Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 1. Sunyi di Antara Dua Nyawa

Share

Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO
Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO
Author: Ucing Ucay

Bab 1. Sunyi di Antara Dua Nyawa

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-09 06:28:28

Lampu putih menyala terang di langit-langit ruang operasi, memantul pada permukaan baja yang dingin. Malam begitu sunyi di luar, tapi di dalam sana waktu berlari tanpa ampun.

Seorang dokter berdiri di depan meja operasi, bersarung tangan steril, wajahnya tersembunyi di balik masker. Napasnya teratur, namun sorot matanya menyiratkan ketegangan yang menggantung di udara. Seorang ibu muda terbujur kaku di meja, tubuhnya sudah terbius setengah sadar, tapi detak jantungnya terus menurun, dan detak jantung janin di monitor terdengar kian lemah—seperti memudar.

"Tekanan darah drop, Dokter," lapor perawat dengan suara gemetar.

"Mulai sayatan," ucap dokter, singkat dan tegas.

Bersamaan dengan aba–aba itu, pisau bedah mulai membelah kulit. Darah hangat mengalir, waktu seolah berlari lebih cepat. Tim medis bekerja nyaris tanpa bicara. Suasana mencekam, seperti menahan napas bersama. Plasenta terlihat—dan ada darah, terlalu banyak darah.

"Plasenta previa totalis," gumam salah satu asisten.

Situasi darurat. Harus cepat.

Dengan tangan terampil namun terburu, sang dokter menyusupkan tangan ke dalam rahim, berusaha menarik keluar tubuh mungil yang belum sempat melihat dunia. Saat kepala bayi muncul, napas semua orang tertahan.

Hening.

Tidak ada tangis.

"Bayi tidak bernapas!" seru perawat anak, segera membawa tubuh kecil itu ke meja resusitasi. Suara alat bantu pernapasan mulai terdengar, diiringi kompresi dada seukuran dua jari. Bayi laki-laki itu diam, wajahnya kebiruan, tubuhnya dingin.

Di meja operasi, sang ibu mulai kehilangan tekanan darah lebih cepat.

"K–kenapa bayinya tidak menangis?" ucap Ibu muda yang dua matanya terus terpejam kembali. "Bayiku, selamatkan bayiku."

"Fokus ke ibu!" perintah dokter, dengan nada sedikit berteriak. Tangannya bergerak cepat, menghentikan perdarahan, menjahit jaringan yang nyaris kehilangan warna. Semua bergerak, berusaha menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.

Beberapa menit kemudian, suara pelan terdengar dari sudut ruangan. "Nadi nol. Bayi tidak selamat."

Tak ada yang bicara. Hanya suara mesin, napas berat, dan detak jam dinding yang terdengar seperti palu godam.

Dokter tidak menoleh. Tak boleh. Tugasnya belum selesai, melanjutkan sisa–sisa prosedur dengan tangan bergetar. Bukan karena lelah, tapi karena kehilangan.

Saat ibu dari sang bayi yang dinyatakan meninggal dunia itu akhirnya distabilkan dan dibawa ke ruang pemulihan, dokter berdiri sejenak, masih di bawah cahaya terang yang terasa terlalu silau malam itu.

Inkubator kosong di sudut ruangan tampak dingin. Di antara bau darah, alkohol, dan cairan infus, ada satu hal yang tidak sempat lahir: tangis pertama.

Sementara itu, di ruang operasi yang berbeda—tak begitu jauh, namun seolah berada di dimensi lain—suasana juga sedang memuncak dalam kegentingan. Udara di dalam ruangan itu berat, penuh ketegangan yang merayap di antara napas-napas terburu.

Seorang ibu sedang bertarung dengan waktu. Tubuhnya menggigil meski ditutupi kain steril. Di wajahnya terpatri kepasrahan, juga semangat terakhir untuk bertahan, demi anak yang sedang berusaha keluar dari rahimnya. Darah menggenang, deras dan tak kunjung berhenti.

Dokter di sisi meja berusaha keras. Jemarinya bergerak cepat, menjahit luka, menyekat perdarahan, menyelamatkan organ yang sudah kehilangan warna. Setiap detik diukur dengan napas. Setiap keputusan diambil dengan risiko. Di sampingnya, anestesiologis terus menginformasikan tekanan darah yang merosot seperti angka di papan jatuh bebas.

"Dia masih sadar," bisik seorang perawat.

Dokter melirik. Mata sang ibu terbuka sedikit, menyiratkan ketakutan yang nyaris hancur. Bibirnya bergerak, tak terdengar, seperti hendak mengatakan sesuatu—atau mungkin hanya ingin mendengar suara bayinya menangis, sekali saja.

