"K-kau mau ikut, Sydney?" Fred tampak terkejut, suaranya sedikit bergetar saat melontarkan pertanyaan itu. Tatapannya sekilas melirik Ghina, seakan meminta bantuan. Sementara Ghina tengah menggenggam tas tangannya lebih erat, berharap bisa meluruhkan keresahannya dengan melakukan itu. Sydney tak menjawab. Dia hanya berdiri tegak, matanya menatap lekat keduanya. "Kami kira kau belum siap mengurus perusahaan," sambung Ghina cepat, berusaha mengendalikan situasi. "Kau masih sangat emosional. Sementara keputusan yang diambil saat emosi sedang mendominasi biasanya kurang baik." Sydney mengangkat salah satu alisnya. Ghina secara tidak langsung baru saja mengatakan bahwa mental Sydney sedang tidak stabil. Walaupun itu fakta, Sydney tidak suka mendengarnya. Ghina menarik napas, lalu menambahkan, "Kau tenang saja, Sayang. Dewan Direksi tahu kalau kau adalah ahli waris yang sah. Mereka bisa menunggu hingga kamu siap." Sydney masih diam, tetapi ekspresinya tak berubah. Ghina melirik Fre
“Dia sedang di dalam salon, melakukan perombakan total,” lapor Ronald, salah satu anak buah Morgan yang bertugas mengikuti Sydney dengan datar. “Potong rambut, perawatan kulit, manikur, pedikur.” Morgan duduk di kursi besar dalam ruang kerja, satu tangan memegang gelas kristal berisi whiskey, sementara tatapannya mengarah ke jendela besar yang memperlihatkan halaman depan mansion. “Sendirian?” tanya Morgan sambil mengangkat salah satu alis. “Ya, Tuan. Dia langsung masuk ke dalam tanpa banyak bicara. Hanya menunjukkan pesan di ponselnya untuk memberi instruksi kepada staf salon.” Morgan menghela napas pelan. “Lanjutkan,” perintah Morgan. Ada jeda singkat sebelum Ronald melanjutkan laporan. “Saya juga menemukan sesuatu yang aneh tentang Sydney Agency,” sahut Ronald di seberang telepon terdengar lebih hati-hati. “Aneh seperti apa?” tanya Morgan, mendengarkan lebih serius “Saya mendapatkan dokumen dari kantor notaris yang menyatakan bahwa perusahaan sedang dalam proses pergantia
“Temukan secepatnya! Kita tidak mungkin bergantung pada satu orang,” perintah Morgan tegas. “Hubungi dokter untuk berjaga-jaga!” Morgan menggeram, rahangnya mengeras menahan frustasi. Jade dan Jane masih menangis, suara mereka semakin serak. Layla menunduk, begitu juga para pelayan lainnya. Tidak ada yang berani menjawab kecuali pria-pria berbadan besar yang merupakan anak buah Morgan. “Baik, Tuan!” sahut mereka hampir serempak. Tanpa berkata apa-apa lagi, Morgan berbalik, keluar dari kamar si kembar, dan melangkah ke kamarnya sendiri. Begitu pintu tertutup, pandangannya langsung tertuju pada benda kusut di atas meja. Morgan menatap kertas lusuh itu dengan rahang mengeras. Jemarinya mengusap bagian yang sudah hampir robek, bekas diremas dan diluruskan berulang kali. Undangan pernikahan Vienna dan Lucas Morgan menatap tulisan itu, pikirannya melayang ke beberapa waktu lalu. Sydney sangat tertarik dengan undangan ini. Bahkan, terobsesi. “Kau pergi melihat isi komputerku dan ru
