Rosita mulai mengerti perasaan pak Deden terhadapnya, dia hanya menjaga mood Rosita saja; akan tetapi tiba-tiba handphone pak Deden berbunyi. Rosita mengalihkan pandangan ke arah luar jendela mobil, namun ia membuka telinganya lebar-lebar menguping pembicaraan pak Deden disampingnya.
Pak Deden melambatkan gas mobilnya, tapi tetap fokus pada jalan di depan, sambil menyelipkan handphone ditelinga kanan yang ditunjang oleh bahunya.
”Pah..”
”Iya Rick, ada apa?”
”Mbak Diyah melahirkan, jadi ga masuk hari ini, papah bisa cariin gantinya ga?”
”Bisa, ya udah.. sekarang papah jemput orangnya, langsung kesitu ya,”
Pak Deden langsung mematikan handphone, dan menoleh ke arah Rosita,
”Ros, kita gak jadi ke hotel, tapi ke kafetaria, kebetulan kasirnya ga masuk,”
Rosita menoleh ke pak Deden,
”Maksudnya gimana pak Den?””Sementara kamu kerja disitu, mau kan? Cuma duduk saja. Kita titip Maya ke tempat penitipan bayi.. ga apa-apa.. aman kok,”
”ya boleh pak Den, yang penting kerja, lagipula Ros belum punya pengalaman,”
”Kamu pelajari sebentar mesin kasirnya, nanti dikasih tau Ricky anak saya ,”
”Baik pak Den,”
Setelah menitipkan Maya ke tempat penitipan bayi, mobil pak Deden lalu menuju ke kafe. Rosita heran mengapa langsung masuk ke mall yang kemarin. Terus jalan kearah kafe yang kemarin juga?.
”Ooh… jadi sebenarnya pak Den yang punya kafe ini ya?”
”Iya Ros, tapi kalau makan, ya mesti bayar juga, hehehe..”
Pak Deden dan Rosita berjalan menuju kafetaria, Lalu Rosita dikenalkan kepada Ricky. Dia adalah anak adopsi pak Deden. Matanya buta karena sebuah kecelakaan. Bentuk matanya masih normal seperti orang biasa, beda dengan orang yang buta sejak dilahirkan. Meski begitu, ia masih bisa melihat warna samar-samar dari jarak dekat.
”Rick, ini mbak Rosita yang mau gantikan mbak Diyah. Tolong kamu kasih tau cara mesin kasirnya ya,”
”Baik pah.. ayo mbak Rosita,”
Ricky langsung mengajak Rosita ke kursi kasir, dan menunjukkan cara penggunaan mesinnya.
”Papah ke kantor dulu Rick..”
”Iya pah,”
”Ros, kerja baik-baik ya,”
”Iya pak Den,”
Pak Deden jalan meninggalkan kafe.
**
Ricky pemuda yang tampan, dengan tubuh tinggi besar, dan kekar. Penampilannya, tidak sesuai dengan usianya, orang menyebutnya bongsor. Karena dia tidak bisa melihat dengan jelas, maka sikapnya seolah-olah dingin, acuh, meski kadang tersenyum bila mendengar lawan bicaranya melucu. Senyumnya sangat menawan.
Ricky selalu berdiri di samping kursi kasir, kadang duduk di dekat pintu masuk ke dapur, ngobrol-ngobrol dengan chef Wawan, atau menikmati aroma masakan yang terbawa angin dari exhaust fan diatas pintu masuk dapur. Aroma khas bumbu rempah-rempah memancing air liurnya untuk segera mencicipi. Yups, memang Ricky yang selalu dimintai pendapat oleh chef Wawan, soal rasa masakannya.
Rosita memperhatikan wajah Ricky,
”mas Ricky, kamu bisa lihat uang ga?”
”Bisa dong mbak,”
”Coba.. ini berapa?” kata Rosita memperlihatkan lembaran uang kepadanya.
”kalau jarak segitu ga kelihatan mbak Ros.. tapi baju mbak kelihatan warnanya saja.”
”Kamu kecelakaan apa mas?”
”Jatuh dari tangga lantai atas mbak,”
”Umur berapa waktu itu?”
”Iih mbaknya kepo banget sih.. hahaha,” Ricky mentertawakan Rosita.
Tiba-tiba bu Amilia, isterinya pak Deden masuk dari arah luar kafe.
”Ricky.. kamu gak sekolah ya?” tanya bu Amilia yang mengejutkan Rosita.
”Iya mah.. tadi sudah ijin,”
”Mamah tadi ditelpon sama mbak Diyah katanya dia baru melahirkan,”
”Ini mbak Rosita, yang menggantikannya mah.. Kenalin mbak Ros, ini mamah saya,”
Rosita menjulurkan tangannya, tapi diacuhkan oleh bu Amilia, ia pun lalu menarik kembali tangannya.
”Siapa yang bawa mbak Rosita kesini Rick,”
”Papah mah..”
”Oh ya sudah ga apa-apa… kirain kenalan kamu. Padahal tadi mbak Diyah telpon ke mamah, katanya adiknya yang baru lulus SMEA mau kesini, buat gantiin posisi mbak Diyah.”
”Tapi belum ada yang datang mah..”
”Ya sudah, itu sudah ada tamu, baik-baik kerjanya ya mbak Rosita,”
”Iya bu,”
”Mamah ke salon dulu ya Rick,”
”Iya mah..”
**
Bu Amilia, jalan kearah luar kafe, ia mengeluarkan handphone dari dalam tasnya, lalu menelpon mbak Diyah.
”mbak Diyah, maaf ya.. posisi kasirnya sudah ada pengganti, suamiku yang bawa, maaf ya mbak Diyah...”
”Aduuh bu, gimana, adik saya sudah berangkat kesitu, kasian lho.. jauh-jauh dari bogor,”
”Ya tapi gimana… mbak Diyah juga gak bicarakan jauh hari sebelumnya sih, kalau suamiku orangnya gercep, gak mungkin kan Ricky yang jaga kas kasir,”
“Ya udah bu, ga apa-apa deh..” sahut mbak Diyah dengan nada kesal langsung menutup sambungan handphonenya.
**
Sementara itu, Rosita dan Ricky masih asyik mengobrol. Sebenarnya Ricky sudah tahu tentang Rosita dari laporan Pelayan yang melihat Rosita duduk bersama pak Deden kemarin pagi. Tapi Ricky sikapnya netral, dia tidak memihak ke mamah atau papahnya, meski diantara mereka saat ini sedang terjadi perang dingin, alias saling acuh.
Rosita terlihat mulai gelisah. Air susunya membasahi kaos yang dipakainya, itu pertanda bahwa sudah waktunya ia menyusui bayinya; untung saja Ricky tidak bisa melihat. Ia harus bersabar menunggu sampai jam delapan malam, waktu kafe tutup.
Sebelum tiba waktunya kafe tutup, Ricky mengambil uang yang ada di kasir dan menyisakan uang receh untuk kembalian pada konsumen saja.
”mbak Ros, maaf, aku mau ambil uang di kas, biasa, ini tugas dari papah. Nanti aku tinggalin sebagian untuk uang kembalian ya,”
Rosita lalu turun dari kursi kasir,
”Iya mas Ricky.. silahkan.”
"Sebentar lagi aku dijemput sama sopir, jadi aku pulang duluan ya mbak,"
”Iya mas Rick.. gak apa-apa, silakan,”
Ricky pun tampak jalan menuju ke arah pintu keluar Mall. Matahari sore sudah memerah condong ke barat, tak lama kemudian terlihat mobil yang menjemput Ricky yang sudah menunggunya di pintu masuk Mall. Baru saja mobil yang menjemput Ricky keluar dari mall, mobil pak Deden tampak masuk dan parkir disitu.
Pak Deden turun dari mobil sambil menggendong Maya. Dia tampak terburu-buru, karena tangisan Maya yang belum berhenti sejak dijemput dari tempat penitipan bayi..
”Ya Allah pak Den, Maya kenapa..?”
”Ga tau Ros.. tadi tempat penitipan itu telpon saya, katanya mereka tutup jam lima, makanya saya jemput dan bawa kesini Ros..”
”Oh ya sudah pak Den ga apa-apa, mungkin dia mau menyusu..”
Rosita lalu mengambil Maya dari gendongan pak Deden,
”Dia mau mimi pak Den, dimana aku bisa kasih miminya?” tanya Rosita.
