"Kami ingin mengabarkan terkait kondisi bayi Anda, bayi laki-laki yang baru lahir dari almarhumah istri Anda, Ibu Kesha," lanjut perawat itu, sedikit ragu-ragu.
"Kondisinya tidak bagus, Pak. Saya harap Anda bisa segera datang ke sini sekarang," sambung lawan bicara dari seberang.
Hannan tidak bisa mengabaikan kata–kata yang baru saja dia dengar. Malaikat mungil itu pada akhirnya mencari keberadaan sang ayah tercinta, meski naas satu–satunya orang tua yang tersisa tidak peduli akan keberadaannya.
"Bayi itu masih hidup?" suara Hannan terdengar datar, seolah tidak terlalu peduli.
"Benar, Pak. Berkat kasih Yang Maha Kuasa, dia masih hidup. Namun kondisinya cukup memprihatinkan. Bayi Anda alergi terhadap susu formula, dan kami kesulitan mendapatkan suplai ASI yang cukup untuknya." Perawat menjelaskan dengan hati-hati.
Di sisi lain, Hannan hanya terdiam. Sesuatu yang aneh tiba-tiba menyelusup di hatinya—kebingungan, tapi lebih banyak rasa cemas yang tak bisa dijelaskan. Sayang, perasaan itu tak cukup kuat untuk menggugahnya. Sesuatu dalam dirinya menanggapi berita itu dengan dingin, tanpa emosi.
"Lalu? Anda ingin saya bagaimana?"
"Maaf, Pak?"
"Apa saya harus datang dan berlari ke sana demi menyelamatkannya?" tanya Hannan, nada bicaranya yang dingin dan cuek terdengar jelas. "Kalian tim medis, bukankah harusnya lebih paham daripada saya? Kasus seperti ini bukan pertama kalinya, 'kan?"
Perawat itu terdiam sejenak, kemudian menjawab pelan, "Kami hanya ingin memastikan agar Anda tahu. Kalau Anda ingin bayi Anda diberi perhatian lebih, kami bisa menyediakan susu alternatif dan bantuan medis yang diperlukan. Hanya saja, kami butuh izin dari orangtua, dari Anda, Pak."
Hannan menarik napas panjang, memandang jalan yang sepi di luar jendela mobilnya. Perlahan-lahan, kata-kata itu mengalir keluar, terasa begitu berat namun tak bisa dihentikan.
"Saya tidak ada urusan dengan bayi itu," ujarnya tanpa rasa menyesal. "Kalian mau apakan dia, saya tidak peduli. Biarkan saja dia, saya tidak ingin terlibat."
Perawat nampaknya terkejut, dapat terbaca dari suaranya yang goyah. "Tapi, Pak Hannan, bayi ini—"
"Dengar," Hannan terdengar lebih tegas, namun lebih rendah. "Bayi itu adalah alasan istri saya meninggal. Anda tidak mengerti apa yang saya rasakan. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya tidak peduli."
Suasana di ujung telepon hening sejenak, hanya terdengar suara nafas perawat yang tertekan. Hannan memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengan cepat.
"Terima kasih," kata Hannan datar, sebelum menekan tombol akhir panggilan.
Dia menatap layar ponsel yang mati sejenak, seolah berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Perasaan hampa kembali menyelimuti dirinya. Bayi itu. Bayi yang seharusnya menjadi harapan mereka. Namun, tak ada ruang bagi harapan di dunia yang kini hanya dipenuhi oleh kenangan. Dunia yang dipenuhi oleh bayangan Kesha yang sudah hilang selamanya.
Hannan meremas stir mobil, mencoba mengendalikan perasaan yang seolah tak ingin mereda. Dalam hatinya seakan ada sesuatu yang terus bergolak. Meski Hannan mencoba menepis, kenangan tentang bayi yang tak pernah sempat dia lihat dan Kesha yang telah pergi, menghantui langkahnya.
***
Hari-hari Andini di rumah sakit berjalan tanpa warna. Pagi, siang, sore, malam—semuanya terasa sama. Luka operasinya mulai mengering, tapi luka di dadanya tetap terbuka, menganga, dan tak kunjung sembuh adanya.
