diisi suara kaki para petugas dan mesin-mesin yang berdengung pelan.Catherine duduk di sofa panjang ruang tunggu sambil menggenggam segelas kopi yang kini sudah dingin.Mata wanita paruh baya itu tetap terjaga, tetapi raut wajahnya terlihat kelelahan.“Ken akan tetap dirawat di rumah sakit ini,” ucap Catherine tegas saat Andrew sempat mengusulkan pemindahan. “Aku tidak akan mempercayakan anakku pada siapa pun kecuali tim dokter yang menangani operasi ini.”Andrew tidak menjawab.Mata pria paruh baya itu menyipit, penuh gejolak yang sudah tidak ingin dia lanjutkan.“Aku pulang dulu,” ucap Andrew akhirnya sambil berdiri. “Aku tidak mau berdebat pagi buta begini.”Tanpa menunggu jawa
Morgan menemukan Andrew berdiri menghadap ke jalanan di depan lobi rumah sakit. “Anda seorang Dokter. Seharusnya Anda tahu, area ini juga masih kawasan bebas asap rokok.” Suara tenang dan dingin Morgan memotong keheningan malam yang baru saja Andrew rasakan. Andrew yang sedang membungkuk, berusaha menyalakan korek api di bawah terpaan angin malam, langsung terkesiap. Korek yang berkali-kali gagal menyala kini terasa seperti benda paling memalukan di tangannya. Andrew cepat-cepat menyimpan rokok dan korek ke saku celana, lalu berdeham pelan seolah hendak menutupi rasa kikuknya. Andrew memutar tubuh perlahan sambil menyipitkan mata curiga. “Untuk apa kau mengikuti saya?!” Morgan menatap pria paruh baya itu dengan senyum sinis. “Pasti Om Andrew sangat kesal karena Tante Catherine membuka masa lalu yang sangat ingin Om sembunyikan,” tukas Morgan menyindir dengan santai. Morgan sedikit memiringkan kepalanya. “Tapi bukankah itu sedikit membantu Om Andrew?” tanya Morgan melanjutkan.