“Kalau bukan karena kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Luna sekarang.”Kata-kata Kai membuat Kira tercenung. Kira menatap suaminya itu dengan pandangan yang mendadak buram, matanya berkaca-kaca. Bukan karena terharu, melainkan karena sedih yang tiba-tiba menggelayuti hati.Andai… Aksa masih ada, apakah Kai akan berterima kasih padanya karena telah melahirkan putranya ke dunia?Aksa yang malang. Dada Kira selalu sakit setiap kali mengingat putranya itu.“Kira, kamu… kenapa?” tanya Kai yang melihat mata Kira menggenang.“A-Aku nggak apa-apa, Mas.” Kira buru-buru membuang muka ke arah lain, lalu berdiri menghampiri box tempat tidur Luna. Dengan cepat ia berkata, “Luna sepertinya sudah tidur nyenyak, aku mau menidurkan dia dulu.”Kai mengerutkan keningnya menatap Kira yang tampak sendu. Entah mengapa, melihat raut muka Kira–yang biasanya dingin dan datar itu, lalu kini berubah sendu, membuat dada Kai terasa sesak.“Aku mau cek ASI di freezer dulu, Mas,” pungkas Kira setelah ia m
“Kira nggak seperti itu,” gumam Kai setelah cukup lama ia terdiam. Ia menatap Violet dengan tatapan serius. Dengan suara tegas ia kembali berkata, “Kira nggak seperti itu, Vi. Kalau Kira orang yang jahat, dia sudah melakukannya dari dulu saat dia tersakiti. Dan Kira bukan tipe orang yang akan menyerang duluan.”Sontak, Violet yang mendengarnya, seketika bungkam seribu bahasa. Ia menatap Kai dengan tatapan penuh luka. “Jadi maksudmu… aku yang salah? Aku yang menjatuhkan dan melukai diri sendiri? Begitu?”Kai mengusap wajahnya kasar. “Maaf, Vi, kita sudahi saja pembahasan ini. Dokter akan segera datang, kamu akan ditangani olehnya. Aku harus pergi sekarang.”“Kai….” Mata Violet semakin basah oleh air mata.Kai melihatnya, tapi entah mengapa ia tidak tersentuh sama sekali oleh tangisan wanita itu. Tidak seperti dulu.“Aku pamit, Vi,” ucap Kai pada akhirnya, sebelum kemudian ia berbalik dan pergi meninggalkan Violet.Kai sempat mendengar isak tangis Violet. Ia berhenti di pintu keluar, me
Keesokan paginya, Kira terkejut kala ia terbangun dalam pelukan Kaisar. Padahal tadi malam ia memilih tidur di sofa.Entah sejak kapan ia pindah ke atas kasur? Kira sama sekali tidak ingat. Atau jangan-jangan… Kai yang memindahkannya?Di saat Kira sedang melamun, memikirkan berbagai kemungkinan kenapa dirinya bisa ada di kasur, tiba-tiba saja Kira dikejutkan dengan tubuh Kai yang menggigil diiringi suara rintihan pelan.Sontak, Kira mendongak, menatap wajah Kai. Ia semakin terkejut kala mendapati dahi dan pelipis pria itu dibanjiri keringat dingin.“Mas?” Kira menyentuh pelan kening suaminya. Ia panik karena suhu tubuh pria itu terasa tinggi. “Mas, kamu demam?”Kai tidak menjawab, hanya menggumam pelan dengan mata yang tertutup dan tubuh menggigil.Kira segera melepaskan dirinya dari pelukan Kai dan melepas selimut supaya tubuh Kai tidak semakin kepanasan. Kira merasa khawatir dengan kondisi suaminya. Mungkin karena tadi malam Kai hujan-hujanan, makanya pria itu jadi demam, pikir Kira
