Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 5. Perhentian Tanpa Rencana

Share

Bab 5. Perhentian Tanpa Rencana

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-09 06:29:51

Ruang konseling rumah sakit pagi itu begitu hening. Hanya denting jam yang terdengar, bergema di antara dinding-dinding putih yang terasa dingin. Di depan meja, Hannan duduk bersandar lelah. Tatap matanya kosong, wajahnya kaku, seperti lelaki yang jiwanya tertinggal di liang lahat yang baru saja dia tinggalkan.

Seorang petugas rumah sakit, perempuan paruh baya berseragam rapi, duduk di hadapannya. Namanya Bu Ratri, pekerja sosial yang sudah berkali-kali menangani kasus bayi yang ditinggal orang tua. Tapi kali ini, hatinya lebih berat dari biasanya.

"Pak Hannan," ucapnya pelan, hati-hati, "Kami mengerti bahwa Bapak sedang berada di tengah luka yang sangat dalam. Kami turut berduka cita atas kepergian istri Bapak."

Hannan tidak menjawab. Dia hanya menunduk, menahan sesuatu yang menggelegak di dadanya namun tak ingin dia lepaskan.

"Namun kami harus sampaikan, kondisi putra Bapak membutuhkan perhatian. Bayi Bapak tidak bisa menerima susu formula. Dia butuh donor ASI sesegera mungkin."

Butuh jeda beberapa detik sebelum Hannan akhirnya bicara. Suaranya berat, namun dingin. "Saya sudah bilang, berkali–kali saya bilang—saya tidak ingin terlibat."

Bu Ratri menarik napas pelan. Dia tahu harus hati-hati menapaki batas rapuh antara hak bayi dan luka ayah.

"Kalau boleh saya tahu, kenapa, Pak?" tanyanya lembut. Bukan untuk menyalahkan, hanya untuk memahami—mendengarkan cerita Hannan.

"Karena dia yang membuat istri saya meninggal." Emosi Hannan pecah di ujung kalimat. "Saya kehilangan Kesha karena kelahirannya. Bagaimana saya bisa melihat anak itu tanpa mengingat kematian istri saya?"

Diam. Sunyi. Bahkan udara pun seakan berhenti bergerak.

Dengan suara bergetar, Bu Ratri berkata, "Saya mengerti rasa kehilangan Bapak. Tapi bayi itu, dia juga kehilangan. Dia tidak punya siapa-siapa di dunia ini selain Bapak."

Hannan menggeleng pelan, hampir tak terlihat. "Dia bukan siapa-siapa bagi saya."

Petugas sosial itu menunduk, lalu menggeser secarik dokumen dari dalam map birunya ke arah Hannan. "Kami tidak bisa memaksa Bapak. Tapi kami harus tahu—apakah Bapak tetap tidak ingin mencantumkan nama sebagai orang tua di akta lahir?"

Hannan menatap kertas itu dengan pandangan kosong. "Saya tidak bisa, dan saya tidak mau."

Setelah keheningan yang panjang, Bu Ratri menuliskan sesuatu di dokumennya. Lalu dia berbicara pelan, penuh pengertian.

"Kalau begitu, kami akan ajukan perlindungan anak kepada Dinas Sosial. Bayi ini akan dirawat dalam sistem perlindungan negara. Kami akan carikan relawan donor ASI sampai ada keputusan permanen. Tapi, Pak Hannan, jika suatu hari Bapak berubah pikiran, pintu kami akan selalu terbuka."

Tidak ada jawaban. Hanya Hannan yang berdiri perlahan, membenarkan jaketnya. Lelaki bertubuh tegap namun rapuh di dalam itu melangkah keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, dia berhenti sejenak.

"Namanya," gumam Hannan lirih, hampir tak terdengar. "Kalau nanti kalian butuh nama. Namai dia Lingga."

Bu Ratri menatap punggung lelaki itu sampai menghilang di balik lorong. Sedang jauh dari sana, dalam ruang perawatan bayi, seorang perawat sedang mengusap lembut pipi mungil yang tertidur lemah di inkubator. Di dada kecil itu, terpampang tulisan: Bayi Laki-Laki Tanpa Nama.

Kini, tulisan itu bisa diganti.

Lingga —yang namanya berarti ‘tanda'. Untuk di masa depan nantinya bayi itu akan menjadi sang pembeda—antara benar dan salah.