Pak Deden kebingungan, lalu menuju ke dapur menemui chef Wawan,
'Chef Wawan, ada ruangan yang bersih ga?"
"Buat apa pak?"
"Itu mbak Rosita mau menyusui bayinya.."
"Ooh ada pak,"
Chef Wawan pun jalan keluar dari dapur, dan memberitahukan gudang khusus untuk peralatan yang bersih,
”ayoo mbak.. disitu saja…”
Rosita menuju tempat yang ditunjuk chef Wawan, lalu masuk dan langsung menyusui Maya.
“Duuuh, kamu haus ya May… maafin ibu ya,”
Pada saat yang bersamaan, beberapa tamu sudah mengantri didepan kasir untuk pesan makanan, pak Deden melihatnya, lalu menuju ke dapur lagi dan meminta chef Wawan untuk menggantikan Rosita sebentar.
”Chef Wawan, bisa tolong lagi... itu tamu sudah ngantri, pegang kas sebentar ya,” kata pak Deden.
”Baik pak,”
”Ohya, Ricky sudah dijemput ya ?”
”Sudah sama mang Ujang baru saja tadi..” chef Wawan sambil jalan ke kursi kasir.
Chef Wawan duduk di kursi kasir, melayani konsumen yang sudah antri. Sedangkan Pak Deden duduk di kursi tidak jauh dari kasir.
Semakin malam, kafe itu justru makin ramai. Rosita tampak sibuk, dan Maya terlihat tidur dalam pelukan pak Deden.
Dia memang merindukan seorang bayi, setelah lima belas tahun menikah dengan isterinya, belum juga dapat momongan; itu sebabnya dia mengadopsi Ricky, maksudnya untuk pancingan, kalau isteri belum bisa hamil bertahun-tahun. Begitulah tradisi orang-orang tua zaman dulu.
Tiba saatnya kafe itu tutup, pak Deden lalu mengecek uang masuk ke kasir,
”Tumben malam ini rame, maaf aku cek uangnya Ros.. eh, uang yang dari pagi sudah diambil Ricky ya?”
”Sudah pak Den,”
Rosita lalu mengendong bayinya, dan duduk di satu kursi. Ruangan kafe sudah kosong, disitu terlihat Pelayan sibuk membersihkan meja-meja dan membawa piring serta beberapa gelas kotor ke arah dapur.
Beberapa saat kemudian, pak Deden mengajak Rosita keluar dari kafe,
”Ayoo Ros kita pulang, ini kunci laci kasir, saya sudah sisakan uang kembalian disitu buat besok,”
”Baik pak Den,”
Baru saja mereka hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba bu Amilia keluar dari mobilnya,. yang diparkir persis disamping mobil pak Deden,
”Ooh, jadi ini isteri yang baru ya pah..?”
Rosita kaget,
”Ibu..?”
”Ga usah panggil ibu, aku bukan ibumu !” sahut bu Amilia ketus.
Lampu diseputar Mall tampak mulai mati satu persatu. Pegawai-pegawai yang keluar hendak pulang dan lewat disitu menoleh kearah Rosita. Mereka sempat perhatikan sejenak, tapi kemudian jalan lagi.
"Sebentar Ros, kamu masuk dulu ke mobil."
Pak Deden menghampiri isterinya.
Rosita tidak menggubris perintah pak Deden, ia hanya memperhatikan ibu Amilia.Pak Deden mendekati tubuh isterinya, menyuruhnya masuk kedalam mobil, sambil merangkul pundaknya,
”Sudahlah mah.. ga baik ribut disini, malu tuh dilihat orang banyak,"
"Papah sudah punya bayi dari perempuan itu? Bagus ya permainan papah.. sampai gak ketahuan sama mamah""Sudah mah, sudaaah.... Nanti kita bicarakan di rumah aja ya,”Pak Deden menyuruh isterinya masuk ke dalam mobil sambil mendorong tubuh bu Amilia supaya duduk.
Rosita yang masih berdiri disamping mobil pak Deden, tampak mematung melihatnya. Ia merasa tidak enak, seolah-olah telah merebut suami orang lain yang baru saja dikenalnya.
”iya tapi papah kenapa pake pamer didepan Ricky segala..”
