"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s
Lelaki brewok itu sudah masuk ke mobilnya."Ayo kita pulang, Tsan. Kelamaan di rumah mertuamu ini bikin Pakdhe kebakaran bewok.""Jenggot, Pakdhe," protes Tsani sambil tertawa kecil."Aih ... sama saja, sama-sama rambut.""Iya deh, sama. Oh ya. Kok, tadi di dalam lama banget Pakdhe, sampai Melani tidur pulas sekali."Tsani menatap ke arah pakdhenya yang sedang fokus ke kaca spion mengeluarkan mobil dari parkiran."Duh, maaf ya Tsan. Tadi sebenarnya juga belum kelar, tapi takut situasi dan kondisi Mamah Mertuamu makin memburuk. Nanti malah Pakdhe yang ketempuhan.""Memangnya apa yang tadi dibahas, Pakdhe?""Iya, Pakdhe cuma bilang kalau Pakdhemu ini tidak setuju jika kamu masih harus memberi ASI untuk anak hasil pengkhianatan mantan suamimu itu. Mereka pikir keponakan Pakdhe yang sholihah ini perempuan apaan. Lagian kamu sih, mau pula diperbudak sama mereka. Jangan terlalu pakai hati, Tsani. Cerdaslah sedikit.""Bukannya begitu, Pakdhe. Tsani hanya kasihan sama bayi itu. Mungkin, kalau
Rumah Papah Rusli.Bimo menghampiri Mamah Astrid yang sedang kuwalahan menangani Anita yang terus menangis karena kehausan. "Kamu ke mana saja sih, Bim? Apa tidak dengar Anita menangis?""Maaf, Mah. Tadi Bimo ada urusan sama Papah di gazebo depan.""Sekarang di mana papahmu?""Masih di sana kayaknya, Mah."Mamah Astrid keluar dari kamar, sedangkan Bimo lanjut mengurus Anita, memberikan ASI kepada putri keduanya."Cup cup cup ... anak Ayah jangan nangis lagi, sekarang mimi susu dulu ya, Sayang."Bimo memang sudah luwes mengurus Anita karena selama hidup bersama Dini, Bimolah yang sering mengurusnya. Sehari-harinya Dini memang sibuk dengan jualan online-nya. Tidak jarang pula, Dini meninggalkan Anita di rumah bersama Bimo untuk melakukan COD dengan pelanggan.Waktu demi waktu, usaha Dini berkembang pesat. Banyak reseller-reseller yang mengambil barang jualan dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, Dini belum begitu mahir me-manage keuangan bisnisnya sehingga setiap bulannya Bimo harus m
Bimo sangat kalut, tidak mau terjadi apa-apa dengan putri keduanya itu. Dengan kecepatan tinggi Bimo melajukan motornya. Sekarang yang ada dalam pikirannya hanyalah Anita.Sesampainya di rumah Bimo langsung menghampiri Mamah Astrid. Dilihatnya Anita sudah lemas dan badannya sangat panas. Thermometer pun menunjukkan angka 39°."Mah, Anita kenapa sampai bisa begini, Mah?"Bimo sangat panik dengan kondisi bayinya."Tadi Anita muntah-muntah setelah minum susu formula yang kamu beli tadi, Bim.""Ah, yang benar, Mah?""Iya, Bim. Apa mungkin Anita tidak cocok dengan susu sapi ya?""Bimo juga tidak paham, Mah. Mamah tadi bikin susunya sesuai takaran, kan?""Iya, sesuai takaran yang tertera di box susu itu.""Mah, kain Mah."Anita muntah lagi, sekujur tubuhnya basah. Bimo pun mengganti keseluruhan pakaian Anita."Apa Anita kekenyangan ya, Bim?""Bisa jadi. Tapi ini muntahan keberapa, Mah?""Kelima ini, Bim.""Mah, sebaiknya kita bawa Anita ke bidan desa dulu, Mah. Kasihan kalau harus ke rumah
"Aku mohon, Mas. Jangan main-main. Aku bisa ini semua kepadamu. Ini-ini tidak seperti yang kamu bayangkan."Dini terus melangkah mundur menjauhi Bimo yang terus maju menghampiri dirinya. Sampai tubuh Dini mentok ke dinding ruang tamu. Tangan Bimo memainkan belati kecil dengan lincahnya. Tersenyum menyeringai kepada Dini, Bimo siap menguliti Dini habis-habisan malam ini.Tubuh mereka kini berhadapan. Dini tidak ada percobaan perlawanan. Benda kecil yang tajam itu disentuhkan ke wajah, lalu turun ke leher, ke tubuh Dini dan naik lagi berhenti tepat di depan mata Dini. Keringat sehabis perang bersama lelaki lain, kini bercampur dengan keringat dingin yang Bimo ciptakan."Wajah kamu makin cantik saja, Sayang. Pantas saja ada lelaki yang sampai mau membayar tubuh kamu."Pujian itu sama sekali tidak membuat Dini tersanjung, tetapi malah sebaliknya. Napasnya terpenggal-penggal, tidak beraturan."Katakan padaku, siapa laki-laki itu!" bentak Bimo, "beraninya kau bermain di belakangku, Dini!"
"Tsan, Tsani ... aku mohon rujuklah denganku. Kita mulai lembaran hidup yang baru. Tolong maafkan semua kesalahanku. Aku sungguh menyesal telah meninggalkanmu demi wanita itu. Ternyata dia tak sebaik yang aku kira. Aku menyesal. Kembalilah padaku Tsan, Tsani ...."Dekapannya makin erat, membuat Dini pun susah bernapas. Ternyata sesakit ini merasakan hangatnya pelukan, tetapi raga orang lain yang diharapkan, bahkan dalam tidurnya yang lelap pun masih bisa mengigo sepanjang itu. Lebih-lebih lelaki yang berada tepat di bawahnya itu sangat fasih dalam membandingkan dirinya dengan wanita lain."Kamu keterlaluan, Mas Bimo," Dini menggerutu.Ingin rasanya melayangkan kepalan yang keras untuk Bimo. Namun, Dini enggan melakukannya karena jika ia nekad hanya akan membangunkan Bimo ,bahkan orang seisi rumah dan lebih fatalnya lagi semua rencananya pasti akan gagal.Pelukan Bimo sekarang mengendur dan Dini pun terlepas secara perlahan. Bimo juga kembali tertidur pulas seperti awal tadi.Ponsel Bi
"Pokoknya jangan sampai kamu tergoda lagi sama perempuan itu, Bim. Mamah ngelihat dia di sini saja sudah engap. Apalagi harus melihat kamu kembali mesra sama dia lagi. Kalau bukan Anita yang menjadi alasan dia di sini, Mamah tidak sudi. Sudah Mamah usir jauh dia dari rumah ini," ocehan Mamah Astrid masih terdengar di kamar Bimo."Iya, Mah. Bimo ngerti. Lagian rencana awal kita kan masih utuh.""Setelah Anita sudah menemukan susu formula yang cocok. Kamu cepat-cepat ceraikan perempuan itu. Mamah juga tidak mau gara-gara dia di sini, Tsani makin sulit untuk kita bujuk.""Tidak segampang itu Mah misahin anak dan ibunya. Terlebih lagi Anita masih butuh ASI dari Dini. Pasti hak asuh akan jatuh ke tangan ibunya.""Bim, uang keluarga kita buat apa kalau bukan untuk mendapatkan apa yang kita mau? Kita bisa menyewa pengacara hebat untuk sidang nanti. Lagi pula, Dini bisa apa? Mau minta tolong sama orang tuanya yang juga tak punya apa-apa itu?"Perkataan Mamah Astrid kali ini memang benar. Hart
"Mah, Melani lapar.""Uluh ... uluh, anak Mamah perasaan baru makan tadi sehabis maghrib. Ini sudah lapar lagi?""Iya, Mah.""Bentar ya, Sayang. Mamah gorengkan telur dulu buat lauk."Tsani bangkit dari ranjangnya, berniat menggoreng telur mata sapi untuk Melani karena lauk pauk sudah habis untuk makan malam tadi.Sore tadi Tsani mendapat kabar, bahwa Dendi akan pulang malam ini. Waktu sudah menunjukan jam sepuluh malam. Dendi mengatakan dirinya akan pulang sekitar jam sepuluh pula.Setelah selesai menyuapi Melani, Tsani memintanya untuk kembali tidur karena sudah hampir larut malam. Melani pun kini telah tertidur. Tsani mengecek ponselnya, tetapi belum juga ada kabar dari adiknya.Tsani hampir saja terlelap menunggu kepulangan Dendi yang tak kunjungi sampai. Sampai-sampai kini iya tertidur di kursi ruang tamu. Namun, dia terbangun dengan kagetnya setelah mendengar ketukan pintu yang lumayan keras."Astaghfirullah. Anak ini apa tidak bisa ketuk pintu pelan-pelan, salam dulu."Tsani me