Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini.
Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku.
Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu.
"Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis.
Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan sangat erat. "Kau yang membuat putraku menderita, maka aku akan membuatmu menderita. Anggap saja ini sebagai hutang balas budi kamu terhadap putraku" ujarnya yang tak aku mengerti.
Lift berdenting, menandakan kami sudah sampai pada tempat yang dituju. Lagi, ibu mertuaku kembali menyeret tubuh ini memasuki sebuah ruangan di pojok hotel.
Disana nampak satu orang perempuan seumurannya tengah menunggu, dibelakangnya beberapa preman berdiri tegap. Tunggu, mataku tertuju pada salah satu lelaki yang tak asing di indra penglinatan ini.
"Mas Bara," pekikku ingin menghampirinya namun ibu mertuaku menahan dengan tegas.
"Tolong buka harga di atas lima ratus juta untuk istriku," ujarnya dengan pandangan kosong menatapku.
Aku terdiam, tubuhku terasa kaku. Suara mas Bara terdengar seperti gema yang menghantam yang menghantam dinding kesadaranku. Rasanya dunia ini tiba-tiba menjadi kosong, seolah aku terjebak dalam mimpi buruk yang tak bisa aku bangunkan. Mata ini tak mampu menatap wajah Mas Bara dengan jelas, tubuhku gemetar menahan perasaan yang tak terungkapkan.
"Maksud mas apa?" tanyaku mencoba menahan suara, berusaha tetap berpikir jernih meskipun hatiku sudah begitu hancur.
Mas Bara tak menjawab, sementara perempuan di sebelahnya berjalan mendekatiku. Mencengkram wajahku dengan tangannya,memaksaku untuk menatapnya. Wajahnya terlihat dingin, penuh perhitungan, dan seakan-akan aku hanyalah benda yang bisa dibeli dengan harga tertentu. "Harga segitu kemahalan Bara, istrimu itu sudah banyak cacatnya. Apalagi ini baru saja melahirkan, paling di harga lima puluh juta"
Ibu mertua yang sedari tadi memegangi lenganku sontak menggeleng. "Jangan segitulah mih, seratus juta deh" tawarnya.
Aku tercengang, mendongak kearah dua orang yang selama ini aku percaya. Setega itu kah?
Perempuan yang di bilang mami itu tertawa sumbang, memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Menantumu ini memang lumayan cantik, kalau kau dandani terlebih dulu. Pakaiannya juga jangan norak kaya gini, siapa tau dengan penampilannya yang menarik ada pria hidung yang mau menawarnya dengan harga tinggi. Kita buka pelelangan malam ini," ucap perempuan itu sambil tersenyum sinis, seolah melihatku hanya sebagai barang dagangan.
Tubuhku gemetar, tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengar. Semua yang pernah kupikirkan tentang keluarga suamiku, tentang kehidupan yang kujalani, rasanya sudah hancur berkeping-keping. Aku teringat masa-masa awal pernikahan, ketika suamiku masih menjadi sosok yang sangat aku percayai. Kini, sepertinya semua itu hanya sebuah kebohongan besar.
"Tidak! Aku tidak mau!" Aku menolak sebisa mungkin dengan berteriak memberontak.
"Diam!"
Aku tercengang ketika mas Bara berteriak menghampiriku, tangannya yang besar kini mencengkram wajahku begitu kasar.
Sakit. Tapi lebih sakit perasaanku.
"Mas, aku bukan barang" desisku.
Tangannya masih mencengkeram wajahku, keras, penuh amarah. Tapi yang lebih menyakitkan ialah tatapan matanya yang dingin, asing, seperti menatap seseorang yang tak pernah dicintai. Padahal, dari lelaki inilah dulu aku percaya cinta bisa menyelamatkan."Mas tolong, aku mohon. Aku bukan barang yang bisa kamu jual belikan" aku kembali mengulang ucapanku, memohon dengan derai air mata kecewa.
Namun alih-alih melepaskanku, Mas Bara justru mendorong tubuhku hingga aku terhempas ke lantai berkarpet tebal itu. Semua orang terdiam sesaat. Bahkan ibu mertua pun tampak kaget. Tapi tidak ada yang membelaku. Tidak satu pun.
"Jangan pura-pura so suci!" teriaknya membuatku tersentak. "Kau hanya perempuan pembawa sial. Kau pikir aku gak tahu selama ini kau hanya beban? Aku muak hidup sama perempuan seperti kamu! Anak yang kau lahirkan itu bahkan… aku ragu itu anakku!"
Kalimat itu menyayat seperti belati. Nafasku sesak.
Aku menggeleng. "Itu tidak benar mas, aku bahkan selama ini tidak pernah kenal dengan laki-laki lain-"
"Diam!" potongnya membuat aku menahan nafas.
"Jangan ngelak lagi, mas tau semuanya. Mas menyesal telah mengenal kamu! Kamu tidak hanya menjadi beban tapi menjadi mimpi buruk saya selama ini!"
Tubuhku membeku. Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Bara terasa bak seperti palu godam yang menghancurkan seluruh fondasi hidupku. Aku nyaris tak bisa bernapas.
