Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 2. Sepi di Ujung Peluk

Share

Bab 2. Sepi di Ujung Peluk

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-09 06:28:52

Pintu ruang operasi perlahan terbuka. Suara roda ranjang dorong bergesekan dengan lantai menggema di lorong yang mendadak sunyi. Beberapa petugas medis keluar lebih dulu, menunduk tanpa banyak bicara, memberi jalan bagi satu tubuh yang kini tertutup kain putih hingga dada.

Hannan berdiri kaku di ujung lorong. Langkah para perawat seperti gerak lambat di matanya. Napasnya tak beraturan. Ada suara dalam dirinya yang berteriak agar berlari—agar menarik kembali waktu—agar menepis fakta semua ini tak nyata.

Namun ketika ranjang itu mendekat dan wajah istrinya perlahan terlihat dari balik selimut putih, hatinya hancur seketika.

Terpejam. Tenang. Terlalu tenang untuk seorang ibu yang baru saja melahirkan.

Wajah itu masih wajah yang sama yang beberapa jam lalu tersenyum, menggenggam tangan Hannan seraya berbisik, "Nanti kalau anak kita lahir, kamu yang adzanin, ya."

Kini, Kesha terbaring tanpa suara.

Hannan tak sanggup menahan tubuhnya yang limbung. Dia jatuh berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan istrinya yang dingin. Tangisnya pecah tanpa suara. Hanya air mata yang jatuh, deras, seperti hujan yang tak tahu kapan harus berhenti.

Tidak lama seorang perawat mendorong sebuah kotak inkubator berisi bayi laki-laki yang baru saja lahir, bayi tersebut lahir dengan berat badan yang kurang hingga harus masuk ke dalam box hangat untuk menunjang hidupnya.

"Hannan, apa kamu tidak mau melihat dan mengadzani bayi kalian?" Sentuhan tangan Lena di pundak Hannan menyadarkan pria itu kalau ada satu lagi sosok yang perlu perhatiannya.

Sedang Hannan sendiri tidak menjawab. Laki–laki yang baru kehilangan dunianya itu hanya memejamkan mata, menggenggam tangan istrinya lebih erat, seolah jika cukup kuat menahan, maka jiwa itu akan kembali.

"Hannan," panggil Lena sekali lagi. "Paling tidak lihat dia sekali saja, Nak. Dia butuh ayahnya—"

Yang ditunggu akhirnya memberi respon, Hannan menggeleng pelan, air matanya masih menetes tanpa henti.

"Saya nggak bisa, Bu," Suaranya parau, nyaris tak terdengar. "Bawa bayi itu pergi. Tolong jauhkan dia dari saya. Saat ini saya hanya mau menemani istri saya di sini."

Lena menunduk, meremas tangannya sendiri. Di matanya, ada luka yang sama, tapi ia tahu: luka seorang anak kehilangan istri—belahan jiwanya—adalah luka yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun.

Malam itu, suara azan tak terdengar dari bibir seorang ayah. Karena bagi Hannan, dunia sedang berduka, dan dia masih tenggelam dalam kehilangan yang belum siap dia relakan.

***

Di sudut lain rumah sakit, mentari pagi merambat pelan di balik tirai tipis ruang perawatan. Di atas ranjang, tubuh seorang ibu muda terbaring lemah. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit basah oleh keringat yang belum sempat dibersihkan sepenuhnya. Nafasnya pelan, tapi stabil. 

Andini baru saja terbangun dari tidur panjang pasca operasi. Kesadarannya belum sepenuhnya utuh, tapi satu pertanyaan langsung muncul dari bibirnya yang kering—bagai naluri alami seorang ibu.

"Anak saya mana?" Suaranya serak, nyaris tak terdengar. "Saya mau bertemu dengan anak saya."

Suster yang sedang mengganti cairan infus tersentak kecil. Matanya bertemu dengan mata dokter yang berdiri di sisi ranjang, dan dalam sekejap, ruangan itu diselimuti keheningan yang aneh. Terlalu tenang—untuk sesuatu yang seharusnya penuh suka cita.

Meski mendengar pertanyaan Andini, tim medis tak langsung menoleh. Hanya tangan mereka yang berhenti bekerja, namun tidak ada jawaban apapun yang mampu membuat Andini lega.

Andini mencoba mengangkat kepala, lalu bertanya lagi, kali ini dengan lebih mendesak, "Dokter, di mana bayi saya? Saat di ruang operasi tadi, saya tidak mendengar suara tangisannya. Dia baik–baik saja, 'kan?"

Suster yang sedang membereskan peralatan medis menunduk dalam, menahan napas yang habis di ujung tenggorokan.

Ruangan itu terasa sesak, meski tak ada yang benar-benar berbicara.

Dokter akhirnya menoleh dengan senyum tipis. Dia meraih tangan Andini perlahan, mengatur posisi bantalnya agar lebih nyaman. "Bu Andini, Anda hebat sekali!" ucapnya lembut. "Hari ini sudah berjuang melewati operasi yang cukup berat. Tapi sekarang, Ibu harus banyak–banyak istirahat. Tubuh perlu waktu untuk pulih."

"Tapi anak saya, Dok? Ijinkan saya melihat anak saya dulu, baru nanti saya bisa istirahat!" tawar Andini seraya menggenggam selimut dengan lemah. 

