Home / Romansa / Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO / Bab 6. Bersama Sehari Lagi

Share

Bab 6. Bersama Sehari Lagi

Author: Ucing Ucay
last update Last Updated: 2025-07-11 09:00:43

Mendung menempel di kaca jendela seperti duka yang tak mau pergi. Di dalam kantor lantai tiga puluh tujuh, cahaya putih lampu gantung memantul dari marmer hitam, dingin dan nyaris tak berjiwa—seperti si pemilik ruangan.

Hannan duduk di belakang meja besar yang tertata rapi nyaris steril. Tidak ada foto, tidak ada tanaman, hanya tumpukan dokumen dengan stabilo merah dan laptop yang menyala dengan grafik bisnis yang terus menanjak.

Seorang pria mengetuk pelan, lalu masuk dengan gugup. Menyapa Hannan yang masih sibuk membersamai pekerjaan.

"Selamat malam, Pak. Saya membawa kabar soal konferensi dengan pihak investor Jepang."

"Sampaikan."

"Mereka bilang minta dijadwalkan ulang."

"Lagi?" Hannan membanting pulpen yang sedari tadi digunakannya menulis. "Bukankah sudah saya jadwalkan dua kali, dan sekarang mereka minta ubah seenaknya begini?"

Lelaki yang dua kancing kemejanya terbuka itu menaikkan alis, nada bicaranya pelan tapi penuh tekanan. "Jelaskan kenapa saya harus buang waktu untuk orang yang tidak bisa menghargai waktu saya?" sambung Hannan, terdengar kesal.

Bawahan di seberangnya—Vino—menelan ludah, berdiri kaku, kedua tangannya mengepal gugup.

"Berapa kali saya bilang, saya tidak suka berurusan dengan hal yang tidak esensial," ucap Hannan datar, tapi tajam seperti silet. "Saya tidak mau hal ini terulang."

"Itu kereka mereka menunggu kepastian dari pihak kita, Pak."

"Saya adalah pihak kita, Vino," potong Hannan tajam. "Dan saya tidak suka berurusan dengan pihak yang menjilat waktu seenaknya."

Vino menunduk, menangkap semua maksud yang dilontarkan Hannan hanya dari hela napas.

"Sekarang bicara soal target. Divisi kamu drop dua persen minggu lalu. Kasih saya satu alasan kenapa kamu masih duduk di jabatan itu."

"Saya sedang benahi sistem baru, Pak. Ada transisi, dan—"

"Alasan!" Hannan berdiri, matanya tajam menusuk. "Satu hal yang paling saya benci dari manusia adalah ketidakmampuan mereka menelan tanggung jawab tanpa bumbu drama."

"Maaf, Pak."

"Kalian pikir saya babysitter yang bertugas membereskan kekacauan yang kalian buat?" Malam itu, Hannan benar–benar tidak memberi ruang. Mencecar semua orang dengan kata–kata tajamnya. "Kalau saya harus terus turun tangan soal hal-hal remeh seperti ini, berarti kalian semua tidak layak duduk di posisi kalian yang sekarang!"

Vian mengecil, nyaris tak bernyawa.

Hannan memijat pelipisnya pelan seraya berbisik. "Terakhir, saya mau istirahat."

"Mengenai pernyataan media soal keluarga Anda. Kami butuh keputusan apakah akan—"

"Sekali lagi kalian sentuh ranah pribadi saya, saya pastikan ruangan ini kosong besok pagi." Hannan bersandar, matanya memicing. "Orang luar selalu tertarik mengorek hidup orang lain, padahal hidupnya sendiri tidak lebih baik."

Hening sejenak. Jam dinding berdetak seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, tapi tidak ada yang berani bergerak.

"Ada lagi?" tanya Hannan dingin.

"Tidak, Pak," jawab Vian pelan.

"Keluar."

Pintu tertutup pelan di belakang Vian. Hannan menghela napas keras, lalu berdiri, membuka kancing kerah bajunya. Matanya melirik sekilas ke arah meja. Di sana, masih tergeletak kertas administrasi rumah sakit yang belum sempat dia sentuh.

Nama anaknya tertulis jelas di atasnya. Tanpa ibu—tanpa ayah. Hanya sebuah nama kosong di dunia yang tak pernah diminta hadir olehnya.

