Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak!
Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani.
Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.
Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku.
"Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya.
"Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai saja. Pulangkan saja aku,"ucapku dengan suara parau.
Mas Bara tertawa. Bukan tawa yang menyenangkan, tapi tawa sarkastik yang membuat bulu kudukku meremang.
"Pulangkan kamu?" Ia melangkah pelan mendekat, menunduk tepat di hadapanku. "Ke mana? Ke rumah siapa? Kamu pikir kamu masih punya harga setelah semua ini? Kamu bahkan seorang yatim piatu, jangan lupakan itu"
Aku menggeratakan gigi penuh kekesalan. menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku masih punya harga diri, Mas. Walaupun kamu sudah coba hancurkan semuanya... aku masih punya itu dan aku bisa hidup sendiri tanpa keluargaku juga tanpa kamu" desisku.
Bara mendengus. “Harga diri? Di tempat seperti ini? Kamu pikir kamu bisa kabur dari sini, hah?” Tangannya mencengkram daguku, memaksa wajahku menghadapnya. “Kamu akan tinggal di sini, melayani orang-orang yang lebih berharga dari kamu, dan hasilnya? Akan masuk ke rekeningku.”
Aku menggeleng. Hatiku remuk, tapi aku tidak akan tunduk kali oni
"Lebih baik aku mati, Mas. Daripada terus hidup begini."
Mas semakin tertawa, ia bahkan menepuk kedua pipiku gemas. "Kalau kau mau mati, dari tadi aku tidak akan menolongmu tapi sayang sekali kalau kau mati tanpa aku manfaatkan sebelumnya. Ragamu bagus, wajahmu ayu, mubazir sekali rasanya jika aku harus membiarkanmu mati sia-sia. Kau bahkan belum membatuku membayar hutang-hutang habis persalinanmu itu"
Aku kembali menangis saat mendengar ucapannya. Begitu menyakitkan.
"Bara kenapa kau tidak memberitau ibu kalau dia sudah bangun? Ayo cepat bawa ke atas, acara pelelangannya sudah dimulai. Dia wanita terakhir yang akan di pamerkan"
Aku menoleh lemah ke arah suara itu. Seorang perempuan dengan gaun merah menyala muncul di ambang pintu. Matanya memindai tubuhku dengan tatapan penuh jijik, seolah aku ini barang sisa yang tak layak pakai. Ia menghampiri Bara dan menyentil bahunya pelan.
"Cepat. Kita butuh uang malam ini," desisnya dingin.
"Bu," aku memanggilnya dengan lirih, berusaha untuk memohon namun ia menghiraukanku begitu saja.
Mas Bara mendecak, lalu menarik tanganku kasar. “Ayo. Jangan bikin drama. Tersenyum saja di depan sana, jangan bikin aku malu.”
Aku berusaha mencabut tanganku, tapi tak punya cukup tenaga. Tubuhku masih lemah. Jiwaku lebih lemah lagi.
Mas Bara bersama ibunya terus menyeretku memasuki ruangan cukup besar. Sorak sorai pria hidung belang yang duduk di mejanya masing-masing terdengar begitu bising ketika aku diseret ibu mertuaku menaiki panggung. Nampak beberapa perempuan berpakaian seksi sudah berdiri disana.
"Nah, ini perempuan terakhir yang akan kami lelang. Perempuan cukup istimewa, memang sudah tidak perawan tapi kecantikannya khas gadis Asia yang tidak bosan untuk dipandang" gema dari suara mikrofon mengalihkan atensi para pria hidung belang yang tengah sibuk berbincang, memilih-milih atau bahkan meminum alkohol dengan elegan khas pria kaya.
Aku berdiri di sana, goyah, gaun tipis yang membungkus tubuhku terasa seperti penjara. Setiap tatapan dari penonton seperti belati yang menusuk harga diriku. Aku ingin menjerit, ingin kabur, ingin lenyap dari tempat yang mengerikan ini. Tapi kakiku seolah tertancap di lantai, gemetar hebat.
"Lima puluh juta! Dari meja nomor lima!" teriak seorang pria dengan mic di tangan, seolah ini hanya dagangan biasa di pasar malam.
Aku menghembuskan nafas lelah. Berdoa agar tuhan mengirimkan seseorang yang bisa membawaku keluar dari tempat terkutuk ini.
"Tujuh puluh lima juta!" teriak yang lain disambut sorakan dan peluit nakal dari para pria mabuk itu.
"Tunggu, aku mau yang langka. Dua ratus juta!"
Aku melihat ke arah Bara. Ia hanya tersenyum puas, menghitung di kepala berapa hutangnya yang akan lunas malam ini. Sementara ibunya menatapku dengan sorot menang, seolah berkata: Lihat, kau memang tak pernah pantas menjadi bagian dari kami.
"Baik, waw dua ratus juta itu angka pantastis untuk wanita yang sudah tidak perawan. Apakah ada lagi?"
"Tidak menarik, berikan saja pada dia. Tapi tunggu, dadanya besar apa dia sedang menyusui?" teriakan pria dari meja nomor satu begitu menggema tanganku sontak menutupinya. Malu, sakit.
"Kalau iya, saya mau. Dua ratus lima puluh juta"
"Lima ratus juta, cash malam ini juga!"
Semua orang terdiam, aku bahkan refleks menoleh kearah suara. Nampak seorang pria yang tak asing berjalan cepat menaiki panggung.
Mas Bara dan ibu mertuaku bahkan bertepuk tangan, kegirangan.
