Share

Mati atau lima ratus juta?

last update Last Updated: 2025-06-24 11:52:24

Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini. 

Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku. 

Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu.

"Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis. 

Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan sangat erat. "Kau yang membuat putraku menderita, maka aku akan membuatmu menderita. Anggap saja ini sebagai hutang balas budi kamu terhadap putraku" ujarnya yang tak aku mengerti. 

Lift berdenting, menandakan kami sudah sampai pada tempat yang dituju. Lagi, ibu mertuaku kembali menyeret tubuh ini memasuki sebuah ruangan di pojok hotel. 

Disana nampak satu orang perempuan seumurannya tengah menunggu, dibelakangnya beberapa preman berdiri tegap. Tunggu, mataku tertuju pada salah satu lelaki yang tak asing di indra penglinatan ini. 

"Mas Bara," pekikku ingin menghampirinya namun ibu mertuaku menahan dengan tegas. 

"Tolong buka harga di atas lima ratus juta untuk istriku," ujarnya dengan pandangan kosong menatapku.

Aku terdiam, tubuhku terasa kaku. Suara mas Bara terdengar seperti gema yang menghantam yang menghantam dinding kesadaranku. Rasanya dunia ini tiba-tiba menjadi kosong, seolah aku terjebak dalam mimpi buruk yang tak bisa aku bangunkan. Mata ini tak mampu menatap wajah Mas Bara dengan jelas, tubuhku gemetar menahan perasaan yang tak terungkapkan.

"Maksud mas apa?" tanyaku mencoba menahan suara, berusaha tetap berpikir jernih meskipun hatiku sudah begitu hancur.

Mas Bara tak menjawab, sementara perempuan di sebelahnya berjalan mendekatiku. Mencengkram wajahku dengan tangannya,memaksaku untuk menatapnya. Wajahnya terlihat dingin, penuh perhitungan, dan seakan-akan aku hanyalah benda yang bisa dibeli dengan harga tertentu. "Harga segitu kemahalan Bara, istrimu itu sudah banyak cacatnya. Apalagi ini baru saja melahirkan, paling di harga lima puluh juta"

Ibu mertua yang sedari tadi memegangi lenganku sontak menggeleng. "Jangan segitulah mih, seratus juta deh" tawarnya.

Aku tercengang, mendongak kearah dua orang yang selama ini aku percaya. Setega itu kah?

Perempuan yang di bilang mami itu tertawa sumbang, memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Menantumu ini memang lumayan cantik, kalau kau dandani terlebih dulu. Pakaiannya juga jangan norak kaya gini, siapa tau dengan penampilannya yang menarik ada pria hidung yang mau menawarnya dengan harga tinggi. Kita buka pelelangan malam ini," ucap perempuan itu sambil tersenyum sinis, seolah melihatku hanya sebagai barang dagangan.

Tubuhku gemetar, tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengar. Semua yang pernah kupikirkan tentang keluarga suamiku, tentang kehidupan yang kujalani, rasanya sudah hancur berkeping-keping. Aku teringat masa-masa awal pernikahan, ketika suamiku masih menjadi sosok yang sangat aku percayai. Kini, sepertinya semua itu hanya sebuah kebohongan besar.

"Tidak! Aku tidak mau!" Aku menolak sebisa mungkin dengan berteriak memberontak. 

"Diam!"

Aku tercengang ketika mas Bara berteriak menghampiriku, tangannya yang besar kini mencengkram wajahku begitu kasar.

Sakit. Tapi lebih sakit perasaanku. 

"Mas, aku bukan barang" desisku. 

Tangannya masih mencengkeram wajahku, keras, penuh amarah. Tapi yang lebih menyakitkan ialah tatapan matanya yang dingin, asing, seperti menatap seseorang yang tak pernah dicintai. Padahal, dari lelaki inilah dulu aku percaya cinta bisa menyelamatkan.

"Mas tolong, aku mohon. Aku bukan barang yang bisa kamu jual belikan" aku kembali mengulang ucapanku, memohon dengan derai air mata kecewa. 

