Home / Romansa / Ibu Susu untuk Sang Pewaris / 7. Pantang Membatalkan Kontrak

Share

7. Pantang Membatalkan Kontrak

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-03-05 21:22:38

"Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru. 

"Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar. 

Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut. 

"Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."

Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya. 

Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian besar dari mereka paham sesulit apa keadaan Nawang. Tapi apa mau dikata. Takdir sudah berjalan seperti bagaimana Tuhan menuliskannya. 

Tak terkira seberapa perih hatinya. Namun dunia tetap memaksanya untuk menjadi manusia yang kuat. Nawang perlahan membuka mata. Dan pertanyaan pertama yang dia terima semakin meremuk redamkan perasaannya. 

"Bu, anaknya sudah selesai dimandikan dan dikafani. Mau diantar pulang sama pihak rumah sakit untuk dimakamkan?"

Nawang hanya terdiam. Tatapannya kosong. Tapi dia masih mendengar dengan jelas setiap orang yang mengajaknya bicara. Dan kata pemakaman terasa menyakitkan baginya. 

"Bu, apakah ada keluarga yang bisa menjemput?" Perawat itu melempar pertanyaan lagi. Tapi Nawang hanya menunduk. 

Beberapa detik kemudian, Nawang menggeleng pelan. Masih dengan mata yang sayu. Dia tampak lelah lahir dan batin. Bahkan kelopak matanya tampak menghitam akibat kurang tidur. 

"Lalu ini bagaimana, Bu, jenazah anaknya?" Perawat itu bertanya lagi. Dia duduk di samping Nawang dan mengajaknya bicara dengan sabar. 

"Akan saya bawa pulang sendiri," jawab Nawang pada akhirnya. 

"Kalau perlu bantuan, pihak rumah sakit siap membantu Bu Nawang. Pak Marsel sudah memberi kita perintah untuk membantu Bu Nawang."

Nawang mengerjab beberapa kali. Dia lalu menoleh, menatap wajah perawat tersebut dengan sendu. 

"Marsel?" Nawang masih tak percaya. Marsel yang biasa bersikap dingin dan angkuh tiba-tiba menunjukkan kepeduliannya. 

"Iya, Bu. Pak Marsel itu ayah dari bayi laki-laki yang ibu susui," terang sang perawat.

Nawang hanya mengangguk. Dia tersenyum simpul. Dia bahkan sudah mengenal Marsel lebih jauh daripada orang-orang di rumah sakit ini. Tapi tidak ada yang tahu masa lalu keduanya. Semua rahasia itu keduanya simpan dengan rapat. 

"Sampaikan terima kasih saya kepada Pak Marsel," ucap Nawang dengan bibir bergetar menahan tangis. Sedih dan sesak yang dia rasakan sendiri. Bahkan hadirnya Marsel kembali di hidupnya tak lantas membuat Nawang merasa lebih baik. 

"Aku sudah menganggap Marsel bagian dari masa laluku. Semua hal tentang dia sudah ku kubur dalam-dalam. Bagiku masa depanku hanyalah suami dan anakku. Tapi kenapa Tuhan malah memanggilnya pulang di waktu yang hampir bersamaan. Lalu menghadirkan Marsel kembali di hidupku. Tuhan ... sebenarnya apa rencana-Mu untukku?" Nawang bergelut dengan isi kepalanya sendiri. 

Dipaksanya tubuh yang lelah itu untuk bangun. Dia berjalan menuju kamar jenazah. Tempat dimana bayinya disemayamkan. 

Nawang menyibak selimut yang menutupi tubuh putrinya. Bayi itu terlihat cantik meski wajahnya tampak pucat. Nawang berusaha menahan air mata agar tidak jatuh di atas jenazah anaknya. Meski hatinya tercabik. Melihat anaknya berpulang lebih dulu. Padahal dia masih ingin merawat dan membesarkan anak itu. 

"Tidur yang tenang ya, Sayang. Sekarang kamu sudah nggak ngerasain sakit lagi. Bahagia disana sama ayah ya, Nak. Mama titip salam buat ayah." 

Nawang menyeka air mata yang mulai turun. Dia angkat jenazah bayi tersebut dan mendekapnya dalam pelukannya untuk yang terakhir kali. 

***

Pemakaman telah selesai. Tapi Nawang belum beranjak pergi. Diusapnya lembut batu nisan bertuliskan nama anaknya seolah dia sedang mengusap wajah anak yang dicintainya itu.  

Nawang tertegun. Sudah tidak ada lagi pelayat yang tinggal. Atau sekedar membujuknya untuk pulang. Karena memang kini Nawang hanya hidup sebatang kara. Orang tuanya pun sudah meninggal semua. Kini dia melangkah bagai manusia tanpa tujuan. 

"Aku harus kemana setelah ini?" 

Nawang mulai bingung. Semua biaya rumah sakit sudah dilunasi oleh Marsel. Dia tidak perlu memikirkannya lagi. Harusnya dia merasa lega. Tapi nyatanya dia malah kebingungan. Dia tak tahu kemana harus pulang. Karena dia sudah nunggak bayar sewa kontrakan satu bulan lamanya. Pulang ke sana pasti juga ujung-ujungnya dia diusir oleh sang pemilik kontrakan.

"Nawang!" Mendengar seseorang memanggilnya, Nawang lekas menoleh. Dia mengenali suara itu. 

"Marsel?" Nawang menatap Marsel dengan tanda tanya di kepala. Sepeduli itukah dia sampai bela-belain datang ke pemakaman putrinya. 

"Ayo pulang!" ajak Marsel. 

"Pulang kemana?" Nawang masih bingung. 

"Pulang ke rumahku. Memangnya kamu mau ke mana? Balik ke rumah sakit?" 

Nawang terdiam sejenak. "Apa aku jadi kerja sama kamu?" Nawang bertanya dengan hati-hati. 

Jujur dia kecewa dengan keadaan. Dia rela menjadi ibu susu untuk anak orang demi menyelamatkan nyawa anaknya. Tapi harapan tak sesuai dengan takdir yang berjalan. 

"Kamu pikir melunasi biaya rumah sakit yang segitu banyak aku lakukan karena cuma-cuma? Kamu melakukan ini semua demi nyawa anakmu. Dan aku pun sama. Rela menggelontorkan uang sebanyak itu juga demi menyelamatkan anakku."

"Maaf. Aku nggak bermaksud ..." Nawang merasa serba salah. 

"Nggak bermaksud apa? Kamu mau coba-coba lari dari perjanjian yang sudah kamu sepakati?" Marsel berbicara dengan nada berapi-api. Nawang sampai begidik sendiri melihatnya. 

"Enggak. Bukan begitu."

"Kalau begitu, ayo pulang ke rumahku sekarang! Tunaikan tugasmu sebagai ibu susu untuk anakku. Seperti apa yang sudah kamu tanda tangani kemarin. Kontrak kerja yang sudah ditanda tangani tidak bisa dibatalkan begitu saja. Paham?!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   43. Rencana yang Dirancang Oleh Intan

    "Yang pasti dia yang bibit bebet bobotnya bagus. Nggak kayak si Nawang."Marsel mendesis pelan. Rencana apalagi yang sedang mamanya susun untuknya? Padahal benih-benih cinta antara Nawang dengan Marsel sudah mulai tumbuh kembali. "Jangan asal bicara! Aku ingin tahu siapa orangnya. Biar aku nilai seberapa pantas dia buat Marsel," sahut suaminya. Intan yang semula percaya diri mendadak lesu. Sebenarnya dia sendiri belum mendapatkan siapa perempuan yang kira-kira cocok untuk menjadi pendamping hidup Marsel. Tapi dia sudah terlanjur keceplosan akan mencarikannya. "Tenang saja. Nanti akan ku bawa dia ke hadapanmu," ucap Intan sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Oke. Aku tunggu. Tenang saja, Sel, papa akan menilai dengan sportif. Kalau papa nggak cocok, papa nggak akan rekomendasikan ke kamu," ujar laki-laki itu sambil menatap wajah istrinya dengan tajam. "Ah ... sudahlah. Mama sama papa ini malah lama-lama ngaco. Siapa juga yang mau nikah lagi. Orang aku masih sibuk sama ke