"Aku bersumpah mas, aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun selain kamu. Itu fitnah," aku kembali menepis tuduhan yang dilontarkannya namun hati mas Bara seolah sudah tertutup amarah. Ia malah tersenyum sinis, lalu kakinya terayun menendangku.
Serius. Untuk pertama kalinya, ia menendangku begitu keras tepat diperutku. Bekas sayatan pisau operasi.
Aku meringis. Memegang perut yang kini terasa basah.
Darah. Hangat. Merembes cepat melewati kain rokku yang tipis. Pandanganku kabur, tubuhku limbung, dan nyeri menjalar tak tertahankan dari perut hingga ke sekujur tubuh. Dunia seakan berguncang, terbelah antara rasa sakit fisik dan batin yang tak lagi bisa kubedakan. Suara-suara di sekelilingku mulai terdengar sayup-sayup, seperti gema dari dasar sumur.
"Bara, apa-apaan kamu? Bisa-bisa rencana kita gagal buat bayar hutangmu!" sayup aku mendengar ibu mertua berteriak memarahinya.
"Bangunin dia! Jangan sampai mati sekarang!" teriaknya histeris, langkah sepatunya menghentak-hentak mendekatiku.
"Ma, biarin dia mati saja"
"Mati atau lima ratus juta?"
Aku menatapnya dengan wajah sulit dipercaya, suaraku tercekat di tenggorokan.“Ya,” jawab Raka singkat, suaranya tegas dan dingin. “Mulai hari ini kamu tinggal di sini. Bersama saya. Bersama Sadewa.”Deg. Jantungku berdentum keras.“Tidak mungkin… Raka, ini—ini gila!” aku mundur selangkah, tubuhku bergetar hebat. “Aku nggak bisa begitu saja tinggal di rumah asing, di bawah aturanmu. Aku masih punya hidupku sendiri!”Raka mendekat, langkahnya berat, setiap detik membuatku kian terpojok. Bayi Sadewa yang terlelap di gendongannya tampak damai, seolah tak terganggu oleh badai yang tengah menghantamku.“Kamu pikir kamu masih punya pilihan, Vanes?” suaranya merendah, tapi justru terdengar lebih mengancam. “Dengar baik-baik. Di luar sana, Bara dan ibu mertuamu masih mencarimu. Satu langkah saja kamu pergi tanpa saya, hidupmu habis. Dan Sadewa…,” matanya menunduk menatap bayi itu, sorotnya meredup sejenak, “Nyawanya terancam, dia butuh asi kamu. Mengertilah.”Aku menggigit bibir bawahku pelan
"Kita mau kemana?" Aku bertanya lirih saat sedini hari ini tiba-tiba saja Raka menyeretku kedalam mobilnya bersamaan dengan bayi Sadewo digendongannya. Raka tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih sepi, hanya lampu-lampu jalan yang menjadi saksi perjalanan kami. Satu tangannya memegang setir erat, sementara tangan lain tak pernah lepas mengusap lembut punggung kecil Sadewo yang tertidur pulas dalam gendongannya."Aku tanya sekali lagi, kita mau kemana?" tanyaku dengan tegas. Sontak Raka menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada jalanan. Aku berdesis, kesal. "Apa kau tuli?"Cittt…Mobil berhenti mendadak hingga tubuhku terdorong ke depan, untung saja sabuk pengaman menahanku. Sadewo menggeliat kecil di pelukan Raka, hampir terbangun, tapi kemudian kembali tenang setelah digoyang lembut oleh dekapan ayahnya.“Gila, kamu!” Aku menatapnya dengan mata melebar, napasku terengah. “Kau mau bunuh kita semua, hah?”Kedua mata Raka memejam sejenak, kemudian ia m
Aku masih duduk terpaku di sofa, dengan dada yang rasanya naik-turun tak beraturan. Kalimat terakhir Raka terus berdengung di telingaku. “Kalau aku harus memohon, aku akan memohon.”Tanganku meremas kain baju sendiri, mencoba mencari pegangan. Bagaimana bisa Raka yang aku kenal dengan begitu baik kini menjelma menjadi seseorang yang akan membuatku menderita?Derit pintu ruangan di ujung lorong terbuka perlahan. Nampak Irma masuk dengan wajah yang cemas, bayi Sadewa masih dalam gendongannya. Tangis kecilnya terdengar, lirih tapi menusuk sampai ke ulu hati.Aku menelan ludah. Bayi itu… seolah memanggilku.Raka berdiri di sisi pintu, memberi isyarat halus padaku. Tidak ada kata, tidak ada paksaan—hanya tatapan penuh harap. Tapi justru tatapan itulah yang membuat kakiku gemetar.Aku tahu… begitu aku mendekat dan menyentuhkan Sadewa ke tubuhku, aku sedang menyerahkan satu bagian dari diriku. Dan dari sana, semuanya bisa berubah."Cepatlah Vaness, kau dibeli hanya untuk itu!" geram Raka ket
setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men