Pak Jerry mengantar mas Sapto sampai pagar rumah,
”Maafkan Rosita ya mas..”
”Iya pak,” sahut mas Sapto datar.
Mas Sapto dan mas Ipung lalu pergi dari situ.
Jerry masuk ke dalam rumah, langsung menggedor pintu kamar Rosita,
”Rositaa.. Rooos ! kamu gak sopan, marah-marah sama bapak didepan tamu,”
Rosita acuh, dia tidak peduli lagi pada bapaknya. Saat ini, ia bahkan menyesal punya bapak seperti Jerry. Bisa menasehati anaknya, tapi kelakuannya sendiri seperti itu.
Sebenarnya Jerry memanggil Rosita, ingin tahu soal uangnya dapat darimana?. Jerry tadi juga sempat melihat, tas-tas belanjaan yang berserakan di lantai kamar Rosita, Jerry jadi curiga, tentu saja, Rosita juga sudah bisa membaca reaksi bapaknya tadi.
”Roos ! buka pintunya, atau bapak dobrak pintunya nih,”
"Terserah bapak, mau didobrak silakan saja.. ini kan rumah bapak juga,"Sudah hampir satu tahun, rumah ini suasananya berubah jadi seperti dineraka, setiap hari ada saja yang salah dimata bapak; lalu dia marah-marah kepada siapa saja yang ada disitu. Sempat terlintas dalam benak Rosita, apakah ada sesuatu yang mendorong sikap bapaknya jadi sekasar itu? Apa karena faktor usianya? Namun Rosita tak mampu berbuat banyak.
”Bodo amatlah dengan kelakuan bapak.. yang penting kalau pak Den ngajak nikah, aku sih mau aja, walau jadi isteri kedua juga gak apa-apa. Sepertinya dia orang baik.” kata hatinya.
Rosita merasa bahwa usul pak Deden sudah benar, pindah ke rumah baru yang dekat dengan kantornya. Ia memutuskan untuk segera pindah rumah, demi menyelamatkan perkembangan jiwa bayinya, serta hubungannya dengan pak Deden.
**
Esok paginya sesuai dengan janji, pak Deden pagi-pagi sekali sudah ada di rumah Jerry. Rosita dan Maya terlihat sudah menunggunya. Berpakaian rapi dan siap untuk pergi. Tapi tiba-tiba Jerry muncul dari arah ruang makan. Dengan terpaksa Rosita mengenalkan pak Deden kepada bapaknya.
”Ini pak Deden yang mau masukkan Ros kerja,” kata Rosita pada bapaknya.
Jerry dan pak Deden bersalaman.
”Jerry”
”Deden,”
Mereka saling tatap. Sebagai lelaki Jerry tentu tidak mau puterinya dipermainkan oleh laki-laki yang kini ada didepannya.
”Oh baguslah kalau begitu.. dimana kantornya pak Den..?”
”Jalan Buncit Raya pak..”
“Iya, saya tahu jln Buncit Raya,”
Rosita langsung memotong pembicaraan, ia mencegah pak Deden ngobrol berkepanjangan dengan bapaknya.
”Ayo pak Den kita jalan.”
”Kamu mau kerja bawa bayi?”
”Iya pak, disana ada baby sitter yang jaga..” sahut Rosita singkat.
Rosita tak mau berdebat dengan omong kosong bapaknya lagi. Rosita mulai menjaga jarak dengan bapaknya. Sikapnya kaku, tidak ada basabasinya, Kalau bukan karena ingat pada adik dan ibunya, ia merasa menyesal dilahirkan ke dunia ini. Kali ini Jerry kalah langkah dengan Rosita. Ia tahu, bapaknya tak punya alasan kuat melarang kepergian Rosita bersama pak Deden.
”Kami pamit ya pak Jerry,”
”Iya, hati-hati di jalan,”
”Assalammu’alaikum,” kata pak Deden
”Wa alaikum salam,” sahut Jerry pelan.
**
Mobil pak Deden pun melaju meninggalkan rumah Jerry.
”Kita cari rumah dulu ya Ros..”
”Ya terserah pak Den saja..”