Namun alih-alih melepaskanku, Mas Bara justru mendorong tubuhku hingga aku terhempas ke lantai berkarpet tebal itu. Semua orang terdiam sesaat. Bahkan ibu mertua pun tampak kaget. Tapi tidak ada yang membelaku. Tidak satu pun. 

"Jangan pura-pura so suci!" teriaknya membuatku tersentak. "Kau hanya perempuan pembawa sial. Kau pikir aku gak tahu selama ini kau hanya beban? Aku muak hidup sama perempuan seperti kamu! Anak yang kau lahirkan itu bahkan… aku ragu itu anakku!"

Kalimat itu menyayat seperti belati. Nafasku sesak.

Aku menggeleng. "Itu tidak benar mas, aku bahkan selama ini tidak pernah kenal dengan laki-laki lain-"

"Diam!" potongnya membuat aku menahan nafas. 

"Jangan ngelak lagi, mas tau semuanya. Mas menyesal telah mengenal kamu! Kamu tidak hanya menjadi beban tapi menjadi mimpi buruk saya selama ini!"

Tubuhku membeku. Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Bara terasa bak seperti palu godam yang menghancurkan seluruh fondasi hidupku. Aku nyaris tak bisa bernapas. 

"Aku bersumpah mas, aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun selain kamu. Itu fitnah," aku kembali menepis tuduhan yang dilontarkannya namun hati mas Bara seolah sudah tertutup amarah. Ia malah tersenyum sinis, lalu kakinya terayun menendangku. 

Serius. Untuk pertama kalinya, ia menendangku begitu keras tepat diperutku. Bekas sayatan pisau operasi.

Aku meringis. Memegang perut yang kini terasa basah. 

Darah. Hangat. Merembes cepat melewati kain rokku yang tipis. Pandanganku kabur, tubuhku limbung, dan nyeri menjalar tak tertahankan dari perut hingga ke sekujur tubuh. Dunia seakan berguncang, terbelah antara rasa sakit fisik dan batin yang tak lagi bisa kubedakan. Suara-suara di sekelilingku mulai terdengar sayup-sayup, seperti gema dari dasar sumur.

"Bara, apa-apaan kamu? Bisa-bisa rencana kita gagal buat bayar hutangmu!" sayup aku mendengar ibu mertua berteriak memarahinya. 

"Bangunin dia! Jangan sampai mati sekarang!" teriaknya histeris, langkah sepatunya menghentak-hentak mendekatiku.

"Ma, biarin dia mati saja"

"Mati atau lima ratus juta?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   hanya kamu

    setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   apakah penderitaan baru saja dimulai?

    "Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Luka yang belum pulih

    Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Jadilah ibu susu untuk putraku!

    Aku berdiri kaku di sisi ranjang kecil rumah sakit, disana nampak seorang bayi laki-laki tengah menangis begitu kerasnya seolah ia tengah kelaparan.Beberapa perawat dan satu wanita paruh baya berusaha untuk mencoba menenangkannya, beberapa kali bayi yang terbaring itu digendong lalu di letakan kembali berharap tangisnya mereda. Namun sayang, tangisnya malah semakin pecah.Mataku berkaca-kaca, teringat akan anakku yang bahkan belum sempat aku lihat bagaimana rupanya, belum sempat aku sentuh bagaimana hangatnya."Tolong aku Vaness, dia membutuhkan asi. Ibunya sedang koma, entah kapan bangun. Dia bahkan alergi susu formula, yang mahal sekali pun" ujarnya, wajahnya masih datar tak ada ekspresi memohon. Bawaannya selalu saja tenang."Saya sudah membelimu seharga lima ratus juta, maka jadilah ibu susu untuk anak ku!"Aku tertegun. Napasku tercekat.Kalimat itu menikamku seperti sembilu“Saya sudah membelimu… jadilah ibu susu untuk anakku.”Seolah-olah nilai tubuh dan jiwaku ini telah dihit

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Kesempatan?

    Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak! Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani. Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku. "Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya. "Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai sa

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Mati atau lima ratus juta?

    Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini. Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku. Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu."Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis. Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status