"Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru.
"Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar.
Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut.
"Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."
Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya.
Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian besar dari mereka paham sesulit apa keadaan Nawang. Tapi apa mau dikata. Takdir sudah berjalan seperti bagaimana Tuhan menuliskannya.
Tak terkira seberapa perih hatinya. Namun dunia tetap memaksanya untuk menjadi manusia yang kuat. Nawang perlahan membuka mata. Dan pertanyaan pertama yang dia terima semakin meremuk redamkan perasaannya.
"Bu, anaknya sudah selesai dimandikan dan dikafani. Mau diantar pulang sama pihak rumah sakit untuk dimakamkan?"
Nawang hanya terdiam. Tatapannya kosong. Tapi dia masih mendengar dengan jelas setiap orang yang mengajaknya bicara. Dan kata pemakaman terasa menyakitkan baginya.
"Bu, apakah ada keluarga yang bisa menjemput?" Perawat itu melempar pertanyaan lagi. Tapi Nawang hanya menunduk.
Beberapa detik kemudian, Nawang menggeleng pelan. Masih dengan mata yang sayu. Dia tampak lelah lahir dan batin. Bahkan kelopak matanya tampak menghitam akibat kurang tidur.
"Lalu ini bagaimana, Bu, jenazah anaknya?" Perawat itu bertanya lagi. Dia duduk di samping Nawang dan mengajaknya bicara dengan sabar.
"Akan saya bawa pulang sendiri," jawab Nawang pada akhirnya.
"Kalau perlu bantuan, pihak rumah sakit siap membantu Bu Nawang. Pak Marsel sudah memberi kita perintah untuk membantu Bu Nawang."
Nawang mengerjab beberapa kali. Dia lalu menoleh, menatap wajah perawat tersebut dengan sendu.
"Marsel?" Nawang masih tak percaya. Marsel yang biasa bersikap dingin dan angkuh tiba-tiba menunjukkan kepeduliannya.
"Iya, Bu. Pak Marsel itu ayah dari bayi laki-laki yang ibu susui," terang sang perawat.
Nawang hanya mengangguk. Dia tersenyum simpul. Dia bahkan sudah mengenal Marsel lebih jauh daripada orang-orang di rumah sakit ini. Tapi tidak ada yang tahu masa lalu keduanya. Semua rahasia itu keduanya simpan dengan rapat.
"Sampaikan terima kasih saya kepada Pak Marsel," ucap Nawang dengan bibir bergetar menahan tangis. Sedih dan sesak yang dia rasakan sendiri. Bahkan hadirnya Marsel kembali di hidupnya tak lantas membuat Nawang merasa lebih baik.
"Aku sudah menganggap Marsel bagian dari masa laluku. Semua hal tentang dia sudah ku kubur dalam-dalam. Bagiku masa depanku hanyalah suami dan anakku. Tapi kenapa Tuhan malah memanggilnya pulang di waktu yang hampir bersamaan. Lalu menghadirkan Marsel kembali di hidupku. Tuhan ... sebenarnya apa rencana-Mu untukku?" Nawang bergelut dengan isi kepalanya sendiri.
Dipaksanya tubuh yang lelah itu untuk bangun. Dia berjalan menuju kamar jenazah. Tempat dimana bayinya disemayamkan.
Nawang menyibak selimut yang menutupi tubuh putrinya. Bayi itu terlihat cantik meski wajahnya tampak pucat. Nawang berusaha menahan air mata agar tidak jatuh di atas jenazah anaknya. Meski hatinya tercabik. Melihat anaknya berpulang lebih dulu. Padahal dia masih ingin merawat dan membesarkan anak itu.
"Tidur yang tenang ya, Sayang. Sekarang kamu sudah nggak ngerasain sakit lagi. Bahagia disana sama ayah ya, Nak. Mama titip salam buat ayah."
Nawang menyeka air mata yang mulai turun. Dia angkat jenazah bayi tersebut dan mendekapnya dalam pelukannya untuk yang terakhir kali.
