Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 4. Asi Perempuan yang Kehilangan

Share

Bab 4. Asi Perempuan yang Kehilangan

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-09 06:29:31

"Kami ingin mengabarkan terkait kondisi bayi Anda, bayi laki-laki yang baru lahir dari almarhumah istri Anda, Ibu Kesha," lanjut perawat itu, sedikit ragu-ragu.

"Kondisinya tidak bagus, Pak. Saya harap Anda bisa segera datang ke sini sekarang," sambung lawan bicara dari seberang.

Hannan tidak bisa mengabaikan kata–kata yang baru saja dia dengar. Malaikat mungil itu pada akhirnya mencari keberadaan sang ayah tercinta, meski naas satu–satunya orang tua yang tersisa tidak peduli akan keberadaannya.

"Bayi itu masih hidup?" suara Hannan terdengar datar, seolah tidak terlalu peduli.

"Benar, Pak. Berkat kasih Yang Maha Kuasa, dia masih hidup. Namun kondisinya cukup memprihatinkan. Bayi Anda alergi terhadap susu formula, dan kami kesulitan mendapatkan suplai ASI yang cukup untuknya." Perawat menjelaskan dengan hati-hati.

Di sisi lain, Hannan hanya terdiam. Sesuatu yang aneh tiba-tiba menyelusup di hatinya—kebingungan, tapi lebih banyak rasa cemas yang tak bisa dijelaskan. Sayang, perasaan itu tak cukup kuat untuk menggugahnya. Sesuatu dalam dirinya menanggapi berita itu dengan dingin, tanpa emosi.

"Lalu? Anda ingin saya bagaimana?"

"Maaf, Pak?"

"Apa saya harus datang dan berlari ke sana demi menyelamatkannya?" tanya Hannan, nada bicaranya yang dingin dan cuek terdengar jelas. "Kalian tim medis, bukankah harusnya lebih paham daripada saya? Kasus seperti ini bukan pertama kalinya, 'kan?"

Perawat itu terdiam sejenak, kemudian menjawab pelan, "Kami hanya ingin memastikan agar Anda tahu. Kalau Anda ingin bayi Anda diberi perhatian lebih, kami bisa menyediakan susu alternatif dan bantuan medis yang diperlukan. Hanya saja, kami butuh izin dari orangtua, dari Anda, Pak."

Hannan menarik napas panjang, memandang jalan yang sepi di luar jendela mobilnya. Perlahan-lahan, kata-kata itu mengalir keluar, terasa begitu berat namun tak bisa dihentikan.

"Saya tidak ada urusan dengan bayi itu," ujarnya tanpa rasa menyesal. "Kalian mau apakan dia, saya tidak peduli. Biarkan saja dia, saya tidak ingin terlibat."

Perawat nampaknya terkejut, dapat terbaca dari suaranya yang goyah. "Tapi, Pak Hannan, bayi ini—"

"Dengar," Hannan terdengar lebih tegas, namun lebih rendah. "Bayi itu adalah alasan istri saya meninggal. Anda tidak mengerti apa yang saya rasakan. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya tidak peduli."

Suasana di ujung telepon hening sejenak, hanya terdengar suara nafas perawat yang tertekan. Hannan memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengan cepat.

"Terima kasih," kata Hannan datar, sebelum menekan tombol akhir panggilan.

Dia menatap layar ponsel yang mati sejenak, seolah berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Perasaan hampa kembali menyelimuti dirinya. Bayi itu. Bayi yang seharusnya menjadi harapan mereka. Namun, tak ada ruang bagi harapan di dunia yang kini hanya dipenuhi oleh kenangan. Dunia yang dipenuhi oleh bayangan Kesha yang sudah hilang selamanya.

Hannan meremas stir mobil, mencoba mengendalikan perasaan yang seolah tak ingin mereda. Dalam hatinya seakan ada sesuatu yang terus bergolak. Meski Hannan mencoba menepis, kenangan tentang bayi yang tak pernah sempat dia lihat dan Kesha yang telah pergi, menghantui langkahnya.

***

Hari-hari Andini di rumah sakit berjalan tanpa warna. Pagi, siang, sore, malam—semuanya terasa sama. Luka operasinya mulai mengering, tapi luka di dadanya tetap terbuka, menganga, dan tak kunjung sembuh adanya.

Ranjang tempat tidur miliknya nampak selalu bersih, rapi, tak pernah benar-benar dipakai selain untuk istirahat sejenak dari tatapan dunia. Andini lebih sering berjalan sendiri, pelan, menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang dingin dan berbau antiseptik. Kadang perempuan bertubuh kurus itu duduk di bangku dekat taman kecil di ujung lorong, menatap langit lewat kaca jendela. Kadang pula, entah kenapa, langkah membawanya ke depan ruang perawatan bayi yang tak jauh dari ruang rawatnya.

Andini tidak tahu untuk apa. Tapi setiap kali berdiri di sana, jantungnya berdetak tak beraturan. Seakan ada harap yang tertinggal—meski dia tahu, harap itu telah lama direnggut kenyataan.

