Terima kasih yang masih setia membaca cerita Sydney-Morgan. Semoga terhibur dan selamat membaca kembali :)
“Anak-anak di Negara Habuna tidak hanya kehilangan tempat tinggal, Sydney,” ucap Nirina bergetar, mengulang penjelasan yang pernah dia ucapkan dengan semangat di awal perencanaan. “Mereka bahkan kehilangan identitas. Orang tua mereka entah meninggal, menghilang, atau … mereka diadopsi secara ilegal oleh warga negara asing yang tidak pernah tercatat.” Kalimat itu terus menggema di kepala Sydney. Dulu, saat pertama kali Nirina mengajaknya bekerja sama dalam kegiatan amal bertajuk Habuna is Safe, Sydney langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Naluri keibuannya tersentuh. Terbayang oleh Sydney, wajah-wajah anak yang menangis tanpa tahu ke mana mereka harus kembali. Bagi Sydney, cukup Morgan saja yang hidupnya pernah hancur karena dipisahkan dari orang tuanya sejak bayi. Sydney tidak sanggup membayangkan ada anak-anak lain mengalami luka batin yang sama. Namun sekarang, semua jalan menuju pelaksanaan acara itu terasa buntu. Dana belum terkumpul, konfirmasi tamu rendah, dan opin
“Memenjarakan Bibi Debby?” ulang Sydney dengan alis berkerut sambil menatap suaminya dengan penuh tanya. Morgan mengangguk santai, bahkan dengan binar bahagia di mata elangnya. “Begitu Bibi masuk ke rumah itu, dia tidak akan pernah bisa keluar lagi, Darling,” ucap Morgan dengan santai seolah sedang menceritakan rencana liburan. “Ada penjagaan ketat 24 jam. Rumahnya memang besar, tapi tidak ada pelayan, tidak ada supir, dan tidak ada akses keluar tanpa izin dariku. Itu sama saja seperti penjara berlapis kemewahan.” Morgan sudah memikirkan semuanya, wanita serakah seperti Debby memang lebih baik terpenjara dalam kemewahan yang menyesakkan. Sydney menahan napas dan melipat bibirnya sejenak. Wanita itu tahu Morgan bukan tipe yang membiarkan orang-orang seperti Debby berkeliaran seenaknya. Namun tetap saja, mendengar pria itu menyebut penjara dengan suara semanis madu, membuat nalar dan emosi bercampur aduk dalam pikiran Sydney. “Apa itu cara kau mengendalikan Bibi Debby supaya tida
“Aku beri waktu lima detik, Bibi,” desak Morgan. “Rumah seharga tiga miliar. Cepat putuskan, sebelum aku berubah pikiran.” Mata Debby yang tadinya basah oleh air mata, mendadak berbinar. Kilatan harap muncul di sana seperti api kecil yang tersulut bara. Rumah di pusat kota berharga tiga miliar! Bahkan dalam mimpi pun Debby tidak pernah menyentuh angka sebesar itu. Namun, kesadaran Debby cepat kembali begitu melihat dirinya masih dikelilingi para pelayat dari Keluarga Phell. Debby buru-buru mengganti binar matanya dengan sorot sendu. Wanita paruh baya itu menatap Morgan lagi, kali ini dengan wajah penuh duka, seolah sedang mempertimbangkan keputusan paling berat dalam hidupnya. Sydney melirik Morgan. Mata elang pria itu fokus pada Debby, tidak bergerak sedetik pun. Sydney mengerutkan kening pelan. Sydney tidak mengerti mengapa Morgan rela mengeluarkan uang sebanyak itu hanya demi wanita paruh baya yang selama ini menyusahkan mereka. Namun, Sydney tidak mengucapkan apa pun.
Sydney terperangah. ‘Ternyata mereka memang mau cari ribut saja di sini,’ batin Sydney merasa geli sekaligus ngeri. Belum habis rasa tidak nyaman karena ucapan Ken, kini para pelayat juga terkesiap mendengar pernyataan Morgan yang tidak kalah mengejutkan. Beberapa orang mundur pelan, bahkan ada yang menunduk canggung seolah berharap bisa menghilang dari tempat itu. Bahkan bukan hanya kata-kata mereka yang membuat orang bergidik. Sosok Morgan sendiri membuat sebagian besar pelayat mematung. Wajah Morgan terlalu mirip dengan Jerry jika diperhatikan dengan baik. Debby yang sejak tadi menangis histeris, sontak berdiri dan menghampiri Morgan. “Tuan Morgan,” panggil Debby parau dan lirih, “tolong jangan berkata seperti itu. Dia adalah saudaramu ... apa Tuan tidak ikut merasa sakit saat melihatnya terbaring tidak bernyawa?” Sydney memandang ke dalam peti sesaat. Wajah Jerry tampak pucat, bibirnya membiru samar, tubuhnya terbujur kaku dan sudah tidak berjiwa. Hidung pria
Sydney tersenyum tipis. Terasa hangat, tetapi ada raut kelelahan di sana.Namun senyum itu hanya bertahan sebentar sebelum perlahan memudar bersama kekhawatiran yang masih menggantung di hatinya.“Kalian jelas berbeda,” balas Sydney tenang, “tapi itu tidak mengubah fakta kalau kalian saudara kembar, Morgan.”Nada Sydney tidak menuduh, tetapi cukup untuk menohok ke dalam ego pria di sebelahnya.Morgan menoleh dengan rahang mengeras, tetapi tidak berkata apa pun.Morgan tahu Sydney sedang tidak dalam kondisi terbaik untuk diajak bicara panjang.Dan Morgan, sekeras apa pun wataknya, tahu kapan harus menahan diri.Satu-satunya wanita yang bisa membuat Morgan kalah dalam diam hanyalah Sydney.Maka Morgan diam, meski kesal masih bergelayut di dada.Beberapa menit berlalu dalam keheningan.Mobil mereka akhirnya tiba di tempat pemakaman umum Highvale, dan berhenti di antara deretan kendaraan yang berjajar rapi di sisi jalan.Morgan turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Sydney.Tangan mer
“Apa?!” seru Morgan, tiba-tiba dengan suara meninggi. Sydney menoleh cepat. Jantungnya ikut mencelos. Wajah Morgan yang semula tenang kini berubah mengeras, seperti seseorang yang baru saja mendapatkan kabar tidak terduga. Sydney tidak mendengar apa pun dari isi telepon itu. Namun, ekspresi Morgan sudah menjelaskan banyak hal. “Baiklah,” ucap Morgan pendek, sebelum memutus sambungan. Morgan menurunkan ponsel, lalu memalingkan wajahnya ke jendela selama beberapa detik. Kedua mata pria itu menatap kosong ke luar, berusaha mencerna kenyataan yang tidak pernah dia perhitungkan. Sydney mengangkat kedua alisnya. “Morgan?” panggil Sydney. Morgan perlahan menoleh ke arah Sydney. Rahang pria itu masih menegang, dan napasnya terdengar pendek-pendek. “Jerry …” kata Morgan dengan suara berat, “baru saja dikabarkan meninggal dunia.” Sydney terpaku. “Gugur dalam misi bayaran yang dijalankan oleh organisasinya,” lanjut Morgan dengan datar. Morgan sudah pernah menceritaka