Share

Kesempatan?

last update Last Updated: 2025-06-24 15:23:31

Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak! 

Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani. 

Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.

Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku. 

"Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya. 

"Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai saja. Pulangkan saja aku,"ucapku dengan suara parau.

Mas Bara tertawa. Bukan tawa yang menyenangkan, tapi tawa sarkastik yang membuat bulu kudukku meremang.

"Pulangkan kamu?" Ia melangkah pelan mendekat, menunduk tepat di hadapanku. "Ke mana? Ke rumah siapa? Kamu pikir kamu masih punya harga setelah semua ini? Kamu bahkan seorang yatim piatu, jangan lupakan itu" 

Aku menggeratakan gigi penuh kekesalan. menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku masih punya harga diri, Mas. Walaupun kamu sudah coba hancurkan semuanya... aku masih punya itu dan aku bisa hidup sendiri tanpa keluargaku juga tanpa kamu" desisku. 

Bara mendengus. “Harga diri? Di tempat seperti ini? Kamu pikir kamu bisa kabur dari sini, hah?” Tangannya mencengkram daguku, memaksa wajahku menghadapnya. “Kamu akan tinggal di sini, melayani orang-orang yang lebih berharga dari kamu, dan hasilnya? Akan masuk ke rekeningku.”

Aku menggeleng. Hatiku remuk, tapi aku tidak akan tunduk kali oni

"Lebih baik aku mati, Mas. Daripada terus hidup begini."

Mas semakin tertawa, ia bahkan menepuk kedua pipiku gemas. "Kalau kau mau mati, dari tadi aku tidak akan menolongmu tapi sayang sekali kalau kau mati tanpa aku manfaatkan sebelumnya. Ragamu bagus, wajahmu ayu, mubazir sekali rasanya jika aku harus membiarkanmu mati sia-sia. Kau bahkan belum membatuku membayar hutang-hutang habis persalinanmu itu"

Aku kembali menangis saat mendengar ucapannya. Begitu menyakitkan. 

"Bara kenapa kau tidak memberitau ibu kalau dia sudah bangun? Ayo cepat bawa ke atas, acara pelelangannya sudah dimulai. Dia wanita terakhir yang akan di pamerkan"

Aku menoleh lemah ke arah suara itu. Seorang perempuan dengan gaun merah menyala muncul di ambang pintu. Matanya memindai tubuhku dengan tatapan penuh jijik, seolah aku ini barang sisa yang tak layak pakai. Ia menghampiri Bara dan menyentil bahunya pelan.

"Cepat. Kita butuh uang malam ini," desisnya dingin.

"Bu," aku memanggilnya dengan lirih, berusaha untuk memohon namun ia menghiraukanku begitu saja. 

Mas Bara mendecak, lalu menarik tanganku kasar. “Ayo. Jangan bikin drama. Tersenyum saja di depan sana, jangan bikin aku malu.”

Aku berusaha mencabut tanganku, tapi tak punya cukup tenaga. Tubuhku masih lemah. Jiwaku lebih lemah lagi. 

Mas Bara bersama ibunya terus menyeretku memasuki ruangan cukup besar. Sorak sorai pria hidung belang yang duduk di mejanya masing-masing terdengar begitu bising ketika aku diseret ibu mertuaku menaiki panggung. Nampak beberapa perempuan berpakaian seksi sudah berdiri disana. 

"Nah, ini perempuan terakhir yang akan kami lelang. Perempuan cukup istimewa, memang sudah tidak perawan tapi kecantikannya khas gadis Asia yang tidak bosan untuk dipandang" gema dari suara mikrofon mengalihkan atensi para pria hidung belang yang tengah sibuk berbincang, memilih-milih atau bahkan meminum alkohol dengan elegan khas pria kaya.

Aku berdiri di sana, goyah, gaun tipis yang membungkus tubuhku terasa seperti penjara. Setiap tatapan dari penonton seperti belati yang menusuk harga diriku. Aku ingin menjerit, ingin kabur, ingin lenyap dari tempat yang mengerikan ini. Tapi kakiku seolah tertancap di lantai, gemetar hebat.

"Lima puluh juta! Dari meja nomor lima!" teriak seorang pria dengan mic di tangan, seolah ini hanya dagangan biasa di pasar malam.

Aku menghembuskan nafas lelah. Berdoa agar tuhan mengirimkan seseorang yang bisa membawaku keluar dari tempat terkutuk ini.

"Tujuh puluh lima juta!" teriak yang lain disambut sorakan dan peluit nakal dari para pria mabuk itu.