Ponsel di meja tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari Ibunya—Lena. Hannan menatap nama itu cukup lama. Mendadak napasnya terasa berat. Dia jawab, tapi tidak dengan suara hangat.

"Saya sedang di kantor, Bu."

Suara perempuan tua terdengar cemas di seberang, lembut tapi penuh tekanan emosi, "Nak, apa kamu sudah datang berkunjung ke rumah sakit? Anakmu, dia masih di sana."

Hannan mengerang pelan, menahan kekesalan yang mulai mendidih. "Bukankah sudah saya bilang, saya tidak tertarik membahas anak itu, Bu?"

"Dia anakmu, Hannan."

"Dia bukan siapa-siapa, Bu. Hanya bayi yang mengambil Kesha dari saya, dan saya tidak punya ruang untuk dia!"

Lena terdengar tercekat. "Kenapa bicara begitu? Dia butuh kamu, butuh ayahnya. Dokter bilang dia alergi susu formula. Bayi itu butuh ASI—"

"Saya CEO, Bu. Saya bukan distributor air susu."

"Jangan bicara seperti itu, Hannan."

"Saya juga lelah mengulang–ulang hal yang sama, Bu. Sudah saya sampaikan saya tidak akan mengubah keputusan saya. Kalau ibu terlalu ingin merawatnya, silakan. Tapi jangan tarik-tarik saya ke dalamnya."

Hening.

Lena tak menjawab. Lalu, suara napas berat terdengar sebelum telepon ditutup sepihak oleh Hannan.

Pria mapan nan dewasa itu melempar ponsel ke meja, lalu berdiri dan menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota Jakarta berkerlap-kerlip, sibuk, ramai, dan hidup. Bertolak belakang dengan dadanya yang kosong. Lebih kosong dari gedung pencakar langit yang masih dalam pembangunan di seberang.

Wajah perempuan tadi—yang ditemuinya di rumah sakit, dengan mata merah dan suara lirih—kembali muncul di kepalanya.

Terlalu ikut campur.

Terlalu berani menyentuh luka yang bukan miliknya.

"Kenapa juga saya masih mengingatnya?" gumam Hannan seraya mengusap wajah. Mata tajamnya untuk sesaat kehilangan arah.

Hanan bukan marah dan benci pada dunia, melainkan marah pada dirinya sendiri. Yang masih hidup dalam duka dan berpura-pura baik-baik saja. Yang bahkan tidak cukup berani untuk sekadar melihat mata anaknya—kenangan terakhir Kesha.

***

Hari itu datang lebih cepat dari yang Andini harapkan. Dokter menyapanya dengan senyum hangat dan berkata bahwa hasil pemulihan pascaoperasinya sangat baik. Tidak ada lagi alasan medis untuk menahannya di rumah sakit.

Namun bukan rasa lega yang mengalir di dada, melainkan sebaliknya. Seolah ada sesuatu yang akan dia tinggalkan, tapi belum siap dia lepaskan.

Setiap pagi, Andini bangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena nyeri bekas luka operasi, bukan pula karena suara langkah kaki perawat. Tetapi karena sebuah kegelisahan yang tumbuh diam-diam sejak hari pertama dia memeluk Lingga.

"Kamu masih lapar, ya?"

"Sudah Ibu susui semalaman, paginya bayi kecilku ini lapar lagi, ya?"

Kalimat itu menjadi doa yang Andini bisikkan saban pagi, sembari memeriksa dadanya yang mulai terasa nyeri oleh ASI.

Tubuhnya menyimpan jam biologis Lingga lebih baik dari siapa pun. Seolah tahu, ada bayi di luar sana yang sedang menunggu pelukan hangat dan setetes kasih darinya.

ASI yang merembes di balik pakaian rumah sakit Andini adalah panggilan jiwa. Panggilan dari luka. Panggilan dari naluri seorang ibu yang kehilangan anak kandungnya, tapi tak bisa membiarkan bayi lain merasakan hal yang sama.

Hari-hari yang dulu kosong, kini punya irama. Bangun, menyusui, menatap wajah mungil Lingga yang tenang dalam dekapannya. Seolah semesta memberi satu alasan sederhana: tetap hidup, untuk menyusui bayi itu—satu hari lagi.

Andini berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya perlahan. Di pipinya masih tergurat sembab, tapi matanya lebih tenang. Dia tidak tahu untuk alasan apa, namun setiap kali menyusui Lingga seolah dia sedang menyembuhkan dirinya sendiri.

