Ruang rawatan Alya masih dipenuhi aroma obat-obatan ketika Adrian berdiri di ambang pintu. Matanya menatap lekat sosok wanita yang pernah menjadi bagian hidupnya, kini terbaring lemah dengan infus di tangan. Ada sesuatu di sorot matanya yang sulit dibaca—penyesalan, mungkin, atau sekadar rasa bersalah yang terlambat.
“Sumpah. Aku hanya ingin melihat keadaannya,” ucap Adrian lagi perlahan, seakan sadar bahwa setiap katanya bisa memicu ledakan dari Sean.
Sean, yang berdiri tak jauh dari ranjang, langsung menoleh dengan tatapan menusuk. Rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menonjol. “Kau tidak punya hak berada di sini,” katanya dingin.
Ketegangan semakin terasa ketika pintu kamar kembali terbuka. Miranda masuk, membawa kabar yang sejenak meredakan suasana.
“Sean…” katanya lembut, seakan menengahi. “Rey dan Leon sejak tadi sibuk merajuk. Mereka ingin melihat Alya. Aku sudah berusaha menenangkan mereka.
“Daddy, aku mau tambah telur lagi!” seru Ruelle sambil mengangkat garpu.“Tapi telur yang ini buat Kak Rey,” sahut Sean sambil tersenyum sabar, memutar sendok di piringnya.“Yah, tapi aku lapar sekali, Daddy!” protes Ruelle lagi, membuat Renzo terkikik.“Makanya jangan main lari-larian dari subuh,” sela Miranda sambil meletakkan sepiring nasi goreng di tengah meja. “Sudah, bagi dua saja sama Kak Rey.”Rey menatap adiknya, lalu dengan cepat menyodorkan separuh potong telur dadar di piringnya. “Nih, buat Ruelle aja.”“Yeay! Makasih, Kak Rey!” Tawa kecil memenuhi ruang makan pagi itu. Alya yang baru turun dari tangga menatap pemandangan itu dengan senyum lembut. Aroma nasi goreng dan sambal bawang khas buatan Miranda memenuhi udara. Di luar, langit Jakarta mulai terang, burung-burung beterbangan di
Sudah seminggu berlalu sejak kehangatan di villa itu berakhir. Udara Jakarta pagi ini terasa sedikit berat. Bukan karena cuaca, tapi karena ada yang akan pergi. Di rumah besar keluarga Sean, suasana sejak subuh sudah ramai. Para asisten rumah tangga berlalu-lalang, koper disusun di dekat pintu masuk, dan aroma masakan khas dapur Miranda memenuhi udara. Selena berdiri di dapur, masih mengenakan kaus sederhana dan celana santai. Di hadapannya, Miranda sedang sibuk mengisi kotak makanan besar. Wangi ayam kremes, sambal matah, dan rendang memenuhi ruangan.“Tante, ini… banyak banget,” ujar Selena sambil tertawa kecil, tapi suaranya serak.Miranda menoleh, wajahnya lembut namun matanya berkaca. “Kau itu pasti susah makan kalau di sana karena kembali harus beradaptasi lagi. Tante tahu, kan? Paling tidak ini bisa
Pagi itu di villa terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma aneka sarapan, roti panggang dan kopi memenuhi udara, bercampur dengan suara tawa kecil dari ruang makan yang terbuka menghadap laut. Sinar matahari menembus tirai besar, menyoroti meja panjang yang kini dipenuhi hampir seluruh anggota keluarga. Alya duduk di samping Sean, membantu Ruelle menyuapkan potongan kecil omelet ke mulutnya. Di seberang meja, Adrian dan Utari sudah datang lebih pagi. Perut Utari yang membulat tampak jelas di balik gaun santainya. Wajahnya sedikit tegang, tapi tetap tersenyum sopan saat Miranda menyambutnya dengan pelukan hangat.“Terima kasih sudah mau sarapan bersama kami,” ujar Miranda tulus.“Harusnya kami yang berterima kasih, Bu,” balas Utari. “Kami benar-benar dijamu seperti keluarga sendiri.”&ldquo
Alya menoleh. Sosok perempuan berperut buncit berdiri di sana, mengenakan dress krem sederhana dan syal tipis di bahu. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya terlihat letih tapi lembut. Dia adalah Utari. Perempuan itu berhenti di ambang pintu, matanya langsung menemukan Adrian, lalu beralih ke Rey yang bersembunyi setengah di balik tubuh Alya.“Oh,” katanya pelan, seolah tak yakin harus maju atau mundur. “Aku… maaf. Aku tadinya tidak bermaksud mengganggu.”Alya menatapnya sebentar. “Tidak apa,” ucapnya tenang, meski hatinya sempat bergetar. Ia tahu pertemuan ini cepat atau lambat memang harus terjadi.Rey menggenggam jari ibunya lebih erat. “Itu… tante yang kemarin sama Papa?”
Keheningan menelan udara vila itu. Hanya suara ombak yang datang dan pergi, seolah menjadi saksi dari pertemuan tiga hati yang pernah saling menyatu, lalu tercerai karena waktu dan keputusan yang keliru. Rey masih berdiri di dekat pintu belakang, mengepalkan erat tangannya. Tatapan matanya beralih dari Alya ke Adrian bergantian. Ia ragu, tapi juga dipenuhi sesuatu yang nyaris menyerupai harapan.“Papa?” ulangnya pelan, seperti takut kata itu hanya akan menguap. Adrian melangkah satu langkah mendekat, namun berhenti di tengah jalan. Matanya merah, suaranya parau.“Iya, Nak… ini Papa.”Rey menatapnya tanpa berkedip. Hujan kecil
Pagi di vila tepi pantai itu tak seindah biasanya. Hembusan angin laut membawa aroma asin yang seolah menempel di dada Alya, menyesakkan. Ia duduk di tepi meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Suara ombak dari luar jendela hanya menambah sunyi, bukan menenangkan. Sean berdiri di balkon, punggungnya menghadap ke arah Alya. Pakaian yang dikenakannya rapi, tapi wajahnya belum sepenuhnya segar. Sejak semalam, Alya tahu suaminya belum benar-benar tidur.“Dia akan datang pagi ini,” ucap Sean tiba-tiba, tanpa menoleh.Alya mengangkat wajahnya perlahan. “Apa?”“Adrian,” lanjut Sean datar. “Aku sudah bicara dengannya barusan. Dia ingin bertemu.”&nb