Ranjang tempat tidur miliknya nampak selalu bersih, rapi, tak pernah benar-benar dipakai selain untuk istirahat sejenak dari tatapan dunia. Andini lebih sering berjalan sendiri, pelan, menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang dingin dan berbau antiseptik. Kadang perempuan bertubuh kurus itu duduk di bangku dekat taman kecil di ujung lorong, menatap langit lewat kaca jendela. Kadang pula, entah kenapa, langkah membawanya ke depan ruang perawatan bayi yang tak jauh dari ruang rawatnya.
Andini tidak tahu untuk apa. Tapi setiap kali berdiri di sana, jantungnya berdetak tak beraturan. Seakan ada harap yang tertinggal—meski dia tahu, harap itu telah lama direnggut kenyataan.
Hingga suatu sore, saat matahari mulai merunduk dan lorong rumah sakit mulai lengang, Andini mendengar suara samar dari dalam ruang perawat. Pintu sedikit terbuka. Dia tidak sengaja mendekat, awalnya hanya ingin bertanya jam.
Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara seorang perawat perempuan yang tengah menelpon.
"Berkat kasih Yang Maha Kuasa, dia masih hidup. Namun kondisinya cukup memprihatinkan. Bayi Anda alergi terhadap susu formula, dan kami kesulitan mendapatkan suplai ASI yang cukup untuknya."
Respon di seberang tampaknya tidak menjawab seperti yang diharapkan, karena suara perawat terdengar gemetar setelahnya.
Sempat terdengar gerutuan perawat usai telpon ditutup.
"Aku harus bagaimana lagi? Ayahnya sendiri tidak peduli pada bayi ini!"
"Ssst, Sus! Jangan bicara sembarangan begitu," tegur salah satu rekannya. "Kita tidak pernah tau jika kita tidak mengalami luka yang sama. Yang penting, kita berusaha sampai bayi ini mendapat hidup yang layak."
Andini termenung cukup lama di sana, berdiri tanpa bisa bertanya apa–apa. Bayi yang ditinggalkan? Oleh ayahnya sendiri?
Dadanya berdenyut aneh. Andini mundur satu langkah, bersandar pada dinding. Tangannya refleks memegang perut yang masih terasa berat bekas operasi. Matanya mulai panas.
Dia tak habis pikir. Bagaimana bisa? Seorang ayah membuang darah dagingnya sendiri?
Bukankah setiap kehidupan, sekecil apa pun, adalah anugerah? Bukankah satu tarikan napas pertama bayi adalah bukti bahwa Tuhan masih memberi harapan?
Sore itu, Andini kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Suara telepon yang tadi dia dengar terus menggema di kepalanya. Seolah bayi itu sedang menangis dalam diamnya.
Andini mencoba mengalihkan pikiran, tapi tetap saja—wajah bayi yang belum dia lihat, yang belum pernah dia kenal, membayangi seperti bisikan kecil dari langit yang mendung.
Malam itu, Andini terjaga lebih lama dari biasanya. Perasaannya tak tenang. Ada dorongan dalam hati yang begitu kuat, seperti ada tali tak kasat mata yang menyeretnya ke satu arah. Dia akhirnya memberanikan diri keluar dari kamarnya. Sepi. Lampu lorong rumah sakit menyala temaram. Suara detak sepatu perawat sesekali terdengar dari kejauhan.
Andini mengikuti kata hatinya. Kakinya melangkah ke arah ruang perawatan bayi.
Begitu sampai di depan ruangan itu, matanya langsung menangkap sosok kecil di dalam inkubator. Perawat di dalam sedang menidurkan seorang bayi mungil dengan selimut tipis, lalu keluar karena hendak mencatat sesuatu.
Mereka berpapasan.
Perawat sempat terkejut melihat Andini berdiri di sana. Banyak yang mulai mengenali keberadaan si Ibu muda yang kehilangan bayinya—yang seringkali bolak–balik ke ruang perawatan bayi hanya demi menyembuhkan luka.
"Bu Andini, belum istirahat?" tanya perawat lembut.
Andini menatap perempuan berseragam biru langit itu sejenak, lalu mengangguk pelan ke arah ruang bayi. "Boleh aku lihat sebentar, Sus?"
