Kamar ini terlalu sunyi untuk perempuan yang baru kehilangan anaknya. Bahkan suara detak jam dinding terdengar seperti dentang kematian yang berulang. Aku duduk di sisi ranjang, diam, menatap bantal kecil bermotif awan biru yang kupesan sebulan sebelum bayi itu lahir atau seharusnya lahir.
Tapi dia tidak pernah menangis. Tidak sempat bernapas. Tidak sempat membuka mata. Dan sekarang, tidak ada lagi yang tersisa selain ruang kosong di perutku dan suara-suara hampa di kepala.
Namaku Arumi. Tiga hari lalu, aku kehilangan bayi yang kutunggu selama sembilan bulan. Dan hari ini, aku merasa seperti ikut mati bersamanya.
“Rum, buka pintunya. Ibu datang,” suara Davin dari luar kamar terdengar pelan tapi tegas.
Aku tidak bergerak.
“Dia udah di depan, bawa koper. Katanya mau tinggal sementara nemenin kamu. Aku udah bilang kamu butuh teman.”
Aku mendengar napasnya, Lelah Atau jengkel Atau keduanya, Tapi aku tetap tidak menjawab.
Beberapa detik kemudian, suara kunci diputar dan daun pintu terbuka. Cahaya dari lorong masuk pelan, memperlihatkan bayangan dua orang: Davin, suamiku, dan seorang wanita di belakangnya, ibuku, Marlina.
“Ibu masuk ya,” katanya sambil tersenyum tipis. Matanya menyapu kamar, lalu menatapku penuh rasa iba. Tapi aku tahu betul, kasihan tak selalu datang dari cinta.
“Ibu tahu kamu nggak mau diganggu. Tapi kamu nggak bisa terus begini. Ibu akan bantu urus rumah, masak, temani kamu. Setidaknya sampai kamu bisa berdiri sendiri lagi.”
Aku hanya mengangguk. Tidak ada yang bisa kubantah saat ini. Bahkan tubuhku terlalu berat untuk sekadar berpaling. Ibuku masuk dan mulai membereskan barang-barangnya. Davin pergi tanpa banyak bicara. Ia bahkan tidak mencium keningku seperti dulu. Hanya memberi anggukan dan menutup pintu kamar, Dan sejak saat itu, aku tahu: aku bukan lagi satu-satunya perempuan di rumah ini.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat seperti kabut. Ibu mengambil alih dapur, mencuci bajuku, bahkan membersihkan debu di rak buku. Ia sibuk seperti sedang mengisi peran yang kosong. Sementara aku? Masih membusuk dalam ranjang. Menatap langit-langit. Mencoba menerima bahwa perutku kosong dan dada ini tidak akan pernah menyusui siapa pun.
Pada hari keempat, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil air, dan berhenti di ambang pintu. Di sana, kulihat pemandangan yang membuatku diam lebih lama dari seharusnya.
Davin dan Ibu sedang berdiri berdampingan. Tertawa pelan sambil menyiapkan sarapan. Davin bahkan ikut mengiris tomat, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejak kami menikah.
“Wah, kamu bangun juga,” sapa Ibu ceria.
Davin hanya menoleh dan mengangguk. “Aku buatkan teh ya, Rum.”
Aku duduk. Tidak berkata apa-apa. Hanya menatap tangan mereka yang bergerak Terlalu serasi. Tapi mungkin itu hanya pikiranku yang terlalu sensitif. Orang berkabung memang mudah salah sangka.
Tapi entah kenapa, sejak pagi itu, ada hal-hal kecil yang mulai mencubit hatiku.
Ibu sering menonton film drama di ruang tamu, dan Davin kini duduk di sebelahnya. Padahal ia paling anti drama klise. Mereka tertawa bersama, lalu langsung diam saat aku lewat.
Kadang, aku terbangun tengah malam dan menemukan Davin tidak di sampingku. Saat kutanya keesokan harinya, ia bilang tidur di sofa karena badanku terlalu panas. Aku tidak ingat berkeringat. Tapi aku tidak membantah.
Lalu aku mulai memperhatikan detail yang lain. Aroma tubuh Davin berubah. Bukan parfum biasa yang kami beli bersama, Ini lebih manis, Lebih tajam. Seperti wangi milik perempuan.
Pada malam keenam, aku menemukan Ibu duduk di balkon, berbicara di telepon dengan nada lirih dan senyum di wajahnya. Ketika aku muncul, dia buru-buru menutup panggilan dan berkata, “Teman SMA, nanya kabar.”
Aku mengangguk, walau detak jantungku tidak setuju.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk ke kamar Ibu. Alasanku sederhana: aku kehilangan vitamin yang biasa kusimpan di lemari. Tapi saat membuka tas tangannya yang tergantung di kursi, aku menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.