Kira membawa semangkuk bubur dan segelas air putih di atas nampan, ke dalam kamar.Begitu ia membuka pintu, ia melihat Kai tengah duduk bersandar pada headboard sambil menatap Kira dengan tatapan tajam dan bibir merengut. Ekspresi mengerasnya itu sama sekali tidak menunjukkan Kai orang yang sedang sakit.“Kenapa menatapku kayak gitu, Mas?” tanya Kira sembari menaruh nampan di atas nakas, tatapan mata Kai terus tertuju ke arahnya tanpa lepas sedetik pun.“Dari mana saja kamu?” Kai balik bertanya dengan nada kesal. “Kamu nggak peduli aku sedang sakit, Kira?”Kira lalu duduk di tepian ranjang, dan membalas tatapan pria itu dengan bingung. “Mas, aku nggak dari mana-mana. Barusan aku cuma bikin bubur buat kamu,” timpalnya, ia menunjuk bubur di atas nakas.Kai melirik ke arah makanan itu sesaat, sebelum akhirnya mengembuskan napas kasar dan meraih tangan Kira lalu menggenggamnya. Kira merasakan tangan pria itu cukup panas.“Aku bilang jangan ke mana-mana, temani aku di sini. Aku nggak mau d
‘Iya. Obatku itu kamu, Kira. Dengan kehadiran kamu di sini saja itu sudah cukup bagiku.’Kata-kata Kai terus terngiang-ngiang di telinga Kira bagai kaset rusak. Kira tak pernah menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut suami dinginnya. Sepertinya sakit telah membuat Kai berubah, tak hanya menjadi seperti anak kecil, tapi Kai juga mampu berkata-kata manis.Seharian itu Kira tidak banyak keluar dari kamar. Ia terus menemani Kai yang tidak ingin ditinggalkan olehnya.Kira merasa kegerahan karena terus menerus dipeluk oleh tubuh Kai yang panas. Saat Kira main ponsel sebentar saja, Kai sudah mengomel dan menganggap Kira tidak peduli padanya. Kai ingin Kira terus memperhatikannya seperti bayi.Kai hanya mengizinkan Kira pergi dari pelukannya saat ia memompa ASI-nya. Kira tidak ingin memompa ASI di dekat Kaisar. Setelah itu Kai kembali memanggil Kira dan menjadikan Kira guling hidup.Dan sore harinya Kira memutuskan tidak pergi ke rumah Violet untuk menyusui Luna. Selain karena
“Aku akan mengirim dua kali lipatnya padamu,” ujar Kai.Kira tercengang mendengarnya. Matanya sedikit membulat seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.“Dua kali lipatnya?!” seru Kira, terkejut. “Yang benar aja dong, Mas, masa harus dua kali lipatnya?”Mendengar Kira yang memerotes, Kai pun terdiam. Kai menatap Kira lamat-lamat. Lalu kembali mencapit dagu Kira agar menatapnya. “Kenapa? Kurang segitu?” tanyanya, Kai berpikir bahwa Kira tak setuju diberi dua kali lipatnya karena terlalu sedikit.“Kurang kamu bilang?” Kira mendengus sekaligus tertawa. “Mas! Itu kebanyakan buat aku. Bahkan seperempat dari uang yang kamu berikan pada Violet saja itu masih kebanyakan!”Seketika itu juga, Kai tertegun. Ia pikir Kira protes karena uang yang akan ia berikan terlalu sedikit, tapi ternyata karena terlalu banyak. Jika Violet yang diberikan uang sebanyak itu, Kai tahu mantan kekasihnya itu pasti akan berteriak kegirangan.Dan… Kira ternyata berbeda dengan Violet, pikir Kai.Kesederhan
Kai menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum sendiri. Lalu ia masuk ke dalam bilik shower dan mandi dengan air dingin yang mengguyur seluruh tubuhnya dari ujung kepala.Senyuman Kai terus mengembang sambil menggigit bibir bawahnya, menampilkan sederet giginya yang rapi.Bukan tanpa alasan Kai sering tersenyum sendiri pagi ini. Hatinya terasa berbunga-bunga. Percintaan panasnya dengan Kira tadi malam di ruangan kerjanya, terus terngiang-ngiang di benak Kaisar. Jantung Kai selalu berdebar-debar setiap kali mengingatnya.Sial. Apa yang kulakukan?Aku kenapa?Senyuman Kai tiba-tiba lenyap kala ia sadar bahwa sejak tadi ia sering tersenyum sendiri seperti orang jatuh cinta.Apa aku sudah jatuh cinta pada Kira?Kai bertanya-tanya dalam hati sambil meraba-raba perasaannya.“Mas! Cepat! Aku juga mau mandi!” Seruan Kira dari luar sana membuyarkan lamunan Kai. Memang saat ini Kai mandi di kamar mandinya Kira. Semalam ia tidur di kamar istrinya itu.Sementara itu di luar sana, Kira te