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   42. Jodoh Untuk Marsel

    "Kamu mau ikut?" Marsel menawari Nawang. "Nggak usah. Selesaikan saja urusan ini dengan mamamu sendirian. Aku malas," tolak Nawang. Dia memang tidak mau berurusan lagi dengan Intan. Perempuan tua itu sudah membuat hidupnya susah. "Ya sudah kalau gitu. Kamu jagain saja Axelle di rumah. Ingat, jangan kerja di warung itu lagi! Sekarang nggak akan ada yang berani ngambil jatah makanmu lagi. Aku jamin!" Pesan Marsel sebelum pergi."Iya. Siap bos!" Nawang mengangkat telapak tangannya di samping pelipis.Mobil Marsel berjalan pergi meninggalkan rumah. Selama di perjalanan, Marsel banyak memikirkan Nawang. Rasa bersalah terus menghujaninya. "Andai aku bisa membongkar kelakuan mama dari dulu. Nawang nggak perlu susah-susah kerja di tempat lain. Bawa Axelle pula. Dan salutnya, dia nggak pernah bilang ke aku tentang apa yang dia alami. Hanya karena dia nggak mau pisah sama Axelle. Nawang ... setulus itu kasih sayangmu pada anakku." Marsel terus bergumam sendiri. Ketulusan hati Nawang semakin

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   41. Rekaman CCTV

    "Apa rencanamu?" Marsel mengeryitkan dahi. "Kita pasang CCTV di rumah ini. Mulai depan sampai di dalam. Biar semua gerak-gerik mamamu terekam semua. Dan kamu nggak bisa bilang lagi kalau aku memfitnah mamamu. Bagaimana?" Nawang mengangkat sebelah alisnya. Marsel berpikir sejenak. "Apa iya kita harus melakukan itu?"Nawang membuang nafas tipis. "Kenapa? Mikir biaya? Masak sekelas direktur rumah sakit nggak punya uang buat masang CCTV? Lagian aku baru tahu di sini, rumah semewah ini nggak ada benda yang namanya CCTV."Merasa diremehkan, Marsel pun langsung meng-iya-kan saran dari Nawang. "Enak saja. Oke, kita pasang CCTV sekarang."Marsel langsung menelepon anak buahnya untuk mencarikan orang yang bisa memasang CCTV di rumahnya. "Tolong pasang di sebelah sana, sana dan terakhir nanti di dapur ya, Mas," perintah Marsel pada dua orang pria muda yang dibawa oleh anak buahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak sambil menganggukkan kepala. "Nanti sekalian tolong settingkan biar tersam

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   40. Mengungkap Kebenaran

    Ruang tamu itu sangat luas, tapi udara di sekitarnya terasa menghimpit dada Nawang hingga sesak. Tatapan tajam yang diberikan oleh Marsel, semakin membuat Nawang tidak nyaman. Bahkan dia tidak bisa duduk dengan tenang. Ruangan yang biasanya hangat berubah mencekam layaknya ruang persidangan."Jelaskan sama aku tentang semua foto-foto ini!" pinta Marsel dengan nada dingin namun penuh penekanan. Beberapa detik berlalu, tak juga ada jawaban yang keluar dari mulut Nawang. Bahkan suara yang tersisa di ruangan tersebut hanya suara denting jam dinding. Semua terasa seperti hitungan mundur menuju ledakan yang tak terelakkan. "Kenapa susah sekali untuk menjawabnya? Kamu tinggal jelaskan apa yang kamu lakukan di sana selama ini? Dan di mana kamu letakkan Axelle selama kamu di sana?" hardik Marsel sekali lagi. Nawang langsung begidik sendiri. Nawang menarik nafas panjang. "Itu karena ..." Ucapan Nawang menggantung. Dia bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya. Marsel duduk di sofa, pungg