Luka yang jauh lebih dalam. Luka karena kehilangan—luka karena diceraikan tanpa alasan—luka karena merasa tidak diinginkan.

Kini, Andini merasa takut pada hari di mana dia harus pulang. Meninggalkan ranjang rumah sakit, meninggalkan ruangan menyusui, meninggalkan Lingga.

"Besok, satu hari lagi," katanya lirih sambil menunduk, jari-jarinya meremas baju di bagian dadanya yang basah. "Setelah itu, aku ikhlaskan, Tuhan. Izinkan aku, satu hari lagi saja bersamanya."

Perempuan yang kini sebatang kara itu sudah mulai menghitung hari bukan dengan kalender, tapi dengan berapa kali lagi dia bisa menyusui Lingga. Berapa kali lagi dia bisa mengelus rambut mungil itu, mencium wangi kulit bayi yang hangat, dan merapal doa-doa dalam hati untuk seseorang yang bahkan bukan miliknya.

Ucing Ucay

Selamat membaca ya, kalau suka dengan cerita ini masukan ke pustaka ya, terima kasih.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 35. Caraku Menemanimu

    Hari itu, selepas sidang yang menguras emosi, Andini duduk diam di dalam mobil. Salah satu tangannya masih menggenggam erat jemari mungil Lingga yang tertidur di pangkuan. Jemarinya dingin, bukan hanya karena suhu ruangan sidang terlalu sejuk, melainkan karena kata–kata pedas Dirga yang masih menempel seperti duri di kulitnya.Hannan duduk di samping sopir, diam sejak mereka keluar dari ruang sidang. Lena dan Ira duduk di belakang, masing-masing juga memilih diam. Mobil melaju perlahan, seolah tak ingin memaksa waktu untuk berjalan terlalu cepat.Setelah beberapa menit yang panjang, suara Hannan akhirnya terdengar."Mau makan dulu atau langsung pulang?"Andini menoleh pelan, matanya sembap namun pandangannya tenang. "Pulang saja. Lingga juga butuh istirahat."Hannan hanya mengangguk, tapi matanya tak luput memperhatikan Andini lewat kaca spion dalam mobil. Ada sesuatu di wajah perempuan itu yang membuat dada Hannan sesak. Bukan karena kasihan, melainkan marah. Marah karena dunia perna

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 34. Keberpihakan Hannan Alfaruq

    Hannan Alfaruq.Dia tidak berkata apa pun. Tidak mempercepat langkah, tidak melayangkan tatapan tajam yang biasa dia berikan kepada lawan bisnisnya.Hannan hanya berdiri.Namun cukup untuk membuat Dirga secara naluriah melangkah mundur setengah tapak. Bahunya menegang, dan matanya—yang sebelumnya penuh kesombongan—seketika meredup, seolah tubuhnya tahu, dia sedang berdiri di hadapan seseorang yang jauh lebih besar daripada dirinya.Hannan masih tak berkata sepatah kata pun.Andini pun hanya menggeser posisi bayinya, melindungi Lingga dari arah tatapan Dirga.Keheningan itulah yang membunuh dengan paling tajam.Lorong menuju ruang sidang siang itu terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Udaranya terasa berat, tidak karena suhu, melainkan karena kehadiran dua lelaki yang berdiri dalam garis tak terlihat—satu di sisi angkuh, satu lagi di sisi dingin yang menggetarkan.Hannan berdiri tegak, diam. Di sebelahnya, Lena menjaga jarak. Tatapannya lurus, tajam, seperti pedang yang belum disaru

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 33. Medan Pertempuran

    "Aku juga tidak berkomentar apa–apa, Pak," goda Andini seraya tersenyum kecil. Perasaan hangat menjalar di dadanya.Hannan tidak pernah ingin dipandang seperti malaikat. Lelaki berwajah dingin itu justru lebih suka bila orang lain salah paham dengannya."Penilaianku terhadap Anda, biar aku yang simpulkan. Yang satu ini tidak masalah, 'kan?""Terserah padamu."Tak berselang lama dari percakapan singkat di kamar, keduanya memutuskan segera turun. Lingga sudah bersama perawat. Lena, dengan setelan navy dan tas kecil di tangan—sudah berdiri di dekat pintu. Ira berdiri di belakang, mengenakan blazer formal.Mobil mewah telah menunggu. Mereka berangkat bersama. Sepanjang perjalanan, tak banyak percakapan. Tetapi kehadiran mereka—semua orang yang kini mengelilingi Andini—cukup membuat dadanya hangat.Sesampainya di pengadilan, Andini menggenggam jemarinya sendiri dengan gugup. Mereka masuk melalui jalur pribadi, dipandu pengacara yang telah disiapkan Hannan. Gedung dingin itu terasa sedikit

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 32. Melangkah Beriringan

    Sejak percakapan lewat telepon dengan Dirga beberapa malam lalu, Andini merasa perutnya mual setiap kali mengingat suara pria itu. Nada bicara sinis, hinaan yang dilemparkan begitu saja, dan ancaman-ancaman yang terbungkus dalam ego yang terluka. Andini tahu hari itu akan datang—sidang perceraian mereka. Hanya saja dia tidak menyangka, bahkan setelah semua yang dia lalui, Dirga masih bisa menyakitinya.Terlepas dari segala kabar buruk dan kesulitan demi kesulitan itu, ada satu hal yang berbeda kini. Andini tidak lagi sendirian.Tuhan memberikan keluarga lain, menjadikan mereka alasan Andini bertahan. Tuhan tidak membiarkannya menghadapi ujian sendirian.Pagi itu, saat Andini sedang memandikan Lingga, Hannan mengetuk pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Dia membawa beberapa map cokelat, menyerahkannya ke meja di samping ranjang."Untuk apa semua itu?""Yang kamu butuhkan saat sidang.""Yang aku butuhkan?"Hannan menghela nafas, meski begitu dia tetap menjelaskan secara perlahan. "Doku

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 31. Menjagamu dengan Caraku yang Kaku

    Andini sedang duduk di kamar, bersantai setelah menyusui Lingga. Jari–jemarinya menggulir layar ponsel dengan seksama, membaca pesan dari grup ibu menyusui yang rutin dia ikuti. Hatinya mulai sedikit ringan, apalagi setelah obrolan semalam dengan Hannan yang terasa sedikit lebih manusiawi.Namun, dunia seolah tidak membiarkannya beristirahat sebentar. Ponsel yang semula hening tiba-tiba bergetar. Sebuah nama muncul di layar—nama yang sudah lama tak dia lihat: Dirga, mantan suaminya.Andini terdiam cukup lama. Dia ragu untuk menjawab, pun menolak. Sialnya rasa penasaran dan ketegangan yang menumpuk akhirnya membuat ibu muda itu menekan tombol hijau."Halo?"Sesuai tebakan, suara di seberang terdengar kasar. Tidak ada sapaan hangat, tidak ada basa-basi. Hanya nada congkak dan hinaan."Akhirnya kamu punya waktu juga buat angkat telpon. Susah sekali menghubungimu, pembawa sial."Andini menghela napas. "Ada apa, Mas? Kenapa kamu menelponku?""Wah, hebat sekali cara bicaramu sekarang. Sudah

  • Ibu Susu Jadi Ibu Sambung Anak CEO   Bab 30. Bernasib Sama

    Rumah besar itu sudah nyaris sunyi ketika Andini terbangun dari tidur. Biasanya, dia sudah terlalu lelah untuk membuka mata setelah seharian menyusui Lingga, menjalani fisioterapi, dan menyesuaikan diri dengan ritme rumah yang sudah seperti sistem militer. Tetapi malam ini, tubuhnya terasa gelisah. Andini akhirnya memutuskan bangkit pelan-pelan, menyelimuti tubuh mungil Lingga, dan mengenakan cardigan tipis sebelum melangkah keluar kamar.Langkah kakinya tak berani menimbulkan suara, meski lantai kayu di bawah sudah dilapisi karpet mewah yang menghalau derit. Lampu-lampu gantung padam, digantikan sorot hangat dari lampu dinding. Suasana malam di rumah itu seperti museum—tenang, elegan, dan sedikit menyeramkan.Andini berjalan ke arah ruang tengah. Dari jauh, samar-samar tercium aroma alkohol, tidak terlalu menyengat, tetapi cukup untuk membuat hidungnya sadar. Di balik pilar besar dan deretan kursi panjang, dia melihat siluet tubuh yang duduk seorang diri.Punggung tegap itu bersandar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status