“Jika Nyonya Besar Ryder akan hadir, maka keterlambatan ini bisa dimaklumi.” Pernyataan itu datang dari seorang pria dengan jas abu-abu yang duduk tidak jauh dari Sydney. Beberapa menit lalu, dia yang paling keras memprotes waktu yang terbuang, tetapi sekarang pendapatnya berubah begitu saja setelah mendengar nama itu disebut. “Aku justru berpikir ini menguntungkan,” sahut yang lain. “Bagaimanapun juga, kita semua tahu—maaf, Nona—komunikasi dengan seseorang yang … bisu tidak akan mudah.” Bisikan setuju bermunculan di antara para pemegang saham. Beberapa bahkan melirik Sydney seolah keberadaannya adalah sebuah gangguan, bukan seseorang yang bisa mewakili mereka untuk mengambil keputusan. Sydney mengabaikan mereka. Tatapan wanita itu kosong karena pikirannya terseret ke masa lalu. Tiga tahun lalu. Sydney duduk tegak di sofa dengan tangan saling menggenggam di pangkuan. Selain karena cuaca di Sevhastone, jari-jari Sydney terasa dingin karena tatapan tajam kedua pasangan paruh baya
“Aku tidak tahu sekarang kau memiliki seorang pengawal yang menyeramkan. Dia seperti siap menerjang siapa pun yang menyentuhmu.” Gloria meletakkan nampan berisi segelas es kopi di atas meja, lalu menarik kursi di hadapan Sydney. Tatapan wanita itu melirik sekilas ke arah Ronald, yang duduk beberapa meja dari mereka, tetap waspada seperti seekor serigala yang menjaga kawanan. Sydney tidak langsung merespons. Dia mengambil ponselnya, mengetik sesuatu, lalu membalikkan layar pada Gloria. “Tante ingin bicara apa? Aku tidak bisa lama-lama.” Gloria membaca kalimat itu pelan. Matanya menatap Sydney sejenak sebelum menghela napas, seolah tengah mempertimbangkan sesuatu. Sydney tidak berbohong. Dia memang harus kembali ke mansion Ravenfell untuk mengurus Jade dan Jane. Waktu yang dihabiskan di sini seharusnya cukup untuk satu atau dua teguk kopi, bukan obrolan panjang dengan mantan ibu mertuanya. Tatapan Gloria berubah nanar. Perlahan, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu apa yang suda
"Sejak kapan Tante menyukai istri Lucas? Tante juga tidak menyukaiku." Sydney mengetik cepat, lalu membalikkan layar ponsel ke arah Gloria dengan senyum sinis. Matanya menatap wanita paruh baya itu tanpa sedikit pun emosi. Gloria terdiam, bibirnya sedikit terbuka seakan ingin menyangkal, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, Gloria hanya menghela napas panjang sambil menggenggam gelas es kopi yang isinya sudah mencair. "Aku menyukaimu, Sydney," kata Gloria pelan. Sydney terdiam. Dia tetap menatap kosong Gloria sambil menunggu kelanjutan ucapannya. "Tapi kau dan Isaac datang di waktu yang tidak tepat." Suara Gloria melemah. "Saat Chester, kakak Lucas, belum menikah." Sydney mengerjapkan mata. Sepotong informasi yang dulu pernah Lucas singgung kembali muncul di kepalanya. "Di Highvale, keluarga kami mungkin bukan siapa-siapa. Tapi di Sevhastone …" Gloria melanjutkan sambil menegakkan punggungnya, "Keluarga kami adalah salah satu pilar negara itu. Dengan dua anak laki
"Kau benar-benar nekat, Sydney!" Suara Ronald terdengar putus asa saat mobil melaju kencang di jalanan yang masih berkabut pagi itu. Sydney tetap diam, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus dia periksa setiap lima detik. Tidak ada balasan dari Gloria. Tidak ada penjelasan apa pun. Semalam, setelah menerima pesan singkat berisi alamat makam Isaac, Sydney langsung membalas pesan Gloria tanpa ragu. "Aku tidak akan membiarkan Tante hidup tenang jika Tante melakukan sesuatu pada makam anakku." Namun, sejak saat itu, tidak ada satu pun pesan masuk. Sydney menggigit bibir dan jari-jarinya bergerak cepat di layar untuk mengetik satu pesan lagi. "Tante, jawab aku!” Masih tidak ada jawaban. Ketidakpastian ini menyiksa Sydney lebih dari apa pun. Dia tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu. Itu sebabnya, pagi ini tanpa pikir panjang, Sydney langsung pergi ke pemakaman Isaac tanpa sempat meminta izin pada Morgan. Dan karena tidak ada pilihan lain, Sydney terpaksa membawa serta s
Sydney melangkah keluar dari kantor administrasi pemakaman, jemarinya sibuk mengetik pesan di layar ponsel. "Berikan aku nomor rekening Tante. Aku akan mengirimkan biaya renovasi makam Isaac dan kedua orang tuaku. Lain kali, jangan seperti ini, Tante.” Pesan terkirim. Namun, sebelum Sydney sempat menyimpan ponsel, langkahnya terhenti. Sepasang kaki berdiri tepat di hadapan Sydney. Lalu, suara notifikasi terdengar di sekitarnya, tetapi itu bukan dari ponsel wanita itu. Sydney mengangkat kepala dan menemukan Gloria yang sedang melihat layar ponsel. Sydney menduga wanita paruh baya itu sedang membaca pesan darinya. Angin berembus dan membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Sydney menunggu sambil berharap Gloria segera berbicara. Namun, yang terjadi justru di luar dugaannya. Gloria menatap Sydney dengan sendu, lalu tiba-tiba berlutut di atas tanah yang masih lembap akibat embun pagi. Sydney refleks mundur selangkah. Jantung Sydney mencelos melihat Gloria bertekuk
"Uwaa!" Tangisan Jade memenuhi mobil. Sydney segera menyibukkan jemarinya untuk melepaskan ritsleting bagian samping dan menutupi tubuhnya dengan apron menyusui. Dengan cekatan, Sydney mengangkat bayi itu ke dalam pelukannya dan membiarkan Jade menyusu. Mobil terus melaju dengan tenang, sesekali terdengar suara Ronald berbicara di telepon dengan seseorang. Sementara Jane masih tertidur lelap di car seat dan sesekali menggerakkan jemari mungilnya. Sydney menatap keluar jendela. Wanita itu masih memikirkan percakapannya dengan Gloria. Seberapa jauh Gloria bisa dia percaya? Sydney sudah cukup kenyang dikhianati oleh keluarga Lucas. Namun, jika Gloria benar-benar menyerahkan saham Lucas kepadanya, itu akan menjadi pukulan telak bagi pria itu. Jade mulai tenang setelah beberapa menit menyusu dan napasnya kembali teratur. Sydney mengusap punggung bayi itu, berusaha menidurkannya kembali. Namun, tiba-tiba mobil melambat dan menepi di depan sebuah minimarket kecil. “Ada apa?” Sydney me
“Minggir!” Ronald melompat turun dari mobil dan langsung berteriak memanggil para pekerja di mansion. Wajah pengawal Sydney itu penuh amarah dan panik hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri tak jauh darinya, yaitu Morgan. Morgan menatap Ronald dengan mata dingin dan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. "Ambil si kembar! Bawa mereka ke kamar!" Ronald memberikan Jade dan Jane kepada dua pelayan yang segera menggendong mereka. "Jaga mereka baik-baik!" Setelah memastikan bayi-bayi itu aman, Ronald kembali ke mobil untuk membantu Sydney keluar. Wanita itu masih berusaha berdiri tegak, meskipun raut wajahnya jelas menunjukkan betapa nyeri yang Sydney rasakan. “Pegang aku.” Ronald menaruh tangan Sydney di bahunya, sementara tangannya yang lain memegang pinggang wanita itu dengan hati-hati. Morgan berjalan mendekati mereka. Saat itulah, Ronald akhirnya sadar. Ronald menundukkan kepala seketika, sementara Sydney membelalakkan mata sebelum buru-buru ikut menundu
"Apa punggungnya bisa sembuh tanpa bekas?" Morgan bertanya sambil menatap dokter yang sedang merapikan peralatan dengan mata tajamnya. Dokter wanita itu menoleh sejenak sebelum menjawab, "Jika dirawat dengan baik, seharusnya tidak meninggalkan bekas yang terlalu mencolok." Morgan menghela napas panjang, menekan amarah yang masih bergejolak di dadanya. Dia baru saja pulang dari daerah yang jauh dan berharap bisa bertemu ketiga orang terpenting dalam hidupnya. Namun, begitu Morgan tiba di mansion, mereka justru pergi diam-diam. Sydney, Jade, dan Jane. Morgan ingin memaki siapa pun yang ada di depannya saat itu. Apalagi, setelah mendengar laporan dari anak buahnya bahwa Sydney pergi pagi tadi dalam keadaan menangis dan memohon kepada Ronald untuk mengantarnya. Lalu, belakangan Morgan tahu alasannya. Sydney tidak pergi karena ingin melawan atau mencari gara-gara, melainkan karena mantan ibu mertuanya mengintimidasi wanita itu dengan menggunakan makam keluarganya yang telah tiada.
