Se connecterAlvin membawa baran-barang bawaan Mutiara di tangan kirinya dan menggendong tas untuk laptop dan berkas-berkas penting. Tangan kannya merangkul Mutiara sembari berjalan di Lorong kantor. Saat melewati ruangan Randi terasa ada kejanggalan. Pintu yang sedikit ternganga, tapi lampu masih menyala.“Kenapa ruangan Randi tidak ditutup?” gerutu Alvin, dahinya mengerut. Lalu ia melepaskan rangkulan tangganya untuk menutup ruangan Randi.“Mungkin dia lupa sayang. Jangan terlalu dipikirkan,” bujuk Mutiara.Alvin mengangguk. “Ya, mungkin aku sedikit terpengaruh dengan ucapanmu.”Di parkiran, kedua mata Randi melotot, kala melihat kedatangan Alvin dan Mutiara yang tiba-tiba. Dengan senyum yang di paksakan ia menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Ia pun menyapa Alvin dan Mutiara.“Oh … Tuan Alvin dan Nyonya Melinda, sudah mau pulang?”Melihat sikap Alvin yang berbeda dari biasanya membuat Alvin menerka-nerka apa yang sedang ia rencananakan di belakangnya. Saat ini ia tidak bisa menyimpulkan. Un
“Nona Stevani,” sapa Randi sambil menunduk dengan wajah datar.“Oh … Maaf Pak Randi.” Sapanya tergagap.Melinda yang merasa bersalah pada Stevani berupaya untuk mencairkan suasana. “Kita duduk dulu … silahkan Pak Randi duduk ke depan.”Tangannya menunjuk kursi di ujung depan menghadap ke meja yang besar dan panjang. Sementara Stevani duduk disebrang Randi, dan Melinda duduk di ujung meja.“Maaf ya, Stevani. Pak Randi hendak menghapus video dan foto-foto di HP mu.”“Oh tentu saja saya keberatan HP saya diakses oleh orang lain. Saya kira Nona Melinda tahu akan etika itu,” Semprot Stevani dengan penuh emosi.Melinda yang tidak menduga dengan reaksi sahabatnya, sesaat ia terdiam. Stevani mencoba mengambil HP dari Melinda. Namun Randi segera menengahi ketegangan itu.“Mungkin HP tetap dipegang oleh Nona Stevani untuk menghapus memori itu. Namun kami saksikan dan arahkan supaya jejaknya tidak dapat dipulihkan kembali.”Melinda menyerahkan HP pada Stevani. Merasa kesal diremehkan oleh Melind
Jam sembilan pagi, Melinda memasuki lift Gedung perkantoran elit. Belum juga pintu lift tertutup, Randi yang merupakan seorang CEO dari Perusahaan Alvin memanggilnya.“Nona Melinda ….” Panggilnya dengan suara pelan namun masih dapat di dengar oleh Melinda.“Boleh saya minta waktunya.”Dengan sedikit membungkukkan punggung, Randi menunjukkan sikap ramah dan bersahabat. Melinda yang masih kesal padanya hanya menyedekapkan kedua tangannya di dada dengan kepala menangguk malas.“Terimakasih Nona Melinda,” Randi ikut masuk ke lift yang sama yang digunakan oleh Melinda.Setelah pintu lift tertutup, keduanya terdiam tanpa sepatah kata. Ekspresi keduanya sangat datar. Hingga pintu lift terbuka mereka pun belum berniat untuk mulai percakapan. Melinda sudah menebak kalau Randi akan memberikan sebuah penawaran besar padanya.“Pagi Nona Melinda ….” Sekretari Melinda menyapanya dengan penuh ceria.“Pagi, Putri. Oh ya, kenalin ini Pak Randi.”“Pagi Pak Randi.”“Pagi Putri.”“Putri, antarkan Pak And
“Apakah bukti itu palsu, Melinda?” ejek Alvin, meskipun terdengar ada keraguan di sana.Mulut Melinda tercekat. Tatapannya tajam seperti pedang yang siap melukai siapapun. Tangannya menggenggam erat HP-nya.“Tidak sekarang aku memberikan bukti itu … akan ku sebar di group-group para pengusaha. Itu jauh lebih menguntungkanku. Aku yakin sahammu akan rontok. Selamat tinggal Alvin ….”Melinda membalikkan badan dengan langkah penuh luka. Ia menjauh dari Alvin yang masih berdiri. akhirnya ia terpakasa melepaskan Alvin.Alvin tercengang atas perubahan sikap Melinda. Saat ini ia tidak perduli dengan perusahaanya. Ia harus mengatakan hubungan sebenarnya antara Mutiara dan dirinya.“Melinda tunggu,” pinta Alvin. Melinda berhenti. Lalu Alvin berkata.“Aku sudah menikah dengan Mutiara.”Luka di hatinya semakin dalam dan menyesakkan, ia berusaha menghirup napas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang terasa menyempit dan sakit.Namun ia tidak mampu. Seketika air mata jatuh ke tanah. Tanpa meno
Namun Burhan, salah seorang yang bersamanya meminta diantarkan ke Gudang penyimpanan. “Tuan Nando, boleh antarkan saya ke gudang penyimpanan produk-produk yang hendak di kirim malam ini?”Nando tak habis pikir dengan Burhan dan rekan-rekannya yang berkewarganegaraan asing. Dari pagi hingga malam begini, mereka bersama-sama survei ke beberapa store yang memasarkan produk-produk mereka, apa belum cukup. Kekesalan dan desahan napas kasar dari Nando terdengar oleh Burhan.“Maaf Tuan Nando, setelah Ini saya harus terbang ke Thailand untuk memberikan laporan pengiriman barang malam ini.”Meski kesal Nando harus menemani Burhan. Jika tidak pasti perusahaan milik orang tuanya akan mengalami kerugian besar.“Baiklah.” Suaranya terdengar kesal, membuat Burhan merasa bersalah.“Sekali lagi maafkan kami, Tuan Nando.”“Lupakan saja.”Dengan terpaksa, Nando dan rekan bisnisnya pun secepatnya meninggalkan Mall Grand Park. Membiarkan Alvin dan Mutiara bermesraan. Suapan demi suapan dari tangan Alvin
Curahan kekesalan Melinda, terdengar menyakitkan. Stevani prihatin atas kondisi sahabatnya. Ia mendekati Melinda untuk memeluknya sebagai bentuk dukungan. Namun Melinda justru menjauh.“Aku gak perlu dikasihani. Karena aku jauh lebih baik dari kamu Vani, kamu hanya seorang pimpinan HRD di Perusahaan orang tuamu .... Lihat, sejak aku bergabung dengan Perusahaan Bandrio Hartanto, Perusahaan itu menjadi salah satu Perusahaan terbesar se Asia Tenggara,” cerocos Melinda ditujukkan pada Stevani.Deretan cemoohan yang ditujukan padanya, membuat Stevani sakit hati. Namun ia sadar hal itu hanya sebagai perisai pertahanan harga diri Melinda. Ia tidak ingin terlihat lemah, sehingga ia akan menyerang siapapun yang ia anggap mengkerdilkannya.“Ya, aku sadar itu Linda … Jadi kamu harus bersyukur, atas kemampuanmu.” Kalimatnya berat seakan terjebak atas situasi yang ada.Stevani rela menjatuhkan harga dirinya demi menjaga perasaan Melinda. Sebenarnya hal itu sulit diperankan Stevani. Namun penderit