”Kok terserah melulu, kasih saran dong?”
”Saran? Bagusnya sih kita sarapan dulu pak,”
”Oh iya yah.. sampai lupa.. gara-gara Maya nih.”
”Lho kok, Maya jadi terlibat..?”
Pak Deden salah tingkah,
”Iya kemarin kan gara-gara Maya kita jadi bisa kenalan.. hehe” pak Deden tersenyum dengan rasa kemenangannya.
”Oh iya yaah.. hihihi,” Rosita ikut tertawa mengingat pertemuan mereka kemarin.
”Kalau gak ada Maya, mungkin kita gak pernah kenalan Ros..”
”Masa sih?”
”Iya. serius, mestinya kemarin saya dapat jadwal pemotretan untuk peta lokasi. Tapi, pagi-pagi dapat kabar dibatalkan. Trus saya ke resto, mau sarapan. Eh, ada ibu yang ninggalin bayinya di kursi..”
”Ooh.. hahaha, “ Rosita terkekeh-kekeh.
Mobil mewah itu sudah sampai ke jalan Duren Tiga, lalu belok ke kiri ke arah jalan Buncit Raya. Persis di depan kantornya, pak Deden memberitahukan pada Rosita,
”Itu kantor saya, nah kita cari rumah di sekitar kemang atau daerah cipete mungkin lebih dekat ya..”
”Ros kurang piknik pak Den, jadi ga tau nama-nama jalan. Apalagi ini sudah masuk daerah Jakarta Selatan, Ros sejak dulu berkegiatan cuma diseputar Jakarta Timur.. ”
”Oooh jadi Ros gadis pingitan ya?”
”Bisa iya, bisa juga enggak. Pokoknya Ros sekolah sampe tamat SMA, trus bapak bilang, perempuan itu harus diam didalam rumah, gak boleh kemana-mana, tunggu saja jodoh datang sendiri kerumah. Ya gak mungkinlah jodoh ujug-ujug datang kerumah, Cinderella aja harus pergi ke pesta, baru bisa ketemu sama pangeran yang jatuh cinta,”
”Trus Ros ketemu bapaknya Maya dimana?” tanya Pak Deden penasaran.
”Di acara Jakarta Fair, waktu itu kita sama-sama jadi sales, dipajang pada satu produk mobil. Saling jatuh cinta, trus dilamar, trus Ros langsung diboyong ke Jawa Tengah, karena di Jakarta sulit cari kerja,”
”Ooh begitu.. trus gimana?”
”Udah aah pak Den, gak usah membangkitkan luka lama deh..”
”Ciee.. ciieee…, okay, forget it about the past”
”Apa tuh artinya pak Den?”
”Lupakan saja masa lalu”
Pak Deden memutar balik arah mobilnya,
”Sebentar ya Ros, kita mampir dulu. Tadi malam saya baca iklan rumah dikontrakkan di daerah sini, kita lihat-lihat saja dulu ya,”
Rosita mengangguk pelan,
”Ya Tuhan, ternyata laki-laki ini gak main-main, perhatiannya tulus, tapi bagaimana kalau bapak ikut campur lagi? Aah.. gimana nanti sajalah..” kata batin Rosita.
”Naah, itu dia rumahnya Ros..”
Mobil pak Deden parkir di seberang rumah yang bertuliskan “Rumah dikontrakan/dijual”, Pak Deden dan Rosita lalu turun dari mobil, jalan menuju rumah tersebut, namun pagarnya terkunci, digembok.
”Permisi, permisi..” Pak Deden sambil menggerakkan gemboknya.
”Aduh saya lupa catat nomer handphonenya, ibu siapa gitu..” kata Deden.
Tak ada sahutan dari dalam rumah.
”Permisi, spada…”
Tiba-tiba sipemilik rumah muncul dari arah rumah di sebelah.
”Mau kontrak ya pak..” kata bu Ana.
Pak Deden dan Rosita menengok bersamaan ke arah datangnya bu Ana.
”Iya bu,”
Bu Ana menghampiri, lalu membuka kunci gembok pagar, dan mengajak mereka masuk.
”Saya tinggal di rumah sebelah.. sebenarnya ini rumah anak saya, dia dapat tugas keluar pulau, daripada kosong, lebih baik dikontrakkan saja,” bu Ana menjelaskan asal usul rumah tersebut.
Mata Rosita menatap ke sekeliling, bangunan rumah baru yang masih bersih dengan lantai terlihat kinclong. Pak Deden dan Rosita masuk melihat-lihat kamar yang dibuka pintunya oleh bu Ana.
”Gimana? Kamu suka ga rumahnya?”
”Iyya, bagus, enak bangunan baru. Kamarnya ada berapa bu?”
”Kamar dibawah ada tiga, diatas dua..” jawab bu Ana.
”Kamu mau lihat keatas?” tanya pak Deden.
"Hayuuk.."
Mereka lalu menaiki tangga ke atas. Di lantai 2 ada ruangan luas kosong, kamar tidur dua dan kamar mandi satu.
”Tapi kamarnya banyak sekali pak Den. Ros kan cuma bertiga dengan baby sitter,”
”Ya gak apa-apa.. siapa tahu keluargamu mau nginap disini, jadi ya tinggal tidur aja.”
Rosita terdiam sesaat.
”Ya terserah pak Den aja.. kalau Ros sih sudah suka sama rumah ini. Ada garasi buat mobil pak Den parkir, jadi ga parkir di pinggir jalan. Ada paviliunnya juga buat pak Den istirahat disitu, dapurnya cukup luas, cocoklah pak Den,”
”Jadi kamu setuju Ros?”
Rosita mengangguk,
”Iya pak.. “
Pak Deden dan bu Ana lalu bernegosiasi soal harga kontrak rumah itu, sampai deal.”Oke bu, kita mau kontrak rumah ini. Jadi saya tunggu ibu bikin surat perjanjian kontraknya, baru saya lunasi ya.. ini saya transfer untuk uang muka dulu bu.. nomer hape ibu berapa?”
”Ibu Ana, 0811xxxxxx,”
Pak Deden tampak memasukkan nomor hape bu Ana.
”Sudah masuk ya bu..” pak Deden sambil memperlihatkan laporan transfer uang muka yang tertera di hapenya.
”Kapan kita bisa pindah kesini bu?”
”Ya tergantung pelunasan dari bapak saja,” jawab bu Ana.
”Oke, kalau begitu besok saya lunasi. Surat perjanjiannya besok sudah jadi ya bu Ana”
”Iya pak,”
”Ya sudah hayuk pak Den.. Bu Ana kami pamit dulu ya..” kata Rosita.
”Iya.. ibu namanya siapa ya?”
”Panggil saya Ros aja bu..”
”Baik dek Ros.”
Pak Deden jalan menuju ke mobilnya, Rosita pun mengikuti langkahnya.
Di dalam mobil,
”Pak.. perutku udah ga kompak nih..”
”Oh iya yah.. saya kok jadi lupaan sih.. maaf ya Ros,”
Mobil pak Deden melaju meninggalkan rumah bu Ana.
**
Sampai akhirnya mobil itu parkir di satu kios kecil tempat makan. Disitu terlihat tulisan, sedia bubur ayam, nasi tim, dan mi ayam. Rosita hanya mengikuti langkah pak Deden masuk ke kios tersebut. Setelah memesan makanan, pak Den memperhatikan wajah Rosita.
”Kamu sepertinya sedang ada masalah ya?”
Rosita tersentak. ”Ga ada pak Den,”
”Sudahlah gak perlu bohong sama saya, ada apa Ros..”
Rosita bingung, bagaimana sebaiknya menceritakan kegalauan hatinya dengan kedatangan mas Sapto dan juga kebohongan rahasia perilaku bapaknya yang tiba-tiba terbongkar.
”Kemarin bapaknya Maya datang..” hanya itu yang terucap dari bibirnya yang masih kelu.
”Sudah, sudah.. gak perlu diteruskan. Saya sudah tahu selanjutnya. Bagaimana kalau saya tawarkan Ros sementara istirahat saja dulu di hotel. Kamu menyusui bayi gak boleh stress, kasian bayinya ya Ros.. Kamu istirahat saja di hotel, nanti setelah saya selesai meeting di kantor, kita cari perabot untuk isi rumah tadi..”
Hotel?
Rosita kaget, ia tidak bisa menerka-nerka apa yang bakal terjadi kalau Rosita menginap di hotel bersama Maya dan juga pak Deden.”Gimana? Jawab dong Ros… Saya cuma gak mau lihat kamu stress. Di hotel kamu bisa merasa nyaman. Mau tidur atau nonton tivi, terserah.. sesuka kamu saja.”
Rosita menatap pak Deden dengan tatapan kosong.
***
Beberapa saat kemudian, setelah pengunjung butiknya sepi, Satria Irawan muncul di pintu masuk. Seperti biasa Rosita menyalaminya, "Selamat pagi pak Satria," "Pagi Rosita" sahut Satria Irawan sumringah. Senyumnya menghias bibir lelaki tampan ini. Kemudian Rosita jalan ke ruang belakang kearah dapur untuk membuatkan minuman. Satria Irawan duduk di sofa tempat biasa dia duduk disitu. Tak lama, Rosita membawakan teh hangat manis dan menaruhnya diatas meja depan sofa. Rosita lalu duduk disofa berhadapan dengan Satria Irawan disitu. Satria Irawan menengok ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 10.30. lalu menoleh ke wajah Rosita. "Maaf ya, aku terlambat datang kesini, tadi ada urusan sedikit di kantor." "Iya pak.. gak apa-apa," sahut Rosita kurang bersemangat. Satria Irawan mengambil cangkir yang berisi teh manis hangat, "Terimakasih ya tehnya.." Rosita hanya menganguk pelan, lalu menundukkan kepalanya. Ia tak dapat menutupi perasaannya yang merasa gelisah mendenga
Bu Minah mencoba menenangkan hatinya, ia berusaha mengatur nafasnya. Perlahan menarik nafas dari lubang hidung sampai perutnya mengembung, lalu pelan-pelan dihembuskan lewat mulutnya. Tiga kali bu Minah mengulangi hal tersebut. Terasa emosi yang tadi menggelegak didadanya, agak mereda. Bu Lastri yang melihat hal itu, mencibirkan bibirnya, "Sakit tuh bukannya narik nafas doang.. minum obatnya dan jangan banyak tingkah," "Kamu gak perlu ngatur saya, urus saja diri kamu sendiri. Saya mau istirahat sekarang, gak usah temani saya.. Keluar kamu." ucap bu Minah tegas. Bu Lastri menatap tajam ke wajah bu Minah, tapi bu Minah memalingkan wajahnya. Bu Lastri tersinggung, ia merasa diusir. "Jangan keras kepala bu. ibu itu sudah tidak berdaya, jantungnya sudah pakai ring, kalau saya tidak tungguin, nanti ada apa-apa, bapak nyalahin saya lagi.." "Memang kamu banyak salah. Sudah gak usah debat.. kalau saya butuh bantuan kamu, nanti saya panggil," Bu Lastri tidak menjawab, ia langsung
Grompyang.... Saat suara panci yang ikut terjatuh ke lantai, membuat bu Lastri tersenyum kecil dengan ekspresi wajah nyinyir, "Rasain !" umpat hatinya. Di dalam kamar Rosita, disamping tubuh Maya, tampak bu Lastri bangkit dari ranjang, lalu jalan ke luar menuju ke dapur. Ia melihat bu Minah tergeletak di lantai dapur dalam keadaan pingsan. "Waduh, nyusahin aja jadinya si ibu... saya gak kuat ngangkat badannya, gimana ya?. Kalau diseret dari sini ke kamar, jadinya kayak film horor...hehe" bu Lastri ngoceh sendiri sambil senyum-senyum. Tiba-tiba suara motor Jerry terdengar masuk ke halaman rumah. "Wah kebetulan sibapak sudah datang..." Bu Lastri keluar dari dapur langsung menghampiri Jerry yang baru saja masuk ke ruang tamu. "Pak.. pak.. ibu jatuh di dapur..." "Hah?" Jerry kaget, dia bergegas masuk, melempar tas ranselnya ke kursi ruang makan, langsung menuju ke dapur. "Astaghfirullah.. Minah.. Minah.. bangun Minah.." ucap Jerry sambil menggoyang-goyangkan tubuh
Kesibukan Rosita di Butik menjadikan kebebasan bagi bu Lastri menjalin hubungannya dengan pak Deden.Beberapa kali Ricky memergoki Maya (bayinya Rosita) yang dibawa ke rumah kontrakan itu yang nyaris hampir disetiap pagi. Hingga pada suatu pagi, bu Lastri berpapasan kepergok oleh Ricky. "Maaf mas, terganggu tidurnya ya?" sapa bu Lastri berlagak ramah.Ricky menatap ke arah wajah bu Lastri, dia tidak kaget karena dia tahu persis bahwa perempuan itu sudah sering datang kesitu, dari aroma tubuh yang dihirupnya. Justru bu Lastri yang jadi salah tingkah, karena ia tidak tahu kalau Ricky yang menatapnya tajam itu, buta."Oh gak apa-apa.. tapi mbak siapa ya?""Mmm.. anu.. anu saya pengasuh bayinya non Rosita,"Degh ! Ricky kaget, tapi dia bisa sembunyikan ekspresinya. Baginya perempuan ini bukan perempuan baik-baik, yang seenaknya mendatangi papah angkatnya, dan entah apa yang mereka lakukan berduaan di dalamkamar itu."Ada urusan apa ya dengan papah saya?"Bu Lastri kebingungan mencari j
Hutang budi, memang sulit untuk dilupakan begitu saja. hal tersebut dirasakan oleh orang yang berhati tulus dan baik hati. Sedangkan bu Amalia bukanlah type orang yang tulus, ia berbaik hati terhadap orang lain, dengan tujuan sebuah imbalan yang saling menguntungkan. hanya itu! Bu Amalia merasa sedikit lega, dengan rencana Lina bersedia datang ke kantor Satria Irawan. Wajahnya terlihat amat bersemangat. Ia lalu teringat pada Ricky, bagaimana keadaan anak muda yang cacat matanya, yang pernah diurusnya selama bertahun-tahun itu. Benarkah Satria Irawan telah menemukan pendonor mata bagi Ricky?. Tiba-tiba ia merasa kangen pada anak itu. Bukan rasa rindu seorang ibu terhadap anaknya, tapi rasa rindu atas segala kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh adiknya, disaat bu Amalia butuh uang. ** Beberapa hari kemudian, Satria Irawan mendengar laporan dari kang Deden. "Kang Sat, kemarin pagi ada berita Erna sudah meninggal dunia. Saya langsung berangkat ke rumah sakit bersama Ricky, dengan
Selesai membisikkan sesuatu di telinganya, Lina menatap lekat ke wajah bu Amalia, dahinya mengernyit, terlihat ia sedang berpikir.Bu Amalia bingung menafsirkan tatapan Lina, ia jadi salah tingkah dan kehilangan gaya."Emmhm, maksudnya gini Lin.."Lina memotong,"Enggak teh, Lina gak berani pake begitu-begituan.. iya kalau bisa kena beneran, kalau gak.. nanti Lina malah diapain lagi gitu.. kayak dulu, kang Satria pernah KDRT ke Lina,""KDRT..?""Eeh, emang teteh belum tahu ceritanya ya? ""Maksudnya KDRT itu apa?" tanya bu Amalia."Itu singkatan, Kekerasan Dalam Rmah Tangga teh.."Bu Amalia mengangguk-angguk pelan."Oooh.. Gimana ceritanya..."Lina menarik nafas panjang,"Waktu itu, Lina sempat melaporkan ke pengadilan bahwa kang Satria telah menganiaya Lina.""Ah, masa sih?... emang kamu dipukul gitu?" Bu Amalia tidak percaya, dan penasaran.Lina menatap ke arah lain, pikirannya teringat kembali ketika terjadi pertengkaran pada hari itu."Enggak teh.. bukan dipukul. Kejadiannya sewa