Hingga suatu sore, saat matahari mulai merunduk dan lorong rumah sakit mulai lengang, Andini mendengar suara samar dari dalam ruang perawat. Pintu sedikit terbuka. Dia tidak sengaja mendekat, awalnya hanya ingin bertanya jam.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara seorang perawat perempuan yang tengah menelpon.

"Berkat kasih Yang Maha Kuasa, dia masih hidup. Namun kondisinya cukup memprihatinkan. Bayi Anda alergi terhadap susu formula, dan kami kesulitan mendapatkan suplai ASI yang cukup untuknya."

Respon di seberang tampaknya tidak menjawab seperti yang diharapkan, karena suara perawat terdengar gemetar setelahnya.

Sempat terdengar gerutuan perawat usai telpon ditutup.

"Aku harus bagaimana lagi? Ayahnya sendiri tidak peduli pada bayi ini!"

"Ssst, Sus! Jangan bicara sembarangan begitu," tegur salah satu rekannya. "Kita tidak pernah tau jika kita tidak mengalami luka yang sama. Yang penting, kita berusaha sampai bayi ini mendapat hidup yang layak."

Andini termenung cukup lama di sana, berdiri tanpa bisa bertanya apa–apa. Bayi yang ditinggalkan? Oleh ayahnya sendiri?

Dadanya berdenyut aneh. Andini mundur satu langkah, bersandar pada dinding. Tangannya refleks memegang perut yang masih terasa berat bekas operasi. Matanya mulai panas.

Dia tak habis pikir. Bagaimana bisa? Seorang ayah membuang darah dagingnya sendiri?

Bukankah setiap kehidupan, sekecil apa pun, adalah anugerah? Bukankah satu tarikan napas pertama bayi adalah bukti bahwa Tuhan masih memberi harapan?

Sore itu, Andini kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Suara telepon yang tadi dia dengar terus menggema di kepalanya. Seolah bayi itu sedang menangis dalam diamnya.

Andini mencoba mengalihkan pikiran, tapi tetap saja—wajah bayi yang belum dia lihat, yang belum pernah dia kenal, membayangi seperti bisikan kecil dari langit yang mendung.

Malam itu, Andini terjaga lebih lama dari biasanya. Perasaannya tak tenang. Ada dorongan dalam hati yang begitu kuat, seperti ada tali tak kasat mata yang menyeretnya ke satu arah. Dia akhirnya memberanikan diri keluar dari kamarnya. Sepi. Lampu lorong rumah sakit menyala temaram. Suara detak sepatu perawat sesekali terdengar dari kejauhan.

Andini mengikuti kata hatinya. Kakinya melangkah ke arah ruang perawatan bayi.

Begitu sampai di depan ruangan itu, matanya langsung menangkap sosok kecil di dalam inkubator. Perawat di dalam sedang menidurkan seorang bayi mungil dengan selimut tipis, lalu keluar karena hendak mencatat sesuatu.

Mereka berpapasan.

Perawat sempat terkejut melihat Andini berdiri di sana. Banyak yang mulai mengenali keberadaan si Ibu muda yang kehilangan bayinya—yang seringkali bolak–balik ke ruang perawatan bayi hanya demi menyembuhkan luka.

"Bu Andini, belum istirahat?" tanya perawat lembut. 

Andini menatap perempuan berseragam biru langit itu sejenak, lalu mengangguk pelan ke arah ruang bayi. "Boleh aku lihat sebentar, Sus?"

Perawat ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk samar. "Sebentar saja ya, Bu," katanya sambil membuka pintu.

Langkah Andini terasa berat saat masuk. 

Bayi laki-laki itu terlelap. Wajahnya teduh, bibirnya mungil. Tapi di matanya yang tertutup itu, Andini seolah melihat luka yang sama. Luka karena ditinggalkan.

Air matanya menetes tanpa suara.

"Aku bukan siapa-siapamu. Tapi malam ini, bolehkah aku mengasihani kita berdua?"

Tangisnya pecah diam-diam.

Tidak berselang, perawat yang memberi ijin kembali. Membawa botol kecil berisi ASI. 

"Dia alergi susu formula," jelasnya pelan. "Kami sedang mencari donor ASI. Hanya saja, belum ada yang cocok. Lihat betapa kurus dan laparnya dia."

Andini tertegun.

Lalu tanpa berpikir panjang, dia berkata pelan tapi tegas, "Ambil punyaku. ASI-ku belum berhenti. Aku bisa bantu menyusuinya, Sus."

Perawat menoleh padanya, kaget.

Andini menyarankan untuk kesekian kali. "Mungkin ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan agar lukaku punya arti."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 103. Bertahan Dihati—ekstrapart

    Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 102. Dua Kutub Dingin—ekstrapart

    Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 101. Tuan Putri Launa—ekstrapart

    Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 100. Yang Tersisa kini Lengkap [TAMAT]

    "Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 99. Kejutan untuk Hannan

    Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 98. Partner in—Crime Lingga

    Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status