Share

Bab 2 - ISKDT

"Maaf, Pak ...," sesal Ayleen. Namun lelaki di hadapannya belum selesai dengan keterkejutannya. Ia hanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Tiba-tiba, dari arah mobil, seorang ibu-ibu paruh baya berteriak melalui jendela dan menyadarkan lelaki di hadapan Ayleen dari lamunan.

"Abra ...! Ayo buruan! Kita harus cepat sampai ke rumah sakit, kasihan anak kamu nangis terus!"

Dan suara tangis bayi terdengar nyaring di telinga Ayleen, mengingatkannya pada putra yang telah berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa.

Lelaki bernama lengkap Abraham Malik Razavi itu menatap Ayleen sekilas, "minggir!" ucapnya dingin, tanpa sedikitpun berniat menolong Ayleen.

Ayleen pun mundur, ia berjalan terseok mendekati suara bayi yang terus menangis dan mengusik hatinya. Ingin hati mengetuk pintu dan membantu menenangkannya, akan tetapi ia tak memiliki nyali untuk melakukan itu. Ia sadar, ia tak berhak atas bayi itu.

Sementara Abra, ia yang masih berdiri di sisi pintu kemudi, memperhatikan gerak-gerik Ayleen yang menurutnya aneh.

Abra memandang penuh selidik ke arah Ayleen yang berjalan mendekati mobilnya. Ia berniat menghentikan, namun suara tangis baby Samuel tiba-tiba menyita fokusnya. Bayi yang sedang demam tinggi itu mungkin merasakan tubuhnya tak nyaman, sehingga ia terus saja rewel.

Bu Emil–Ibunda Abraham kembali membuka jendela saat melihat wanita yang baru saja hampir ditabrak oleh putranya itu berjalan tertatih-tatih, dalam hati ia pun membatin, tentang wajah Ayleen yang mirip dengan Airin.

"Siapa dia? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Airin? Apa dia Airin?" batin Bu Emil.

Ia pun segera menggeser duduknya dan membuka jendela.

"Airin!" panggilnya pada Ayleen.

Ayleen menoleh dan mendekat.

"Ibu memanggil saya?" tanya Ayleen.

"Namamu Airin?" tanya Bu Emil memastikan.

"Oh, bukan, Bu ... nama saya Ayleen ... saya pikir tadi ibu memanggil saya," sahut Ayleen tersenyum canggung.

"Oh, iya, saya memang manggil kamu. Kamu mau ke mana? Kaki kamu sakit?" tanya Bu Emil beruntun.

Ayleen mengangguk sungkan. "Saya mau ke Masjid, Bu ... untuk kakinya nggak apa-apa kok, cuma lecet sedikit," sahut Ayleen, berusaha terlihat baik-baik saja.

Bu Emil mengangguk, ia memandang Ayleen lekat, sorot matanya menunjukkan bahwa kini banyak pertanyaan yang bersarang di benaknya. Setelah cukup lama memandang Ayleen, ia membuka pintu.

"Masuklah, kebetulan kami sedang menuju rumah sakit, biar sekalian kaki kamu diobati," ajak Bu Emil. Namun ia segera mendapat peringatan dari putranya.

"Maa ... stop, Ma! Kenapa Mama malah suruh wanita itu masuk? Saya nggak mau lagi punya urusan sama dia," ucap Abhraham merasa tak sudi menyebut nama Airin.

"Maksud kamu apa, Abra ...? Jangan bilang kamu mengira dia Airin? Namanya Ayleen, bukan Airin, Abra!" ucap Bu Emil.

"Ma ... bisa aja, kan? Dia cuma pura-pura dan sengaja ingin menjebak kita? Pokoknya nggak, saya nggak setuju. Mendingan kita langsung ke rumah sakit, kasihan Samuel, dia harus segera mendapatkan penanganan.." Abraham segera bersiap melajukan mobilnya, namun sang Mama nekat membuka pintu mobil dan mempersilakan Ayleen masuk.

"Masuk, Ayleen!" titahnya pada Ayleen. Namun Ayleen terlihat ragu.

"Tidak perlu, Bu ..., saya di sini saja, silakan lanjutkan perjalanan Ibu. Maaf telah menghambat perjalanan Ibu," tolak Ayleen sopan. Ia memang sempat mendengar perdebatan antara Bu Emil dan Abra, dan ia cukup paham bahwa Abra tak menginginkan keberadaannya di sisi mereka, entah apa alasannya. Ayleen bisa merasakan lelaki itu membencinya, padahal ia tak sama sekali mengenalnya.

"Masuklah, tak perlu kau pikirkan ucapan putraku. Aku yang memintamu utnuk masuk. Kakimu perlu diobati, jangan menunda waktu, cucuku harus segera sampai ke rumah sakit!" titah Bu Emil sekali lagi.

Ayleen tak punya pilihan lain. Tak dapat dipungkiri, saat ini ia sangat membutuhkan uluran tangan orang lain. Tubuhnya semakin lemah merasakan demam akibat asi yang minta segera dikeluarkan. Setidaknya, di rumah sakit ia bisa mengeluhkan kondisinya pada dokter untuk mendapatkan penanganan.

Dan mungkin pertemuan mereka yang tak sengaja ini merupakan bagian dari takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah mengatur keberlangsungan hidupnya di tengah keterasingannya.

"Abra! Jalankan mobilnya!" titah Bu Emil seraya menenangkan cucunya yang terus saja menangis.

"Cup ... cup ... cup ... Sam ... sebentar lagi kita sampai, sabar ya Cucu Oma," ucap Bu Emil sambil menenangkan Baby Samuel dalam gendongannya.

"Maaf, Bu ... cucunya kenapa?" tanya Ayleen perhatian. Jiwa keibuannya mendadak muncul kembali saat melihat Samuel yang tak berhenti menangis.

"Dia sedang sakit, tubuhnya demam tinggi, mangkanya rewel." Bu Emil menjawab apa adanya.

Dalam hati Ayleen bertanya-tanya, ke mana kah gerangan ibunya? Kenapa bayi ini hanya bersama neneknya? Namun ia menahan diri untuk ingin tahu lebih dalam tentang urusan orang lain, terlebih di sini ia bukan siapa-siapa.

"Kasihan sekali, Bu ..., mau coba saya gantikan gendongnya, Bu? Barangkali sama saya bisa tenang?" tawar Ayleen, namun seketika Abram menyahut dari depan.

"Nggak usah! Jangan sentuh anakku! Lagi pula kamu baru saja dari luar, sudah pasti tangan dan pakaianmu kotor!" ucap Abram merasa keberatan putranya digendong oleh Ayleen. Ia masih merasa bahwa Ayleen adalah Airin, mantan istrinya yang lebih memilih pergi dengan lelaki lain, dan meninggalkannya bersama buah hati mereka. Istri yang ia cintai dengan tulus, namun ternyata hanya memanfaatkan kekayaannya.

Ia menganggap, Ayleen adalah Airin yang ingin memanfaatkan kondisi untuk mendekati putra mereka kembali demi mendapatkan nafkah darinya. Sementara putusan sidang sudah memutuskan, bahwa hak asuh Samuel jatuh pada Abraham, karena Airin dinilai tidak layak oleh Pengadilan agama, walaupun masih berada di masa pengasuhan Ibu. Kasus perselingkuhan, dan keburukan perangainya, menjadikan putusan sidang atas hak asuh Samuel jatuh pada ayahnya.

Ayleen tidak memaksa, begitupun dengan Bu Emil. Sebagai ayah dari Samuel, Abraham memang yang paling berhak terhadap putranya. Jika sekali ia berkata tidak, maka tetap tidak ada yang bisa mengganggu keputusannya. Walaupun itu neneknya sendiri.

Akan tetapi, Ayleen tidak diam begitu saja. Ia mendekati bayi berusia tiga bulan tersebut, kemudian mencoba mengajaknya berkomunikasi, menunjukkan gaya-gaya lucu agar bayi itu merasa terhibur. Sama seperti yang selama ini ia lakukan pada almarhum putranya.

Ajaibnya, bayi itu terlihat tenang saat berhadapan dengan Ayleen, mungkin ia merasa tengah memandang wajah ibunya, sehingga tangisnya mereda dan berganti celotehan khas bayi seumurannya.

"Dia tenang saat menyadari kehadiranmu, Ayleen," ucap Bu Emil merasa takjub. Hal yang sama juga dirasakan oleh Abraham.

"Kenapa Samuel bisa langsung diam saat melihatnya? Apakah dia benar-benar Airin?" batinnya bertanya-tanya.

"Lihatlah, Abra! Samuel langsung diam saat menyadari kehadiran Ayleen. Menurut Mama nggak ada salahnya Ayleen menggendong Samuel, setidaknya supaya dia lebih tenang. Kasihan dia, pasti dia capek karena nangis terus." Bu Emil mencoba merayu putranya sekali lagi.

"Tidak, Ma ... sekali tidak tetap tidak. Samuel lagi sakit, kita harus menjaga kebersihan tubuhnya, jangan sampai sakitnya bertambah parah akibat terkontaminasi kuman-kuman dari luar." Abraham tetap menolak. Alasannya cukup masuk akal.

Bu Emil menghela nafas panjang. Ia paham betul bagaimana watak putranya yang kaku itu.

Memaksakan kehendak hanya akan berakhir percuma. Ia pun hanya bisa membiarkan Ayleen mengajak cucunya berbicara, dan tidak membiarkannya untuk menggendongnya, meski sesekali bayi itu kembali menangis akibat merasakan tak nyaman dalam tubuhnya.

Pandangan Ayleen terus terfokus pada bayi yang gelisah di dalam gendongan neneknya, ada getaran yang tidak bisa ia definisikan saat ia memandangi wajah Baby Samuel. Sorot matanya menggambarkan cinta, bahkan ia menemukan chemistry yang sangat kuat antara ia dan Samuel di pertemuan pertama mereka.

mendadak rasa rindu terhadap putranya yang telah pergi merayapi hati, ingin hati merengkuh Samuel sebagai pengobat rindu, namun apa daya jika bapaknya tak memberi izin.

Ayleen tersenyum ke arah bayi yang fokus memandanginya itu, "Kenapa aku melihat diriku di wajah bayi ini, ya?" batinnya bertanya-tanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status