Dan kini, di dalam kamar gelapnya, Jax kembali menatap liontin itu. Pandangannya hampa, tapi hatinya menggelegak di antara cinta, kehilangan, dan obsesi yang tak lagi bisa ia bedakan. Jemarinya meraba-raba permukaan liontin berbentuk mawar itu, seolah mencari kebenaran dari sosok yang terus menghantui pikirannya."Nay…" suaranya parau, nyaris pecah. “…aku sudah berjanji. Kamu harus jadi milik aku, selamanya. Tidak boleh ada orang lain… termasuk dia.”Bayangan di ruangan perawatan rumah sakit itu menyala di kepalanya. Kepalanya berdenyut. Apakah benar wanita yang ia lihat di sana adalah Nanay? Jika iya, maka semesta sialan benar-benar sedang mempermainkannya—menaruh gadis itu begitu dekat, tetapi juga begitu jauh darinya.“Aku yang pertama kenal kamu. Aku yang menjaga kamu. Aku yang sudah berjanji sama kamu… BUKAN DIA!” Jax menghantam keras dinding dengan tinjunya.Giginya bergemeletuk, menahan amarah yang terus mendidih. Dalam kepalanya, bayangan lelaki itu—Leo—muncul seperti duri dal
Liontin kecil berbentuk bunga itu berkilau redup di tangannya. Jax menatapnya lama, matanya kosong namun penuh gejolak. “Kalau benar itu kamu, Nay… kamu pasti lagi nyari kalung ini…” bisiknya.Dan pikirannya pun kembali—ke sore, tepat seratus hari setelah kepergian Mbah Putri. Membuat vila tua itu semakin terasa muram. Kalau bukan karena pemandangan indah yang hanya bisa didapatkan dari salah satu sudut di area vila, mungkin vila itu sudah tidak ada peminatnya lagi.***Jax masih ingat betul bagaimana wajah Nayla kala itu. Pucat, mata sembab, seolah semua warna dunia ikut mati bersama wanita tua yang merawatnya sejak bayi itu. Nayla masih sangat berduka, hingga tak membuka pintu menyambut kedatangan Jax."Hei, Nanay! Tuh kan nangis lagi... udah dong, Nay..." ujar Jax, sambil duduk di samping Nayla, di tangga teras memandangi sumur tua di depan rumah kecil Mbah Putri.Nanay menggeleng lemah, bibirnya seolah rapat oleh duka yang tak juga usai."Nay... kalau kamu terus begini, Mbah Putri
Surti menatap Leo dengan mata membesar, masih tidak percaya dengan tawaran yang barusan ia dengar. Jujur saja, ia tidak pernah bermimpi bisa dapat gaji lebih besar lagi dari sekarang. Bahkan, menurut survei pribadinya, gaji dia ini sudah lebih dari gaji rata-rata pembantu rumah tangga.Dua kali pindah kerja, baru kali ini gajinya cukup untuk biaya hidup dan menyekolahkan adiknya. Tetapi, siapa sangka untuk gaji besar itu ia harus berhadapan dengan nyonya rumah yang kadang emosinya berlebihan.Sesaat, bibirnya bergetar, seperti ingin berkata ya. Namun tak lama, ia menggeleng lagi, dan butiran air mata kembali jatuh."Enggak, Pak Leo… saya nggak bisa. Dua bulan lalu, saya baru aja minjem uang buat benerin rumah orang tua. Saya pinjam lumayan besar, Pak. Rumah orang tua saya udah mau roboh..." ucapnya parau.Nayla tercekat bingung. “Ti! Tolong pikirin tawaran Leo, ya? Supaya kamu bisa keluar dari rumah itu, nggak disiksa lagi, dan hidup kamu lebih tenang—”Surti menarik napas panjang, la
Ketukan di pintu merengut ciuman perdana Leo dan Nyala. Mereka pun sontak menjauh, meski degup jantung mereka masih berkejaran, seolah baru saja tertangkap basah berbuat mesum. Leo buru-buru mengusap wajahnya, menelan gugup yang membuncah. "Kok... Surti tau aku di sini?" bisik Nayla, menggigit bibir yang masih menyisakan rasa manis bibir Leo. "Oh, itu... semalem aku kasih tau dia. Supaya bisa gantian jagain kamu," jawab Leo cepat, memalingkan muka untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. "Ma—masuk, Surti…” serunya agak tergesa, berharap canggung di antara mereka segera mereda. Pintu terbuka. Surti muncul dengan sedikit tersengal, kedua tangannya menenteng bungkus plastik yang menguarkan aroma enak. Ia pun langsung mendekati ranjang Nayla, nyaris tanpa memedulikan kehadiran Leo. "Kamu sakit apa sih, Nanay? Kok bisa tumbang gini? Kamu nggak kurang makan, kan? Atau kecapekan ngurus bayi, ya? Istirahat, Nay! Kebiasaan deh, kalau udah sibuk suka lupa istirahat. Sok kuat, sok bisa nge
Leo berjalan kembali ke ruang perawatan Nayla. Langkahnya sempat terhenti di depan pintu ruang perawatan Nayla, berpapasan dengan seorang perawat yang baru keluar sambil mendorong troli obat. "Lho, Sus? Ada apa?" tanya Leo khawatir. "Tidak ada masalah, Pak Leo. Saya hanya mengecek infusan Ibu Nayla, ternyata belum habis, masih cukup sampai besok pagi. Ibu Nayla tidurnya nyenyak sekali ya," ucap si perawat, tersenyum singkat sebelum berlalu. Leo mengangguk. "Iya, Sus. Habis minum obat terus tidur," sahutnya. Namun alih-alih langsung masuk, Leo malah berdiri kaku beberapa detik. Matanya menatap gagang pintu, ada perasaan aneh yang menyelinap. Seolah udara di koridor itu masih menyimpan jejak langkah lain selain perawat barusan. Perasaan itu makin menguat saat ia membuka pintu. Begitu masuk, Leo berdiri terpaku. Matanya berkeliling, menyapu setiap sudut ruangan. Selang infus bergerak pelan, seperti baru saja disentuh. Aroma samar cologne yang tak dikenalnya sekelebat sempat menyusupi
Jax menahan tawa sinis ketika Leo berjalan tergesa melewati dirinya. Informasi dari resepsionis rumah sakit tadi tidak salah—nomor kamar ini memang milik seorang wanita bernama Nayla. Dan jelas sekali ia melihat Leo keluar dari ruangan itu. Tepat di depan pintu, Jax berhenti. Senyum tipis terbit di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia memutar gagang perlahan, derit halus pintu menyeruak, dan seketika sunyi menyergapnya. Lampu ruangan menyala redup, hanya menyisakan cahaya pucat yang jatuh di atas ranjang pasien. Di sana, seorang wanita tampak terlelap, tubuhnya miring, rambut panjangnya tergerai acak menutupi sebagian wajah. Jax menyipitkan mata. Samar-samar, garis rahang lembut dan kulit pucat itu membuat dadanya bergetar sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan saat hendak melaksanakan tugas kotor. "Aku nggak peduli kamu pakai cara apa! Habisi dia, Jax!" suara Arlene menggema dalam kepalanya. "Habisi?!" batin Jax menaikkan alisnya, meledek ucapan Arlene yang diangga