Share

Bab 4 - ISKDT

Penulis: Pena_Zahra
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-29 07:24:56

"Kamu tidak perlu memikirkan itu, urusan Abra, nanti biar menjadi urusan Ibu, yang terpenting kamunya mau dulu.

Jujur Ibu tak tega melihat Samuel, sejak bayi dia tidak pernah mendapatkan asupan asi. Dia tumbuh menjadi bayi yang menggemaskan dengan badannya yang gembil, tapi di balik itu, daya tubuhnya sangat lemah, sudah tak terhitung berapa kali dia dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatan Samuel, sangat tidak sesuai dengan pertumbhan berat badannya. Untuk itu, Ibu nengharapkan kamu bisa menjadi ibu susu untuknya, Ayleen.

Ibu yakin, tidak ada kebetulan di dunia ini. Pertemuan kita hari ini, pastilah tak luput dari campur tangan takdir-Nya. Walau terkesan tak sengaja, tapi ternyata ada hikmah di balik itu. Hikmah untukmu yang membutuhkan pekerjaan, juga untuk Samuel yang membutuhkan asi.

Bagaimana, Ayleen? jangan risaukan soal pembayaran, Ibu bersedia membayar berpapun tarif yang kamu pasang. Asalkan kamu bersedia mengasihi Samuel sampai genap usianya dua tahun nanti." Bu Emil berbicara panjang lebar.

Ayleen tertunduk, bukan ia tak tertarik dengan penawaran Bu Emil, hanya saja ia takut, jika nanti kinerjanya akan mengecewakan. Terlebih ini berhubungan langsung dengan darah daging Pak Abraham.

"Maaf, Bu ... tapi bagaimana mungkin Ibu bisa percaya begitu saja pada saya yang merupakan orang baru di dalam kehidupan Ibu ini?" tanya Ayleen. Ia tak ingin tergesa-gesa, ia harus memastikan bahwa majikan yang memperkerjakannya benar-benar telah mempertimbangkan keputusannya.

"Ayleen ... Ibu ini sudah lama mengenyam kehidupan. Ibu sudah berpengalaman dalam memperkerjakan seseorang, mulai dari tingkatan yang paling rendah hingga jabatan yang paling tinggi. Ibu sudah banyak menemui macam-macam orang, dan itu menjadi bekal untuk Ibu bisa mengenali karakter seseorang hanya dalam sekali pertemuan.

Ibu yakin, kamu anak yang baik, dan layak mendapatkan pekerjaan mulia ini. Bagaimana? Kamu mau, kan?" tanya Bu Emil terdengar sangat optimis dalam memperkerjakan Ayleen.

"Bismillah, Bu ... saya bersedia," jawab Ayleen seketika menerbitkan senyuman di bibir Bu Emil.

"Alhamdulillah ... terima kasih ya, Ayleen ... nanti segera Ibu akan bicarakan dengan Abra," sahut Bu Emil.

"Apa yang mau dibicarakan dengan Abra, Ma?" tiba-tiba suara Abraham terdengar, diikuti dengan tubuh kekarnya yang baru menyumbul dari balik korden.

Lelaki itu berjalan dengan pandangan penuh selidik ke arah Ayleen. Cepat-cepat Ayleen menarik selimut untuk menutupi dadanya yang basah.

"Nah, Abra ... kebetulan sekali ada kamu, sini, Mama mau bicara sebentar sama kamu," ajak Bu Emil seraya mempersilakan putranya untuk mendekat.

"Ada apa, Ma? Nanti saja lah bicaranya di ruangan Samuel, ini Abra mau urus administrasi, dan butuh data dia," ucap Abraham seraya melirik Ayleen.

"Sebentar, Mama mau bicara sebentar, harus di sini karena ini ada hubungannya dengan Ayleen," ucap Bu Emil dengan pandangan melekat pada putranya. Jika sudah demikian, Abra paham, mamanya tidak akan menerima penolakan. Ia pun memutuskan mengalah.

"Mau bahas apa sih, Ma? Apa nggak bisa ditunda nanti?" tanya Abraham dengan nada bicara yang lebih rendah.

"Mama mau memperkarjakan Ayleen," ucap Bu Emil to the poin, membuat Abra cukup terkejut.

"Ma ... please, Ma ... untuk apa? Kita nggak butuh pekerja baru, Ma!" Abaraham menolak terang-terangan di depan Ayleen.

"Ayleen akan bekerja sebagai Ibu susu untuk Samuel sekaligus menjadi pengasuhnya," jelas Bu Emil.

"Ibu susu?" tanya Abraham.

"Iya, Ayleen ini baru kehilangan bayinya tiga hari lalu, produksi asinya masih sangat baik, ini sangat cocok untuk Samuel, Abra ... Samuel butuh asi, dan melalui Ayleen dia bisa mendapatkan asupan asi yang dibutuhkan," jawab Bu Emil bersemangat.

"Asi?" sejuta tanya bersarang di benak Abra, ia mulai menemukan ketidaksesuaian antara Ayleen dan Ailin. Namun ia tak ingin gegabah, ia terus memasang kewaspadaan agar jangan sampai kecolonga.

"Jadi bagaimana, Abra?" Bu Emil bertanya sekali lagi.

"Ma ... sebaiknya kita nggak segampang itu rekrut pekerja baru, apalagi dia bukan orang yang kita kenal, dia orang asing, bukan juga seorang tenaga ahli. Jangan cuma karena kasihan Mama dengan mudah menarik orang baru ke dalam kehidupan kita, Ma ...," ungkap Abraham secara terang-terangan.

"Abraham, kamu meragukan, Mama?" Bu Emil tampak tersinggung dengan ucapan putranya.

"Ma, bukan begitu maksud saya ...."

"Sudahlah, ikuti saja apa kata Mama. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan akibat keputusan Mama ini, Mama akan bertanggung jawab.

Harusnya kamu mikir, Abra ... Samuel ini cucu Mama, Mama sayang sama dia, maka Mama tidak akan sembarangan dalam mengambil keputusan yang akan berhubungan dengan masa depannya." Bu Emil berada dalam mode seriusnya, dan jika sudah seperti ini, Abraham tak kuasa lagi menolak kemauannya.

Begitulah sosok Bu Emil, ia sangat penyayang sebagai seorang Ibu terhadap Abraham, putra semata wayangnya, tapi di sisi lain, ia juga punya sisi tegas, sebagai penyeimbang rasa kasih sayangnya. Instingnya sebagai seorang single parent selalu menuntutnya agar bisa memerankan dua peran sekaligus untuk Abra. Maka inilah dia, perpaduan antara kasih sayang dan ketegasannya, mampu mengantarkan putranya pada kesuksesan.

"Kita trial dulu untuk satu bulan ke depan ya, Ma. Kita lihat dulu bagaimana kinerjanya. Baru setelah itu kita lakukan kontrak," pinta Abraham.

"Oke, Mama ikuti aturan kamu. Bagaimana, Ayleen? Kamu tidak keberatan, kan? Tenang saja, untuk sebulan pertama sebelum kontrak, kamu akan kami bayar full sesuai tarif yang disepakati dalam kontrak." Bu Emil meminta pendapat Ayleen.

"Saya setuju saja, Bu ... asalkan tidak ada pihak yang keberatan. Kalau ada salah satu pihak yang keberatan lebih baik saya mundur saja, Bu ... saya cari pekerjaan yang lain," jawab Ayleen, melalui ekor matanya, ia memberanikan diri melirik Abraham, akan tetapi, lelaki yang terus memandangnya tajam itu membuatnya segera mengalihkan pandangan dan salah tingkah.

"Nggak ada yang keberatan kok, kami semua sudah sepakat. Ya, kan, Abra?" tegas Bu Emil seraya melirik ke arah putranya. Melalui ekor matanya, Abra melihat sorot penuh penekanan di sana.

Abra hanya tersenyum tipis ke arah mamanya, kemudian mengangguk mengiyakan. Tak ada pilihan lain untuknya saat ini kecuali menuruti permintaan mamanya.

Pandangan Abraham kemudian beralih ke arah Ayleen, "Sudah, nggak usah berdrama, kamu tinggal tunjukkan saja kualitas kinerjamu selama sebulan kedepan, dan saya akan menilainya. Satu hal yang kamu harus tahu, saya tidak suka pekerja yang tidak profesional, terlebih ini berkaitan dengan anak saya.

Samuel adalah segalanya bagi saya, jadi kamu harus benar-benar memperhatikannya, dan merawatnya dengan baik. Sedikit saja terjadi sesuatu yang membahayakan Samuel, saya akan berhentikan kamu dari pekerjaan ini. Mengerti?" ucap Abra pada Ayleen.

"Siap, Pak. Saya mengerti, dan akan melakukan yang terbaik semampu saya." Ayleen menjawab mantap. Ia bersyukur mendapatkan pekerjaan yang ia nilai sangat sesuai dengannya saat ini. Benar apa yang dikatakan oleh Bu Emil, bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi kebeulan, semua terjadi atas takdir Tuhan. Sekali lagi, Ayleen memanjatkan syukurnya. Ia benar-benar merasakan kasih sayang Tuhan di saat-saat seperti ini.

"Bagus. Sekarang mana data kamu?! KTP," pinta Abra seraya menodongkan tangannya ke arah Ayleen.

"Sebentar, Pak ...." Ayleen segera meraih dompetnya.

Saat Ayleen bergerak, tanpa sengaja selimut yang menutupi dadanya terbuka, menampilkan kedua ujung dada yang basah akibat asi yang merembas keluar.

Abraham segera mengalihkan pandangannya dari dada Ayleen seraya berisitigfar. Sebuah pekandangan yang membuatnya bergetar di satu sisi sebagai lelaki normal, namun juga bersyukur sebagai seorang ayah. Tak dipungkirinya, ia merasa lega, pada akhirnya Samuel bisa mendapatkan asinya.

Ayleen yang sudah mendapatkan kartu tanda penduduknya segera menyerahkannya pada Abraham.

"Ini KTP saya, Pak!"

Abraham menerimanya, kemudian segera membawanya menuju tempat administrasi. Setelah urusan administrasi selesai, ia tak langsung kembali ke IGD, melainkan duduk di sebuah kursi tunggu, untuk meneliti data diri Ayleen.

Dan lagi, kenyataan demi kenyataan yang ia saksikan kembali mengejutkan dan meninggalkan tanya dibenaknya.

"Siapa dia sebenarnya?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pena_Zahra
jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak ya, biar othornya semangat
goodnovel comment avatar
Fitri Yani
saking asiknya baca suka lupa ninggalin jejak,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 113

    Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 112

    Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 111

    Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 110

    Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 109

    Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 108

    "Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status