”Sudah sudah.. papah bisa jelasin nanti, “
Bu Amilia sebenarnya type ibu-ibu yang arogan, tapi ia tidak berani melawan suaminya. Akhirnya bu Amilia pun masuk kedalam mobilnya, lalu mobilnya pergi situ.
Pak Deden jalan kembali kearah mobilnya,
"Kamu kenapa gak masuk ke mobil Ros ?"Rosita tak berani mengucapkan apa-apa, selain ingin mendengar rencana selanjutnya dari pak Deden. Ia pun lalu masuk kedalam mobil.
”Kita kemana lagi nih pak Den?”
”Pulang dulu ya Ros.. kamu kan cape. Oya, tadi saya udah pesan perabot rumah yang dibutuhkan rumah tadi, jadi besok, kamu sudah bisa masuk kesitu. Tapi baby sitter masih belum dapat, gimana ya Ros..?”
”Ya sudah, nanti Ros yang cari baby sitternya. Terimakasih ya pak Den,”
Mobil pak Deden pun lalu melaju meninggalkan halaman parkir Mall.
***
Beberapa saat kemudian, setelah pengunjung butiknya sepi, Satria Irawan muncul di pintu masuk. Seperti biasa Rosita menyalaminya, "Selamat pagi pak Satria," "Pagi Rosita" sahut Satria Irawan sumringah. Senyumnya menghias bibir lelaki tampan ini. Kemudian Rosita jalan ke ruang belakang kearah dapur untuk membuatkan minuman. Satria Irawan duduk di sofa tempat biasa dia duduk disitu. Tak lama, Rosita membawakan teh hangat manis dan menaruhnya diatas meja depan sofa. Rosita lalu duduk disofa berhadapan dengan Satria Irawan disitu. Satria Irawan menengok ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 10.30. lalu menoleh ke wajah Rosita. "Maaf ya, aku terlambat datang kesini, tadi ada urusan sedikit di kantor." "Iya pak.. gak apa-apa," sahut Rosita kurang bersemangat. Satria Irawan mengambil cangkir yang berisi teh manis hangat, "Terimakasih ya tehnya.." Rosita hanya menganguk pelan, lalu menundukkan kepalanya. Ia tak dapat menutupi perasaannya yang merasa gelisah mendenga
Bu Minah mencoba menenangkan hatinya, ia berusaha mengatur nafasnya. Perlahan menarik nafas dari lubang hidung sampai perutnya mengembung, lalu pelan-pelan dihembuskan lewat mulutnya. Tiga kali bu Minah mengulangi hal tersebut. Terasa emosi yang tadi menggelegak didadanya, agak mereda. Bu Lastri yang melihat hal itu, mencibirkan bibirnya, "Sakit tuh bukannya narik nafas doang.. minum obatnya dan jangan banyak tingkah," "Kamu gak perlu ngatur saya, urus saja diri kamu sendiri. Saya mau istirahat sekarang, gak usah temani saya.. Keluar kamu." ucap bu Minah tegas. Bu Lastri menatap tajam ke wajah bu Minah, tapi bu Minah memalingkan wajahnya. Bu Lastri tersinggung, ia merasa diusir. "Jangan keras kepala bu. ibu itu sudah tidak berdaya, jantungnya sudah pakai ring, kalau saya tidak tungguin, nanti ada apa-apa, bapak nyalahin saya lagi.." "Memang kamu banyak salah. Sudah gak usah debat.. kalau saya butuh bantuan kamu, nanti saya panggil," Bu Lastri tidak menjawab, ia langsung
Grompyang.... Saat suara panci yang ikut terjatuh ke lantai, membuat bu Lastri tersenyum kecil dengan ekspresi wajah nyinyir, "Rasain !" umpat hatinya. Di dalam kamar Rosita, disamping tubuh Maya, tampak bu Lastri bangkit dari ranjang, lalu jalan ke luar menuju ke dapur. Ia melihat bu Minah tergeletak di lantai dapur dalam keadaan pingsan. "Waduh, nyusahin aja jadinya si ibu... saya gak kuat ngangkat badannya, gimana ya?. Kalau diseret dari sini ke kamar, jadinya kayak film horor...hehe" bu Lastri ngoceh sendiri sambil senyum-senyum. Tiba-tiba suara motor Jerry terdengar masuk ke halaman rumah. "Wah kebetulan sibapak sudah datang..." Bu Lastri keluar dari dapur langsung menghampiri Jerry yang baru saja masuk ke ruang tamu. "Pak.. pak.. ibu jatuh di dapur..." "Hah?" Jerry kaget, dia bergegas masuk, melempar tas ranselnya ke kursi ruang makan, langsung menuju ke dapur. "Astaghfirullah.. Minah.. Minah.. bangun Minah.." ucap Jerry sambil menggoyang-goyangkan tubuh