***
Pemakaman telah selesai. Tapi Nawang belum beranjak pergi. Diusapnya lembut batu nisan bertuliskan nama anaknya seolah dia sedang mengusap wajah anak yang dicintainya itu.
Nawang tertegun. Sudah tidak ada lagi pelayat yang tinggal. Atau sekedar membujuknya untuk pulang. Karena memang kini Nawang hanya hidup sebatang kara. Orang tuanya pun sudah meninggal semua. Kini dia melangkah bagai manusia tanpa tujuan.
"Aku harus kemana setelah ini?"
Nawang mulai bingung. Semua biaya rumah sakit sudah dilunasi oleh Marsel. Dia tidak perlu memikirkannya lagi. Harusnya dia merasa lega. Tapi nyatanya dia malah kebingungan. Dia tak tahu kemana harus pulang. Karena dia sudah nunggak bayar sewa kontrakan satu bulan lamanya. Pulang ke sana pasti juga ujung-ujungnya dia diusir oleh sang pemilik kontrakan.
"Nawang!" Mendengar seseorang memanggilnya, Nawang lekas menoleh. Dia mengenali suara itu.
"Marsel?" Nawang menatap Marsel dengan tanda tanya di kepala. Sepeduli itukah dia sampai bela-belain datang ke pemakaman putrinya.
"Ayo pulang!" ajak Marsel.
"Pulang kemana?" Nawang masih bingung.
"Pulang ke rumahku. Memangnya kamu mau ke mana? Balik ke rumah sakit?"
Nawang terdiam sejenak. "Apa aku jadi kerja sama kamu?" Nawang bertanya dengan hati-hati.
Jujur dia kecewa dengan keadaan. Dia rela menjadi ibu susu untuk anak orang demi menyelamatkan nyawa anaknya. Tapi harapan tak sesuai dengan takdir yang berjalan.
"Kamu pikir melunasi biaya rumah sakit yang segitu banyak aku lakukan karena cuma-cuma? Kamu melakukan ini semua demi nyawa anakmu. Dan aku pun sama. Rela menggelontorkan uang sebanyak itu juga demi menyelamatkan anakku."
"Maaf. Aku nggak bermaksud ..." Nawang merasa serba salah.
"Nggak bermaksud apa? Kamu mau coba-coba lari dari perjanjian yang sudah kamu sepakati?" Marsel berbicara dengan nada berapi-api. Nawang sampai begidik sendiri melihatnya.
"Enggak. Bukan begitu."
"Kalau begitu, ayo pulang ke rumahku sekarang! Tunaikan tugasmu sebagai ibu susu untuk anakku. Seperti apa yang sudah kamu tanda tangani kemarin. Kontrak kerja yang sudah ditanda tangani tidak bisa dibatalkan begitu saja. Paham?!"
