Share

Bab 3 - ISKDT

Author: Pena_Zahra
last update Last Updated: 2023-09-19 03:14:25

Baby Samuel telah mendapatkan penanganan, begitupun dengan Ayleen. Bayi itu kini terlelap dalam tidurnya, mungkin efek obat telah bekerja, sehingga ia bisa tidur cukup nyenyak.

Samuel dan Ayleen masih sama-sama di IGD. Letak mereka berdampingan. Hanya terpisah oleh korden, sehingga samar-samar, Ayleen dapat mendengar apa yang tengah dibicarakan oleh Daddy dan omanya Samuel.

"Kasihan, Samuel, sejak lahir, ia sakit-sakitan, ini pasti karena dia tidak mendapatkan asi dari ibunya. Padahal asi itu sangat penting untuk kekebalan tubuhnya." Bu Emil berucap seraya memandang sayu cucu yang terbaring lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya.

"Salahkan saya, Ma ... saya yang salah dalam memilih istri. Sebenarnya saya juga sangat ingin memberikan hak asi Samuel, tapi apa daya jika ibunya tak bersedia? Airin lebih mementingkan karirnya dan mengorbankan anaknya. Ia meyakini bahwa menyusui akan merusak body-nya, dan itu tak kan baik untuk karirnya sebagai model, sebab itu Airin enggan menyusui Samuel." Abraham memandang putranya dengan penuh rasa bersalah.

"Mama nggak habis pikir, bagaimana ada ibu macam Airin? Wanita kok sama sekali nggak punya sisi keibuan." Bu Emil terlihat tak suka saat berbicara tentang mantan menantunya.

"Sudahlah, Ma ... yang terpenting sekarang, keluarga kita sudah terbebas dari wanita li_cik sepertinya. Biarlah Samuel tumbuh tanpa Mommy-nya, daripada dia ada dan hanya akan menjadi racun untuk hidup Samuel." Abraham melerai.

"Ya, Mama setuju dengan ucapanmu. Soal kasih sayang ibu untuk Samuel, itu bisa diupayakan, yang terpenting dia bebas dari didikan toxic Airin." Bu Emil menyahuti.

"Ya, kan ada Mama yang bisa menjadi Ibu sekaligus Oma untuk Samuel, Saya sama sekali tak khawatir soal itu." Abraham berucap sembari tersenyum sopan ke arah wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Bukan begitu maksud Mama, Abra!" sahut Bu Emil cepat.

"Lalu, maksud Mama apa?" Abraham memandang mamanya penuh tanya.

"Maksudnya, kamu bisa menikah lagi, dan mengahdirkan sosok ibu untuk Samuel." Bu Emil menjelaskan maksud dari ucapannya dengan gamblang.

Abraham menggeleng cepat, senyum getir terlukis di bibirnya. "Menikah lagi, Ma? Sepertinya tidak mungkin," sahutnya seraya kembali memandangi Samuel.

"Kenapa tidak mungkin? Biarpun ada Mama, Samuel tetap butuh sosok Ibu dalam pertumbuhannya. Lagi pula Mama sudah tua, nggak selamanya Mama bisa mendampingi tumbuh kembang Samuel, Abra ...!"

"Ma ... please ... jangan bicara seperti itu. Saat ini hanya Mama dan Samuel yang saya punya." Abraham selalu emosional saat mendengar Mamanya membahas batas usia.

"Menikahlah, Nak ...!"

"Tidak, Ma ... Saya sudah terlalu trauma dengan pernikahan." Abraham tetap bersikukuh dengan keputusannya.

"Apa yang membuatmu trauma? Tidak semua wanita seperti Airin, Abra! Masih banyak wanita-wanita tulus di luar sana yang perlu kau temui dan jadikan istri." Bu Emil memberikan wejangan. Ia tak ingin membiarkan putranya menjadi single parent untuk Samuel. Abraham sudah tumbuh tanpa ayah, dan ia tak ingin membiarkan Samuel tumbuh tanpa ibu.

"Sulit rasanya, Ma ... Mama tahu sendiri, saya membujang hampir 40 tahun lamanya, dan memutuskan menikahi Airin, gadis muda yang saya anggap tulus mencintai saya, hingga bersedia menerima saya apa adanya. Tapi nyatanya, dia bersedia menikah hanya untuk memanfaatkan harta saya.

Komitmen yang saya jalin dengannya rusak begitu saja. Dan itu membuat saya sangat trauma, Ma .... Saya sudah merasa menemukan wanita yang tepat, tapi ternyata saya salah. Tipu daya wanita sangat kuat, dan saya belum bisa menangkisnya. Saya takut untuk menjalin komitmen kembali dengan seorang wanita, takut hal yang sama akan kembali terulang untuk kedua kalinya." Abraham menyampaikan isi hatinya.

Bu Emil menghela nafas panjang, ia memaklumi sikap putranya. Apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya memang menyisakan rasa trauma, dan itu cukup sulit untuk disembuhkan.

"Setidaknya pertimbangkan dulu matang-matang, Nak ... minimal kamu bisa melakukan itu untuk Samuel, bukan untuk diri kamu sendiri," ucap Bu Emil tak putus asa memperjuangkan nasib cucunya.

Abraham menarik nafas, dan memandang Samuel dengan penuh rasa bersalah. Pandangannya dalam, seolah ia tengah mengajak bayi itu berbicara melalui sorot matanya.

Hidup dengan kasih sayang orang tua yang hanya sebelah memang tak menyenangkan. Abraham sendiri sudah merasakannya, dan sebagai orang tua, sebenarnya ia pun tak ingin Samuel merasakan hal yang sama.

"Nanti akan Saya pikirkan lagi, Ma," sahut Abraham setelah beberapa saat. Bu Emil pun tak lagi menyahuti, obrolan di antara mereka terhenti.

Mendengar obrolan Abraham dan mamanya, Ayleen merasa terenyuh, merasa empati hingga mempertanyakan keadilan Tuhan terhadap orang-orang seperti dirinya dan Abra. Menyaksikan beberapa fenomena kehidupan yang terjadi, semakin membuatnya merasa bahwa hidup ini sungguh tak adil.

Namun ia segera sadar dan beristighfar , mungkin bukan Tuhan tak adil, melainkan takdir-Nya memang penuh misteri. Rahasia Tuhan tak kan pernah mampu digapai oleh pikiran manusia.

Ia pun memutuskan untuk sejenak memejamkan mata, sekedar mengistirahatkan diri barang sejenak, sebelum ia harus kembali pada kenyataan.

Namun, belum juga ia memejamkan mata, korden yang menjadi penghalang antara ia dan tempat Baby Samuel tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok Bu Emil yang berjalan mendekatinya. Ia pun beringsut duduk demi menghormati kedatangannya.

"Bagaimana kondisi kamu, Ayleen?" tanya Bu Emil, ia sudah mengambil tempat duduk di sisi Ayleen.

"Alhamdulillah, Bu ... jauh lebih baik, lukanya sudah diobati, terima kasih ya, Bu ... saya tidak tahu harus mengganti semua kebaikan Ibu dengan apa? Jujur saya tidak punya apa-apa untuk mengganti biaya pengobatan ini," ucap Ayleen.

"Tak usah kamu pikirkan soal itu. Sekarang Ibu ingin tahu, di mana rumahmu? Biar Ibu antarkan kamu pulang. Berada di jalanan sendirian, apalagi di jam-jam malam tak baik untuk seorang wanita, apalagi seorang gadis." Bu Emil memberikan penawarannnya. Niatnya tulus ingin menolong Ayleen.

Ayleen tersenyum getir, ditanya soal rumah, ia kembali teringat bahwa ia tak memiliki tempat untuk pulang. "Saya seorang Ibu, Bu ... bukan lagi seorang gadis. Dan untuk saat ini, saya masih dalam proses mencari tempat tinggal." Ayleen berusaha menyimpan kesedihannya di hadapan Bu Emil. Ia tidak ingin menjual kesedihan demi mendapatkan belas kasihan dan uluran tangan orang lain. Walau hidup serba kekurangan, ia menanamkan pada dirinya, agar selalu menjaga harga diri untuk tidak meminta-minta.

"Kamu sudah punya anak? Lalu di mana anakmu?" tanya Bu Emil.

"Dia sudah berpulang ke sisi Tuhannya, Bu ...," jawab Ayleen sembari tertunduk sedih. Teringat mendiang putranya.

"Innalillah wa inna ilaihi roji'un ... maaf, Ibu tidak tahu. Ibu lihat kamu masih sangat muda, Ibu kira kamu masih gadis," terang Bu Emil aap adanya.

Ayleen tersenyum, "tidak apa-apa, Bu ... saya memang menikah muda," jawab Ayleen.

Bu Emil mengangguk, "jadi kamu tidak berasal dari sini? Di sini ada keperluan apa?" tanya Bu Emil.

"Saya di sinu untuk mencari pekerjaan, Bu ...," terang Ayleen.

"Jadi merantau? Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan itu?" tanya Bu Emil.

Ayleen menggeleng, "belum, Bu ..., saya baru tiba di Surabaya hari ini," jawab Ayleen apa adanya.

"Lalu pekerjaan apa yang kau inginkan? Atau apa skill kamu? Barangkali Ibu bisa bantu." Bu Emil kembali menawarkan bantuan.

"Saya bisa melakukan apa saja, Bu ... selama itu halal. Semua pekerjaan rumah saya bisa lakukan," jawab Ayleen bersemangat, ada secercah harapan yang terselip di dalam kalimat bantuan yang ditawarkan Bu Emil padanya.

"Bu Emil tampak berpikir, kemudian pandangannya teralihkan karena baju Ayleen yang tiba-tiba basah. Baju rumah sakit yang berwarja biru cerah membuat basah di kedua ujung dada Ayleen terliha sangat nyata.

"Ayleen ... maaf, itu kenapa?" tanya Bu Emil seketika membuat Ayleen menutupi kedua dadanya dengan menyilangkan kedya tangan di sana.

"Ya Allah ..., maaf, Bu," sesal Ayleen menahan malu.

"Apa itu asi? Apa kamu masih berada dalam menyusui?" tebak Bu Emil, ia seorang Ibu, dan ia punya cukup pengalaman soal asi meng-asihi.

"Iya, Bu ... bayi saya, baru saja meninggal tiga hari yang lalu." Ayleen kembali tertunduk sedih.

"Ya Allah ... Ibu turut berduka cita ya, Ayleen ... dan itu ... pasti rasanya sakit sekali." Bu Emil meringis seraya memandang dada Ayleen.

"Iya, Bu ... saya belum sempat membuangnya," terang Ayleen membuat Bu Emil bersedih.

"Dibuang? Sayang sekali, Ayleen ... bagaimana kalau kamu susukan pada cucuku saja? Dia sangat butuh asi. Sejak lahir, dia belum pernah merasakan asi ibunya," tawar Bu Emil.

"Menyusui Baby Samuel, Bu? Tapi ... apa Pak Abraham akan mengizinkan, Bu?" tanya Ayleen ragu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mella Sasaq
bagus cerita nya g terlalu muter muter kyak di sebelah udh di bab 25 tapi blm ketemu ibu susu...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 113

    Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 112

    Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 111

    Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 110

    Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 109

    Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 108

    "Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status