Keesokan harinya, aku menuruti apa yang dikatakan mas Bara. Menemui ibunya sebagai keputusan akhir atas rumah tangga kami. Sejak pertengkaran malam itu pula Mas Bara tak pernah muncul dihadapanku, entah kemana. Aku tak tau. Mungkin dia sedang menenangkan diri.
Aku menghela napas berat, tanganku meremas ujung gamis yang ku kenakan dengan menatap nanar kearah pintu bercat putih dihadapanku. Entah makian apa lagi yang akan ia lontarkan padaku, yang jelas aku sudah menyiapkan mentalku.
Tanganku terangkat dengan gemetar, meraih gagang pintu dan membukanya.
Clek.
"Oh, sudah datang rupanya" kami sama-sama terkejut saat pintu rumah terbuka menampakan ibu mertua dengan dandanan modisnya muncul di depan pintu, mungkin ia hendak keluar.
"Masuklah," perintahnya, entah mengapa perlakuannya kali ini agak sedikit berbeda dari biasanya. Wajahnya bahkan terlihat cerah malam ini.
"Ibu kira kamu tidak akan mau," ujarnya dengan kekehan saat kami melangkah menuju ruang tamu.
Keningku berkerut heran dengan apa yang ia ucapkan. "Maksud ibu?" tanyaku berusaha menepis rasa bingung yang bergelayut di pikiranku.
"Loh, Bara belum cerita?" kagetnya ketika ia hendak duduk di sofa kebanggaannya, diikuti olehku yang duduk di bawah beralas karpet seperti biasa.
Memang aku dan ibu mertuaku bak seperti majikan dan pembantu, saking ia tak sukanya padaku. Bahkan kerap kali aku diperlakukan tak menyenangkan ketika serumah dengannya saat awal-awal pernikahan.
Aku menggeleng lemah, "memangnya kenapa bu?" Tanyaku kembali.
Ia terdiam sejenak, lalu tertawa dengan gelengan. "Marni!" teriaknya, memanggil pembantu di rumah ini yang sudah belasan tahun mengabdi padanya.
"Iya nyonya, ada apa?" tanyanya dengan sigap menghampiri kami.
"Tolong bawa dia ke kamar, dandani secantik mungkin dan pakaikan gaun paling seksi malam ini!" perintahnya begitu tegas, aku terperangah kebingungan dengan apa yang ibu mertuaku katakan.
"Maksudmu apa bu? Aku hanya ingin membicarakan prihal rumah tanggaku, mengapa harus didandani?" tanyaku sungguh sangat kebingungan.
"Diamlah, jangan protes. Itu keputusan yang diambil suamimu, nanti juga kau akan tau" ucapnya tajam.
Aku terdiam, tubuhku terasa begitu kaku mendengar perintahnya. Perasaan cemas kini menyelimutiku, rasanya ada yang salah tapi apa? Apa yang akan terjadi? Kenapa aku harus didandani dengan gaun seksi malam ini? Bukankah aku datang untuk berbicara mengenai masalah rumah tanggaku. Ah, apa mas Bara yang memintanya? Apa dia ingin meminta nafkah batinku sebagai tanda tidak adanya perpisahan? Kalau iya, jelas aku akan merasa senang. Tapi, mengapa harus di rumah ibunya? Ini aneh, sungguh.
Marni, pembantu di rumah ini dengan sigap menghampiriku. Ia memandangku sekilas, lalu membawaku memasuki kamar ibu mertua. Sesampainya di sana, Marni membuka lemari dan mengeluarkan sebuah gaun berwana merah menyala dengan kerlap-kerlip blink-blik. Gaun selutut yang begitu terbuka di bagian punggung dan lehernya.
Aku menatap gaun itu dengan perasaan ngeri. Tak biasa aku berpakaian seksi seperti itu, bahkan mas Bara pun tak pernah meminta aku memakai baju seksi seperti itu.
"Marni, apa tidak ada gaun yang lebih tertutup?" tanyaku.
Marni menggeleng, "tidak nyonya. Ini yang diperintahkan nyonya besar. Katanya mas Bara mau anda memakainya malam ini,"
Alisku terangkat, tak percaya dengan apa yang marni katakan. Sejak kapan suamiku menyukai hal-hal seperti itu? Sejak kami memutuskan untuk hidup mandiri tanpa campur tangan ibunya, mas Bara tak pernah sekali pun membelikan gaun seperti itu untuk memuaskan nafsunya.
"Tidak mungkin, ada apa sebenarnya Marni? Mengapa aku harus memakainya?" tanyaku kembali.
Marni terdiam, enggan menjawab namun sorot matanya menyimpan kegelisahan membuatku yakin jika ia mengetahui sesuatu hal yang akan terjadi.
"Aku tidak mau didandani" tolakku cepat, namun lagi-lagi marni tak menggubris. Ia malah meminta beberapa pelayan untuk memegangiku agar tidak berontak.
Aku berontak, meronta, menjerit sekuat tenaga, namun tak ada satu pun yang peduli. Mereka memegangiku erat, mencengkram lengan dan bahuku, seolah aku ini tahanan yang hendak kabur. Gaun itu akhirnya dipaksakan menempel di tubuhku. Aku merasa telanjang, terhina, dan diinjak martabatku sebagai seorang istri. Air mataku mengalir deras, menetes di pipi tanpa bisa kutahan. Apa sebenarnya maksud mereka?
Marni mendekat, "maafkan saya nyonya, saya hanya menjalankan perintah" ucapnya dengan lirih serta mata yang berkaca-kaca.
Tuhan, ada apa ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Aku menatapnya dengan wajah sulit dipercaya, suaraku tercekat di tenggorokan.“Ya,” jawab Raka singkat, suaranya tegas dan dingin. “Mulai hari ini kamu tinggal di sini. Bersama saya. Bersama Sadewa.”Deg. Jantungku berdentum keras.“Tidak mungkin… Raka, ini—ini gila!” aku mundur selangkah, tubuhku bergetar hebat. “Aku nggak bisa begitu saja tinggal di rumah asing, di bawah aturanmu. Aku masih punya hidupku sendiri!”Raka mendekat, langkahnya berat, setiap detik membuatku kian terpojok. Bayi Sadewa yang terlelap di gendongannya tampak damai, seolah tak terganggu oleh badai yang tengah menghantamku.“Kamu pikir kamu masih punya pilihan, Vanes?” suaranya merendah, tapi justru terdengar lebih mengancam. “Dengar baik-baik. Di luar sana, Bara dan ibu mertuamu masih mencarimu. Satu langkah saja kamu pergi tanpa saya, hidupmu habis. Dan Sadewa…,” matanya menunduk menatap bayi itu, sorotnya meredup sejenak, “Nyawanya terancam, dia butuh asi kamu. Mengertilah.”Aku menggigit bibir bawahku pelan
"Kita mau kemana?" Aku bertanya lirih saat sedini hari ini tiba-tiba saja Raka menyeretku kedalam mobilnya bersamaan dengan bayi Sadewo digendongannya. Raka tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih sepi, hanya lampu-lampu jalan yang menjadi saksi perjalanan kami. Satu tangannya memegang setir erat, sementara tangan lain tak pernah lepas mengusap lembut punggung kecil Sadewo yang tertidur pulas dalam gendongannya."Aku tanya sekali lagi, kita mau kemana?" tanyaku dengan tegas. Sontak Raka menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada jalanan. Aku berdesis, kesal. "Apa kau tuli?"Cittt…Mobil berhenti mendadak hingga tubuhku terdorong ke depan, untung saja sabuk pengaman menahanku. Sadewo menggeliat kecil di pelukan Raka, hampir terbangun, tapi kemudian kembali tenang setelah digoyang lembut oleh dekapan ayahnya.“Gila, kamu!” Aku menatapnya dengan mata melebar, napasku terengah. “Kau mau bunuh kita semua, hah?”Kedua mata Raka memejam sejenak, kemudian ia m
Aku masih duduk terpaku di sofa, dengan dada yang rasanya naik-turun tak beraturan. Kalimat terakhir Raka terus berdengung di telingaku. “Kalau aku harus memohon, aku akan memohon.”Tanganku meremas kain baju sendiri, mencoba mencari pegangan. Bagaimana bisa Raka yang aku kenal dengan begitu baik kini menjelma menjadi seseorang yang akan membuatku menderita?Derit pintu ruangan di ujung lorong terbuka perlahan. Nampak Irma masuk dengan wajah yang cemas, bayi Sadewa masih dalam gendongannya. Tangis kecilnya terdengar, lirih tapi menusuk sampai ke ulu hati.Aku menelan ludah. Bayi itu… seolah memanggilku.Raka berdiri di sisi pintu, memberi isyarat halus padaku. Tidak ada kata, tidak ada paksaan—hanya tatapan penuh harap. Tapi justru tatapan itulah yang membuat kakiku gemetar.Aku tahu… begitu aku mendekat dan menyentuhkan Sadewa ke tubuhku, aku sedang menyerahkan satu bagian dari diriku. Dan dari sana, semuanya bisa berubah."Cepatlah Vaness, kau dibeli hanya untuk itu!" geram Raka ket
setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men