***

Hannan keluar dari ruang konsultasi dengan langkah lunglai. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap kosong—tanpa amarah, tanpa emosi, hanya seonggok lelaki yang tampak seperti baru saja kehilangan arah dalam hidup yang tak lagi punya tujuan berarti.

Udara lorong rumah sakit terasa dingin dan lengang, tapi dalam dada Hannan justru berdesakan sesak yang tak tahu harus lari ke mana. Sosok itu melangkah pelan—tanpa rencana—hingga kaki membawanya ke depan takdir yang dia tolak sekuat tenaga.

Ruang perawatan bayi. Sekadar ingin melihat, untuk terakhir kali.

Di balik kaca, Hannan melihat tubuh mungil itu—terbaring tenang, selang kecil masih menempel di kulitnya yang lembut. Bayi itu tidak menangis, tapi kesunyian di ruangan justru membuat Hannan makin ingin berlari. 

Di sebelahnya, tanpa Hanan sadari, berdiri seorang perempuan. Wajahnya pucat, matanya cekung, dan tubuhnya tampak masih menanggung nyeri bekas luka operasi. Tapi bukan itu yang membuat waktu seperti berhenti—melainkan sorot matanya—yang entah kenapa bertaut begitu saja dengan mata Hannan.

Tak ada sapa, tak ada tanya.

Hanya diam.

Seakan mereka saling memahami: tatapan yang saling mengukur kedalaman luka masing-masing.

Hannan menarik napas dalam kemudian pergi. Tanpa menoleh—tanpa memberi makna pada pertemuan singkat pagi itu.

Andini masih berdiri di tempat yang sama, dengan tangan mencengkeram lengan bajunya sendiri, mencoba menahan detak jantung yang tidak tahu mengapa mulai tak beraturan sedari tadi. Ada sesuatu dalam tatapan pria tadi yang terasa akrab—seolah luka mereka berasal dari sumber yang sama.

Lalu langkah lembut menghampirinya. Seorang perawat menyentuh lengannya pelan, lalu membisikkan kata-kata yang meretakkan ruang hening di hatinya. "Bu, laki-laki tadi, dia ayah dari bayi yang sempat Ibu susui."

Andini membeku.

Sorot matanya kembali ke kaca, ke tempat di mana Hannan berdiri beberapa detik lalu kala bersinggungan tatap dengannya.

"Apa bayi itu benar–benar ditinggalkan oleh ayahnya?" tanya Andini. "Apa sekarang bayi itu sudah tidak punya siapa–siapa?"

"Kemungkinan besar begitu."

Langkah Hannan dipastikan sudah menjauh. Tapi dada Andini mendadak sesak oleh dorongan yang tidak bisa dia jelaskan. Ada sesuatu dalam dirinya seperti memaksa untuk bicara—untuk sekadar memanggil—untuk menyentuh dunia pria itu yang terlihat begitu dingin dan kosong.

Andini menoleh pada perawat, lalu berbalik dan mulai melangkah—tertatih, masih dengan luka operasi yang belum kering. Perempuan itu mempercepat langkah sekuat yang dia bisa. Lorong rumah sakit terasa panjang, dan napasnya mulai tercekat.

"Halo! Pak—tunggu sebentar!"

Hannan berhenti sejenak, tapi tak menoleh. Dia hanya berdiri, punggungnya tegap, seolah sedang berdiri di depan pintu dunia yang tak ingin dia buka lagi.

Andini meraih ujung napasnya. "Maaf, tadi waktu Bapak berdiri di depan ruang bayi, ada yang terjatuh," ujarnya sambil menggenggam sesuatu yang sebenarnya tak nyata. "Sepertinya ini barang milik Anda."

Hannan akhirnya menoleh. Mata tajamnya menatap wajah Andini dengan datar. Dia tidak bicara. Tidak juga mengambil benda yang ditawarkan Andini padanya.

"Mungkin ini bukan apa-apa," Andini berusaha tetap tenang meski tangannya gemetar. "Saya hanya, tadi saya lihat Bapak berdiri di depan kaca. Bayi itu, dia—"

"Simpan ceritamu," Hannan memotong, suaranya rendah dan dingin. "Saya tidak tertarik."

