Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 3. Hati yang Ditinggalkan

Share

Bab 3. Hati yang Ditinggalkan

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-09 06:29:12

Cahaya putih di langit-langit begitu terang, tapi di mata Andini, semuanya temaram. Dunia seolah kehilangan warna. Tak ada tangis bayinya, tak ada suster yang datang membawa kabar bahagia.

Hanya tersisa udara dingin yang menggantung, dan diam yang mengeras jadi firasat. Dada Andini basah oleh rembesan ASI—cairan kehidupan yang mengalir dari cinta seorang ibu. Akan tetapi tak ada siapa pun yang datang, tak ada tangan mungil—tak ada suara nyaring. Hanya waktu yang melaju tanpa kabar.

Dokter sejak tadi diam. Terlalu lama. Sorot matanya rapuh, seolah tak sanggup menatap wajah seorang ibu yang menunggu kabar anaknya.

"Kami sudah berusaha. Kami melakukan segalanya, semua yang kami bisa. Hanya saja, bayi itu tidak bertahan. Dia sudah berpulang."

Detak jam di dinding terasa seperti dentang kematian. Dunia tiba-tiba kehilangan bentuk. Waktu berhenti, langit runtuh dalam diam.

Seperti ada sesuatu yang tercabut paksa dari dalam jiwa Andini, meninggalkan kekosongan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

Andini tak sempat memeluk—tak sempat mencium—tak sempat mengatakan, "Ibu di sini." pada bayinya.

Sekarang, dia tidak akan pernah sempat.

"Enggak, Dok." Andini menepis berita yang baru saja sampai di telinganya. "Dia mungkin tidak menangis saat lahir, tapi bukan berarti dia tidak bertahan. Dia masih hidup, Dokter. Aku tahu bayiku kuat."

"Anak ibu lahir dalam kondisi yang sangat lemah. Kami lakukan resusitasi, bantuan napas, semua prosedur darurat. Tuhan berkata lain."

"Tuhan tidak mungkin mengambilnya dariku, Dok!"

Tangan ringkih itu gemetar kala menyentuh dada yang masih hangat oleh cinta yang tak sempat diberikan. Andini menangis dalam senyap, bukan dengan teriakan, tapi dengan hancur yang tak berbunyi. Air matanya jatuh satu per satu, seperti perpisahan yang dipaksa datang tanpa permisi.

"Satu kali saja, Dok." Andini merintih dalam pedih yang menyayat hati. "Satu kali peluk saja sebelum dia pergi."

"Ikhlaskan, Bu."

"Aku bahkan belum memberinya nama."

Andini menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang makin membuncah. Air matanya terus jatuh, diam-diam, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—yang datang bukan membawa segar, tapi menandai kehilangan.

Namun semuanya sudah terlambat. Yang lahir dari tubuhnya hari itu bukan tawa, bukan kehidupan—melainkan kepergian yang sunyi, tak sempat menyapa.

Andini melepas tangis seraya membungkuk di ujung ranjang, tubuhnya masih lemah, tapi hatinya lebih payah. Pandangannya kosong, tertuju pada lantai yang tak memberi jawaban. 

Dunia seperti kehilangan belas kasih.

Tuhan seolah terlalu sibuk untuk memberinya jeda.

Baru saja Andini mendapat kabar kehilangan bayinya, baru saja dia kehilangan separuh jiwanya yang tak sempat bernapas di dunia. Duka baru datang menyambut seolah perempuan itu memang ditakdirkan terluka.

Seorang pria berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket gelap yang masih lembab oleh hujan pagi tadi. Sosok itu tak langsung mendekat, melainkan menatap tajam ke arah Andini yang tengah terisak.

Andini tersentak begitu melihatnya. Harapan yang sempat tumbuh di antara derai tangisnya tadi mendadak berubah menjadi kebingungan.

"Mas Dirga?"

"Singkat saja, Andini."

Andini merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang tak beres. Suaminya, yang seharusnya datang untuk menenangkan—justru membuat hatinya bergetar dengan kekhawatiran yang semakin dalam.

"Tunggu, Mas! Kamu bahkan belum tau kondisiku—"

"Apa itu penting?" serobot Dirga, berdiri kaku tak jauh dari ranjang istrinya. Matanya terus beralih ke sisi lain, seolah menghindari tatapan Andini.

"Kamu harus tau sesuatu, Mas."

"Toh intinya kamu sudah melahirkan. Kini saatnya, Andini, kamu saya talak tiga. Mulai saat ini kamu bukan istri saya lagi," ucap Dirga, lantang.

Andini terdiam, lidahnya kaku. Dunia seperti berhenti sejenak, semua terasa beku. Dirga—suaminya—berbicara dengan nada yang begitu tenang, tapi kata-katanya menghantamnya seperti petir.

"Jangan menyebut talak dengan asal seperti itu, Mas," tegur Andini setengah berbisik. "Setidaknya prihatinlah padaku. Aku baru saja—"

"Ini bukan ucapan asal, Andini. Kamu—saya—talak. Dengan sadar saya putuskan kita bercerai!"