“Kenapa?” tanya Kira saat Kai selesai mengakhiri panggilannya. Kira melihat ada kekhawatiran yang tergambar dalam sorot mata suaminya itu. Kai menatap Kira dengan tatapan campur aduk. “Kira…,” panggilnya dengan tenggorokan tercekat. “Ya, Mas?” “Kamu mau ikut bersamaku?” “Ke?” Kening Kira berkerut bingung. Kai mengusap wajahnya dengan gusar. “Barusan Violet yang telepon.” Oh. Kira seketika terdiam. Perasaan tak nyaman itu kembali menyelimuti hatinya saat Kai menyebut nama Violet dengan bibir tipisnya. “Katanya Luna sakit, aku harus segera ke sana. Kamu mau ikut?” tanya Kai sekali lagi, yang membuat Kira tertegun dan khawatir dalam waktu bersamaan. Kira sama sekali tidak menyangka bahwa Kai akan menanyakan hal itu padanya. Jika itu dulu, mungkin Kai akan langsung pergi begitu saja meninggalkannya. Kira dengan cepat mengangguk. “Aku ikut, Mas,” ucapnya pada akhirnya. “Aku juga khawatir sama Luna.” Helaan napas lega terdengar dari Kai. Pria itu menyelipkan helaian rambut Kira y
Kai berjalan mondar-mandir di bawah tangga. Sesekali mengusap tengkuk. Sesekali menghela napas resah seraya menatap pintu kamar Kira di lantai dua.Sejak kemarin sore, Kira tidak keluar kamar selain hanya untuk makan. Itupun saat makan bersama, Kira tidak banyak bicara. Kira hanya bersuara ketika Kai bertanya, membuat Kai dirundung perasaan gelisah.“Astaga… apa yang harus kulakukan?” erang Kai sembari meraup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menghela napas kasar.Kai lalu duduk di sofa dengan kedua siku bertumpu di lutut, sementara jari jemarinya saling bertaut di bawah dagu.Ia tengah berusaha meraba-raba perasaannya. Sebenarnya bagaimana perasaannya terhadap Kira dan Violet? Siapa yang kini lebih ia cintai?Jika itu dulu, setiap kali bersama Violet, ada perasaan senang yang menyelimuti hati. Namun sekarang, ia merasa lebih tenang dan nyaman ketika sedang bersama Kira. Sudah tidak ada lagi debar untuk Violet setiap kali mereka bersama.‘Apa perasaanku untuk Violet sudah hilang?’ ba
Kai menatap kepergian Kira dengan rahang mengeras. Ia berbalik menatap ibunya. “Mami sudah keterlaluan,” ucapnya, dingin. Tanpa sempat menunggu tanggapan dari sang ibu, saat itu juga Kai pergi menyusul Kira. Dengan langkah setengah berlari ia keluar dari rumah Violet, membiarkan pintu di belakangnya terbuka tanpa sempat menutupnya. Kai menyapukan pandangannya ke sekeliling jalanan komplek, ia menemukan Kira yang sedang berjalan cepat di hadapannya. Bergegas Kai menghampiri wanita itu. “Kira, tunggu…!” seru Kai sambil berlari. Namun, Kira seolah tidak memedulikan seruan Kai. Kira terus saja melangkah tanpa menoleh ke belakang. “Kira….” Kai akhirnya berhasil meraih tangan Kira, membuat langkah kaki wanita itu seketika terhenti. Lalu Kai memutar tubuh Kira dan ia tertegun kala melihat mata Kira yang berkaca-kaca. “Kira, maafkan aku,” gumam Kai dengan tenggorokan tercekat. Kira membuang muka, berul
Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan tengah duduk di sofa ruang tamu. Kai langsung mengernyit, langkahnya terhenti seketika. Tangannya yang menggenggam tangan Kira mengencang tanpa sadar.Sementara Kira… hanya diam mematung dengan ekspresi terkejut yang berusaha ia sembunyikan. Kira menatap wanita itu dan Violet–yang duduk saling berhadapan, dengan tatapan penuh kebingungan dan keterkejutan.“Mami,” gumam Kai nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kenapa Mami ada di sini?”Ya, wanita paruh baya itu adalah Grace.Grace tersenyum tipis. Namun, itu bukan senyuman hangat. Melainkan senyuman yang seolah menyimpan sesuatu.“Kebetulan sekali kalian datang,” kata Grace dengan tenang. Ia sama sekali tidak melirik Kira. “Ada yang ingin Mami bicarakan sama kamu, Kai.”Kai melirik Violet yang tampak seperti habis menangis. Violet seketika memalingkan wajahnya dari Kai. Tatapan Kai lalu tertuju pada Kira yang masih terdiam.“Ayo, kita duduk,” ucap Kai pada Kira.Kira menganggu
“Mana kopiku?” bisik Kai di dekat telinga Kira sambil memeluk Kira dari belakang. Kira sempat terkesiap sesaat, sebelum akhirnya ia sedikit menelengkan kepala agar bisa menatap suaminya. “Sebentar lagi selesai, Mas,” kata Kira sambil menunjuk mesin pembuat kopi yang sedang bekerja. Kai tersenyum kecil, lalu menaruh dagu di pundak Kira sambil memperhatikan mesin kopi dengan saksama. Seharian ini Kai diam di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kira. Dan ternyata berinteraksi dengan Kira tanpa adanya ketegangan, terasa begitu menyenangkan dan menenangkan. Jika itu dulu, setiap kali libur kerja, Kai lebih memilih menyibukkan diri di ruangan kerjanya atau pergi bersama Violet. Namun hari ini berbeda. Sejak bangun pagi tadi, Kai belum melepaskan Kira dari pandangannya. Bahkan ketika Kira turun ke dapur untuk membuat sarapan, Kai tetap mengikutinya seperti bayangan yang enggan berpisah. Saat Kira pergi ke perpustakaan di rumahnya untuk membaca buku, Kai mengikutinya dan pu
Hal pertama yang Kira dapati saat ia membuka mata pagi itu adalah wajah Kaisar. Napas hangat Kai menerpa wajah Kira. Pelukan eratnya membuat Kira terkungkung dan sulit bergerak. ‘Kenapa jantungku selalu berdebar-debar?’ batin Kira seraya memandangi wajah Kai dengan tatapan dalam. Kira tidak tahu perasaan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaan itu terasa asing tapi menyenangkan. Dan entah sejak kapan memandangi wajah suaminya terasa begitu menenangkan. Tangan kanan Kira terangkat, ia menyapukan jemarinya dengan gerakan seringan kapas di pipi Kai yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Kira tersenyum kecil saat mengingat bagaimana tegasnya wajah Kai ketika mengumumkan status pernikahan mereka tadi malam. “Terima kasih,” bisik Kira nyaris tak terdengar. Jemari Kira kini bergerak ke hidung tinggi Kaisar, lalu berakhir di bibir tipis yang semalam memagutnya habis-habisan. Mengingat apa yang Kai lakukan di lantai dansa, dan di kamar ini tadi malam, pipi Kira seketika m
Selama acara berlangsung, Kai benar-benar tidak melepaskan Kira dari genggamannya.Lelaki itu selalu membawa Kira ke manapun ia pergi. Kai menyapa para kolega yang datang, dan Kira selalu menemaninya.Hampir semua yang mereka temui memuji kecantikan Kira, dan hal itu membuat Kai semakin merangkul Kira dengan posesif.Apalagi saat Kai bertemu dengan Julian, ia semakin protektif pada Kira.Sementara itu, para wanita banyak yang menatap iri pada Kira, sebab Kira bisa menjadi pendamping seorang Kaisar yang digilai banyak wanita.Julian yang sedang menatap Kira dan Kai dari kejauhan, hanya tersenyum samar. Ia tak menyangka bahwa malam ini Kai akan membuat semua orang terkejut dengan pengakuannya tadi.“Kai… kurasa kamu benar-benar sudah berubah,” gumam Julian sebelum menyesap minumannya. “Tapi aku nggak akan tinggal diam kalau kamu sampai menyakitinya lagi.”“Pak Julian?” Seseorang menyapa Julian, membuat Julian sontak mengalihkan tatapannya ke arah kenalannya itu. Dan seketika Julian pun