Andini terdiam. Untuk sesaat, dia ingin mundur. Namun sial mulutnya lebih cepat daripada akalnya.

"Saya tahu Bapak sedang terluka. Saya tau pasti berat bagi bapak menerima semuanya. Tapi bayi itu, dia tidak punya siapa-siapa."

"Apa saya terlihat peduli?" Hannan menyela. "Dengar, jangan biasa ikut campur pada sesuatu yang bukan urusanmu."

Andini mematung. Tubuhnya terasa dingin. Bukan karena AC rumah sakit, tapi karena kata-kata yang lebih tajam dari pisau bedah. Hannan berlalu begitu saja. Meninggalkan bayangannya, meninggalkan kata-kata yang tertelan di kerongkongan Andini.

Di belakang, Andini masih berdiri kaku. Tangannya menggenggam benda yang sengaja dia buat sebagai alasan. Namun bukan itu yang membuatnya hampir menangis—melainkan tatapan kosong pria tadi, yang seolah sudah lama mati, terlalu dalam terluka hingga tak lagi bisa melihat bahwa ada nyawa kecil yang mungkin bisa menyelamatkan sedikit sisa kasih di hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 85. Keluarga Kecil

    Senja jatuh pelan di balik tirai jendela kamar, menyisakan warna keemasan yang lembut membingkai wajah Hannan Alfaruq—lelaki dengan reputasi besi, namun hari itu, dia tak lain dari seorang ayah yang sedang berlutut di atas karpet, bermain dengan balita kecilnya yang kini tambah dewasa."Sini, Nak. Papa punya singa! Aaaarrghh!" serunya pelan, berpura-pura menjadi binatang buas yang mengejar–ngejar mainan plastik.Lingga tertawa cekikikan, hingga suara kecilnya pecah menjadi rengekan manja saat Hannan pura-pura menggigit kaki bonekanya.Andini langsung muncul dari balik pintu kamar mandi dengan handuk kecil tergantung di bahu. "Mas! Mainnya jangan galak gitu dong! Nangis, tuh, anaknya.""Itu latihan keberanian," jawab Hannan dengan wajah tak berdosa, menggendong Lingga dan mencium kening anak itu. "Tapi baiklah. Maaf, Pak Jagoan."Lingga, yang masih cemberut, tiba-tiba menggumam pelan, "Papa."Andini membeku. Matanya membulat, lalu menoleh cepat ke arah Hannan yang juga diam, seolah tak

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 84. Lokakarya Dadakan

    Udara pagi itu sejuk, langit nyaris tak berawan. Jakarta seperti melunak sedikit, memberi ruang pada dua manusia yang sedang dalam perjalanan sunyi namun penuh makna.Hannan Alfaruq duduk tegak di atas motor klasiknya. Di belakang, Andini memeluk pinggang pria itu erat. Dia mengenakan helm putih, rambutnya dikuncir rendah, dan matanya menatap ke arah jalanan yang masih lengang. Ini bukan perjalanan biasa. Bukan juga liburan dadakan. Ini adalah bentuk baru dari dialog kehidupan."Kita mau ke mana?" tanya Andini, angin menerpa wajah cantiknya."Tour kecil. Saya mau kamu bertemu dengan beberapa orang," jawab Hannan tanpa menoleh."Siapa?" tanyanya lagi."Teman. Yang tidak peduli saya Alfaruq atau bukan."Mereka berhenti di sebuah toko buku tua di bilangan gedung ala kolonial Belanda. Toko itu sudah berdiri puluhan tahun, dengan papan nama kayu yang mulai memudar. Hannan membuka pintu kaca berderit dan membiarkan Andini masuk lebih dulu. Seorang pria tua yang mengenakan sweater rajut meny

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 83. Sehari menjadi Manusia Biasa