“Cepat, panggil ambulans! Ada wanita hamil besar pendarahan!” teriak seseorang yang tidak sengaja melihat.Beberapa pegawai yang masih berada di luar ruang rapat berlari menghampiri Vienna dan Lucas yang terduduk di lantai.Wajah Vienna sudah pucat, tetapi dia masih terlihat berusaha menekan perut sambil meringis menahan sakit.“Sabar, Ibu Vienna. Kami akan membantu Anda dan Pak Lucas,” kata salah satu staf sambil mengulurkan tangan.Lucas tidak sempat berkata apa-apa. Pria itu juga ikut panik melihat keadaan sang istri.Sementara itu, Sydney masih berdiri beberapa meter dari kerumunan itu. Dia hanya bisa melihat ketika lift terbuka dan kerumunan sudah membawa tubuh Vienna ke dalamnya.Sydney menunduk dan menyentuh dadanya yang berdebar hebat sekaligus merasa sesak.Perlahan, wanita itu melanjutkan langkahnya untuk menghindari beberapa orang yang masih ada di sana.‘Bagaimana bisa Vienna bertahan melakukan hal jahat selama ini? Apa dia tidak merasa bersalah seperti yang aku rasakan?’
“Kami sudah bebas!” Vienna menatap seluruh ruangan dengan rahang mengeras dan tangan mengepal di atas meja rapat. Beberapa orang saling melirik dan berbisik-bisik. Namun Sydney hanya memutar bola matanya dan mengembuskan napas pendek, jelas merasa jengah. “Pak Dean bilang memiliki catatan kriminal, bukan seorang narapidana,” ucap Sydney membenarkan. “Kami semua tahu kalian sudah bebas dan dinyatakan tidak bersalah, Vienna. Jangan terlalu defensif, kita sedang bicara soal perusahaan, bukan memainkan sebuah drama keluarga.” Beberapa eksekutif tertawa kecil menahan geli, meskipun cepat-cepat menunduk agar tidak terlihat tidak sopan. Lalu Sydney menoleh ke arah pemimpin rapat. Wajahnya kembali serius. “Tolong, kondisikan, dan jangan mengulur waktu terlalu lama. Kita harus menghargai waktu Bapak dan Ibu di ruangan ini,” pinta Sydney dengan tegas. Vienna mendesis pelan, tetapi sebelum dia bisa membal
“Vienna, aku bersama Morgan. Kenapa aku harus merayu Lucas?” tanya Sydney tenang sambil menghela napas. “Aku hanya membersihkan noda di jas suamimu. Kau sedang sakit, jadi aku bisa maklum kalau Lucas agak tidak terurus.”Sydney bicara dengan santai, tetapi ucapannya sarat dengan sindiran yang menusuk tajam.Vienna menggertakkan rahang. Sorot mata wanita hamil itu menyala seperti ingin menerkam.“Hati-hati bicaranya, Sydney. Kandungan Vienna sedang lemah.” Lucas langsung melangkah maju untuk melerai.“Oh?” Vienna memutar badan menghadap Lucas sambil menatapnya tajam dan tanpa ampun. “Jangan pura-pura peduli padaku!”Lucas tampak kaget, tetapi dia tidak menjawab. Masalah akan lebih panjang jika saat ini dia bicara. Memang benar, bayi dalam kandungan Vienna melemahkannya.Lalu, Vienna kembali menatap Sydney dengan tatapan menantang.“Lalu mengapa kalian bisa pergi ke sini bersama?” tanyanya sambil mengangkat dagu.