Dokter tak merespon. Hanya menatap perempuan muda itu dengan mata yang seolah menyimpan sesuatu, namun memilih untuk tidak mengucapkannya.

"Fokus dulu untuk sembuh, Bu. Nanti kita bicarakan semuanya kalau sudah dirasa lebih kuat."

Andini terdiam. Ada sesuatu yang mencubit hatinya, perasaan tak enak yang belum bisa dia definisikan. Angin membawanya menoleh ke arah jendela, melihat cahaya pagi yang seharusnya menjadi harapan besar antara dirinya dan bayi tercinta.

Namun dadanya terasa hampa, lengannya terasa ringan. Ruangan ini, terlalu sunyi untuk menjadi ruang seorang ibu yang baru saja melahirkan.

Setelah ditinggal tim medis yang merawatnya sejak dilarikan ke rumah sakit, Andini terjaga sepenuhnya. Detik waktu yang berlalu diisi dengan rutinitas menatap langit–langit—mengusir hampa.

Adakah yang lebih berat daripada menunggu sesuatu—di mana tak pernah ada jawaban pasti dari kegelisahan yang menanti.

Di saat bersamaan, tubuh Andini memberi isyarat lain. Perih, bukan di bekas sayatan, melainkan dari dadanya.

Perlahan, Andini menyentuh bagian depan baju pasien yang membalut tubuhnya. Kainnya basah—hangat dan lembab. Dadanya terasa berat, tegang, dan nyeri seperti menahan sesuatu yang tak tertahankan.

Andini menunduk. Cairan bening susu ibu merembes keluar dari tubuhnya sendiri, mengalir tanpa aba-aba, membasahi baju dengan perlahan tapi terus menerus, seperti luka yang diam-diam berdarah.

ASI.

Tubuhnya tahu.

Tubuhnya memanggil bayi itu—mengingatnya, menyiapkannya, seolah bayi itu hanya tinggal selangkah lagi untuk disusui.

Andini mulai gelisah. Nafasnya pendek. Matanya liar mencari perawat atau siapa pun yang bisa menjawab. Ditekannya tombol panggilan dengan terburu-buru.

"Suster … suster, tolong!" Suaranya pecah.

Seorang perawat masuk. Perempuan muda, tampak kelelahan tapi tetap berusaha tersenyum. Namun senyum itu langsung menghilang saat melihat wajah Andini dan noda basah di bajunya.

Andini menangis. "Lihat, lihat ini, Sus! Air susuku keluar. Tolong bawa aku ke anakku. Dia pasti kelaparan, aku bisa menyusuinya."

Perawat menelan ludah, lalu cepat-cepat menghampiri. Hal pertama yang dilakukan adalah mencoba menenangkan Andini, merapikan selimut, menyeka peluh di dahi pasiennya, namun tak bisa menjawab satu pun dari pertanyaan yang dilontarkan berulang kali.

Andini mencoba bangkit. Tubuhnya gemetar, tapi ia berusaha tetap duduk. "Dia butuh aku," katanya, mulai terisak. "Aku ibunya. Dia pasti menungguku. Kalian bilang aku harus sembuh dulu, tapi bagaimana aku bisa sembuh kalau anakku saja tidak kalian izinkan untuk aku peluk?"

Perawat itu buru-buru keluar, dan beberapa menit kemudian, dokter masuk. Kali ini, wajah dokter terlihat jauh lebih tegang. Dia menghampiri ranjang Andini, berusaha tersenyum, tapi senyum itu tipis dan tak sampai ke mata.

"Bu Andini, kami tahu Anda sangat ingin bertemu dengan bayi Anda—"

"Jangan bilang ‘nanti’. Jangan bilang aku harus istirahat dulu!" Andini memotong kalimat itu dengan nada putus asa. "Asiku sudah penuh, aku tahu anakku lapar. Aku tahu dia butuh aku. Bawa aku ke dia sekarang, atau—atau aku sendiri yang akan keluar dari ruangan ini!"

Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. Tubuhnya masih gemetar, tapi dorongan dan naluri seorang ibu lebih besar dari rasa sakit mana pun.

Dokter menatap pasiennya dalam diam. Di balik sorot matanya yang berkaca-kaca, tersimpan sesuatu yang nyaris tak bisa ditutupi lagi—penyesalan, dan kepedihan yang tak tertahan.

Saat itulah Andini benar-benar mulai takut. Bukan takut karena tidak boleh menyusui, tapi takut karena mungkin—tidak ada lagi yang bisa disusui.

Andini menatap tim medis satu per satu. Dada yang tadi sempat berharap, perlahan terasa dingin. Dia tahu. Kini dia tahu jawaban apa yang pas dari tiap pertanyaannya yang mengudara.

"Apa anakku tidak berhasil diselamatkan, Dokter? Apa hanya aku yang selamat?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 103. Bertahan Dihati—ekstrapart

    Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 102. Dua Kutub Dingin—ekstrapart

    Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 101. Tuan Putri Launa—ekstrapart

    Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 100. Yang Tersisa kini Lengkap [TAMAT]

    "Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 99. Kejutan untuk Hannan

    Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 98. Partner in—Crime Lingga

    Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status