Share

07. Pertengkaran pak Deden dan isterinya.

Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 sebelum Pak Deden tertidur di sofa ruang keluarga, dan terbangun pukul 24.20, karena mendengar suara mesin mobil isterinya masuk ke garasi. Dia sengaja mematikan lampu ruang tengah. Ketika isterinya masuk, Pak Deden langsung menegurnya,

“Mamah darimana sih? hari gini baru pulang?”

Bu Amilia terkejut, ia tak menyangka suaminya menunggu di ruang tengah, tapi ia berusaha tenang, dan menjawabnya dengan jujur.

“Tadi mampir ke rumah Satria,”

“Oh, ya ga apa-apa.. tapi kenapa ga kabarin papah dulu. Mamah curhat lagi yah ke Satria.. ?”

“Iya pah.. soalnya papah udah ga punya waktu buat dengerin curhatan mamah, pagi-pagi sudah pergi, pulang malam langsung tidur. Udah gitu gak tidur di dalam, malah tidur di paviliun. Kapan waktu buat mamah ngobrol sama papah?”

“Ya kalau papah masuk ke kamar, nanti mamah malah keganggu tidurnya. Jadi ceritanya mamah masih mau ngobrol sama papah,”

“Iya dong, mamah kan masih isteri papah”

Pak Deden diam,

“Trus sekarang mamah mau curhat apa ke papah? Mumpung ada waktu nih..”

“Itu Rosita sudah punya bayi dari papah ya?”

“Iya.”

Bu Amilia berusaha tidak kaget, ia hanya memastikan saja, lagipula tadi sudah mendapat nasehat dari adiknya, Satria Irawan. Akan tetapi, ia tetap menegur kesalahan pak Deden yang tidak menghormatinya sebagai isteri.

“Itu artinya papah sudah berzina karena papah ga minta ijin dulu dari mamah; dan anak itu juga anak haram jadinya. Papah kan sudah haji, masa ga tahu aturan agama ?” 

"Trus kalau papah minta ijin ke mamah, apa mamah bakal ijinin?"

"Kenapa sih pah, harus selalu ada perempuan lain ?. Apa kekurangan mamah, ngomong dong.. biar bisa kita diskusikan, supaya mamah punya kesempatan untuk berubah..?"

Pak Deden hanya mendengarkan ucapan isterinya, karena dia tahu persis kalau memotong pembicaraannya, justru masalahnya jadi melebar kemana-mana.

"Jawab dong pah.."

"Sudah ngomongnya?"

"Yaa.. awalnya sih karena mamah juga. Maunya papah, mamah tuh ga perlu curiga sama papah, kalau jalan sama perempuan lain, belum tentu papah ada hubungan sama dia.."

"Laah.. itu siRosita gendong anak, katanya tadi bener anak papah..?"

"Iya, bener anak papah,"

Bu Amilia mulai terasa sakit yang menyesak didadanya, tapi ia sudah tak mau lagi meneteskan airmatanya didepan pak Deden, ia tidak mau dianggap lemah oleh suaminya.

"Trus maunya papah gimana?"

"Kok tanya papah.. mamah yang maunya gimana?. Mau terus kita bertengkar setiap malam, untuk hal-hal yang sepele?"

"Papah bilang ini hal sepele?. Ga pah, ini bukan hal sepele. Bagaimana kalau teman-teman mamah atau konsumen salon, yang lihat papah berduaan sama perempuan lain? Itu merusak kehormatan mamah,"

"Oh bilang aja kita sudah cerai begitu kan beres.."

"Jadi papah maunya cerai sama mamah?"

"Terserah mamah saja, papah ngikutin maunya mamah,"

"Ya sudah, mungkin cerai lebih baik buat hubungan kita pah.. Mamah sudah cape lihat papah selalu belain perempuan lain,"

"Papah juga cape, tiap malam ribut terus sama mamah. Lagipula perempuan itu ga salah mah.. yang salah ituh papah... dan papah selalu mengakuinya,"

"Dua-duanya salah, titik."

Bu Amilia langsung berdiri dan jalan ke arah kamar meninggalkan pak Deden.

"Trus gimana nih mah...? Kita cerai saja gitu?"

Bu Amilia tidak menjawab, ia membanting pintu kamarnya hingga tertutup dengan keras.

Sementara itu, Ricky di dalam kamarnya hanya mendengarkan suara pertengkaran antara papah dan mamahnya, yang hampir disetiap malam terjadi diantara mereka. Tiba-tiba, pak Deden mengetuk pintu kamar Ricky,

"Rick, kamu sudah tidur belum.."

"Belum pah, " sahut Ricky sambil jalan membukakan pintu.

Pak Deden masuk ke dalam kamar Ricky,

"Kamu tadi dengar omongan mamah kan Rick..?"

"Iya pah."

"Besok kamu beresin barang-barang kamu, kita pindah saja dari sini ya Rick,"

"Bener pah...?"

"Iya, udah papah cuma mau kasih tau itu aja.."

"Iya, terimakasih pah..."

