Haiiiiii.... Bab 49 dan 50 sudah berhasil direvisi ya, auntie-auntie. Silahkan dibaca ulang tanpa harus buka kunci lagi. Terima kasih. Salam/Fredy. Follow I*G : fred_goldenluck
Sepanjang perjalanan, Nayla nyaris tak bersuara. Ia duduk di kursi penumpang dengan tatapan yang lebih sering mengarah keluar jendela. Kaos lengan pendek warna putih dan celana jeans yang ia kenakan membuatnya tampak seperti remaja SMP yang dibawa ayahnya keluar malam. Tas selempang kecil menggantung di sisi tubuhnya, berisi tissue basah, sisir, dan dompet yang ia ambil terburu-buru. Di kursi kemudi, Leo masih mengenakan kemeja navy blue yang tergulung rapi di pergelangan tangan dan celana kantor. Kontras sekali dengan gaya santai Nayla. Meski lelah terlukis jelas di wajahnya, tetapi itu justru menambah daya tarik Leo. Dia seperti pria pekerja keras yang membuat dada setiap gadis berdegup kencang. Begitu mobil berhenti, Leo turun lebih dulu. Ia berjalan memutari kap mobil, lalu membukakan pintu penumpang. "Ayo, turun," ucapnya. Nayla patuh, meski di matanya tersirat kebingungan. Dan saat pandangannya jatuh pada bangunan megah dengan dinding kaca menjulang di depannya, ia spontan be
Nayla turun dari boncengan Pak Dirman tanpa sepatah kata pun. Langkahnya lurus menuju pintu, tak menoleh sama sekali. Dari kamera CCTV teras, wajah cemberutnya sudah cukup untuk membuat Leo di seberang layar menyesal. Begitu masuk, Nayla membuka pintu sedikit keras. Ia menaiki tangga menuju kamar Matteo, lalu menutup pintu rapat-rapat. Masih menggendong bayi yang sudah ia pakaikan topi agar tidak kepanasan itu, Nayla duduk di tepi ranjang. “Bu Nayla! Disuruh pulang sama Pak Leo! Pak Leo ngeliat dari kamera CCTV!” Nayla menirukan ucapan Pak Dirman dengan suara setengah kesal. "Astaga, malu banget! Udah kayak anak kecil kabur dari rumah, terus diteriakin suruh pulang." Nayla mendengus sendiri. “Uuuhhh…” sahut Matteo, seperti ikut membela ibu susunya. “Jadi ada berapa kamera CCTV di rumah ini, Teo?” Nayla memandang berkeliling, matanya langsung menangkap satu kamera kecil di sudut kamar. “Tuh! Ada satu. Papa lihat kita dari situ, tuh,” ujarnya, sengaja menunjuk ke arah kamera. “
Menyadari perubahan raut wajah Pak Boss-nya itu, Putra menyipitkan mata ke arah Leo. "Ada apa, Pak?" tanyanya, sedikit khawatir masih berhubungan dengan rapat tadi. Leo menggeleng singkat. “Chat nyasar. Nomor tak dikenal.” “Oh..." sahut Putra lega. "Sekarang sering tuh begitu. Ujung-ujungnya penipuan. Biarin aja, Pak. Jangan dibales.” Leo menatap asistennya datar. “Nggak usah ngajarin saya, Put. Saya nggak bego.” Putra meringis keki. “Iya, iya deh, Pak…” Tawa Pak Eman semakin menjadi-jadi. Dengan kesal Putra melontarkan karet gelang ke arah office boy yang sering menggodanya itu. "Sana, huss! Cucian gelas numpuk tuh di pantry," usir Putra. Pak Eman tertawa-tawa keluar ruangan sambil menepuk-nepuk nampan seperti membunyikan rebana. Leo menghela napas tipis, lalu melanjutkan makan siangnya. Tapi rasa gurih soto Betawi itu tak mampu meredakan keresahan yang merayap di dadanya. Karena… meski pesan itu datang dari nomor tak dikenal, ia nyaris tak perlu menebak dua kali siapa pengirimn