***

Sore itu, langit tampak murung, seperti hati Hannan yang tidak pernah benar-benar pulih setelah kehilangan Kesha—istrinya. Angin berhembus pelan, menyentuh pipi Hannan dengan cara yang aneh, seolah ingin mengingatkan bahwa dunia ini masih berputar, meskipun dunia miliknya telah berhenti.

Di hadapan Hannan, batu nisan berdiri tegak, seolah menantang semua perasaan yang tak dapat dijelaskan. Nama Kesha terukir di sana—sederhana, namun penuh makna. Sesuatu yang begitu sepele, namun seolah tak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang lebih dari sekadar huruf dan angka.

Hannan menatap nisan itu dengan mata yang kosong, namun hatinya penuh sesak. Dia menundukkan kepala, berusaha menahan tangis yang sudah dipendam terlalu lama. Sudah dua hari sejak Kesha pergi, meninggalkan dirinya dalam keheningan yang memekakkan. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi sentuhan lembut Kesha yang dulu selalu menyapanya.

"Aku masih sulit menerima ini semua, Sayang." Hannan berbisik, suaranya tenggelam dalam hembusan angin. "Kehilangan kamu masih seperti mimpi buruk buat aku."

Lelaki berkemeja putih itu duduk di tanah yang dingin, seolah tak peduli bahwa rumput yang mengelilinginya mulai memudar, seperti segala kenangan indah yang pernah dia miliki bersama sang istri.

Di sana, di dekat makam istrinya, Hannan merasa seolah waktu telah berhenti. Semuanya begitu berat untuk dihadapi. Setiap hari, Hannan seperti berjalan dalam bayangan Kesha—terus mencari-cari istrinya di setiap sudut rumah mereka, di setiap tempat yang pernah mereka habiskan bersama.

Hannan menyeka air mata yang mulai mengalir, "Kenapa kamu pergi tinggalin aku sendiri? Aku nggak tahu gimana harus jalani hari-hariku tanpa kamu. Aku nggak tahu gimana aku bisa lanjutin hidup tanpa ada kamu di sisi aku."

Dipegangnya erat batu nisan itu, seolah ingin merasakan keberadaan Kesha yang sudah tiada. Seolah, dengan cara ini, Hannan bisa lebih dekat dengan kenangan indah yang telah pergi selamanya.

"Kembali, Kesha. Aku mau kita punya waktu bersama lagi. Aku mau dengar suara kamu, mau merasakan kehangatan kamu, mencium aroma masakanmu yang selalu mengingatkanku pada rumah kita."

Tangis Hannan semakin berat. Dia tidak pernah tahu betapa besar kerinduannya, hingga semuanya terasa menyesakkan.

"Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu. Dunia ini terasa hampa, Sayang. Aku seperti berjalan tanpa arah."

"Semua yang dulu kita rencanakan, sekarang tinggal kenangan. Aku berharap kamu ada di sini, untuk kasih tahu aku bahwa semuanya akan baik-baik aja."

Seketika itu, Hannan merasa seperti jiwanya terkulai lemas. Waktu berlalu begitu cepat, dan dia tak tahu lagi harus bagaimana. Kenangan bersama Kesha adalah satu-satunya hal yang masih membuatnya hidup, namun semua itu seperti bayang-bayang yang terus menghindar dari jangkauannya. Kesha sudah pergi, dan dia harus belajar hidup tanpa kehadirannya.

Di pemakaman yang sunyi itu, di hadapan makam Kesha, Hannan tahu satu hal yang pasti: Cinta sejati tidak pernah benar-benar hilang. Cinta yang mereka punya akan tetap hidup di dalam dirinya, selamanya.

Dengan perlahan, Hannan bangkit dan menatap nisan itu untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi. Langit kelabu masih menyelimuti, tapi di dalam hati Hannan, ada sedikit ketenangan—bahwa meski Kesha tidak lagi ada di dunia ini, cintanya akan tetap hidup hingga nanti.

Di tengah perjalanan pulang dari pemakaman, ponsel Hannan tiba-tiba bergetar, suara deringnya seakan mengganggu kesunyian yang mulai merasuk ke dalam dirinya.

Hannan merogoh saku jaketnya, menatap layar ponsel yang menampilkan nama rumah sakit yang tak asing lagi. Sekejap, hatinya berdebar. Ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan enggan, Hannan mengangkat telepon itu, menempelkan ponsel di telinga.

"Selamat sore, dengan Pak Hannan?"

Suara perawat di ujung telepon terdengar tenang, namun Hannan bisa merasakan ada sesuatu yang mendesak dalam nada bicaranya.

"Kami dari pihak rumah sakit, Pak. Ingin memberi info pada Anda terkait bayi yang dilahirkan Bu Kesha. Kondisinya memburuk, bisa datang dan temui kami sekarang?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 103. Bertahan Dihati—ekstrapart

    Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 102. Dua Kutub Dingin—ekstrapart

    Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 101. Tuan Putri Launa—ekstrapart

    Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 100. Yang Tersisa kini Lengkap [TAMAT]

    "Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 99. Kejutan untuk Hannan

    Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 98. Partner in—Crime Lingga

    Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status