**

Pagi hari saat sinar matahari menyapa, Rosita tampak masih tertidur pulas. ia terlihat lelah, karena semalaman tidurnya terganggu oleh rengekan Maya dengan segala tuntutannya. Pipislah, nenenlah, pup lah.. Rosita mulai terbiasa, dan baby blues yang sering menekan rasa emosinya, perlahan mulai menghilang. Ia menyadari bahwa semua yang ada dalam kenyataan hidupnya, adalah menjalani kodrat sebagai seorang wanita, dan hal itu tak dapat ditolak oleh wanita manapun di dunia ini.

Jam 7 pagi bu Lastri sudah datang. Di depan pintu rumah Gerry, ia mengetuknya berulang-ulang, tetapi tidak ada yang membukakan pintu. Barangkali karena berisik suara kran air dari arah kamar mandi; disitu terlihat Rosita baru saja selesai memandikan Maya di kamar mandi yang berada dekat dapur.

Bu Lastri mencoba membuka pintu yang tidak terkunci, lalu langsung masuk ke dalam. Diruang makan ia bertemu dengan bu Minah, serta adik-adik Rosita yang baru saja selesai sarapan di ruang makan. Bu Minah kaget, tiba-tiba melihat bu Lastri muncul dari arah ruang tamu.

"eeh.. Ibu siapa? nyelonong masuk ke rumah orang?" tanya bu Minah dengan nada tinggi.

Bu Lastri terkejut,  "Saya Lastri bu.. pengasuh bayinya non Rosita,"

Bu MInah menatapnya dari atas ke bawah tubuh bu Lastri.

"Iya tapi ga nyelonong aja masuk begitu... bisa ketuk pintu kan?"

"Iya maaf bu.. tadi saya sudah ketuk-ketuk, dan ternyata pintunya ga terkunci, jadi saya langsung masuk saja,"

Bu Minah kesal, ia tak peduli dengan alasan bu Lastri, kemudian ia membereskan piring-piring bekas sarapan adiknya Rosita, dan tidak peduli lagi pada bu Lastri. Ia tidak suka cara bu Lastri yang tidak tahu tata krama. 

Dino, Doni, dan Dini menghampiri bu Minah, lalu mencium punggung telapak tangannya.

"Dino berangkat ya bu, Asalammu'alaikum,"

 

Doni dan Dini juga mencium punggung telapak tangan bu Minah.

"Iya.. wa alaikum salam" sahut bu Minah sambil jalan menuju ke dapur membawa piring kotor, dan memberitahukan Rosita.

"Ros, itu ada pengasuh bayimu sudah datang,"

"Iya bu sebentar,"

Tak lama kemudian, Rosita keluar dari kamar mandi sambil menggendong Maya yang baru saja dimandikannya.

"Kamu gak bilang ke ibu, ada pengasuh bayi yang mau datang,"

"Iya, lupa bu... maaf ya.."

Rosita melihat bu Lastri masih berdiri di pintu masuk ruang makan. 

"Ayoo bu Lastri,"

Rosita mengajak bu Lastri masuk ke kamarnya, bu Lastri mengikutinya.

"Bu Lastri sudah kenalan sama ibu saya?"

"Sudah non,"

"ayo bantu saya," 

Rosita menunjukkan tempat perlengkapan bayinya, sambil menidurkan Maya diatas kasur,

"Itu tempat baju Maya, oya bayi ini namanya Maya. Bedak, minyak telon, dan lainnya disitu."

Bu Lastri mengangguk-angguk.

"Ya sudah, ini terusin kerjaannya, saya mau mandi dulu,"

Bu Lastri tampak menyiapkan baju Maya, sedangkan Rosita mengambil baju ganti dari dalam lemari pakaiannya, lalu keluar dari kamar. 

Rosita keluar dari kamar menuju ke kamar mandi, bu Minah mencegatnya di dapur,

"Kamu dapat darimana pengasuh bayi itu Ros?"

"Dari bapak, katanya adik teman bapak yang satpam juga di perumahan,"

"Ooh."

"Bu hari ini Ros terusin kerja yang kemarin, gantiin kasir yang lama. Ternyata pak Deden yang punya kafetaria itu bu,"

"Ooh gitu Ros, alhamdulillah.. Bayi dan pengasuhnya gak ikut kan?"

"Untuk hari ini, ikut bu.. soalnya Ros belum beli kulkas yang baru, lagipula, belum beli pompa untuk air susunya,"

Bu Minah terlihat sambil membereskan dapur, mencuci piring dan perabot lain.

"Oya bu, kemarin pak Deden sudah bayar uang muka untuk kontrak rumah buat Ros, supaya dekat dengan kantornya. Kan nanti Ros bakal kerja di kantornya, kalau jadi kasir sih cuma sementara aja bu,"

"Alhamdulillah.. tapi kamu ga serumah dengan pak Deden kan?"

"Ga lah bu, dia sudah punya isteri kok.."

"Kirain duda" ucap bu MInah pelan.

"Hush, ibu aah.. hehehe"

Rosita terkekeh lalu masuk ke kamar mandi.

***

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status