Perawat ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk samar. "Sebentar saja ya, Bu," katanya sambil membuka pintu.
Langkah Andini terasa berat saat masuk.
Bayi laki-laki itu terlelap. Wajahnya teduh, bibirnya mungil. Tapi di matanya yang tertutup itu, Andini seolah melihat luka yang sama. Luka karena ditinggalkan.
Air matanya menetes tanpa suara.
"Aku bukan siapa-siapamu. Tapi malam ini, bolehkah aku mengasihani kita berdua?"
Tangisnya pecah diam-diam.
Tidak berselang, perawat yang memberi ijin kembali. Membawa botol kecil berisi ASI.
"Dia alergi susu formula," jelasnya pelan. "Kami sedang mencari donor ASI. Hanya saja, belum ada yang cocok. Lihat betapa kurus dan laparnya dia."
Andini tertegun.
Lalu tanpa berpikir panjang, dia berkata pelan tapi tegas, "Ambil punyaku. ASI-ku belum berhenti. Aku bisa bantu menyusuinya, Sus."
Perawat menoleh padanya, kaget.
Andini menyarankan untuk kesekian kali. "Mungkin ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan agar lukaku punya arti."
Senja jatuh pelan di balik tirai jendela kamar, menyisakan warna keemasan yang lembut membingkai wajah Hannan Alfaruq—lelaki dengan reputasi besi, namun hari itu, dia tak lain dari seorang ayah yang sedang berlutut di atas karpet, bermain dengan balita kecilnya yang kini tambah dewasa."Sini, Nak. Papa punya singa! Aaaarrghh!" serunya pelan, berpura-pura menjadi binatang buas yang mengejar–ngejar mainan plastik.Lingga tertawa cekikikan, hingga suara kecilnya pecah menjadi rengekan manja saat Hannan pura-pura menggigit kaki bonekanya.Andini langsung muncul dari balik pintu kamar mandi dengan handuk kecil tergantung di bahu. "Mas! Mainnya jangan galak gitu dong! Nangis, tuh, anaknya.""Itu latihan keberanian," jawab Hannan dengan wajah tak berdosa, menggendong Lingga dan mencium kening anak itu. "Tapi baiklah. Maaf, Pak Jagoan."Lingga, yang masih cemberut, tiba-tiba menggumam pelan, "Papa."Andini membeku. Matanya membulat, lalu menoleh cepat ke arah Hannan yang juga diam, seolah tak
Udara pagi itu sejuk, langit nyaris tak berawan. Jakarta seperti melunak sedikit, memberi ruang pada dua manusia yang sedang dalam perjalanan sunyi namun penuh makna.Hannan Alfaruq duduk tegak di atas motor klasiknya. Di belakang, Andini memeluk pinggang pria itu erat. Dia mengenakan helm putih, rambutnya dikuncir rendah, dan matanya menatap ke arah jalanan yang masih lengang. Ini bukan perjalanan biasa. Bukan juga liburan dadakan. Ini adalah bentuk baru dari dialog kehidupan."Kita mau ke mana?" tanya Andini, angin menerpa wajah cantiknya."Tour kecil. Saya mau kamu bertemu dengan beberapa orang," jawab Hannan tanpa menoleh."Siapa?" tanyanya lagi."Teman. Yang tidak peduli saya Alfaruq atau bukan."Mereka berhenti di sebuah toko buku tua di bilangan gedung ala kolonial Belanda. Toko itu sudah berdiri puluhan tahun, dengan papan nama kayu yang mulai memudar. Hannan membuka pintu kaca berderit dan membiarkan Andini masuk lebih dulu. Seorang pria tua yang mengenakan sweater rajut meny
Mentari pagi menyapu pelataran rumah mewah Alfaruq dengan semburat keemasan yang hangat. Di taman belakang, embun belum sepenuhnya menguap dari rumput yang baru saja diinjak oleh sepasang sepatu lari Hannan Alfaruq. Kemeja lengan panjang yang biasa menjadi ciri khas CEO Alfaruq Group pagi itu digantikan dengan kaos abu dan celana jogger hitam. Peluh membasahi pelipisnya, namun kegagahan lelaki itu tidak luntur sedikit pun di mata Andini.Dari jauh, Andini hanya bisa mematung. Sejak kapan melihat seseorang lari pagi bisa membuat jantung berdebar seperti baru jatuh cinta?"Pantas saja dia selalu percaya diri. Tuhan menciptakannya sesempurna itu," gumam perempuan yang jatuh dalam pesona Hannan.Pria yang sedang dibicarakan itu seolah sadar, berjalan santai ke arah Andini sambil menyeruput air mineral."Masih jam segini, Mas," gumam Andini. "Udah selesai maratonnya?"Hannan menatap tanpa senyum, namun ada cahaya lembut di matanya. "Saya tidak bisa lama-lama meninggalkan rumah kalau kamu a