Kemeja slim fit navy blue sudah terpasang rapi di tubuh, dasi terikat sempurna, dan aroma parfum woody menguar samar setiap kali Leo bergerak. Sepatu kulitnya mengilap. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar, menatap pemandangan yang—mau tak mau—sudah mulai menjadi bagian dari rutinitas paginya, Lampu kamar menyala terang. Nayla duduk bersandar di sandaran tempat tidur, rambutnya jatuh sedikit berantakan di bahu. Matteo tertidur pulas di lengannya, masih tekun menyusu di dadanya. Tangan bayi itu usil menarik-narik rambut Nayla hingga wanita itu tertawa-tawa kecil. Masih bayi saja sudah pintar cari perhatian. Leo menelan ludah. Astaga! Sepertinya dia juga sudah harus mulai terbiasa melihat pemandangan itu. Dan, kalau yang duduk di sana itu Zoya... ia mungkin sudah mendekat, memeluk dari belakang, lalu mengecup bahu terbuka yang menggoda itu. Tapi... ini Nayla. Dan, sialnya, mereka terlanjur mencatatkan banyak perjanjian di depan notaris yang tak boleh dilanggar. Leo menghela napa
Di dalam kamar, di lantai bawah, lampu redup menyinari wajah Desti - sang baby sitter yang tampak sedang menempelkan ponsel ke telinga. Suaranya diredam, tapi nadanya penuh semangat, seolah tengah melaporkan misi penting. "Aduh, Bu Arlene... saya berhasil! Saya nggak dipecat sama Pak Leo. Sumpah ya, saya tuh sampai bilang saya nyesel, terus nangis dikit-dikit gitu kayak yang diajarin Bu Arlene. Saya bilang kasih saya kesempatan... saya bisa masak, bisa ngelakuin pekerjaan lain, asal jangan pecat saya." "Bagus!" sahut Arlene di ujung sana. "Sekarang Leo ada di mana? Pengasuh bayi itu juga ikut ke rumah?" "Betul, Bu. Nayla ikut ke rumah, gayanya tuh ... udah kayak nyonya rumah banget. Huh!" Desti mendesis sambil mencibir ke arah pintu yang tertutup rapat. "Terus ya, bu ... tadi saya liat ada bapak-bapak datang, nungguin Pak Leo di depan pintu rumah. Saya ngintip dari sela tirai, mereka kayak bawa map tebel gitu, Bu." Arlene mengernyit. "Map apa? Urusan bisnis atau apa?" "Saya nggak
Kasihan juga, pikir Nayla, memindai baby sitter yang nyaris diusir Leo. Mata wanita itu merah, dan jari-jarinya sibuk mengusap sudut matanya berkali-kali. Nayla bisa merasakan getir itu—perasaan ditolak, perasaan tak diinginkan, diusir dengan penghinaan. Ia tahu persis, bahkan luka itu masih mengusik mimpinya. Makan, begitu Leo sudah mulai melangkah lagi mendorong stroller, Nayla buru-buru menoleh. Dengan nada sehalus mungkin, ia berkata, “Pak Leo… kayaknya setiap pagi saya bakal sibuk ganti popok dan menyusui Matteo deh. Saya nggak yakin bisa sempat masak buat sarapan. Mungkin… mungkin Bude bisa bantu buatkan sarapan?” Leo menghentikan langkahnya, menoleh setengah, ekspresinya tetap datar. “Saya jarang sarapan. Minum teh saja cukup, dan saya bisa bikin sendiri.” Nayla tidak langsung menyerah. Ia berdiri menjajari Leo. "Tapi kan saya butuh sarapan, Pak. Supaya kuat jaga Matteo seharian," ujarnya. Leo memutar tubuh, berhadapan dengan Nayla, dan menghela napas. "Kamu bisa pesan Fudgo