“Aku ingin mengambil hati Lucas.” Kalimat itu terus berputar dalam kepala Sydney saat mobil melaju di parkiran basement Zahlee Entertainment. Kalimat yang dulu Sydney bisikkan ke telinga Morgan dengan penuh amarah, luka, dan tekad. Bukan karena Sydney masih mencintai Lucas, perasaannya pada pria itu sudah mati. Sudah dikubur bersama peti kecil putih bertuliskan nama Isaac Ryder hampir dua tahun lalu. Yang tersisa di hati Sydney untuk Lucas kini hanya dendam. ‘Kalau aku bisa membuat Vienna merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu,’ batin Sydney, ‘mungkin luka ini sedikit sembuh.’ Mendapat pengkhianatan saat berjuang mengobati anak yang sakit, apalagi Vienna juga mengompori Lucas untuk membenci Isaac. Sydney melirik ke arah Lucas yang tengah menempelkan kartu parkir ke mesin otomatis. Suara bip terdengar. Lalu palang parkir pun terangkat. ‘Seand
“Apa yang kau katakan, Jalang?” bentak Lucas lantang dengan napas memburu. Sydney menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. ‘Sial! Aku mual!’ batin Sydney. Bahkan udara di kamar ini terasa menyesakkan. Sydney kembali mengangkat wajah dan mengukir senyum. Bersikap seolah umpatan Lucas bukanlah apa-apa, padahal hati Sydney sedang meraung-raung karena pria itu mengatainya jalang berulang kali. “Ah, maaf!” jawab Sydney pura-pura merasa bersalah. “Karena melihat kamar ini dan sadar bahwa tidak banyak yang berubah, aku jadi mengenang masa lalu.” Lucas menyipitkan mata dan menatap Sydney dengan curiga seakan wanita itu sedang melakukan hal yang tidak masuk akal di depan wajahnya. Sydney mengangkat bahu pelan sambil tetap tersenyum. “Apalagi aku juga baru melihat kamar Isaac,” lanjut Sydney setelah menghela napas. “Aku pasti sudah gila karena mendadak merinduk
Mata wanita itu melebar saat melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka, entah karena dorongan angin atau Lucas yang lupa menutupnya rapat. Sydney tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Tanpa pikir panjang, wanita itu melesat ke arah pintu dengan langkah cepat. Rasa sakit di bahu dan sikunya tidak lagi Sydney rasakan, tertutup oleh adrenalin yang membanjiri seluruh tubuh wanita itu. “Berhenti, Sydney!” teriak Lucas dari belakang. Sydney tidak menoleh. Napas wanita itu memburu dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dia mengintai pintu utama. Namun langkah Sydney mendadak terhenti. Ben tiba-tiba muncul dari arah tujuan Sydney. Pria itu menatap Sydney dengan tajam. “Oh, sial!” maki Sydney. Sydney menoleh ke belakang. Lucas semakin dekat. Pria itu berlari cepat seperti banteng lepas kendali. Spontan, Sydney berbelok ke kiri dan menabrak pintu pertama yang bisa dia raih. Dia hanya bisa mempercayai instingnya untuk melindungi diri. Jika tetap berada di sana, satu
“Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Lucas.” Pelayan itu menjawab dengan suara bergetar. “Sialan! Panggil pria brengsek itu ke sini sekarang juga!” Sydney menggedor keras pintu kayu itu dengan kedua tangannya. Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki pelayan itu terdengar menjauh, membiarkan Sydney sendirian dengan amarah yang sudah mendidih. “Sial! Pantas saja Ben bersikap aneh dari tadi!” teriak Sydney seraya menghantam pintu sekali lagi, kali ini dengan bahunya. Satpam itu bersikap seolah tidak menerima dirinya, tetapi tetap membukakan gerbang. Gelagatnya pun mencurigakan. Sydney mengatupkan rahang, menahan gejolak yang terus naik hingga ke ubun-ubun. Napas wanita itu memburu. Dia memejamkan mata sebentar, berusaha mengatur napas sambil menyapu pandangan ke sekeliling kamar Isaac. Lucas sengaja menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan Isaac untuk memerangkap
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya me