Share

04. Malaikat penolong

Pak Jerry mengantar mas Sapto sampai pagar rumah,

”Maafkan Rosita ya mas..”

”Iya pak,” sahut mas Sapto datar.

Mas Sapto dan mas Ipung lalu pergi dari situ.

Jerry masuk ke dalam rumah, langsung menggedor pintu kamar Rosita,

”Rositaa.. Rooos ! kamu gak sopan, marah-marah sama bapak didepan tamu,”

Rosita acuh, dia tidak peduli lagi pada bapaknya. Saat ini, ia bahkan menyesal punya bapak seperti Jerry. Bisa menasehati anaknya, tapi kelakuannya sendiri seperti itu.

Sebenarnya Jerry memanggil Rosita, ingin tahu soal uangnya dapat darimana?. Jerry tadi juga sempat melihat, tas-tas belanjaan yang berserakan di lantai kamar Rosita, Jerry jadi curiga, tentu saja, Rosita juga sudah bisa membaca reaksi bapaknya tadi.

”Roos ! buka pintunya, atau bapak dobrak pintunya nih,”

"Terserah bapak, mau didobrak silakan saja.. ini kan rumah bapak juga,"

Sudah hampir satu tahun, rumah ini suasananya berubah jadi seperti dineraka, setiap hari ada saja yang salah dimata bapak; lalu dia marah-marah kepada siapa saja yang ada disitu. Sempat terlintas dalam benak Rosita, apakah ada sesuatu yang mendorong sikap bapaknya jadi sekasar itu? Apa karena faktor usianya? Namun Rosita tak mampu berbuat banyak.

”Bodo amatlah dengan kelakuan bapak.. yang penting kalau pak Den ngajak nikah, aku sih mau aja, walau jadi isteri kedua juga gak apa-apa. Sepertinya dia orang baik.” kata hatinya.

Rosita merasa bahwa usul pak Deden sudah benar, pindah ke rumah baru yang dekat dengan kantornya. Ia memutuskan untuk segera pindah rumah, demi menyelamatkan perkembangan jiwa bayinya, serta hubungannya dengan pak Deden.

**

Esok paginya sesuai dengan janji, pak Deden pagi-pagi sekali sudah ada di rumah Jerry. Rosita dan Maya terlihat sudah menunggunya. Berpakaian rapi dan siap untuk pergi. Tapi tiba-tiba Jerry muncul dari arah ruang makan. Dengan terpaksa Rosita mengenalkan pak Deden kepada bapaknya.

”Ini pak Deden yang mau masukkan Ros kerja,” kata Rosita pada bapaknya.

Jerry dan pak Deden bersalaman.

”Jerry”

”Deden,”

Mereka saling tatap. Sebagai lelaki Jerry tentu tidak mau puterinya dipermainkan oleh laki-laki yang kini ada didepannya.

”Oh baguslah kalau begitu.. dimana kantornya pak Den..?”

”Jalan Buncit Raya pak..”

“Iya, saya tahu jln Buncit Raya,”

Rosita langsung memotong pembicaraan, ia mencegah pak Deden ngobrol berkepanjangan dengan bapaknya.

”Ayo pak Den kita jalan.”

”Kamu mau kerja bawa bayi?”

”Iya pak, disana ada baby sitter yang jaga..” sahut Rosita singkat.

Rosita tak mau berdebat dengan omong kosong bapaknya lagi. Rosita mulai menjaga jarak dengan bapaknya. Sikapnya kaku, tidak ada basabasinya, Kalau bukan karena ingat pada adik dan ibunya, ia merasa menyesal dilahirkan ke dunia ini. Kali ini Jerry kalah langkah dengan Rosita. Ia tahu, bapaknya tak punya alasan kuat melarang kepergian Rosita bersama pak Deden.

”Kami pamit ya pak Jerry,”

”Iya, hati-hati di jalan,”

”Assalammu’alaikum,” kata pak Deden

”Wa alaikum salam,” sahut Jerry pelan.

** 

Mobil pak Deden pun melaju meninggalkan rumah Jerry.

”Kita cari rumah dulu ya Ros..”

”Ya terserah pak Den saja..”

”Kok terserah melulu, kasih saran dong?”

”Saran? Bagusnya sih kita sarapan dulu pak,”

”Oh iya yah.. sampai lupa.. gara-gara Maya nih.”

”Lho kok, Maya jadi terlibat..?”

Pak Deden salah tingkah,

”Iya kemarin kan gara-gara Maya kita jadi bisa kenalan.. hehe” pak Deden tersenyum dengan rasa kemenangannya.

”Oh iya yaah.. hihihi,” Rosita ikut tertawa mengingat pertemuan mereka kemarin.

”Kalau gak ada Maya, mungkin kita gak pernah kenalan Ros..”

”Masa sih?”

”Iya. serius, mestinya kemarin saya dapat jadwal pemotretan untuk peta lokasi. Tapi, pagi-pagi dapat kabar dibatalkan. Trus saya ke resto, mau sarapan. Eh, ada ibu yang ninggalin bayinya di kursi..”

”Ooh.. hahaha, “ Rosita terkekeh-kekeh.

Mobil mewah itu sudah sampai ke jalan Duren Tiga, lalu belok ke kiri ke arah jalan Buncit Raya. Persis di depan kantornya, pak Deden memberitahukan pada Rosita,

”Itu kantor saya, nah kita cari rumah di sekitar kemang atau daerah cipete mungkin lebih dekat ya..”

”Ros kurang piknik pak Den, jadi ga tau nama-nama jalan. Apalagi ini sudah masuk daerah Jakarta Selatan, Ros sejak dulu berkegiatan cuma diseputar Jakarta Timur.. ”

”Oooh jadi Ros gadis pingitan ya?”

”Bisa iya, bisa juga enggak. Pokoknya Ros sekolah sampe tamat SMA, trus bapak bilang, perempuan itu harus diam didalam rumah, gak boleh kemana-mana, tunggu saja jodoh datang sendiri kerumah. Ya gak mungkinlah jodoh ujug-ujug datang kerumah, Cinderella aja harus pergi ke pesta, baru bisa ketemu sama pangeran yang jatuh cinta,”

”Trus Ros ketemu bapaknya Maya dimana?” tanya Pak Deden penasaran.

”Di acara Jakarta Fair, waktu itu kita sama-sama jadi sales, dipajang pada satu produk mobil. Saling jatuh cinta, trus dilamar, trus Ros langsung diboyong ke Jawa Tengah, karena di Jakarta sulit cari kerja,”

”Ooh begitu.. trus gimana?”

”Udah aah pak Den, gak usah membangkitkan luka lama deh..”

”Ciee.. ciieee…, okay, forget it about the past”

”Apa tuh artinya pak Den?”

”Lupakan saja masa lalu”

Pak Deden memutar balik arah mobilnya,

”Sebentar ya Ros, kita mampir dulu. Tadi malam saya baca iklan rumah dikontrakkan di daerah sini, kita lihat-lihat saja dulu ya,”

Rosita mengangguk pelan,

”Ya Tuhan, ternyata laki-laki ini gak main-main, perhatiannya tulus, tapi bagaimana kalau bapak ikut campur lagi? Aah.. gimana nanti sajalah..” kata batin Rosita.

”Naah, itu dia rumahnya Ros..”

Mobil pak Deden parkir di seberang rumah yang bertuliskan “Rumah dikontrakan/dijual”, Pak Deden dan Rosita lalu turun dari mobil, jalan menuju rumah tersebut, namun pagarnya terkunci, digembok.

”Permisi, permisi..” Pak Deden sambil menggerakkan gemboknya.

”Aduh saya lupa catat nomer handphonenya, ibu siapa gitu..” kata Deden.

Tak ada sahutan dari dalam rumah.

”Permisi, spada…”

Tiba-tiba sipemilik rumah muncul dari arah rumah di sebelah.

”Mau kontrak ya pak..” kata bu Ana.

Pak Deden dan Rosita menengok bersamaan ke arah datangnya bu Ana.

”Iya bu,”

Bu Ana menghampiri, lalu membuka kunci gembok pagar, dan mengajak mereka masuk.

”Saya tinggal di rumah sebelah.. sebenarnya ini rumah anak saya, dia dapat tugas keluar pulau, daripada kosong, lebih baik dikontrakkan saja,” bu Ana menjelaskan asal usul rumah tersebut.

Mata Rosita menatap ke sekeliling, bangunan rumah baru yang masih bersih dengan lantai terlihat kinclong. Pak Deden dan Rosita masuk melihat-lihat kamar yang dibuka pintunya oleh bu Ana.

”Gimana? Kamu suka ga rumahnya?”

”Iyya, bagus, enak bangunan baru. Kamarnya ada berapa bu?”

”Kamar dibawah ada tiga, diatas dua..” jawab bu Ana.

”Kamu mau lihat keatas?” tanya pak Deden.

"Hayuuk.."

Mereka lalu menaiki tangga ke atas. Di lantai 2 ada ruangan luas kosong, kamar tidur dua dan kamar mandi satu.

”Tapi kamarnya banyak sekali pak Den. Ros kan cuma bertiga dengan baby sitter,”

”Ya gak apa-apa.. siapa tahu keluargamu mau nginap disini, jadi ya tinggal tidur aja.”

Rosita terdiam sesaat.

”Ya terserah pak Den aja.. kalau Ros sih sudah suka sama rumah ini. Ada garasi buat mobil pak Den parkir, jadi ga parkir di pinggir jalan. Ada paviliunnya juga buat pak Den istirahat disitu, dapurnya cukup luas, cocoklah pak Den,”

”Jadi kamu setuju Ros?”

Rosita mengangguk,

”Iya pak.. “

Pak Deden dan bu Ana lalu bernegosiasi soal harga kontrak rumah itu, sampai deal.

”Oke bu, kita mau kontrak rumah ini. Jadi saya tunggu ibu bikin surat perjanjian kontraknya, baru saya lunasi ya.. ini saya transfer untuk uang muka dulu bu.. nomer hape ibu berapa?”

”Ibu Ana, 0811xxxxxx,”

Pak Deden tampak memasukkan nomor hape bu Ana.

”Sudah masuk ya bu..” pak Deden sambil memperlihatkan laporan transfer uang muka yang tertera di hapenya.

”Kapan kita bisa pindah kesini bu?”

”Ya tergantung pelunasan dari bapak saja,” jawab bu Ana.

”Oke, kalau begitu besok saya lunasi. Surat perjanjiannya besok sudah jadi ya bu Ana”

”Iya pak,”

”Ya sudah hayuk pak Den.. Bu Ana kami pamit dulu ya..” kata Rosita.

”Iya.. ibu namanya siapa ya?”

”Panggil saya Ros aja bu..”

”Baik dek Ros.”

Pak Deden jalan menuju ke mobilnya, Rosita pun mengikuti langkahnya.

Di dalam mobil,

”Pak.. perutku udah ga kompak nih..”

”Oh iya yah.. saya kok jadi lupaan sih.. maaf ya Ros,”

Mobil pak Deden melaju meninggalkan rumah bu Ana.

**

Sampai akhirnya mobil itu parkir di satu kios kecil tempat makan. Disitu terlihat tulisan, sedia bubur ayam, nasi tim, dan mi ayam. Rosita hanya mengikuti langkah pak Deden masuk ke kios tersebut. Setelah memesan makanan, pak Den memperhatikan wajah Rosita.

”Kamu sepertinya sedang ada masalah ya?”

Rosita tersentak. ”Ga ada pak Den,”

”Sudahlah gak perlu bohong sama saya, ada apa Ros..”

Rosita bingung, bagaimana sebaiknya menceritakan kegalauan hatinya dengan kedatangan mas Sapto dan juga kebohongan rahasia perilaku bapaknya yang tiba-tiba terbongkar.

”Kemarin bapaknya Maya datang..” hanya itu yang terucap dari bibirnya yang masih kelu.

”Sudah, sudah.. gak perlu diteruskan. Saya sudah tahu selanjutnya. Bagaimana kalau saya tawarkan Ros sementara istirahat saja dulu di hotel. Kamu menyusui bayi gak boleh stress, kasian bayinya ya Ros.. Kamu istirahat saja di hotel, nanti setelah saya selesai meeting di kantor, kita cari perabot untuk isi rumah tadi..”

Hotel? 

Rosita kaget, ia tidak bisa menerka-nerka apa yang bakal terjadi kalau Rosita menginap di hotel bersama Maya dan juga pak Deden.

”Gimana? Jawab dong Ros… Saya cuma gak mau lihat kamu stress. Di hotel kamu bisa merasa nyaman. Mau tidur atau nonton tivi, terserah.. sesuka kamu saja.”

Rosita menatap pak Deden dengan tatapan kosong.

***

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status