"Hebat, rupanya istriku mahal juga" ujarnya semakin menyayat hatiku.
Apa harga diriku semurahan itu.
"Uangnya biar asistenku yang urus, mulai sekarang perempuan ini milikku dan kalian sudah tidak ada lagi hubungan apa pun!" Ucapnya begitu dingin.
Lelaki itu menarikku, melepaskan jas hitamnya untuk menutupi tubuhku kemudian ia menggiringku untuk melangkah bersamanya sementara itu kedua asistennya berjalan mendekati suamiku, entah mereka membicarakan hal apa yang jelas aku sudah terbebas, oh tidak. Bukan terbebas tapi keluar kandang singa masuk kandang buaya.
Oh ya ampun. Bagaimana ini?
Tangannya menggenggamku erat, seolah ingin menunjukkan bahwa sekarang aku miliknya tapi bukan dalam makna cinta, tapi kepemilikan yang membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku menatapnya dari sisi wajah, mencoba mengenali siapa dia sebenarnya. Wajahnya memang tak asing, tapi... entah dari mana.
Mobil mewah berwarna hitam sudah menunggu di depan. Ia membukakan pintunya untukku, begitu sopan... tapi terlalu tenang. Terlalu berwibawa, terlalu rapi untuk pria biasa. Ada aroma ancaman dari setiap langkahnya.
Kami masuk ke dalam mobil. Sunyi."Kita mau kemana? Apa kau akan mengantarku pulang ke rumah?" tanyaku nyaris berbisik.
Ia menoleh, tersenyum samar, tapi tak hangat.
"Rumah? Tentu. Tapi bukan rumah yang kamu kenal."
Deg.
"Saya menyelamatkanmu bukan karena kasihan," lanjutnya. "Tapi saya membeli kesempatan."
"Kesempatan…?" tanyaku dengan suara tercekat.
Aku menatapnya dengan wajah sulit dipercaya, suaraku tercekat di tenggorokan.“Ya,” jawab Raka singkat, suaranya tegas dan dingin. “Mulai hari ini kamu tinggal di sini. Bersama saya. Bersama Sadewa.”Deg. Jantungku berdentum keras.“Tidak mungkin… Raka, ini—ini gila!” aku mundur selangkah, tubuhku bergetar hebat. “Aku nggak bisa begitu saja tinggal di rumah asing, di bawah aturanmu. Aku masih punya hidupku sendiri!”Raka mendekat, langkahnya berat, setiap detik membuatku kian terpojok. Bayi Sadewa yang terlelap di gendongannya tampak damai, seolah tak terganggu oleh badai yang tengah menghantamku.“Kamu pikir kamu masih punya pilihan, Vanes?” suaranya merendah, tapi justru terdengar lebih mengancam. “Dengar baik-baik. Di luar sana, Bara dan ibu mertuamu masih mencarimu. Satu langkah saja kamu pergi tanpa saya, hidupmu habis. Dan Sadewa…,” matanya menunduk menatap bayi itu, sorotnya meredup sejenak, “Nyawanya terancam, dia butuh asi kamu. Mengertilah.”Aku menggigit bibir bawahku pelan
"Kita mau kemana?" Aku bertanya lirih saat sedini hari ini tiba-tiba saja Raka menyeretku kedalam mobilnya bersamaan dengan bayi Sadewo digendongannya. Raka tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih sepi, hanya lampu-lampu jalan yang menjadi saksi perjalanan kami. Satu tangannya memegang setir erat, sementara tangan lain tak pernah lepas mengusap lembut punggung kecil Sadewo yang tertidur pulas dalam gendongannya."Aku tanya sekali lagi, kita mau kemana?" tanyaku dengan tegas. Sontak Raka menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada jalanan. Aku berdesis, kesal. "Apa kau tuli?"Cittt…Mobil berhenti mendadak hingga tubuhku terdorong ke depan, untung saja sabuk pengaman menahanku. Sadewo menggeliat kecil di pelukan Raka, hampir terbangun, tapi kemudian kembali tenang setelah digoyang lembut oleh dekapan ayahnya.“Gila, kamu!” Aku menatapnya dengan mata melebar, napasku terengah. “Kau mau bunuh kita semua, hah?”Kedua mata Raka memejam sejenak, kemudian ia m
Aku masih duduk terpaku di sofa, dengan dada yang rasanya naik-turun tak beraturan. Kalimat terakhir Raka terus berdengung di telingaku. “Kalau aku harus memohon, aku akan memohon.”Tanganku meremas kain baju sendiri, mencoba mencari pegangan. Bagaimana bisa Raka yang aku kenal dengan begitu baik kini menjelma menjadi seseorang yang akan membuatku menderita?Derit pintu ruangan di ujung lorong terbuka perlahan. Nampak Irma masuk dengan wajah yang cemas, bayi Sadewa masih dalam gendongannya. Tangis kecilnya terdengar, lirih tapi menusuk sampai ke ulu hati.Aku menelan ludah. Bayi itu… seolah memanggilku.Raka berdiri di sisi pintu, memberi isyarat halus padaku. Tidak ada kata, tidak ada paksaan—hanya tatapan penuh harap. Tapi justru tatapan itulah yang membuat kakiku gemetar.Aku tahu… begitu aku mendekat dan menyentuhkan Sadewa ke tubuhku, aku sedang menyerahkan satu bagian dari diriku. Dan dari sana, semuanya bisa berubah."Cepatlah Vaness, kau dibeli hanya untuk itu!" geram Raka ket
setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men