Beberapa menit sebelumnya …. “Apa Anda ingin mencoba warna lipstik lain, Nona?” Sydney menatap bayangan dirinya di cermin besar salon. Rambut panjang cokelatnya yang dulu kusam dan tidak terawat kini telah tertata rapi dengan model butterfly cut. Kukunya yang biasanya pendek dan polos kini telah dihias rapi dengan warna nude yang elegan. Kulit wajahnya tampak lebih sehat, lembap, dan bercahaya setelah perawatan intensif selama beberapa jam. Sydney menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan pegawai salon. “Baik, semuanya sudah selesai.” Pegawai itu tersenyum ramah. “Saya akan membantu Anda ke kasir.” Sydney berdiri, mengambil tas tangannya, lalu berjalan ke meja kasir. Beberapa wanita yang juga sedang melakukan perawatan di salon menoleh ke arahnya, terkejut melihat betapa cantiknya Sydney setelah transformasi ini. Setelah menyelesaikan pembayaran di Aurelia Beauty House, Sydney melangkah keluar. Udara sore yang sejuk menyambut wanita itu. Sydney berdiri di trot
Kesadaran Sydney perlahan kembali. Kelopak matanya terasa berat saat dia membuka mata untuk membiarkan cahaya redup menyelinap masuk. Sekilas, semuanya tampak kabur. Kepala Sydney masih berdenyut, dan tubuhnya terasa lemas. Namun, ada sesuatu yang lebih mengusik pikirannya dibanding rasa sakit itu. Seseorang ada di sana. Di sudut ruangan, duduk di kursi dekat tempat tidur. Morgan menatap Sydney dalam diam. Tatapan pria itu gelap dan tajam. Sydney langsung menegakkan tubuhnya. Pusing menghantam kepalanya seketika, tapi Sydney mengabaikannya. Pandangannya menyapu ruangan. ‘Ini … rumah orang tuaku,’ batin Sydney. Sydney menoleh ke arah nakas. Tidak ada apa-apa di sana selain lampu tidur dan segelas air putih. Dia mencari-cari sesuatu di sekitar tempat tidur, lalu di bawah bantal. Kosong. Morgan akhirnya bersuara. “Kau mencari apa?” Sydney mengangkat tangan, membentuk gerakan seperti sedang memegang telepon dan menempelkannya ke telinga. Morgan menatap Sydney sebentar sebelum ber
Sydney tersentak Wajahnya memanas, dan detik berikutnya, dia segera mendorong dada Morgan dengan sekuat tenaga. Pria itu mundur selangkah, nyaris tertawa ketika melihat ekspresi terguncang di wajah Sydney. Namun, sebelum Morgan sempat bersuara, Sydney sudah melompat turun dari meja, kemudian berlari ke kamar mandi tanpa menoleh. Morgan menggeleng kecil, sudut bibirnya masih melengkung. Sydney selalu berhasil menghiburnya, bahkan dalam situasi seperti ini. Pria itu menoleh ke arah pintu kamar mandi yang baru saja ditutup rapat. Suara gemericik air terdengar dari dalam, dan Morgan tetap bisa membayangkan seperti apa wajah merah padam Sydney saat ini. “Padahal saat menyusui Jade dan Jane, dia tidak menutupi bagian dadanya sama sekali walaupun ada aku.” Morgan berucap pelan, setengah berbicara pada dirinya sendiri. “Kau membuatku pusing, Sydney.” Tok! Tok! Tok! Senyum Morgan memudar ketika suara ketukan di pintu terdengar. Seketika kewaspadaan pria itu meningkat. Pintu kamar terbu
"Angkat saja, pakai pengeras suara. Aku akan merekamnya untuk berjaga-jaga," tukas Lucas tegang, tetapi dia mulai membuka ponselnya untuk merekam. Vienna menatap Lucas dengan rahang mengeras, kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. Dia menarik napas pendek dan tidak beraturan saat menatap ponsel berlumuran darah yang masih berdering di dalam kotak. Vienna menelan ludah. Jarinya bergetar saat menyentuh layar dan menekan tombol jawab. Seketika, suara pria di seberang telepon terdengar. Dalam, dingin, dan tanpa ekspresi. "Ini semua karena kamu, Vienna Zahlee.” “A-apa maksudnya?!” tanya Vienna dengan suara gemetar. “Kau tahu namaku?” “Dua pemilik ponsel ini bernasib tragis karena menerima pekerjaan darimu untuk menculik dan membunuh seseorang.” Pria di seberang telepon bicara lagi. Vienna membuka mulut, ingin membalas perkataan pria itu. Namun, dia kehilangan kata-katanya. “Ini peringatan pertama!” tukas pria itu dengan tegas. “Jika kau dan kedua orang tuamu masih mengganggunya, p
Sydney baru saja selesai berganti pakaian setelah memompa ASI ketika Morgan mengetuk pintu kamarnya. Wanita itu menoleh, lalu mengernyit heran saat pria itu bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terselip di saku celana. "Ayo makan," ajak Morgan dengan wajah datar. Sydney menatap Morgan sesaat sebelum menggeleng pelan. Dia meraih ponselnya di atas meja rias dan mulai mengetik. "Aku sedang tidak nafsu makan." Kepala Sydney masih terasa berat walaupun sudah lebih baik sejak beberapa menit lalu. Bayangan-bayangan mengerikan dan bisikan-bisikan sesat sedang merajai pikirannya. Morgan memperhatikan Sydney beberapa detik sebelum menghela napas. "Kau harus makan, Sydney. Atau setidaknya biarkan aku memasak sesuatu untukmu." Sydney mengangkat alis. Dia tidak menyangka Morgan bisa memasak. Di mansionnya, pria itu punya banyak pelayan yang mengerjakan seluruh keperluan Morgan. Melihat tatapan penasaran wanita itu, Morgan tersenyum tipis. "Tertarik?" Sydney berpikir sejenak, lal
“Kami sudah bebas!” Vienna menatap seluruh ruangan dengan rahang mengeras dan tangan mengepal di atas meja rapat. Beberapa orang saling melirik dan berbisik-bisik. Namun Sydney hanya memutar bola matanya dan mengembuskan napas pendek, jelas merasa jengah. “Pak Dean bilang memiliki catatan kriminal, bukan seorang narapidana,” ucap Sydney membenarkan. “Kami semua tahu kalian sudah bebas dan dinyatakan tidak bersalah, Vienna. Jangan terlalu defensif, kita sedang bicara soal perusahaan, bukan memainkan sebuah drama keluarga.” Beberapa eksekutif tertawa kecil menahan geli, meskipun cepat-cepat menunduk agar tidak terlihat tidak sopan. Lalu Sydney menoleh ke arah pemimpin rapat. Wajahnya kembali serius. “Tolong, kondisikan, dan jangan mengulur waktu terlalu lama. Kita harus menghargai waktu Bapak dan Ibu di ruangan ini,” pinta Sydney dengan tegas. Vienna mendesis pelan, tetapi sebelum dia bisa membal
“Vienna, aku bersama Morgan. Kenapa aku harus merayu Lucas?” tanya Sydney tenang sambil menghela napas. “Aku hanya membersihkan noda di jas suamimu. Kau sedang sakit, jadi aku bisa maklum kalau Lucas agak tidak terurus.”Sydney bicara dengan santai, tetapi ucapannya sarat dengan sindiran yang menusuk tajam.Vienna menggertakkan rahang. Sorot mata wanita hamil itu menyala seperti ingin menerkam.“Hati-hati bicaranya, Sydney. Kandungan Vienna sedang lemah.” Lucas langsung melangkah maju untuk melerai.“Oh?” Vienna memutar badan menghadap Lucas sambil menatapnya tajam dan tanpa ampun. “Jangan pura-pura peduli padaku!”Lucas tampak kaget, tetapi dia tidak menjawab. Masalah akan lebih panjang jika saat ini dia bicara. Memang benar, bayi dalam kandungan Vienna melemahkannya.Lalu, Vienna kembali menatap Sydney dengan tatapan menantang.“Lalu mengapa kalian bisa pergi ke sini bersama?” tanyanya sambil mengangkat dagu.
“Aku ingin mengambil hati Lucas.” Kalimat itu terus berputar dalam kepala Sydney saat mobil melaju di parkiran basement Zahlee Entertainment. Kalimat yang dulu Sydney bisikkan ke telinga Morgan dengan penuh amarah, luka, dan tekad. Bukan karena Sydney masih mencintai Lucas, perasaannya pada pria itu sudah mati. Sudah dikubur bersama peti kecil putih bertuliskan nama Isaac Ryder hampir dua tahun lalu. Yang tersisa di hati Sydney untuk Lucas kini hanya dendam. ‘Kalau aku bisa membuat Vienna merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu,’ batin Sydney, ‘mungkin luka ini sedikit sembuh.’ Mendapat pengkhianatan saat berjuang mengobati anak yang sakit, apalagi Vienna juga mengompori Lucas untuk membenci Isaac. Sydney melirik ke arah Lucas yang tengah menempelkan kartu parkir ke mesin otomatis. Suara bip terdengar. Lalu palang parkir pun terangkat. ‘Seand
“Apa yang kau katakan, Jalang?” bentak Lucas lantang dengan napas memburu. Sydney menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. ‘Sial! Aku mual!’ batin Sydney. Bahkan udara di kamar ini terasa menyesakkan. Sydney kembali mengangkat wajah dan mengukir senyum. Bersikap seolah umpatan Lucas bukanlah apa-apa, padahal hati Sydney sedang meraung-raung karena pria itu mengatainya jalang berulang kali. “Ah, maaf!” jawab Sydney pura-pura merasa bersalah. “Karena melihat kamar ini dan sadar bahwa tidak banyak yang berubah, aku jadi mengenang masa lalu.” Lucas menyipitkan mata dan menatap Sydney dengan curiga seakan wanita itu sedang melakukan hal yang tidak masuk akal di depan wajahnya. Sydney mengangkat bahu pelan sambil tetap tersenyum. “Apalagi aku juga baru melihat kamar Isaac,” lanjut Sydney setelah menghela napas. “Aku pasti sudah gila karena mendadak merinduk
Mata wanita itu melebar saat melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka, entah karena dorongan angin atau Lucas yang lupa menutupnya rapat. Sydney tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Tanpa pikir panjang, wanita itu melesat ke arah pintu dengan langkah cepat. Rasa sakit di bahu dan sikunya tidak lagi Sydney rasakan, tertutup oleh adrenalin yang membanjiri seluruh tubuh wanita itu. “Berhenti, Sydney!” teriak Lucas dari belakang. Sydney tidak menoleh. Napas wanita itu memburu dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dia mengintai pintu utama. Namun langkah Sydney mendadak terhenti. Ben tiba-tiba muncul dari arah tujuan Sydney. Pria itu menatap Sydney dengan tajam. “Oh, sial!” maki Sydney. Sydney menoleh ke belakang. Lucas semakin dekat. Pria itu berlari cepat seperti banteng lepas kendali. Spontan, Sydney berbelok ke kiri dan menabrak pintu pertama yang bisa dia raih. Dia hanya bisa mempercayai instingnya untuk melindungi diri. Jika tetap berada di sana, satu
“Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Lucas.” Pelayan itu menjawab dengan suara bergetar. “Sialan! Panggil pria brengsek itu ke sini sekarang juga!” Sydney menggedor keras pintu kayu itu dengan kedua tangannya. Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki pelayan itu terdengar menjauh, membiarkan Sydney sendirian dengan amarah yang sudah mendidih. “Sial! Pantas saja Ben bersikap aneh dari tadi!” teriak Sydney seraya menghantam pintu sekali lagi, kali ini dengan bahunya. Satpam itu bersikap seolah tidak menerima dirinya, tetapi tetap membukakan gerbang. Gelagatnya pun mencurigakan. Sydney mengatupkan rahang, menahan gejolak yang terus naik hingga ke ubun-ubun. Napas wanita itu memburu. Dia memejamkan mata sebentar, berusaha mengatur napas sambil menyapu pandangan ke sekeliling kamar Isaac. Lucas sengaja menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan Isaac untuk memerangkap
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya me
Sydney menoleh dan tersenyum tipis, lalu menjawab, “Siang ini aku harus bertemu dengan calon asisten pribadiku. Kalau memang cocok, dia bisa langsung menyiapkan keperluan untuk rapat besok.” Morgan menghela napas, tidak puas dengan jawaban itu. Namun sebelum dia sempat menimpali, Sydney menambahkan dengan sedikit cemas, “Dan si kembar ... mereka butuh ASI-ku. Stoknya menipis.” Kata-kata itu membuat dada Morgan mencelos. Dia tahu, tidak ada yang lebih penting bagi Sydney saat ini selain anak-anak mereka. “Hati-hati dan jangan terlalu lelah. Aku akan minta beberapa orang untuk menjagamu.” Morgan mengusap pipi istrinya dengan punggung tangan. Sydney hanya mengangguk dengan tetap menatap wajah suaminya. Lalu, Morgan sedikit membungkuk dan merapatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku sudah menyiapkan gelang kaki baru di ruang kerjamu. Gunakan itu. Di dalamnya ada GPS yang lebih bagus d