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar bayi, membias lembut di wajah Andini yang tengah menyusui Lingga. Bayi mungil itu tumbuh begitu cepat. Geraknya lincah, matanya cerdas, dan senyum kecilnya selalu berhasil mencairkan beban pikiran yang bersarang di kepala ibunya.Namun hari-hari Andini tidak hanya diisi dengan tangis, tawa, dan popok. Di sela waktu menyusui, di antara jadwal tidur Lingga yang tidak menentu, Andini memanfaatkan setiap celah untuk belajar. Dia menyusun rutinitasnya perlahan. Setiap pagi, setelah memastikan Lingga nyaman dan tidur nyenyak, dia akan membuka laptop.Di layar, tersusun rapi folder bertuliskan "Langkah Awal", "Konseling Bisnis", "Minat dan Bakat", dan "Peluang Usaha". Andini menonton video pendek dari pelaku UMKM, membaca e-book seputar strategi pemasaran digital, serta mengikuti kelas daring seputar pengembangan produk.Andini mulai dari pertanyaan sederhana: "Apa yang benar-benar aku sukai?"Andini mengumpulkan data, membuat diag
Senja menorehkan gradasi oranye pada kaca-kaca gedung pencakar langit. Di puncak menara Alfaruq Group, ruang kerja Hannan menyajikan panorama metropolis yang tak pernah tidur.Tirai kantor tersapu cahaya jingga dari matahari terbenam, memantulkan kilau lembut pada meja kayu tua yang selalu dipenuhi tumpukan berkas dan layar laptop. Di sudut ruangan, Ira—asisten pribadi sekaligus kepercayaan Hannan—duduk di kursi tamu, setengah bersandar, tablet di tangannya menampilkan laporan terakhir.Hannan menutup map kemudian menatap Ira dengan serius. Dia meninggalkan kursi kerjanya, lalu berjalan pelan menuju rak buku."Ira, ada kabar terbaru tentang pemegang saham?" tanyanya, suara datar namun jelas mengandung pertanyaan tajam.Ira mengamati ekspresi Hannan sejenak, lalu menjawab. "Beberapa saham utama sedang beralih tangan, Pak. Itu jadi topik terhangat di sidang dewan kemarin.""Pak, jika boleh berpendapat, menurut saya ini adalah kesempatan bagus untuk Andini mengambil posisi pemegang saham
Andini berdiri, mendekat. "Aku bukan orang besar, bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang ibu, seorang wanita biasa. Maka dari itu, jika aku harus masuk ke dunia kamu, aku harus tahu aku masuk bukan sebagai beban. Aku ingin punya pijakan sendiri, Mas. Aku ingin kamu izinkan aku tetap bekerja."Hannan terdiam. Rahangnya menegang. Bukan karena marah, melainkan sedang menimbang."Aku tidak minta dilindungi dari dunia kamu, Mas. Aku minta diperbolehkan berdiri sejajar, bahkan kalau suatu saat aku harus ikut jatuh. Aku mau jadi pasangan kamu, bukan pelengkap di kartu atau keadaan."Hannan menatap lama. Lalu perlahan, lelaki itu menghela napas dan mengangguk. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.Hannan menarik napas pelan. "Saya tidak mencintai kamu karena kamu cukup, Andini. Saya mencintai kamu karena kamu adalah kamu. Kalau itu syaratmu, maka saya akan pastikan dunia membuka semua pintunya untuk kamu.""Syarat darimu saya anggap sudah dipenuhi. Kamu boleh bekerja. Tapi perlu diingat, di