Kesibukan Rosita di Butik menjadikan kebebasan bagi bu Lastri menjalin hubungannya dengan pak Deden.Beberapa kali Ricky memergoki Maya (bayinya Rosita) yang dibawa ke rumah kontrakan itu yang nyaris hampir disetiap pagi. Hingga pada suatu pagi, bu Lastri berpapasan kepergok oleh Ricky. "Maaf mas, terganggu tidurnya ya?" sapa bu Lastri berlagak ramah.Ricky menatap ke arah wajah bu Lastri, dia tidak kaget karena dia tahu persis bahwa perempuan itu sudah sering datang kesitu, dari aroma tubuh yang dihirupnya. Justru bu Lastri yang jadi salah tingkah, karena ia tidak tahu kalau Ricky yang menatapnya tajam itu, buta."Oh gak apa-apa.. tapi mbak siapa ya?""Mmm.. anu.. anu saya pengasuh bayinya non Rosita,"Degh ! Ricky kaget, tapi dia bisa sembunyikan ekspresinya. Baginya perempuan ini bukan perempuan baik-baik, yang seenaknya mendatangi papah angkatnya, dan entah apa yang mereka lakukan berduaan di dalamkamar itu."Ada urusan apa ya dengan papah saya?"Bu Lastri kebingungan mencari j
Hutang budi, memang sulit untuk dilupakan begitu saja. hal tersebut dirasakan oleh orang yang berhati tulus dan baik hati. Sedangkan bu Amalia bukanlah type orang yang tulus, ia berbaik hati terhadap orang lain, dengan tujuan sebuah imbalan yang saling menguntungkan. hanya itu! Bu Amalia merasa sedikit lega, dengan rencana Lina bersedia datang ke kantor Satria Irawan. Wajahnya terlihat amat bersemangat. Ia lalu teringat pada Ricky, bagaimana keadaan anak muda yang cacat matanya, yang pernah diurusnya selama bertahun-tahun itu. Benarkah Satria Irawan telah menemukan pendonor mata bagi Ricky?. Tiba-tiba ia merasa kangen pada anak itu. Bukan rasa rindu seorang ibu terhadap anaknya, tapi rasa rindu atas segala kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh adiknya, disaat bu Amalia butuh uang. ** Beberapa hari kemudian, Satria Irawan mendengar laporan dari kang Deden. "Kang Sat, kemarin pagi ada berita Erna sudah meninggal dunia. Saya langsung berangkat ke rumah sakit bersama Ricky, dengan
Selesai membisikkan sesuatu di telinganya, Lina menatap lekat ke wajah bu Amalia, dahinya mengernyit, terlihat ia sedang berpikir.Bu Amalia bingung menafsirkan tatapan Lina, ia jadi salah tingkah dan kehilangan gaya."Emmhm, maksudnya gini Lin.."Lina memotong,"Enggak teh, Lina gak berani pake begitu-begituan.. iya kalau bisa kena beneran, kalau gak.. nanti Lina malah diapain lagi gitu.. kayak dulu, kang Satria pernah KDRT ke Lina,""KDRT..?""Eeh, emang teteh belum tahu ceritanya ya? ""Maksudnya KDRT itu apa?" tanya bu Amalia."Itu singkatan, Kekerasan Dalam Rmah Tangga teh.."Bu Amalia mengangguk-angguk pelan."Oooh.. Gimana ceritanya..."Lina menarik nafas panjang,"Waktu itu, Lina sempat melaporkan ke pengadilan bahwa kang Satria telah menganiaya Lina.""Ah, masa sih?... emang kamu dipukul gitu?" Bu Amalia tidak percaya, dan penasaran.Lina menatap ke arah lain, pikirannya teringat kembali ketika terjadi pertengkaran pada hari itu."Enggak teh.. bukan dipukul. Kejadiannya sewa