"Setelah kau menyusui si kembar, aku akan mengelap tubuhmu dan mengoleskan salep," kata Layla sambil menyerahkan Jade dan Jane ke dalam dekapan Sydney. Wanita paruh baya itu dengan sabar merawat Sydney sejak semalam hingga pagi ini. Sydney takjub dengan tenaga Layla yang seperti tidak ada habisnya. Sydney yang duduk di atas ranjang hanya mengangguk pelan. Sebuah senyum samar terbentuk di wajah Sydney saat kedua tangannya sibuk menggendong si kembar. Layla menatap Sydney sejenak sebelum beralih ke meja di kamar Morgan, mulai menata perlengkapan bayi yang dia bawa. Dia cukup terampil merapikan popok, botol susu, dan pakaian si kembar, memastikan Sydney bisa mengurus mereka dengan lebih mudah. "Kau tidak perlu sampai seperti ini," ucap Layla lagi tanpa menoleh. "Setelah menyusui, aku bisa membawa dan mengurus mereka sementara kau beristirahat." Layla sedikit kesal karena Sydney tetap ingin mengurus si kembar, bukan hanya menyusui. Padahal wanita muda itu masih butuh banyak istirahat
“Apa kau siap bertanggung jawab?” Sydney membeku. Wanita itu membelalak menatap Morgan yang duduk di hadapannya. Morgan jelas tidak sedang bercanda, Sydney bisa membaca itu dari raut wajahnya yang tetap serius. Sydney mencoba mengatur napas, tetapi jantungnya berdetak semakin liar. Mata Sydney bergerak turun untuk menghindari tatapan Morgan, tetapi dia justru tidak sengaja menatap dada bidang pria itu. Di sana, tepat di atas jantung Morgan, tato huruf BP yang dulu pernah Sydney lihat sudah tidak ada. Kini hanya bekas samar hasil prosedur laser yang masih meninggalkan rona kemerahan di kulit Morgan. Sydney tidak bisa berkata apa-apa. Tanpa sadar, Sydney mengangkat tangan dan ujung jemarinya menyentuh bekas luka itu. Permukaan kulit Morgan terasa lebih kasar di area tersebut, tetapi yang lebih mengagetkan Sydney adalah detak jantung pria itu juga bergemuruh seperti dirinya. Morgan tidak menepis sentuhan Sydney. Sebaliknya, pria itu membiarkan Sydney mengeksplorasi luka itu dengan
"Apa-apaan ini?!" Suara keras seorang staf di kantor Zahlee Entertainment membuat seluruh karyawan menoleh. Beberapa artis dan model yang baru kembali dari jadwal syuting bahkan ikut berkerumun. Kotak makan siang dari restoran mewah yang jarang terjangkau oleh kalangan biasa kini bertebaran di setiap meja. Bukan hanya untuk para petinggi, tetapi semua orang. Mulai dari staf kebersihan hingga manajer artis, mendapatkan bagian yang sama. “Apakah ini hadiah dari perusahaan?” Seorang pegawai bertanya dengan mata berbinar-binar. “Ini jarang sekali terjadi!” "Aku pikir ini bukan dari perusahaan." "Siapa yang traktir kita makan siang begini? Gila, mahal banget!" Kegaduhan semakin menjadi ketika para karyawan dan artis yang berada di Zahlee Entertainment membuka kotak makan siang mereka. Beberapa dari mereka langsung menatap lembaran kecil yang tergeletak di atas makanan. "Hei, di dalamnya ada surat!” Satu per satu karyawan membaca pesan yang tertera, dan wajah mereka berubah drast
"Jangan terlalu banyak bergerak," perintah Morgan terdengar tajam saat dia membalut perban di punggung Sydney. Sydney tetap diam, tetapi ada sorot ketidaknyamanan di matanya saat jari Morgan dengan cekatan membalut luka itu. Meski gerakan Morgan lembut, rasa perih masih menjalar di sepanjang punggung Sydney. “Kalau kau terus mengerang seperti itu, aku bisa saja menganggapmu sedang menikmati sentuhanku,” ucap Morgan, sedikit menggoda wanita di hadapannya. Tubuh Sydney sangat seksi dan menggoda, Morgan mengakuinya. Bahkan akhir-akhir ini dia sulit mengontrol diri saat ada Sydney di sekitar. Sydney menoleh dengan cepat dan menatap Morgan tajam. Dia langsung menggerakkan tangannya untuk membalas, "Kau ini keterlaluan." Morgan hanya menyeringai sambil memasang plester terakhir sebelum mengambil sebuah gaun hitam. "Pakai ini!" Morgan memerintah lagi sambil menyerahkan gaun itu. “Gaun ini terlalu longgar,” keluh Sydney dengan bahasa isyarat. "Kau mau memakai sesuatu yang ketat dan me
"Putra yang kau banggakan itu bekerja dan memuja berandal ini, Tuan Terry Yang Terhormat!" Morgan duduk di sebelah Sydney dengan menyilangkan kaki, dan menatap Terry dengan raut wajah yang seakan menantang pria paruh baya itu untuk menyangkal ucapannya. Faktanya, ucapan Morgan bukan sekadar gertakan kosong. Dia tahu betul bagaimana Lucas menjilatnya demi mempertahankan bisnis. Terry yang awalnya duduk dengan tenang tiba-tiba menegakkan punggungnya. Dahi pria paruh baya itu mengernyit dan tatapannya tajam menusuk Morgan. "Apa?! Kau petinggi di Monarch Legal Group?" tanya Terry meremehkan. Bagi Terry, pria bertato bukanlah orang yang akan diterima bekerja di perusahaan keluarganya. Sydney yang duduk di samping Morgan langsung menegang. Detik berikutnya, Sydney dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik cepat sebelum Morgan membuka mulutnya lagi. Dia menunjukkan layarnya kepada Terry. "Dia salah satu klien Lucas, Om." Terry membaca pesan Sydney. Morgan melirik tulisan itu samb
Sydney menatap dokumen di depannya, jari-jarinya sedikit gemetar saat menggenggam pena. Namun, Morgan sudah menatapnya tajam seakan memberi isyarat untuk segera menandatangani. Pria itu jelas tidak ingin ada drama tambahan lainnya. Sydney menarik napas dalam-dalam, lalu dengan satu tarikan tegas, wanita itu menorehkan tanda tangannya di atas kertas. Suara gesekan pena terdengar jelas di tengah suasana yang mendadak hening. Begitu selesai, Gloria dengan cepat mengambil dokumen itu dan memasukkannya kembali ke dalam map. "Baiklah," ucap Gloria sambil menatap Terry sekilas. "Semua sudah selesai." Terry mengangguk. Kedua pasangan paruh baya itu saling menggenggam tangan. Morgan yang duduk di samping Sydney langsung bangkit berdiri. “Sudah selesai. Ayo, kita pergi!” ajak Morgan pada Sydney sambil mengulurkan tangannya untuk diraih oleh wanita itu. Namun, sebelum Sydney menyambut tangan Morgan, suara Gloria menghentikannya. “Tuan Morgan, bisakah kita bicara berdua sebentar?” tanya
“Kau bicara apa saja dengan Tante Gloria?’ tanya Sydney sambil menggerakkan tangan. “Beliau terlihat sedih.” Kini mereka sedang dalam perjalanan setelah keluar dari Astoria Palace. Pria yang duduk di sebelah Sydney itu mendesah pelan. Pertanyaan Sydney membuat Morgan teringat percakapannya dengan Gloria. Tentang seseorang yang tulus untuk Sydney, tetapi dia sendiri masih ragu untuk meneruskan perasaannya. “Bukan hal yang penting,” jawab Morgan dengan datar pada akhirnya. “Dia sedih karena aku tidak sesuai dengan harapannya saja.” Setelah balas menatap Sydney, Morgan mengalihkan pandangan lagi ke jendela mobil. Namun, Sydney belum selesai bicara. Dia menyentuh lengan Morgan dan membuat pria itu kembali menoleh padanya. “Memang Tante Gloria berharap apa padamu?” tanya Sydney kemudian sambil mengernyitkan dahi. “Apakah ini tentang Monarch Legal Group?” Hanya itu yang bisa Sydney tebak. Morgan dan Gloria tidak pernah punya hubungan apa pun selain itu. Sydney memang tidak bersuara.
“Apa saja yang kalian lakukan hingga aku harus bermalam di penjara?!” teriak Ghina pada pengacaranya dari dalam sel. Hari sudah berganti, tetapi wanita paruh baya itu masih mengenakan pakaian kemarin dan rambutnya sedikit lebih berantakan. Beberapa tahanan mendesis marah karena Ghina terlalu berisik saat mereka sedang menikmati sarapan. Sementara para penjaga bersikap seolah tidak mendengar bumbu-bumbu pertikaian itu. Ghina langsung tutup mulut. Dia meremas jeruji besi yang membatasinya dengan sang pengacara. “Nona Sydney tidak menjawab panggilan kami, Nyonya. Sehingga kami sulit melakukan mediasi dengannya,” jawab pengacara pria yang tampak lusuh karena harus lembur mengurus Ghina semalaman. “Anak itu pasti sengaja!” geram Ghina sambil melebarkan matanya yang memerah. Pengacara Ghina menelan ludah, tidak yakin harus merespons apa. “Apa kita tidak bisa menuntutnya balik?! Aku sudah memberikan uang 50 juta padanya untuk tutup mulut!” ide Ghina kemudian. Pria berjas biru tua it
“Vienna, aku bersama Morgan. Kenapa aku harus merayu Lucas?” tanya Sydney tenang sambil menghela napas. “Aku hanya membersihkan noda di jas suamimu. Kau sedang sakit, jadi aku bisa maklum kalau Lucas agak tidak terurus.”Sydney bicara dengan santai, tetapi ucapannya sarat dengan sindiran yang menusuk tajam.Vienna menggertakkan rahang. Sorot mata wanita hamil itu menyala seperti ingin menerkam.“Hati-hati bicaranya, Sydney. Kandungan Vienna sedang lemah.” Lucas langsung melangkah maju untuk melerai.“Oh?” Vienna memutar badan menghadap Lucas sambil menatapnya tajam dan tanpa ampun. “Jangan pura-pura peduli padaku!”Lucas tampak kaget, tetapi dia tidak menjawab. Masalah akan lebih panjang jika saat ini dia bicara. Memang benar, bayi dalam kandungan Vienna melemahkannya.Lalu, Vienna kembali menatap Sydney dengan tatapan menantang.“Lalu mengapa kalian bisa pergi ke sini bersama?” tanyanya sambil mengangkat dagu.
“Aku ingin mengambil hati Lucas.” Kalimat itu terus berputar dalam kepala Sydney saat mobil melaju di parkiran basement Zahlee Entertainment. Kalimat yang dulu Sydney bisikkan ke telinga Morgan dengan penuh amarah, luka, dan tekad. Bukan karena Sydney masih mencintai Lucas, perasaannya pada pria itu sudah mati. Sudah dikubur bersama peti kecil putih bertuliskan nama Isaac Ryder hampir dua tahun lalu. Yang tersisa di hati Sydney untuk Lucas kini hanya dendam. ‘Kalau aku bisa membuat Vienna merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu,’ batin Sydney, ‘mungkin luka ini sedikit sembuh.’ Mendapat pengkhianatan saat berjuang mengobati anak yang sakit, apalagi Vienna juga mengompori Lucas untuk membenci Isaac. Sydney melirik ke arah Lucas yang tengah menempelkan kartu parkir ke mesin otomatis. Suara bip terdengar. Lalu palang parkir pun terangkat. ‘Seand
“Apa yang kau katakan, Jalang?” bentak Lucas lantang dengan napas memburu. Sydney menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. ‘Sial! Aku mual!’ batin Sydney. Bahkan udara di kamar ini terasa menyesakkan. Sydney kembali mengangkat wajah dan mengukir senyum. Bersikap seolah umpatan Lucas bukanlah apa-apa, padahal hati Sydney sedang meraung-raung karena pria itu mengatainya jalang berulang kali. “Ah, maaf!” jawab Sydney pura-pura merasa bersalah. “Karena melihat kamar ini dan sadar bahwa tidak banyak yang berubah, aku jadi mengenang masa lalu.” Lucas menyipitkan mata dan menatap Sydney dengan curiga seakan wanita itu sedang melakukan hal yang tidak masuk akal di depan wajahnya. Sydney mengangkat bahu pelan sambil tetap tersenyum. “Apalagi aku juga baru melihat kamar Isaac,” lanjut Sydney setelah menghela napas. “Aku pasti sudah gila karena mendadak merinduk
Mata wanita itu melebar saat melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka, entah karena dorongan angin atau Lucas yang lupa menutupnya rapat. Sydney tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Tanpa pikir panjang, wanita itu melesat ke arah pintu dengan langkah cepat. Rasa sakit di bahu dan sikunya tidak lagi Sydney rasakan, tertutup oleh adrenalin yang membanjiri seluruh tubuh wanita itu. “Berhenti, Sydney!” teriak Lucas dari belakang. Sydney tidak menoleh. Napas wanita itu memburu dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dia mengintai pintu utama. Namun langkah Sydney mendadak terhenti. Ben tiba-tiba muncul dari arah tujuan Sydney. Pria itu menatap Sydney dengan tajam. “Oh, sial!” maki Sydney. Sydney menoleh ke belakang. Lucas semakin dekat. Pria itu berlari cepat seperti banteng lepas kendali. Spontan, Sydney berbelok ke kiri dan menabrak pintu pertama yang bisa dia raih. Dia hanya bisa mempercayai instingnya untuk melindungi diri. Jika tetap berada di sana, satu
“Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah dari Tuan Lucas.” Pelayan itu menjawab dengan suara bergetar. “Sialan! Panggil pria brengsek itu ke sini sekarang juga!” Sydney menggedor keras pintu kayu itu dengan kedua tangannya. Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki pelayan itu terdengar menjauh, membiarkan Sydney sendirian dengan amarah yang sudah mendidih. “Sial! Pantas saja Ben bersikap aneh dari tadi!” teriak Sydney seraya menghantam pintu sekali lagi, kali ini dengan bahunya. Satpam itu bersikap seolah tidak menerima dirinya, tetapi tetap membukakan gerbang. Gelagatnya pun mencurigakan. Sydney mengatupkan rahang, menahan gejolak yang terus naik hingga ke ubun-ubun. Napas wanita itu memburu. Dia memejamkan mata sebentar, berusaha mengatur napas sambil menyapu pandangan ke sekeliling kamar Isaac. Lucas sengaja menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan Isaac untuk memerangkap
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya me
Sydney menoleh dan tersenyum tipis, lalu menjawab, “Siang ini aku harus bertemu dengan calon asisten pribadiku. Kalau memang cocok, dia bisa langsung menyiapkan keperluan untuk rapat besok.” Morgan menghela napas, tidak puas dengan jawaban itu. Namun sebelum dia sempat menimpali, Sydney menambahkan dengan sedikit cemas, “Dan si kembar ... mereka butuh ASI-ku. Stoknya menipis.” Kata-kata itu membuat dada Morgan mencelos. Dia tahu, tidak ada yang lebih penting bagi Sydney saat ini selain anak-anak mereka. “Hati-hati dan jangan terlalu lelah. Aku akan minta beberapa orang untuk menjagamu.” Morgan mengusap pipi istrinya dengan punggung tangan. Sydney hanya mengangguk dengan tetap menatap wajah suaminya. Lalu, Morgan sedikit membungkuk dan merapatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku sudah menyiapkan gelang kaki baru di ruang kerjamu. Gunakan itu. Di dalamnya ada GPS yang lebih bagus d
“Tempat ini hangat sekali.” Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Sydney saat mereka memasuki kamar kecil yang disediakan di salah satu sudut pelabuhan. Morgan tidak langsung menanggapi. Pria itu meletakkan ponsel di meja kayu mungil yang ada di sisi ranjang, lalu membuka jendela. Angin laut menyergap masuk bersama suara ombak yang bergulung-gulung. Sydney melangkah pelan menghampiri jendela itu, lalu berdiri di samping Morgan. “Aku suka suaranya,” bisik Sydney. “Menenangkan.” Morgan menoleh dan menatap wajah istrinya yang diterangi remang lampu gantung di atas mereka. Dia tersenyum miring dan melihat Sydney dengan penuh hasrat. Tanpa basa-basi, Morgan mulai melepaskan sabuk celananya. Bunyi logam kecil terdengar jelas di antara debur ombak. “Kau siap?” tanya Morgan pelan. “Aku akan menanamkan benihku di rahimmu.” Sydney membelalakkan mata. Wajah wani