Mendung menempel di kaca jendela seperti duka yang tak mau pergi. Di dalam kantor lantai tiga puluh tujuh, cahaya putih lampu gantung memantul dari marmer hitam, dingin dan nyaris tak berjiwa—seperti si pemilik ruangan.
Hannan duduk di belakang meja besar yang tertata rapi nyaris steril. Tidak ada foto, tidak ada tanaman, hanya tumpukan dokumen dengan stabilo merah dan laptop yang menyala dengan grafik bisnis yang terus menanjak.
Seorang pria mengetuk pelan, lalu masuk dengan gugup. Menyapa Hannan yang masih sibuk membersamai pekerjaan.
"Selamat malam, Pak. Saya membawa kabar soal konferensi dengan pihak investor Jepang."
"Sampaikan."
"Mereka bilang minta dijadwalkan ulang."
"Lagi?" Hannan membanting pulpen yang sedari tadi digunakannya menulis. "Bukankah sudah saya jadwalkan dua kali, dan sekarang mereka minta ubah seenaknya begini?"
Lelaki yang dua kancing kemejanya terbuka itu menaikkan alis, nada bicaranya pelan tapi penuh tekanan. "Jelaskan kenapa saya harus buang waktu untuk orang yang tidak bisa menghargai waktu saya?" sambung Hannan, terdengar kesal.
Bawahan di seberangnya—Vino—menelan ludah, berdiri kaku, kedua tangannya mengepal gugup.
"Berapa kali saya bilang, saya tidak suka berurusan dengan hal yang tidak esensial," ucap Hannan datar, tapi tajam seperti silet. "Saya tidak mau hal ini terulang."
"Itu kereka mereka menunggu kepastian dari pihak kita, Pak."
"Saya adalah pihak kita, Vino," potong Hannan tajam. "Dan saya tidak suka berurusan dengan pihak yang menjilat waktu seenaknya."
Vino menunduk, menangkap semua maksud yang dilontarkan Hannan hanya dari hela napas.
"Sekarang bicara soal target. Divisi kamu drop dua persen minggu lalu. Kasih saya satu alasan kenapa kamu masih duduk di jabatan itu."
"Saya sedang benahi sistem baru, Pak. Ada transisi, dan—"
"Alasan!" Hannan berdiri, matanya tajam menusuk. "Satu hal yang paling saya benci dari manusia adalah ketidakmampuan mereka menelan tanggung jawab tanpa bumbu drama."
"Maaf, Pak."
"Kalian pikir saya babysitter yang bertugas membereskan kekacauan yang kalian buat?" Malam itu, Hannan benar–benar tidak memberi ruang. Mencecar semua orang dengan kata–kata tajamnya. "Kalau saya harus terus turun tangan soal hal-hal remeh seperti ini, berarti kalian semua tidak layak duduk di posisi kalian yang sekarang!"
Vian mengecil, nyaris tak bernyawa.
Hannan memijat pelipisnya pelan seraya berbisik. "Terakhir, saya mau istirahat."
"Mengenai pernyataan media soal keluarga Anda. Kami butuh keputusan apakah akan—"
"Sekali lagi kalian sentuh ranah pribadi saya, saya pastikan ruangan ini kosong besok pagi." Hannan bersandar, matanya memicing. "Orang luar selalu tertarik mengorek hidup orang lain, padahal hidupnya sendiri tidak lebih baik."
Hening sejenak. Jam dinding berdetak seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, tapi tidak ada yang berani bergerak.
"Ada lagi?" tanya Hannan dingin.
"Tidak, Pak," jawab Vian pelan.
"Keluar."
Pintu tertutup pelan di belakang Vian. Hannan menghela napas keras, lalu berdiri, membuka kancing kerah bajunya. Matanya melirik sekilas ke arah meja. Di sana, masih tergeletak kertas administrasi rumah sakit yang belum sempat dia sentuh.
Nama anaknya tertulis jelas di atasnya. Tanpa ibu—tanpa ayah. Hanya sebuah nama kosong di dunia yang tak pernah diminta hadir olehnya.
Ponsel di meja tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari Ibunya—Lena. Hannan menatap nama itu cukup lama. Mendadak napasnya terasa berat. Dia jawab, tapi tidak dengan suara hangat.
"Saya sedang di kantor, Bu."
Suara perempuan tua terdengar cemas di seberang, lembut tapi penuh tekanan emosi, "Nak, apa kamu sudah datang berkunjung ke rumah sakit? Anakmu, dia masih di sana."
Hannan mengerang pelan, menahan kekesalan yang mulai mendidih. "Bukankah sudah saya bilang, saya tidak tertarik membahas anak itu, Bu?"
"Dia anakmu, Hannan."
"Dia bukan siapa-siapa, Bu. Hanya bayi yang mengambil Kesha dari saya, dan saya tidak punya ruang untuk dia!"
Lena terdengar tercekat. "Kenapa bicara begitu? Dia butuh kamu, butuh ayahnya. Dokter bilang dia alergi susu formula. Bayi itu butuh ASI—"
"Saya CEO, Bu. Saya bukan distributor air susu."
"Jangan bicara seperti itu, Hannan."
"Saya juga lelah mengulang–ulang hal yang sama, Bu. Sudah saya sampaikan saya tidak akan mengubah keputusan saya. Kalau ibu terlalu ingin merawatnya, silakan. Tapi jangan tarik-tarik saya ke dalamnya."
Hening.
Lena tak menjawab. Lalu, suara napas berat terdengar sebelum telepon ditutup sepihak oleh Hannan.
Pria mapan nan dewasa itu melempar ponsel ke meja, lalu berdiri dan menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota Jakarta berkerlap-kerlip, sibuk, ramai, dan hidup. Bertolak belakang dengan dadanya yang kosong. Lebih kosong dari gedung pencakar langit yang masih dalam pembangunan di seberang.
Wajah perempuan tadi—yang ditemuinya di rumah sakit, dengan mata merah dan suara lirih—kembali muncul di kepalanya.
Terlalu ikut campur.
Terlalu berani menyentuh luka yang bukan miliknya.
"Kenapa juga saya masih mengingatnya?" gumam Hannan seraya mengusap wajah. Mata tajamnya untuk sesaat kehilangan arah.
Hanan bukan marah dan benci pada dunia, melainkan marah pada dirinya sendiri. Yang masih hidup dalam duka dan berpura-pura baik-baik saja. Yang bahkan tidak cukup berani untuk sekadar melihat mata anaknya—kenangan terakhir Kesha.
***
Hari itu datang lebih cepat dari yang Andini harapkan. Dokter menyapanya dengan senyum hangat dan berkata bahwa hasil pemulihan pascaoperasinya sangat baik. Tidak ada lagi alasan medis untuk menahannya di rumah sakit.
Namun bukan rasa lega yang mengalir di dada, melainkan sebaliknya. Seolah ada sesuatu yang akan dia tinggalkan, tapi belum siap dia lepaskan.
Setiap pagi, Andini bangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena nyeri bekas luka operasi, bukan pula karena suara langkah kaki perawat. Tetapi karena sebuah kegelisahan yang tumbuh diam-diam sejak hari pertama dia memeluk Lingga.
"Kamu masih lapar, ya?"
"Sudah Ibu susui semalaman, paginya bayi kecilku ini lapar lagi, ya?"
Kalimat itu menjadi doa yang Andini bisikkan saban pagi, sembari memeriksa dadanya yang mulai terasa nyeri oleh ASI.
Tubuhnya menyimpan jam biologis Lingga lebih baik dari siapa pun. Seolah tahu, ada bayi di luar sana yang sedang menunggu pelukan hangat dan setetes kasih darinya.
ASI yang merembes di balik pakaian rumah sakit Andini adalah panggilan jiwa. Panggilan dari luka. Panggilan dari naluri seorang ibu yang kehilangan anak kandungnya, tapi tak bisa membiarkan bayi lain merasakan hal yang sama.
Hari-hari yang dulu kosong, kini punya irama. Bangun, menyusui, menatap wajah mungil Lingga yang tenang dalam dekapannya. Seolah semesta memberi satu alasan sederhana: tetap hidup, untuk menyusui bayi itu—satu hari lagi.
Andini berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya perlahan. Di pipinya masih tergurat sembab, tapi matanya lebih tenang. Dia tidak tahu untuk alasan apa, namun setiap kali menyusui Lingga seolah dia sedang menyembuhkan dirinya sendiri.
Luka yang jauh lebih dalam. Luka karena kehilangan—luka karena diceraikan tanpa alasan—luka karena merasa tidak diinginkan.
Kini, Andini merasa takut pada hari di mana dia harus pulang. Meninggalkan ranjang rumah sakit, meninggalkan ruangan menyusui, meninggalkan Lingga.
"Besok, satu hari lagi," katanya lirih sambil menunduk, jari-jarinya meremas baju di bagian dadanya yang basah. "Setelah itu, aku ikhlaskan, Tuhan. Izinkan aku, satu hari lagi saja bersamanya."
Perempuan yang kini sebatang kara itu sudah mulai menghitung hari bukan dengan kalender, tapi dengan berapa kali lagi dia bisa menyusui Lingga. Berapa kali lagi dia bisa mengelus rambut mungil itu, mencium wangi kulit bayi yang hangat, dan merapal doa-doa dalam hati untuk seseorang yang bahkan bukan miliknya.
Selamat membaca ya, kalau suka dengan cerita ini masukan ke pustaka ya, terima kasih.
Hannan tidak berniat membawa Lingga sejauh itu. Awalnya, hanya berniat mengajak sang putra sulung menepi dari keramaian kantor dan rutinitas sekolah yang perlahan menjebak mereka dalam pola yang sama: sibuk, formal, dan nyaris kehilangan makna. Galeri seni telah cukup membuat Hannan melihat kilasan lain dari diri Lingga—seorang remaja yang sedang belajar menjadi laki-laki dewasa, tenang, penuh kontrol, tetapi menyimpan riuh di balik diamnya.Namun sebelum kembali ke mobil, Hannan sempat berhenti. Entah dorongan apa yang membuatnya memberi perintah pada sopir untuk mengubah arah perjalanan. Mata Lingga yang sejak tadi diam-diam memperhatikan sang ayah, kini menatap tanpa bertanya."Kita akan ke tempat lain," ujar Hannan singkat, tetapi dalam.Mobil meluncur sunyi. Jalanan sore yang mulai lengang menyisakan deru pelan mesin dan siluet pepohonan. Hannan menyentuh ponsel, namun tak jadi menekan layar. Dia menggenggamnya kuat, seakan sedang menahan sesuatu. Sesekali menoleh ke arah Lingga,
Di rumah keluarga Alfaruq, yang kini sudah menjadi simbol keharmonisan dan kekuatan, tumbuh satu sosok pemuda yang perlahan–lahan mencuri perhatian. Lingga Alfaruq. Putra sulung Hannan dan Andini itu tumbuh menjadi anak lelaki yang tidak banyak bicara, tidak juga gemar tampil. Namun, satu hal yang tak bisa disangkal: dia adalah replika hidup dari ayahnya.Wajah, garis rahang, cara memandang, bahkan nada suara yang tenang—semua mengingatkan siapa pun pada sosok Hannan Alfaruq di usia muda. Berbeda dengan remaja lain seusianya, Lingga membawa dirinya dengan cara yang nyaris terlalu matang. Tak ada kegaduhan, tak ada keluh. Remaja dengan segelintir fans di sekolah itu memilih untuk mengamati sebelum bertindak, berpikir sebelum menjawab. Bahkan Andini, ibunya sendiri, kadang merasa seperti sedang berbicara dengan seorang pria dewasa saat mengobrol dengan putranya."Lingga, kamu bilang ada kerja kelompok hari ini. Kenapa enggak jadi pergi?" tanya Andini suatu ketika, saat tengah menyiram t
Launa Hanggini Alfaruq tumbuh seperti bunga mahal yang dirawat dengan penuh ketelatenan di dalam rumah kaca terbaik negeri ini. Dalam segala hal, dia dimanja—meski tidak berlebihan. Seluruh isi rumah tahu siapa yang paling berkuasa setelah Hannan: Launa. Gadis kecil yang kini telah berusia enam tahun itu tengah bersiap–siap masuk sekolah.Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq riuh dalam kesenyapan elegan yang khas. Lingga duduk rapi dengan seragam sekolah internasionalnya—rambut disisir klimis oleh Andini, sementara Launa—si gadis kecil yang baru masuk Taman Kanak-Kanak—masih sibuk memilih pita rambut yang cocok dengan gaunnya hari ini."Bunda, yang ini cocok?" tanya Launa seraya memamerkan pita merah muda dengan aksen renda kecil pada sang Ibu.Andini menoleh, senyumnya mengembang. Garis wajah mereka benar–benar bak pinang dibelah dua. "Launa selalu cocok dengan apa pun, tapi kalau hari ini kamu ingin tampil seperti tuan putri, pita itu pilihan yang pas."Launa tersipu, lalu melirik
"Kenapa kamu masih turun ke dapur?" suara berat Hannan menyentak di pagi yang berbeda. Lelaki tampan nan mapan itu berdiri di ambang pintu dapur dengan setelan rumah yang rapi berlebihan. Sorot mata serius, menelusuri gerak-gerik istrinya yang sedang memotong wortel.Andini menoleh santai. "Karena kamu telat bangun, dan sup ayam favorit Lingga enggak akan masak sendiri.""Kamu bisa minta Ira, atau siapa pun. Bahkan saya bisa beli satu restoran ayam rebus kalau kamu mau.""Bukan itu yang aku mau, Mas. Ini soal rasa nyaman.""Rasa nyamanmu, adalah denyut nadi kecemasan saya," Hannan berkata pelan, tapi tegas. Dia mendekat, meraih pisau dari tangan istrinya, lalu mengarahkan Andini ke kursi bar di sudut dapur. "Duduk. Duduk sekarang."Andini mendesah. Bukan karena kesal, tapi karena geli. "Mas, aku baik-baik aja.""Saya yang nggak baik-baik aja," balas Hannan.Ira, yang baru datang dari arah pintu belakang, hampir menabrak tembok karena menahan tawa. Setelah hampir dua tahun mengabdi di
Sudah lewat tengah malam ketika Hannan baru pulang dari kantornya. Langkah pria berbahu lebar itu tak terburu-buru, tetapi raut wajah dengan kantung mata jelas menyiratkan kelelahan. Kemeja hitamnya masih rapi meski sudah dikenakan lebih dari sepuluh jam. Rambut sedikit acak, namun tetap elegan, seperti biasa. Seorang pemimpin yang selalu tahu cara membawa dirinya.Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala. Ada kehangatan yang menyambut di sana—dan aroma khas masakan Andini yang masih tercium samar dari dapur. Begitu membuka pintu, Hannan langsung melihat Andini duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan santai, mengenakan gaun tidur satin berwarna lembut. Di tangan perempuan itu, sebuah kotak kecil dibungkus rapi dengan pita emas."Lembur lagi?" tanya Andini pelan, ucapan bak mantra yang menenangkan.Hannan mengangguk dan meletakkan jasnya di sandaran kursi. "Salah satu proyek luar negeri minta revisi malam ini.""Kasiannya suamiku. Pasti berat.""Enggak juga. Begitu lihat kamu di sini
Satu tahun berlalu sejak pesta pernikahan Hannan dan Andini digelar. Pasangan yang dikenal tidak hanya memesona secara visual, namun juga harmonis dalam kesederhanaan dan kekuatan batin.Lingga kini hampir dua tahun. Usia yang mulai menampakkan karakter dan kecerdasan. Bocah kecil itu tumbuh lincah, penuh rasa ingin tahu, dan tentu saja—manja dengan dua orang yang paling dia cintai di dunia ini: Ayah dan Ibunya.Pagi itu, langit Jakarta bersih, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar di sudut ruang keluarga. Hannan, pria dengan jam kerja yang biasanya dimulai lebih pagi dari matahari, hari ini menunda segala bentuk pekerjaan. Jas hitamnya tergantung rapi di lemari, digantikan kaus polo abu-abu dan celana santai berbahan chasmere. Paras yang dulu selalu terlihat tegang di balik layar komputer dan ruang rapat, kini memancarkan kehangatan lain saat dia duduk di atas karpet empuk dengan Lingga di pangkuan."Jangan gigit kuping Ayah, Nak," ucap Hannan sambil tertawa kecil ket