Share

Bab 3 - ISKDT

Baby Samuel telah mendapatkan penanganan, begitupun dengan Ayleen. Bayi itu kini terlelap dalam tidurnya, mungkin efek obat telah bekerja, sehingga ia bisa tidur cukup nyenyak.

Samuel dan Ayleen masih sama-sama di IGD. Letak mereka berdampingan. Hanya terpisah oleh korden, sehingga samar-samar, Ayleen dapat mendengar apa yang tengah dibicarakan oleh Daddy dan omanya Samuel.

"Kasihan, Samuel, sejak lahir, ia sakit-sakitan, ini pasti karena dia tidak mendapatkan asi dari ibunya. Padahal asi itu sangat penting untuk kekebalan tubuhnya." Bu Emil berucap seraya memandang sayu cucu yang terbaring lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya.

"Salahkan saya, Ma ... saya yang salah dalam memilih istri. Sebenarnya saya juga sangat ingin memberikan hak asi Samuel, tapi apa daya jika ibunya tak bersedia? Airin lebih mementingkan karirnya dan mengorbankan anaknya. Ia meyakini bahwa menyusui akan merusak body-nya, dan itu tak kan baik untuk karirnya sebagai model, sebab itu Airin enggan menyusui Samuel." Abraham memandang putranya dengan penuh rasa bersalah.

"Mama nggak habis pikir, bagaimana ada ibu macam Airin? Wanita kok sama sekali nggak punya sisi keibuan." Bu Emil terlihat tak suka saat berbicara tentang mantan menantunya.

"Sudahlah, Ma ... yang terpenting sekarang, keluarga kita sudah terbebas dari wanita li_cik sepertinya. Biarlah Samuel tumbuh tanpa Mommy-nya, daripada dia ada dan hanya akan menjadi racun untuk hidup Samuel." Abraham melerai.

"Ya, Mama setuju dengan ucapanmu. Soal kasih sayang ibu untuk Samuel, itu bisa diupayakan, yang terpenting dia bebas dari didikan toxic Airin." Bu Emil menyahuti.

"Ya, kan ada Mama yang bisa menjadi Ibu sekaligus Oma untuk Samuel, Saya sama sekali tak khawatir soal itu." Abraham berucap sembari tersenyum sopan ke arah wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Bukan begitu maksud Mama, Abra!" sahut Bu Emil cepat.

"Lalu, maksud Mama apa?" Abraham memandang mamanya penuh tanya.

"Maksudnya, kamu bisa menikah lagi, dan mengahdirkan sosok ibu untuk Samuel." Bu Emil menjelaskan maksud dari ucapannya dengan gamblang.

Abraham menggeleng cepat, senyum getir terlukis di bibirnya. "Menikah lagi, Ma? Sepertinya tidak mungkin," sahutnya seraya kembali memandangi Samuel.

"Kenapa tidak mungkin? Biarpun ada Mama, Samuel tetap butuh sosok Ibu dalam pertumbuhannya. Lagi pula Mama sudah tua, nggak selamanya Mama bisa mendampingi tumbuh kembang Samuel, Abra ...!"

"Ma ... please ... jangan bicara seperti itu. Saat ini hanya Mama dan Samuel yang saya punya." Abraham selalu emosional saat mendengar Mamanya membahas batas usia.

"Menikahlah, Nak ...!"

"Tidak, Ma ... Saya sudah terlalu trauma dengan pernikahan." Abraham tetap bersikukuh dengan keputusannya.

"Apa yang membuatmu trauma? Tidak semua wanita seperti Airin, Abra! Masih banyak wanita-wanita tulus di luar sana yang perlu kau temui dan jadikan istri." Bu Emil memberikan wejangan. Ia tak ingin membiarkan putranya menjadi single parent untuk Samuel. Abraham sudah tumbuh tanpa ayah, dan ia tak ingin membiarkan Samuel tumbuh tanpa ibu.

"Sulit rasanya, Ma ... Mama tahu sendiri, saya membujang hampir 40 tahun lamanya, dan memutuskan menikahi Airin, gadis muda yang saya anggap tulus mencintai saya, hingga bersedia menerima saya apa adanya. Tapi nyatanya, dia bersedia menikah hanya untuk memanfaatkan harta saya.

Komitmen yang saya jalin dengannya rusak begitu saja. Dan itu membuat saya sangat trauma, Ma .... Saya sudah merasa menemukan wanita yang tepat, tapi ternyata saya salah. Tipu daya wanita sangat kuat, dan saya belum bisa menangkisnya. Saya takut untuk menjalin komitmen kembali dengan seorang wanita, takut hal yang sama akan kembali terulang untuk kedua kalinya." Abraham menyampaikan isi hatinya.

Bu Emil menghela nafas panjang, ia memaklumi sikap putranya. Apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya memang menyisakan rasa trauma, dan itu cukup sulit untuk disembuhkan.

"Setidaknya pertimbangkan dulu matang-matang, Nak ... minimal kamu bisa melakukan itu untuk Samuel, bukan untuk diri kamu sendiri," ucap Bu Emil tak putus asa memperjuangkan nasib cucunya.

Abraham menarik nafas, dan memandang Samuel dengan penuh rasa bersalah. Pandangannya dalam, seolah ia tengah mengajak bayi itu berbicara melalui sorot matanya.

Hidup dengan kasih sayang orang tua yang hanya sebelah memang tak menyenangkan. Abraham sendiri sudah merasakannya, dan sebagai orang tua, sebenarnya ia pun tak ingin Samuel merasakan hal yang sama.

"Nanti akan Saya pikirkan lagi, Ma," sahut Abraham setelah beberapa saat. Bu Emil pun tak lagi menyahuti, obrolan di antara mereka terhenti.

Mendengar obrolan Abraham dan mamanya, Ayleen merasa terenyuh, merasa empati hingga mempertanyakan keadilan Tuhan terhadap orang-orang seperti dirinya dan Abra. Menyaksikan beberapa fenomena kehidupan yang terjadi, semakin membuatnya merasa bahwa hidup ini sungguh tak adil.

Namun ia segera sadar dan beristighfar , mungkin bukan Tuhan tak adil, melainkan takdir-Nya memang penuh misteri. Rahasia Tuhan tak kan pernah mampu digapai oleh pikiran manusia.

Ia pun memutuskan untuk sejenak memejamkan mata, sekedar mengistirahatkan diri barang sejenak, sebelum ia harus kembali pada kenyataan.

Namun, belum juga ia memejamkan mata, korden yang menjadi penghalang antara ia dan tempat Baby Samuel tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok Bu Emil yang berjalan mendekatinya. Ia pun beringsut duduk demi menghormati kedatangannya.

"Bagaimana kondisi kamu, Ayleen?" tanya Bu Emil, ia sudah mengambil tempat duduk di sisi Ayleen.

"Alhamdulillah, Bu ... jauh lebih baik, lukanya sudah diobati, terima kasih ya, Bu ... saya tidak tahu harus mengganti semua kebaikan Ibu dengan apa? Jujur saya tidak punya apa-apa untuk mengganti biaya pengobatan ini," ucap Ayleen.

"Tak usah kamu pikirkan soal itu. Sekarang Ibu ingin tahu, di mana rumahmu? Biar Ibu antarkan kamu pulang. Berada di jalanan sendirian, apalagi di jam-jam malam tak baik untuk seorang wanita, apalagi seorang gadis." Bu Emil memberikan penawarannnya. Niatnya tulus ingin menolong Ayleen.

Ayleen tersenyum getir, ditanya soal rumah, ia kembali teringat bahwa ia tak memiliki tempat untuk pulang. "Saya seorang Ibu, Bu ... bukan lagi seorang gadis. Dan untuk saat ini, saya masih dalam proses mencari tempat tinggal." Ayleen berusaha menyimpan kesedihannya di hadapan Bu Emil. Ia tidak ingin menjual kesedihan demi mendapatkan belas kasihan dan uluran tangan orang lain. Walau hidup serba kekurangan, ia menanamkan pada dirinya, agar selalu menjaga harga diri untuk tidak meminta-minta.

"Kamu sudah punya anak? Lalu di mana anakmu?" tanya Bu Emil.

"Dia sudah berpulang ke sisi Tuhannya, Bu ...," jawab Ayleen sembari tertunduk sedih. Teringat mendiang putranya.

"Innalillah wa inna ilaihi roji'un ... maaf, Ibu tidak tahu. Ibu lihat kamu masih sangat muda, Ibu kira kamu masih gadis," terang Bu Emil aap adanya.

Ayleen tersenyum, "tidak apa-apa, Bu ... saya memang menikah muda," jawab Ayleen.

Bu Emil mengangguk, "jadi kamu tidak berasal dari sini? Di sini ada keperluan apa?" tanya Bu Emil.

"Saya di sinu untuk mencari pekerjaan, Bu ...," terang Ayleen.

"Jadi merantau? Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan itu?" tanya Bu Emil.

Ayleen menggeleng, "belum, Bu ..., saya baru tiba di Surabaya hari ini," jawab Ayleen apa adanya.

"Lalu pekerjaan apa yang kau inginkan? Atau apa skill kamu? Barangkali Ibu bisa bantu." Bu Emil kembali menawarkan bantuan.

"Saya bisa melakukan apa saja, Bu ... selama itu halal. Semua pekerjaan rumah saya bisa lakukan," jawab Ayleen bersemangat, ada secercah harapan yang terselip di dalam kalimat bantuan yang ditawarkan Bu Emil padanya.

"Bu Emil tampak berpikir, kemudian pandangannya teralihkan karena baju Ayleen yang tiba-tiba basah. Baju rumah sakit yang berwarja biru cerah membuat basah di kedua ujung dada Ayleen terliha sangat nyata.

"Ayleen ... maaf, itu kenapa?" tanya Bu Emil seketika membuat Ayleen menutupi kedua dadanya dengan menyilangkan kedya tangan di sana.

"Ya Allah ..., maaf, Bu," sesal Ayleen menahan malu.

"Apa itu asi? Apa kamu masih berada dalam menyusui?" tebak Bu Emil, ia seorang Ibu, dan ia punya cukup pengalaman soal asi meng-asihi.

"Iya, Bu ... bayi saya, baru saja meninggal tiga hari yang lalu." Ayleen kembali tertunduk sedih.

"Ya Allah ... Ibu turut berduka cita ya, Ayleen ... dan itu ... pasti rasanya sakit sekali." Bu Emil meringis seraya memandang dada Ayleen.

"Iya, Bu ... saya belum sempat membuangnya," terang Ayleen membuat Bu Emil bersedih.

"Dibuang? Sayang sekali, Ayleen ... bagaimana kalau kamu susukan pada cucuku saja? Dia sangat butuh asi. Sejak lahir, dia belum pernah merasakan asi ibunya," tawar Bu Emil.

"Menyusui Baby Samuel, Bu? Tapi ... apa Pak Abraham akan mengizinkan, Bu?" tanya Ayleen ragu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status