    Mentari pagi menyapu pelataran rumah mewah Alfaruq dengan semburat keemasan yang hangat. Di taman belakang, embun belum sepenuhnya menguap dari rumput yang baru saja diinjak oleh sepasang sepatu lari Hannan Alfaruq. Kemeja lengan panjang yang biasa menjadi ciri khas CEO Alfaruq Group pagi itu digantikan dengan kaos abu dan celana jogger hitam. Peluh membasahi pelipisnya, namun kegagahan lelaki itu tidak luntur sedikit pun di mata Andini.Dari jauh, Andini hanya bisa mematung. Sejak kapan melihat seseorang lari pagi bisa membuat jantung berdebar seperti baru jatuh cinta?"Pantas saja dia selalu percaya diri. Tuhan menciptakannya sesempurna itu," gumam perempuan yang jatuh dalam pesona Hannan.Pria yang sedang dibicarakan itu seolah sadar, berjalan santai ke arah Andini sambil menyeruput air mineral."Masih jam segini, Mas," gumam Andini. "Udah selesai maratonnya?"Hannan menatap tanpa senyum, namun ada cahaya lembut di matanya. "Saya tidak bisa lama-lama meninggalkan rumah kalau kamu a

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 82. Cahaya yang Dipilih

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar bayi, membias lembut di wajah Andini yang tengah menyusui Lingga. Bayi mungil itu tumbuh begitu cepat. Geraknya lincah, matanya cerdas, dan senyum kecilnya selalu berhasil mencairkan beban pikiran yang bersarang di kepala ibunya.Namun hari-hari Andini tidak hanya diisi dengan tangis, tawa, dan popok. Di sela waktu menyusui, di antara jadwal tidur Lingga yang tidak menentu, Andini memanfaatkan setiap celah untuk belajar. Dia menyusun rutinitasnya perlahan. Setiap pagi, setelah memastikan Lingga nyaman dan tidur nyenyak, dia akan membuka laptop.Di layar, tersusun rapi folder bertuliskan "Langkah Awal", "Konseling Bisnis", "Minat dan Bakat", dan "Peluang Usaha". Andini menonton video pendek dari pelaku UMKM, membaca e-book seputar strategi pemasaran digital, serta mengikuti kelas daring seputar pengembangan produk.Andini mulai dari pertanyaan sederhana: "Apa yang benar-benar aku sukai?"Andini mengumpulkan data, membuat diag

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 81. Ruang untuk Tumbuh

    Senja menorehkan gradasi oranye pada kaca-kaca gedung pencakar langit. Di puncak menara Alfaruq Group, ruang kerja Hannan menyajikan panorama metropolis yang tak pernah tidur.Tirai kantor tersapu cahaya jingga dari matahari terbenam, memantulkan kilau lembut pada meja kayu tua yang selalu dipenuhi tumpukan berkas dan layar laptop. Di sudut ruangan, Ira—asisten pribadi sekaligus kepercayaan Hannan—duduk di kursi tamu, setengah bersandar, tablet di tangannya menampilkan laporan terakhir.Hannan menutup map kemudian menatap Ira dengan serius. Dia meninggalkan kursi kerjanya, lalu berjalan pelan menuju rak buku."Ira, ada kabar terbaru tentang pemegang saham?" tanyanya, suara datar namun jelas mengandung pertanyaan tajam.Ira mengamati ekspresi Hannan sejenak, lalu menjawab. "Beberapa saham utama sedang beralih tangan, Pak. Itu jadi topik terhangat di sidang dewan kemarin.""Pak, jika boleh berpendapat, menurut saya ini adalah kesempatan bagus untuk Andini mengambil posisi pemegang saham

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 80. Berjalan Bersisian

    Andini berdiri, mendekat. "Aku bukan orang besar, bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang ibu, seorang wanita biasa. Maka dari itu, jika aku harus masuk ke dunia kamu, aku harus tahu aku masuk bukan sebagai beban. Aku ingin punya pijakan sendiri, Mas. Aku ingin kamu izinkan aku tetap bekerja."Hannan terdiam. Rahangnya menegang. Bukan karena marah, melainkan sedang menimbang."Aku tidak minta dilindungi dari dunia kamu, Mas. Aku minta diperbolehkan berdiri sejajar, bahkan kalau suatu saat aku harus ikut jatuh. Aku mau jadi pasangan kamu, bukan pelengkap di kartu atau keadaan."Hannan menatap lama. Lalu perlahan, lelaki itu menghela napas dan mengangguk. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.Hannan menarik napas pelan. "Saya tidak mencintai kamu karena kamu cukup, Andini. Saya mencintai kamu karena kamu adalah kamu. Kalau itu syaratmu, maka saya akan pastikan dunia membuka semua pintunya untuk kamu.""Syarat darimu saya anggap sudah dipenuhi. Kamu boleh bekerja. Tapi perlu diingat, di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status