Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dunia Julian mendadak hening. Matanya membelalak, tubuhnya membeku. Ia tidak tahu apa yang lebih mengejutkan, entah fakta bahwa Bella baru saja menciumnya di depan umum, atau bahwa ia… tidak menolaknya.Bibir Bella terasa lembut, penuh emosi yang tidak bisa Julian tafsirkan. Dan sebelum ia sempat berpikir untuk bereaksi, Bella sudah lebih dulu melepaskan ciuman itu, berdiri tegak dan menatap Alvin dengan penuh kemenangan.“Nah, kamu lihat sendiri kan?” ucap Bella dengan suara sedikit bergetar.Alvin terlihat terpukul, sorot matanya penuh kemarahan, dan terluka. Ia melirik tajam ke arah Julian, kemudian kembali menatap Bella. “Kamu keterlaluan,” katanya lirih, lalu berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan mereka berdua di koridor restoran.Begitu Alvin menghilang di balik pintu, Bella menghela napas panjang, panjang sekali, seolah baru saja selesai dari adegan drama teater. Ia masih memejamkan mata sejenak, berusaha menen
“Jadi, kapan kamu akan menikah?”“Bun, aku masih muda, belum lima puluh tahun. Aku masih belum ingin menikah,” jawab Julian sekenanya.Wanita yang duduk di hadapan Julian, yang tak lain adalah ibunya, berdecak lidah. “Kamu ini, masa mau nunggu usia lima puluh tahun dulu baru mau menikah?”Julian tidak menjawab. Ia memilih memasukkan desert ke dalam mulutnya. Hal paling malas saat makan malam dengan orang tuanya, yaitu saat ibunya terus mendesak Julian untuk segera menikah. Seperti malam ini.“Akhir pekan ini kamu ada acara?” tanya sang ibu sebelum meneguk minumannya dengan anggun. Sementara itu, ayah Julian hanya diam mendengarkan sambil menikmati makanannya.“Nggak ada. Kenapa gitu, Bun?”“Bunda mau ngenalin kamu sama anak Tante Yasmin. Namanya Cantika, dia masih berusia dua puluh lima tahun. Kamu tahu? Dia itu dokter muda, cantik dan baik. Kamu cocok bersanding dengannya,” ujar ibunya dengan antusias tanpa jeda.Julian menghentikan kunyahan di dalam mulutnya, lalu menghela napas pan
Selama diskusi berlangsung, Kai berusaha bersikap profesional di hadapan Julian. Namun, sorot matanya tidak bisa berbohong. Terkadang Kai menatap Julian dengan tajam saat teringat bahwa Julian sudah mengganggu aktifitas panasnya dengan Kira.Sesekali Kai mengusap wajah dengan kasar, dan sesekali ia memijat pelipis yang terasa berdenyut akibat gairah yang tidak tersalurkan.Julian tentu saja tidak menyadari apapun. Ia terus mempresentasikan laporan kemitraan rumah sakitnya dengan percaya diri. Namun, di sela presentasinya, ia sempat beberapa kali melirik Kai yang menatapnya seperti ingin melemparnya keluar dari jendela.Setelah hampir satu jam, Julian menutup laptopnya dan menyodorkan dokumen kerja sama.“Saya rasa itu cukup untuk pertemuan hari ini,” ucap Julian sambil tersenyum, ia bersikap formal, lalu berdiri. “Terima kasih untuk waktunya, Tuan Kaisar.”Kai menutup map di depannya dengan sedikit tenaga, hingga suara ‘bukk!’ terdengar cukup keras.“Rapat selesai,” ucap Kai singkat d
“Baby, aku ingin kopi,” ucap Kai dengan penuh kelembutan, tanpa ada nada memerintah dalam ucapannya tersebut.Kira yang tengah merapikan berkas di atas meja sang CEO, seketika tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku akan membuatnya untukmu.”“Hm. Kopi kamu yang paling enak di dunia, nggak ada yang mampu menandinginya,” puji Kai sambil menggenggam tangan Kira, membuat Kira seontak terkekeh-kekeh.“Jangan menggombal, Mas. Nanti aku salah tingkah dan nggak bisa kerja di dekat kamu.”Kai tergelak. “Setelah buat kopi, kamu kerja di ruanganku lagi, ya. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu.”Kira merotasi matanya malas dan terkekeh geli. Sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan Kai dan berjalan anggun menuju pantry khusus CEO. Ia memutuskan untuk membuat dua cangkir kopi. Satu untuk Kai dan satu lagi untuk Kira. Kira merasa mengantuk, ia butuh asupan kafein, apalagi setelah ini ia harus bekerja di depan laptop.Setelah beberapa saat kemudi
Kira duduk sendirian sambil memperhatikan MC yang tengah berbicara di depan. Sesekali Kira menoleh pada Kai yang sedang mengobrol dengan kliennya di meja tak jauh dari tempat Kira duduk. Kira cukup menikmati acara pesta pernikahan malam itu, sampai akhirnya seorang pria berpenampilan necis tiba-tiba datang menghampiri Kira dan duduk di sampingnya–kursi yang seharusnya Kai duduki. “Hai, selamat malam, Manis, kamu sendirian?” tanya pria itu tanpa ragu-ragu, membuat Kira menoleh terkejut padanya. Kira tidak suka mendengar bagaimana pria itu memanggilnya ‘manis’. Sekali lihat saja, Kira sudah bisa menebak pria itu memang ganjen. “Tidak. Saya berdua dengan suami saya,” jawab Kira sambil lalu dan meluruskan kembali pandangannya ke arah MC. “Bisa kali kita ngobrol sebentar. Suami kamu lagi nggak ada, ‘kan? Kamu terlalu sayang untuk dibiarkan sendirian seperti ini.” Kira mengembuskan napas kasar. Sengaja ia
“Kalian pernah bertemu?” tanya Kai seraya menatap Julian dan Bella bergantian.Julian tidak langsung menjawab, ia justru semakin dalam menatap Bella. Membuat Bella yang ditatap merasa salah tingkah.Untuk menutupi kegugupannya, Bella lantas tertawa kecil. “Sepertinya kamu salah orang, Pak Julian. Saya merasa nggak pernah ketemu sama kamu sebelumnya.”Satu sudut bibir Julian terangkat, lalu menatap Kai dan berkata, “Sepupumu nggak ingat.” Sebab jelas-jelas Julian mengingat bahwa wanita yang menciumnya dengan liar di club malam, kemarin malam, adalah Bella.“Aku sungguh nggak mengenalimu, maaf.” Pada saat yang sama ponsel Bella berdering, ia merogoh benda tipis itu dari dalam clutch dan sempat mengerutkan kening kala melihat si penelepon. “Mas Kai, Kak Kira, aku ke belakang dulu. Ada telepon.”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Bella sempat mengangguk pada Julian yang masih menatapnya dengan intens, sebelum akhirnya Bella pergi keluar dari ballroom untuk mencari tempat yang sepi.Juli