Share

Ada apa ini, tuhan?

last update Last Updated: 2025-05-23 14:06:37

Keesokan harinya, aku menuruti apa yang dikatakan mas Bara. Menemui ibunya sebagai keputusan akhir atas rumah tangga kami. Sejak pertengkaran malam itu pula Mas Bara tak pernah muncul dihadapanku, entah kemana. Aku tak tau. Mungkin dia sedang menenangkan diri. 

Aku menghela napas berat, tanganku meremas ujung gamis yang ku kenakan dengan menatap nanar kearah pintu bercat putih dihadapanku. Entah makian apa lagi yang akan ia lontarkan padaku, yang jelas aku sudah menyiapkan mentalku. 

Tanganku terangkat dengan gemetar, meraih gagang pintu dan membukanya. 

Clek. 

"Oh, sudah datang rupanya" kami sama-sama terkejut saat pintu rumah terbuka menampakan ibu mertua dengan dandanan modisnya muncul di depan pintu, mungkin ia hendak keluar. 

"Masuklah," perintahnya, entah mengapa perlakuannya kali ini agak sedikit berbeda dari biasanya. Wajahnya bahkan terlihat cerah malam ini. 

"Ibu kira kamu tidak akan mau," ujarnya dengan kekehan saat kami melangkah menuju ruang tamu. 

Keningku berkerut heran dengan apa yang ia ucapkan. "Maksud ibu?" tanyaku berusaha menepis rasa bingung yang bergelayut di pikiranku. 

"Loh, Bara belum cerita?" kagetnya ketika ia hendak duduk di sofa kebanggaannya, diikuti olehku yang duduk di bawah beralas karpet seperti biasa. 

Memang aku dan ibu mertuaku bak seperti majikan dan pembantu, saking ia tak sukanya padaku. Bahkan kerap kali aku diperlakukan tak menyenangkan ketika serumah dengannya saat awal-awal pernikahan. 

Aku menggeleng lemah, "memangnya kenapa bu?" Tanyaku kembali. 

Ia terdiam sejenak, lalu tertawa dengan gelengan. "Marni!" teriaknya, memanggil pembantu di rumah ini yang sudah belasan tahun mengabdi padanya. 

"Iya nyonya, ada apa?" tanyanya dengan sigap menghampiri kami. 

"Tolong bawa dia ke kamar, dandani secantik mungkin dan pakaikan gaun paling seksi malam ini!" perintahnya begitu tegas, aku terperangah kebingungan dengan apa yang ibu mertuaku katakan. 

"Maksudmu apa bu? Aku hanya ingin membicarakan prihal rumah tanggaku, mengapa harus didandani?" tanyaku sungguh sangat kebingungan. 

"Diamlah, jangan protes. Itu keputusan yang diambil suamimu, nanti juga kau akan tau" ucapnya tajam. 

Aku terdiam, tubuhku terasa begitu kaku mendengar perintahnya. Perasaan cemas kini menyelimutiku, rasanya ada yang salah tapi apa? Apa yang akan terjadi? Kenapa aku harus didandani dengan gaun seksi malam ini? Bukankah aku datang untuk berbicara mengenai masalah rumah tanggaku. Ah, apa mas Bara yang memintanya? Apa dia ingin meminta nafkah batinku sebagai tanda tidak adanya perpisahan? Kalau iya, jelas aku akan merasa senang. Tapi, mengapa harus di rumah ibunya? Ini aneh, sungguh. 

Marni, pembantu di rumah ini dengan sigap menghampiriku. Ia memandangku sekilas, lalu membawaku memasuki kamar ibu mertua. Sesampainya di sana, Marni membuka lemari dan mengeluarkan sebuah gaun berwana merah menyala dengan kerlap-kerlip blink-blik. Gaun selutut yang begitu terbuka di bagian punggung dan lehernya.

Aku menatap gaun itu dengan perasaan ngeri. Tak biasa aku berpakaian seksi seperti itu, bahkan mas Bara pun tak pernah meminta aku memakai baju seksi seperti itu. 

"Marni, apa tidak ada gaun yang lebih tertutup?" tanyaku. 

Marni menggeleng, "tidak nyonya. Ini yang diperintahkan nyonya besar. Katanya mas Bara mau anda memakainya malam ini," 

Alisku terangkat, tak percaya dengan apa yang marni katakan. Sejak kapan suamiku menyukai hal-hal seperti itu? Sejak kami memutuskan untuk hidup mandiri tanpa campur tangan ibunya, mas Bara tak pernah sekali pun membelikan gaun seperti itu untuk memuaskan nafsunya. 

"Tidak mungkin, ada apa sebenarnya Marni? Mengapa aku harus memakainya?" tanyaku kembali. 

Marni terdiam, enggan menjawab namun sorot matanya menyimpan kegelisahan membuatku yakin jika ia mengetahui sesuatu hal yang akan terjadi. 

"Aku tidak mau didandani" tolakku cepat, namun lagi-lagi marni tak menggubris. Ia malah meminta beberapa pelayan untuk memegangiku agar tidak berontak.

 Aku berontak, meronta, menjerit sekuat tenaga, namun tak ada satu pun yang peduli. Mereka memegangiku erat, mencengkram lengan dan bahuku, seolah aku ini tahanan yang hendak kabur. Gaun itu akhirnya dipaksakan menempel di tubuhku. Aku merasa telanjang, terhina, dan diinjak martabatku sebagai seorang istri. Air mataku mengalir deras, menetes di pipi tanpa bisa kutahan. Apa sebenarnya maksud mereka?

Marni mendekat, "maafkan saya nyonya, saya hanya menjalankan perintah" ucapnya dengan lirih serta mata yang berkaca-kaca. 

Tuhan, ada apa ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   hanya kamu

    setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   apakah penderitaan baru saja dimulai?

    "Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Luka yang belum pulih

    Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Jadilah ibu susu untuk putraku!

    Aku berdiri kaku di sisi ranjang kecil rumah sakit, disana nampak seorang bayi laki-laki tengah menangis begitu kerasnya seolah ia tengah kelaparan.Beberapa perawat dan satu wanita paruh baya berusaha untuk mencoba menenangkannya, beberapa kali bayi yang terbaring itu digendong lalu di letakan kembali berharap tangisnya mereda. Namun sayang, tangisnya malah semakin pecah.Mataku berkaca-kaca, teringat akan anakku yang bahkan belum sempat aku lihat bagaimana rupanya, belum sempat aku sentuh bagaimana hangatnya."Tolong aku Vaness, dia membutuhkan asi. Ibunya sedang koma, entah kapan bangun. Dia bahkan alergi susu formula, yang mahal sekali pun" ujarnya, wajahnya masih datar tak ada ekspresi memohon. Bawaannya selalu saja tenang."Saya sudah membelimu seharga lima ratus juta, maka jadilah ibu susu untuk anak ku!"Aku tertegun. Napasku tercekat.Kalimat itu menikamku seperti sembilu“Saya sudah membelimu… jadilah ibu susu untuk anakku.”Seolah-olah nilai tubuh dan jiwaku ini telah dihit

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Kesempatan?

    Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak! Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani. Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku. "Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya. "Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai sa

  • Ibu susu untuk anak sang dokter bedah   Mati atau lima ratus juta?

    Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini. Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku. Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu."Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis. Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status