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   39. Bayangan Perpisahan dengan Axelle

    Jepret ... jepret ... jepret ...Intan tersenyum puas sambil menatap layar handphone miliknya. Jaraknya memang cukup jauh. Namun kecanggihan handphone miliknya sanggup menangkap gambar Nawang dengan jelas yang sedang melayani beberapa pembeli. Seperti orang yang selalu menunggu waktu kemenangan, Intan membusungkan dada. "Siapa suruh melawanku. Sekarang terimalah akibatnya. Hahaha ..." Intan tertawa lebar. Seperti berhasil menangkap basah seorang pencuri. Foto-foto itu akan menjadi senjata pamungkas untuk menyingkirkan Nawang selama-lamanya dari rumah Marsel. "Setelah ini, kamu nggak akan pernah bisa lagi menginjakkan kaki di rumah anakku, Nawang. Nggak akan ada lagi kesempatan buat kamu deketin dia." Senyum di bibirnya mengembang. Setelah dirasa cukup, Intan kembali memacu mobilnya ke arah pulang. Dia tidak langsung pergi ke rumah Marsel. Percuma, Marsel belum ada di rumah jam segini. Sesampainya di rumah, dia kembali membuka galeri. Menelusuri foto-foto itu satu per satu. Ada y

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   38. Kebenaran yang Terungkap

    Suasana restoran tampak elegan seperti biasa. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergaya kontemporer, lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat, dan musik jazz lembut mengalun mengiringi perbincangan para tamu yang sebagian besar adalah kalangan elite kota ini. Di salah satu sudut, beberapa wanita duduk melingkar mengelilingi meja bundar berlapis marmer, dihiasi rangkaian bunga segar.Intan datang dengan langkah percaya diri, high heels-nya berdenting halus di atas lantai kayu. Tas desainer menggantung di lengannya, dan wangi parfum mahalnya menyertai setiap gerakannya. Dia tersenyum lebar, menyapa tiga sahabatnya yang sudah lebih dulu datang.“Sorry ya, agak telat. Ada urusan sebentar tadi,” kata Intan sambil menarik kursi dan duduk."Nggak apa-apa, Tan," jawab Lita, wanita berambut sebahu yang dikenal paling kalem di antara mereka. "Urusan apa, Tan? Memangnya apa aja kerjaanmu di rumah selain makan dan tidur?" timpal yang lain. "Eh ... enak saja. Aku ini peremp

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   37. Kerinduan Seorang Suami

    Bab 37 :Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nawang dan Marsel akhirnya memutuskan untuk pulang. Axelle kecil, yang sejak sore tampak ceria, kini mulai menguap lebar, matanya yang bulat nyaris terpejam dalam gendongan Nawang. Marsel segera mengambil alih, membopong putranya dengan hati-hati. Ia tahu, udara malam yang seperti ini tidak baik untuk anak kecil, apalagi Axelle memang sedikit sensitif terhadap perubahan cuaca."Cepat masuk, Na. Udara makin dingin," perintah Marsel sambil membukakan pintu mobil. Mobil segera melaju pergi meninggalkan lapak penjual nasi goreng tersebut. Namun mereka berjanji akan datang kembali mengingat kelezatan rasa nasi goreng itu. Setelah mobil memasuki halaman, Nawang bergegas masuk sambil memeluk Axelle dengan erat. Axelle hanya meringkuk kecil di dada Nawang. Matanya sudah benar-benar tertutup. Nafasnya teratur dan tenang. "Langsung tidurkan saja di kamarnya. Terus kamu segera istirahat," perintah Marsel sekali lagi. Nawang pun mengangguk

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   36. Cinta Itu Datang Lagi

    Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   35. Amarah yang Gagal Meledak

    Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status