"Bagus kau menyadarinya." Sydney mengangguk-angguk sambil menatap Zya dalam-dalam. “Aku tidak perlu menasihatimu lebih jauh, bukan? Kau adalah wanita dewasa dan aku bukan orang tuamu.” Zya membalas dengan anggukan mantap. “Saya mengerti, Nyonya.” Setelah perbincangan singkat itu, Sydney melangkah meninggalkan Zya. Wanita itu melangkah cepat dan mantap, membelah kerumunan dengan wibawa yang tidak bisa diabaikan. Sorotan lampu di ballroom mengikuti gerakan Sydney, membuat gaun putih lembutnya berkilauan bagai pantulan cahaya bulan. Ken yang tengah menyesap wiski di dekat salah satu meja VIP langsung menoleh saat menyadari kehadiran Sydney yang mendekat. Tatapan pria itu terpaku, tidak bisa menyembunyikan kekaguman. “Kau menakjubkan malam ini, Sydney,” puji Ken tulus. Sydney hanya tersenyum tipis. Tatapan wanita itu lurus dan tajam menatap Ken, tetapi tetap terasa hangat. Alih-alih membalas pujian itu, Sydney langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ken nyaris tersedak. “Ka
Di ballroom Hotel Highvale."Jade sudah tidur?" tanya Sydney setengah berbisik sambil menoleh pada Morgan yang tengah berdiri sambil menggendong Jade.Morgan mengangguk, tersenyum tipis. "Baru 10 menit di sini, dia langsung terlelap."Kepala Jade bersandar di bahu Morgan, sementara tangan mungilnya menggenggam jas hitam mewah sang ayah.Napas bocah itu teratur dan matanya tertutup rapat.Padahal saat masih di luar, Jade tampak sangat percaya diri bahwa dia tidak akan mengantuk.Sydney mendekat dan mencoba mengangkat Jade dari gendongan Morgan agar sang suami bisa lebih leluasa mengobrol dengan para tamu.Namun begitu tangan Sydney menyentuh punggung Jade, bocah itu bergumam tidak jelas sambil memeluk Morgan lebih erat.“Tidak, Mami … Jade mau sama Papi .…”Sydney tersenyum pasrah. Dan Morgan terkekeh.“Tidak apa-apa, Darling. Aku sama sekali tidak terganggu,” ucap Morgan dengan santai sambil me
Morgan menurunkan ponselnya perlahan dan menutup sambungan dengan satu sentuhan tegas. Wajah Morgan tetap menghadap ke depan, tetapi mata pria itu mulai berubah tajam, seolah menahan badai dalam dadanya. Lalu, Morgan menoleh sepenuhnya ke arah Sydney. “Kau serius akan menampungnya?” tanya Morgan menggeram. Sydney tidak langsung menjawab. “Dia bukan wanita lemah yang layak dikasihani, Sydney.” Morgan mulai meninggikan nada. “Apa kau lupa dengan kejahatannya padamu? Dia diam saja saat anaknya mencelakaimu, menindasmu, bahkan berselingkuh dengan mantan suamimu!” Sydney tetap diam. Wanita itu memutus tatapan mereka dengan memalingkan wajah sejenak, tetapi telinganya mendengar jelas setiap patah kata Morgan. Morgan masih melanjutkan, emosinya belum reda. “Dia mengambil alih perusahaan keluargamu dengan cara yang curang dan licik. Dia—” Sydney menoleh cepat dan menggenggam tangan Morgan. “Honey,” potong Sydney lembut sekaligus tegas. “Aku tidak akan lupa itu.” Pandangan mereka be
“Apa benar kami sedang bicara dengan Nona Sydney Zahlee?”Sydney memicingkan mata.Nada suara wanita di seberang terasa terlalu tenang untuk menyampaikan sesuatu yang terdengar mengganggu.Morgan menggenggam tangan istrinya lebih erat.“Dia sudah menikah denganku,” ucap Morgan posesif dan penuh penekanan. “Sekarang namanya adalah Sydney Draxus.”Senyap beberapa detik.Lalu, terdengar suara wanita itu lagi, lebih gugup dari sebelumnya. “M-maaf, data yang saya terima masih atas nama Nona Sydney Zahlee. Bisa saya bicara lagi dengan Nyonya Sydney?”Sydney menegakkan bahu. Sorot matanya berubah dingin.“Bicaralah,” ujar Sydney tegas.Ada jeda napas di seberang, sebelum wanita itu bertanya dengan kalimat yang menghantam seperti petir.“Nyonya Sydney, apa Anda mengenal Ibu Ghina Zahlee?” tanyanya.Segalanya terasa berhenti.Suara mesin mobil mendadak hilang dalam kepala Sydney.
Sydney menatap pantulan dirinya sendiri di cermin besar ruang kerja.Gaun putih berkilau itu memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna.Potongan bahu terbuka memberi kesan anggun dan kuat sekaligus, sementara ekor gaunnya menjuntai panjang dengan renda-renda halus berwarna perak yang menyala lembut di bawah cahaya lampu.Di sampingnya, Celia menyempurnakan sanggul yang tersemat anggun di tengkuk.“Saya menyanggul rambut Nyonya seperti ini supaya Nyonya bebas bergerak,” ucap Celia sambil tersenyum ceria.“Dan tiara kecil ini,” timpal Miran sambil memasang hiasan perak di sisi sanggul, “supaya orang-orang tahu siapa ratu sebenarnya malam ini.”Sydney tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat perhatian dua pengasuh anaknya yang serba bisa itu.“Terima kasih. Kalian juga bersiaplah. Setengah jam lagi kita berangkat,” ucap Sydney sambil membetulkan anting panjangnya.“Baik, Nyonya,” jawab Celia dan Miran hampir bersamaan,
Malam sebelum acara Habuna is Safe. Sydney menyelipkan tubuhnya ke balik selimut, lalu memeluk pinggang Morgan dari belakang. Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul satu lewat dua belas. Malam sudah nyaris larut pekat. Wanita itu baru saja selesai bekerja dan menyusui si kembar kedua sebelum naik ke ranjang. Menyeka sedikit muntahan susu dari sudut bibir bayi-bayinya, menyelimutkan tubuh mungil mereka, dan mengelus kepala keempat anaknya satu per satu. Morgan bergeming sebentar sebelum mengerjapkan mata setengah sadar. Napas pria itu masih berat karena tidur yang belum pulas. “Kau sudah selesai? Aku tadi tidur duluan,” tanya Morgan pelan sambil menarik tangan Sydney agar lebih erat melingkari dadanya. Sydney tersenyum kecil. “Tidak apa-apa,” ucap Sydney sambil mengusap dada Morgan dengan lembut. “Kau juga butuh istirahat.” Morgan memang tidak kalah sibuk darinya. Sejak nama Poseidon Export tercetak jelas di bagian atas undangan, ponsel Morgan tidak pernah berhenti ber