***
Luna memalingkan wajah sejenak sambil cemberut. Tangannya ditekuk di depan dada. Diam-diam dia menghembuskan napas kesal. "Sial! Ternyata dia curiga kalau itu bukan masakanku," gerutunya dalam hati. Tapi tekat untuk meluluhkan hati Marsel tidak pudar. "Masak Kak Marsel nggak percaya sih? Tadi aku beneran belajar masak dengan mamaku," kilahnya. Dia tidak begitu saja putus asa. Meski Marsel belum sepenuhnya percaya, dia memberi anggukan kecil sekedar untuk menghargai."Oke lah. Aku makan ya." Marsel mulai menyendok makanan itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia tampak mengunyah sambil mengoreksi rasanya. "Rasanya lumayan. Enak juga," ucapnya sambil manggut-manggut "Mamamu pintar masak ya?"Luna langsung tersenyum lebar. Wajahnya sumringah. Walaupun itu sebuah kebohongan, tak apa. Yang penting Marsel tampak menyukai makanan yang dia bawa. "Syukurlah kalau Kak Marsel suka. Besok aku bawain makan siang lagi ya. Mau aku masakin apa?" tanyanya dengan antusias. "Oh ... nggak usah rep
"Eng-enggak apa-apa kok, Kak. Cuma ngobrol biasa. Tante tanya gimana kabarku selama ini," kilah Luna. Matanya tak berani menatap Marsel lama. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain setelah menjawab pertanyaan Marsel. "Yakin? Aku lihat kalian ngobrol serius banget lho," tanya Marsel lagi sambil bersendekap dada. "Iya, Kak. Memangnya Kak Marsel mikirnya kita lagi ngobrolin apa?" Marsel membuang napas kecil. "Nggak apa-apa. Ya sudah. Lupakan saja.""Kalau gitu aku pamit dulu ya, Kak," ujar Luna buru-buru. Dia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. "Hampir saja aku ketahuan. Aku harus menghubungi Tante Intan lagi buat menyusun rencana selanjutnya," ucap Luna sendiri sambil fokus mengemudi. ***Hari demi hari, Luna semakin berambisi untuk mendapatkan Marsel. Dia semakin tertantang dan tidak rela jika posisi kakaknya digantikan oleh seorang pembantu. "Apa yang harus saya lakukan, Tante?" tanya Luna saat mengajak Intan bertemu di sebuah restoran mewah untuk makan siang bersama
Lama-lama rasa penasaran Luna pun mulai terpatik. Dia yang dulu memang pernah naksir dengan Marsel mulai tertarik untuk bersaing dengan Nawang. "Kayaknya seru nih kalau aku rebut Kak Marsel dari Nawang. Lagian nggak ada salahnya kan? Mereka belum menikah. Dan Kak Marsel lebih cocok bersanding denganku daripada sama si pembantu itu." Rencana jahat mulai muncul di kepala Luna. "Aku harus temui Tante Intan lagi." Luna bergegas kembali mencari mamanya Marsel. Dia berjalan sembari tersenyum lebar. Seolah kemenangan sudah pasti berada di tangannya. "Tante!" panggilnya, saat Intan sedang asyik melihat bunga-bunga mawar yang bermekaran di taman depan rumah. "Eh ... Luna. Kenapa? Udah selesai kelilingnya?" tanya Intan balik. "Sudah, Tante. Tapi, Te, tadi aku lihat Kak Marsel lagi berduaan sama Nawang di kamar Axelle. Mereka lagi ngobrol apa ya? Apa lagi bahas aku ya? Aku jadi nggak enak nih, Te," pancing Luna. Seketika wajah Intan pun merah padam. "Apa? Mereka lagi berduaan? Ini nggak bi
"Apa Marsel akan menerima perempuan itu menjadi istrinya?" Nawang duduk sambil memeluk lutut di atas lantai kamar Axelle. Tembok bercat putih di hadapannya menjadi saksi kegelisahan hatinya. "Kalau iya, berarti aku sudah nggak ada kesempatan buat kembali sama dia," pikirnya lagi. Benih cinta yang mulai tumbuh kembali di antara mereka kembali membuat suasana hatinya ditumbuhi rasa cemburu. "Ah ... kenapa aku jadi mikir begini? Jelas saja Marsel akan menerima perempuan itu. Sudah cantik, kaya dan yang pasti direstui sama mamanya. Sadar diri dong, Nawang. Kamu ini siapa. Hanya pembantu di rumah ini." Nawang terus merutuki dirinya sendiri dalam hati. Meski dia sudah mengakui akan perasaan yang mulai kembali berkembang itu, Nawang harus tetap memiliki pikiran untuk sadar diri. Sementara suasana di ruang tamu berubah menjadi tegang. Bahkan Marsel berusaha menghindari kontak mata dengan Luna. Bukan karena dia takut akan jatuh cinta dengan Luna, tapi karena dia tidak nyaman duduk bersama
"Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku
"Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya