Share

BAB 48

Auteur: Fredy_
last update Dernière mise à jour: 2025-08-08 15:45:59

Beberapa menit sebelum tanda tangan itu tercetak di atas kertas...

Nayla berdiri gelisah di depan pintu masuk rumah. Di hadapannya, berdiri juga seorang pria berjas yang tadi merebut kunci rumah dari tangan Leo, senyum tipis terulas di bibir pria itu. matanya.

Notaris, katanya. Utusan Matilda.

Suasana terasa dingin, bukan karena yang berhembus, tapi karena tatapan pria itu yang seolah bisa menembus isi kepala Nayla.

“Maaf, Pak…” Nayla memberanikan diri bersuara. “Kalau... kalau kami nggak mau tanda tangan nikah, apa yang akan terjadi?”

Senyum pria itu langsung menghilang. Wajahnya mengeras, suaranya berubah tegas.

“Keluarga Utama akan hancur!” ucapnya, menggelegar di telinga Nayla.

“H-hah? Hancur?” Nayla terbelalak. “Tapi saya cuma pengasuh, Pak. Saya nggak bisa pegang senjata buat ngancurin keluarga...” Nayla bertambah gugup, langkahnya mundur setapak.

"Senjata anda tidak dipegang, tapi sedang anda digedong," ujar pria itu seraya menundukkan pandangan ke arah Matteo yang baru saja me
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
eonnira
eh si bude itu bisa jadi mata² susu tulang loh Leo
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 224

    Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 223

    Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 222

    Akhir minggu yang sibuk...Nayla sudah mondar-mandir sejak subuh, memastikan semua siap—tas kecil berisi botol minum, snack ringan, bantal leher, sampai syal tipis yang sengaja ia lipat rapi untuk berjaga-jaga kalau ruang tunggu rumah sakit terlalu dingin untuk Matilda.***Dua hari yang lalu, Matilda sempat mengeluh badannya pegal-pegal. Linu menjalar sampai ke punggung, sendi-sendinya terasa kaku saat bangun tidur, dan malamnya suhu tubuhnya naik sedikit—tidak tinggi, tapi cukup membuat semua orang waspada.Tapi...Alih-alih mengakui tubuhnya butuh istirahat, karena usia dan padatnya acara beberapa waktu lalu, wanita itu justru mendesah kesal saat menelepon video ke ponsel Nayla.“This is because of you two,” katanya sambil menunjuk Leo dan Nayla di layar. “Gara-gara kalian melarang Mama ke luar negeri. Lihat kan... Mama jadi pegel-pegel. Nggak bisa Mama kelamaan duduk di sofa, lebih cocok duduk di kursi pesawat."Nayla yang sedang menyusui Matteo hanya dapat tersenyum sabar. Leo me

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 221

    Dan—tentu saja—harapan Surti harus kandas sebelum sempat bersemi.Sorot lampu mobil Leo menyapu halaman rumah, memecah gelap malam. Begitu mesin dimatikan, pintu belakang terbuka dan Emily melompat turun dengan langkah ringan, membawa seluruh energi pasar malam di tubuhnya. Tanpa ragu, gadis itu langsung masuk ke rumah, menghampiri pria berbadan kekar yang berdiri sigap di dekat pintu.“Thank you for waiting, Julian,” ucap Emily riang gembira. “We go back to the hotel now.”“Hah? Udah mau ke hotel aja?” tanya Surti, terkejut kecewa. “Nggak… minum teh dulu gitu? Om bodyguard mau teh, kopi apa susu?"Emily menoleh, tersenyum lebar. “No, thank you, Surti,” sahutnya ramah. “Aku sudah minum banyaaak sekali minuman malam ini. Es ini, es itu... dari manis, asem...” Ia tertawa kecil, menepuk perutnya sendiri.Julian hanya berdiri tenang di belakangnya, kembali memasang kacamata hitamnya.“Then..." lanjut Emily lagi, “kami harus berangkat tengah malam ini. Flight back to England.”Surti membeku

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 220

    Belum sempat Emily melanjutkan kalimatnya, langkah Leo sudah terdengar mendekat. Tangannya penuh—dua plastik bening berisi es cekek yang dingin berembun dan satu bungkus martabak mini yang masih hangat, aromanya manis bercampur mentega.“Minum dulu,” ujar Leo singkat, menyodorkan satu plastik ke arah Nayla, lalu satu lagi ke Emily. “Dan ini makanan penutup kita—martabak mini pisang cokelat.”Emily menerima es cekek itu, matanya berbinar… lalu seketika mengerut. “No,” protesnya spontan, sudah kembali menjadi anak kecil yang super rese. “Aku masih mau coba yang itu... itu... dan itu..." Jarinya menunjuk-nunjuk ke segala arah.Leo menghela napas panjang—kali ini sudah benar-benar capek. Ia mengusap tengkuknya. “Kaki aku sudah pegal, perut sudah kenyang. Kita pulang sekarang,” katanya.Emily mencebik. “Nggak mau.” Lalu, ia segera menoleh Nayla yang sedang menyedot es-nya. “Nayla, temani aku ke sana…” perintahnya.Nayla menatap Leo yang menggeleng kecil. Namun, Nayla malah tersenyum kecil

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status