Meski kepercayaan dirinya merosot, Kira tetap menegakkan kepalanya, tersenyum ramah pada kedua mertuanya yang masih ternganga melihat kedatangannya.“Selamat malam, Mi, Pi,” sapa Kai, “terima kasih sudah datang.”Ameer Milard–ayah Kai, yang tengah duduk menyesap minumannya hanya mengangguk.“Selamat malam, Kai, buat anak Mami satu-satunya ini nggak mungkin kami nggak datang.” Grace keluar dari ketersimaannya, lalu tersenyum sebelum memeluk Kai.Kai dengan terpaksa melepaskan tangan dari pinggang Kira demi memeluk sang ibu.“Kenapa kamu membawa Kira?” bisik Grace.Kai melepaskan pelukannya, lalu kembali merangkul Kira sambil tersenyum samar. “Kira istriku, Mi. Aku nggak mungkin meninggalkan dia sendirian di rumah.”Grace terkejut mendengarnya. Tadinya ia akan mengabaikan Kira, tapi karena ada kamera wartawan yang tengah menyorot mereka, Grace pun menyunggingkan senyuman lalu memeluk Kira.Kira yang menyadari bahw
“Kamu cantik sekali,” puji Kai untuk ke sekian kalinya malam itu.Ugh! Kira mengipasi pipinya yang mendadak panas. Entah mengapa setiap pujian yang keluar dari mulut Kai selalu membuat pipinya memanas dan jantungnya berdebar-debar. Padahal Kira ingat, lelaki itulah yang dulu memperlakukannya dengan dingin dan kejam.“Mas, berhenti memuji aku terus. Kamu terlalu berlebihan,” elak Kira.“Aku nggak berlebihan, Kira,” sanggah Kaisar seraya menatap Kira dengan tatapan sulit diartikan. “Bahkan, kata-kata cantik saja sama sekali nggak bisa mewakili kecantikan kamu.”Kira seketika mengalihkan pandangannya ke luar jendela, demi menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah semerah tomat sekarang.Melihat ekspresi Kira, Kai terkekeh kecil. Tangannya terulur, meraih tangan Kira dan menggenggamnya. Jari jemari panjangnya mengisi sela-sela jari Kira yang lentik.Sementara itu sopir tak berani mencuri-curi pandang melalui kaca spion, ia berusaha menulikan telinga karena sejak tadi majikannya itu terus m
Hari Sabtu siang, Kira baru saja selesai menyusui Luna, sebab sore ini ia tidak bisa menyusui bayi itu jadi jadwalnya dimajukan ke siang. Sore ini Kira akan menghadiri acara ulang tahun Milard Corp yang ke-50.“Sudah selesai?” bisik Kai yang duduk di belakang Kira, ia menaruh dagunya di bahu Kira dengan tatapan tertuju pada Luna yang tampak anteng di pelukan wanita itu.“Sudah, Mas. Luna kayaknya sudah kenyang.” Kira tersenyum menatap Luna, ibu jarinya menjawil pipi anak itu dengan gemas. Luna menggeliatkan tangannya ke atas sambil menguap.“Boleh aku gendong dia?”“Tentu saja. Kamu ayahnya.” Kira berdecak lidah sambil menoleh ke arah Kaisar.Kira memutar tubuhnya menghadap sang suami, lalu ia menyerahkan Luna ke pangkuan lelaki itu.Kai menerima Luna dengan hati-hati seolah tidak ingin menyakitinya. Tubuh gempal Luna tenggelam dalam pelukan sang ayah. Kai berdiri sambil meninabobokan putrinya.Pemandangan itu membuat hati Kira tiba-tiba diserang perasaan nyeri yang sulit ia jabarkan