“Terserah apa katamu! Pastikan bahwa kau tidak pernah muncul lagi di hadapan Alya.”
Sean mengatakannya dengan penuh kesadaran. Rahangnya mengeras dengan tangan yang mengepal sempurna di sisi badan. Sementara Adrian menggeleng pelan seraya menatap lawan bicaranya itu dengan pandangan yang sulit diartikan.
Beruntung Alya tidak berakhir dengan rawat inap. Perempuan malang tersebut sudah diperbolehkan pulang sejak sore tadi. Tentu saja membuat Sean bernapas lega.
Sudah dua hari berlalu. Kini Alya duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya yang berkali-kali menunjukkan notifikasi panggilan tak terhubung. Nomor Adrian masih tidak aktif. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa kecewa yang semakin menyesakkan da
Catherine tersenyum miring begitu melihat Sean menoleh ke arahnya. Mata wanita itu memancarkan tatapan penuh arti, seolah ingin memancing emosi."Hubunganmu dengan Alya terlalu rumit, Sean," ucapnya santai, namun nadanya menusuk.Sean langsung tersulut. "Kau jangan ikut campur," sentaknya dengan nada dingin.Namun, Catherine belum puas. Ia melipat tangan di depan dada, seolah menikmati reaksi Sean. "Alya dan mantan suaminya akan selalu terikat karena anak mereka. Apa yang kau harapkan dari semua ini?"Sean mengepalkan tangan, berusaha keras mengendalikan emosinya. Matanya menatap tajam ke arah Catherine. "Apa maumu? Kau mengikutiku?"Catherine mengangkat bahu tanpa dosa. "Tante Miranda dan aku baru saja tiba di Jakarta. Aku rindu padamu, makanya aku menyusul kemari."
"Kau bisa pulang."Namun, Sean malah menggeleng cepat. "Aku akan menemanimu di sini." Alya hendak membantah, tetapi Sean kembali menegaskan, "Aku akan ambil cuti besok. Tidak ada yang perlu dicemaskan.""Leon bagaimana?" tanya Alya khawatir."Aku sudah suruh Bu Rina kemari besok pagi untuk mengantarkan alat pumpingmu. Leon tidak akan kekurangan ASI. Sekarang fokus saja pada Rey," jelas Sean berusaha menenangkan istrinya.Alya pun mengangguk pelan.Waktu telah menunjukkan pukul dini hari. Adrian sudah terlelap beberapa jam yang lalu. Sementara Alya dan Sean masih terjaga. Keduanya saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Hingga Alya bersuara, "Tidur saja. Aku yang berjaga di sini."Sean menolak dan berkata, "Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri."Alya menatap wajah Sean yang tampak kelelahan, tetapi juga penuh keteguhan. Di satu sisi, ia merasa bersyukur karena Sean tetap di sisinya, tetapi di sisi lain, hatinya masih terlalu berantakan untuk memikirkan hal lain selain Rey.R
Alya mengejar Adrian yang membawa Rey pergi. Hingga langkah Adrian berhenti begitu melihat Tuan Agusta muncul di ambang pintu utama. Pria itu mengernyit keheranan melihat pemandangan tersebut."Kenapa kau begitu terburu-buru?" tanya Tuan Agusta dengan suara beratnya.Dengan cepat Adrian menjawab, "Urusanku sudah selesai. Alya ternyata lebih memilih anak sambungnya dibandingkan dengan Rey."Alya menggeleng. Jelas dia menyangkal tuduhan barusan. Namun, lidahnya terasa kelu untuk membalas ucapan sarkas Adrian. Hingga kemudian muncul suara dari arah luar.”"Jangan terus mengintimidasinya. Kaulah yang meninggalkan Alya terlebih dahulu dengan dalih dia sibuk mengurusi anak kalian. Padahal kau sudah jelas berselingkuh darinya."Itu adalah suara Sean.Adrian menyahut, "Aku sudah menyesal sekarang.""Lalu? Kau ingin kembali pada Alya begitu saja? Masih punya akal tidak sih?" Suara Sean mulai meninggi. Dia menghela napas begitu menyadari bahwa ada seorang anak kecil yang ada di gandengan tangan
Senja mulai turun ketika Alya kembali ke rumah keluarga Agusta. Langkahnya terasa berat, pikirannya berkecamuk setelah pembicaraannya dengan Sean. Ketulusan yang ia lihat di mata pria itu membuatnya ragu, tapi luka yang menggores hatinya terlalu dalam untuk diabaikan.Saat memasuki rumah, Alya disambut oleh Tuan Agusta yang duduk di ruang tamu, menyesap teh hangat. Mata pria tua itu menelisik wajah cucunya yang tampak letih sebelum meletakkan cangkirnya dengan tenang."Kau terlihat seperti seseorang yang membawa beban terlalu berat, Nak."Alya duduk di hadapannya, menghela napas panjang. "Aku tidak tahu harus bagaimana, Kek. Sean bilang ingin memperbaiki segalanya, tapi aku tidak yakin bisa mempercayainya lagi."Tuan Agusta mengangguk pelan, matanya memancarkan kebijaksanaan yang didapat dari tahun-tahun hidupnya.
Sean berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sulit ditebak. Mata tajamnya menatap Alya dan Adrian yang masih berdiri di ruang tamu rumah keluarga Tuan Agusta. Suasana terasa mencekam, nyaris membuat udara terasa lebih berat."Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Sean terdengar dingin, nyaris seperti ancaman.Adrian tak mundur sedikit pun. "Aku ada di sini karena Alya membutuhkan seseorang yang bisa mendukungnya."Sean tertawa sinis. "Dan kau pikir kau orang yang tepat untuk itu?"Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ini akan terjadi. Konfrontasi yang tak bisa ia hindari lagi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara tegas Kakek Agusta menggema di ruangan itu."Cukup! Aku tak ingin rumah ini jadi arena pertengkaran kalian." Semua orang terdiam. Tuan
Sean diam. Ia menatap Alya, berharap mendapatkan jawaban lain. Namun, yang ia lihat hanyalah kepedihan di mata istrinya.Alya menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, suaranya lebih tenang meski masih bergetar. "Aku tidak bisa terus bertahan dalam hubungan seperti ini, Sean. Aku lelah harus selalu terluka."Sean melangkah maju, tetapi Adrian dengan sigap menahannya dengan satu tangan di dadanya. "Jangan paksa dia," ucapnya memperingatkan.Sean menatap Adrian dengan penuh kemarahan, tetapi ia tahu bahwa kali ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Alya telah membuat keputusannya.Suasana menjadi begitu sunyi. Yang terdengar hanyalah napas mereka yang masih memburu."Aku tidak akan pergi dari anak-anakku," kata Alya akhirnya. "Tapi aku butuh ruang, Sean. Jangan paksa aku untuk tetap di sini kalau itu hanya akan membuat semuanya lebih buruk."Sean mendengkus pelan, menahan semua emosi yang masih bergemuruh di dadanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah keluar dari kam