"Tunggu, aku mau yang langka. Dua ratus juta!"

Aku melihat ke arah Bara. Ia hanya tersenyum puas, menghitung di kepala berapa hutangnya yang akan lunas malam ini. Sementara ibunya menatapku dengan sorot menang, seolah berkata: Lihat, kau memang tak pernah pantas menjadi bagian dari kami.

"Baik, waw dua ratus juta itu angka pantastis untuk wanita yang sudah tidak perawan. Apakah ada lagi?" 

"Tidak menarik, berikan saja pada dia. Tapi tunggu, dadanya besar apa dia sedang menyusui?" teriakan pria dari meja nomor satu begitu menggema tanganku sontak menutupinya. Malu, sakit.

"Kalau iya, saya mau. Dua ratus lima puluh juta" 

"Lima ratus juta, cash malam ini juga!"

Semua orang terdiam, aku bahkan refleks menoleh kearah suara. Nampak seorang pria yang tak asing berjalan cepat menaiki panggung. 

Mas Bara dan ibu mertuaku bahkan bertepuk tangan, kegirangan. 

"Hebat, rupanya istriku mahal juga" ujarnya semakin menyayat hatiku. 

Apa harga diriku semurahan itu. 

"Uangnya biar asistenku yang urus, mulai sekarang perempuan ini milikku dan kalian sudah tidak ada lagi hubungan apa pun!" Ucapnya begitu dingin.

Lelaki itu menarikku, melepaskan jas hitamnya untuk menutupi tubuhku kemudian ia menggiringku untuk melangkah bersamanya sementara itu kedua asistennya berjalan mendekati suamiku, entah mereka membicarakan hal apa yang jelas aku sudah terbebas, oh tidak. Bukan terbebas tapi keluar kandang singa masuk kandang buaya. 

Oh ya ampun. Bagaimana ini?

Tangannya menggenggamku erat, seolah ingin menunjukkan bahwa sekarang aku miliknya tapi bukan dalam makna cinta, tapi kepemilikan yang membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku menatapnya dari sisi wajah, mencoba mengenali siapa dia sebenarnya. Wajahnya memang tak asing, tapi... entah dari mana.

Mobil mewah berwarna hitam sudah menunggu di depan. Ia membukakan pintunya untukku, begitu sopan... tapi terlalu tenang. Terlalu berwibawa, terlalu rapi untuk pria biasa. Ada aroma ancaman dari setiap langkahnya.

 

Kami masuk ke dalam mobil. Sunyi.

"Kita mau kemana? Apa kau akan mengantarku pulang ke rumah?" tanyaku nyaris berbisik. 

Ia menoleh, tersenyum samar, tapi tak hangat.

"Rumah? Tentu. Tapi bukan rumah yang kamu kenal."

Deg.

"Saya menyelamatkanmu bukan karena kasihan," lanjutnya. "Tapi saya membeli kesempatan."

"Kesempatan…?" tanyaku dengan suara tercekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   hanya kamu

    setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   apakah penderitaan baru saja dimulai?

    "Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Luka yang belum pulih

    Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Jadilah ibu susu untuk putraku!

    Aku berdiri kaku di sisi ranjang kecil rumah sakit, disana nampak seorang bayi laki-laki tengah menangis begitu kerasnya seolah ia tengah kelaparan.Beberapa perawat dan satu wanita paruh baya berusaha untuk mencoba menenangkannya, beberapa kali bayi yang terbaring itu digendong lalu di letakan kembali berharap tangisnya mereda. Namun sayang, tangisnya malah semakin pecah.Mataku berkaca-kaca, teringat akan anakku yang bahkan belum sempat aku lihat bagaimana rupanya, belum sempat aku sentuh bagaimana hangatnya."Tolong aku Vaness, dia membutuhkan asi. Ibunya sedang koma, entah kapan bangun. Dia bahkan alergi susu formula, yang mahal sekali pun" ujarnya, wajahnya masih datar tak ada ekspresi memohon. Bawaannya selalu saja tenang."Saya sudah membelimu seharga lima ratus juta, maka jadilah ibu susu untuk anak ku!"Aku tertegun. Napasku tercekat.Kalimat itu menikamku seperti sembilu“Saya sudah membelimu… jadilah ibu susu untuk anakku.”Seolah-olah nilai tubuh dan jiwaku ini telah dihit

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Kesempatan?

    Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak! Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani. Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku. "Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya. "Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai sa

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Mati atau lima ratus juta?

    Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini. Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku. Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu."Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis. Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status