Dan lalu, tubuh sang Ibu melemas. Monitor berbunyi tajam.

"V-fib!"

"Kejut! Sekarang!"

Alat kejut didekatkan, gel diterapkan, tubuh sang ibu terguncang sekali, dua kali, tiga. Namun garis di monitor tetap lurus. Seperti takdir yang tak bisa dilawan.

Tangis bayi pecah di tengah kekacauan. Suara yang seharusnya jadi harapan, tapi datang terlambat bagi sang ibu yang kini terbaring diam.

Dokter menghentikan tangannya. Tanda tak ada lagi yang bisa dilakukan. Sedang bayi yang berhasil selamat tadi masih menangis, nyaring dan kuat. Hanya saja, peluk pertama dari ibunya tak pernah datang.

Dua ruang operasi.

Dua perjuangan.

Satu kehilangan seorang anak, sementara yang lain kehilangan seorang ibu.

Malam itu, rumah sakit tak hanya menyaksikan kelahiran—tapi juga perpisahan yang tak pernah diinginkan.

***

Di luar ruang operasi, langit masih pekat. Lampu lorong rumah sakit menyinari lantai dingin dengan warna kuning pucat, membentuk bayangan panjang di bawah kaki seorang pria yang duduk gelisah—tangan menggenggam erat tas kecil berisi pakaian ganti dan sebotol minyak telon.

Namanya Hannan. Ayah baru, seharusnya. Suami dari perempuan yang beberapa jam lalu tersenyum lemah padanya, sebelum dibawa masuk ke bilik pintu bertuliskan: "Ruang Operasi—Kelahiran".

Hannan terus menatap pintu itu, berharap wajah perawat keluar dengan kabar bahagia. Namun siapa yang mampu menebak kejutan takdir—yang keluar justru wajah-wajah tegang seolah membawa kabar besar di mana dapat meruntuhkan dunia Hannan dalam sekejap mata.

Langkah tergesa, bisikan antar petugas yang terlalu pelan untuk didengar, cukup membuat dada Hannan sesak.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar. Masker masih menempel di wajahnya. Matanya letih, menyiratkan pergulatan batin. Sosok bersnelli putih itu berdiri di depan Hannan, terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara.

"Anaknya selamat, laki-laki. Hanya saja, istri Anda tidak bisa diselamatkan."

Dunia runtuh dalam satu kalimat.

Hannan terpaku. Seakan kata-kata itu terlalu asing untuk dimengerti. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara keluar.

Demi tekad istrinya Hannan ingin bertanya: Apa maksudnya? Bagaimana bisa? Bukankah Kesha harusnya baik-baik saja? Bukankah ini hanya persalinan biasa?

Namun yang keluar hanya napas pendek-pendek dan wajah yang memucat.

"TIDAKKK!" teriak Hannan, histeris.

"Nyebut, Hannan, Istighfar, kamu harus ikhlas," bujuk Lena-Ibu kandung Hannan yang juga berada di sana—mendengar berita yang sama.

Meski sedih karena kehilangan menantu kesayangannya, tapi sebagai seorang ibu, Lena harus tegar dan memberi kekuatan pada putranya. 

"Kondisi istri anda sangat buruk. Sejak awal kehamilan, semuanya memang berjalan sulit. Namun tekad nyonya Kesha begitu kuat, dia tetap bersikeras menjalani kehamilannya agar bayi kalian lahir. Dia sudah tahu resikonya, Pak. Maafkan kami," ucap dokter kandungan yang menangani istri Hannan sejak mengetahui kehamilannya sampai hari ini. 

"Kenapa? Kenapa, Kesha?" teriak Hannan, masih belum terima istrinya meninggal.

Dia terus bertanya-tanya mengapa sang istri harus merahasiakan semuanya? Kalau boleh memilih mungkin Hannan lebih memilih nyawa istrinya ketimbang memiliki keturunan. Tapi tidak dengan Kesha. Wanita itu siap mempertaruhkan nyawanya untuk memberi suaminya keturunan.

Tangan yang mulanya memegang tas persalinan itu gemetar hebat. Hannan mencoba mencari wajah istrinya di balik pintu—namun yang ada hanya kenyataan bahwa dia takkan pernah melihat mata itu terbuka lagi.

Di saat satu nyawa mungil menangis untuk pertama kalinya, satu hati yang paling dia cintai telah terdiam untuk selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 103. Bertahan Dihati—ekstrapart

    Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 102. Dua Kutub Dingin—ekstrapart

    Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 101. Tuan Putri Launa—ekstrapart

    Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 100. Yang Tersisa kini Lengkap [TAMAT]

    "Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 99. Kejutan untuk Hannan

    Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 98. Partner in—Crime Lingga

    Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status