Lipstik merah tua, bukan merek murah, dan aku tahu persis itu milik siapa. Aku pernah membelinya untuk Ibu saat ulang tahunnya dua tahun lalu. Tapi sejak saat itu, lipstik itu hilang. Ia bilang kehilangannya di salon.
Dan sekarang benda itu ada di tasnya, terbungkus rapi.
Aku melanjutkan pencarian dan menemukan selembar kertas kecil tersembunyi di saku tas bagian dalam. Sebuah catatan singkat, seperti potongan memo belanja. Tapi di bawahnya, tertulis:
“Aku suka kamu pakai lipstik ini. D”
Tanganku gemetar.
“D.” Davin?
Tidak ada bukti langsung. Tidak ada nama lengkap. Tapi dugaanku mulai menemukan tulangnya. Dan itu menambah rasa sakit setelah kenyataan kehilangan anak.
Malam itu aku tak bisa tidur. Aku hanya duduk di kursi dekat jendela, mendengarkan suara kipas angin dan langkah kaki samar di lantai bawah.
Jam tiga dini hari, aku mendengar pintu dapur terbuka. Pelan. Tidak tergesa. Langkah seseorang berjalan melewati lorong. Aku menajamkan telinga.
Langkah itu terdengar bukan hanya satu kali.
Dan mereka tidak saling bicara. Hanya diam, berjalan bersamaan.
Beberapa menit kemudian, sunyi kembali.
Aku memejamkan mata.
Dan untuk pertama kalinya, aku tahu pasti:
Ada yang tidak beres di rumah ini.
“Aku sudah kehilangan anakku. Tapi jika dugaanku benar, kali ini aku akan kehilangan segalanya dan aku tidak akan diam saja.”
Permainan ini memang sudah tak seimbang sejak awal. Mereka pikir aku hanya istri yang rapuh, Anak yang kehilangan arah, Perempuan yang sedang belajar menerima kenyataan bahwa anaknya meninggal dan suaminya menjauh.Tapi mereka lupa satu hal: tidak ada perempuan yang lebih berbahaya daripada perempuan yang tidak punya lagi rasa kehilangan. Dan sekarang, aku bukan lagi Arumi yang menunggu keadilan.Aku adalah Arumi yang sedang mengarahkan mereka ke hukuman.Aku sengaja membiarkan folder itu di laptop Davin. Tidak dikunci betulan. Tapi cukup merepotkan untuk dibuka oleh orang awam. Dan seperti kuduga, dia pasti mencobanya.Dia pasti menghabiskan malamnya dengan rasa tidak tenang, membayangkan isi folder yang mungkin berisi rekaman, bukti, atau pengakuan. Padahal, isinya hanya satu dokumen Word: kosong, hanya satu kalimat di tengah halaman.“Kamu tidur di mana malam ini?”Tidak lebih. Tapi cukup untuk membuatnya gemetar. Karena aku tahu dia tidur bukan di sampingku. Dan aku tahu dia tahu
POV DAVIN.Entah sudah berapa lama hubunganku dengan marlina belangsung. Sampai-sampai aku lupa bahwa Arumi bukan lagi perempuan rapuh yang hanya menangis dalam diam. Tapi Marlina selalu tahu cara membuatku lupa segalanya.Pagi itu, saat kami duduk di meja makan, cangkir tehnya tergeletak seperti biasa. Tapi ada sesuatu di dasar gelasnya, Bukan daun the, Bukan ampas kopi, tapi Kertas kecil, terlipat rapi. Bukan tulisan mesin, itu tulisan Tangan Arumi. Marlina membacanya lebih dulu, lalu diam.Aku mengambil kertas itu dan membaca cepat.Tidak ada nama, Tidak ada ancaman langsung, Tapi nadanya tajam, Tegas. Seolah Arumi tahu. Atau setidaknya, curiga."Apa maksudnya ini?" bisikku.Marlina menyambar kertasnya kembali, merobek menjadi dua, lalu empat, lalu delapan bagian. Dimasukkannya ke dalam saku celemeknya."Dia ngetes. Tapi dia belum tahu apa-apa. Jangan panik." Tapi aku tidak bisa tenang hari itu.Malamnya, aku mengetuk pintu kamar tamu seperti biasa. Marlina membukakan pintu sambil
Dan saat orang-orang seperti mereka mulai gelisah, mereka cenderung kembali ke satu hal yang paling membuat mereka nyaman: satu sama lain.Itulah yang kulihat dua hari setelah “insiden amplop” itu.Pagi hari, aku turun lebih lambat dari biasanya. Di tengah tangga, aku mendengar suara musik mengalun dari dapur, lagu lawas yang dulu sering diputar Ibu saat aku masih kecil: Kasih Putih. Suara kran air, suara piring beradu, lalu tawa kecil yang terlalu hangat untuk waktu sesingkat itu.Saat aku sampai di ruang makan, aku berhenti di ambang pintu.Davin sedang berdiri di belakang Marlina, membantu mengikat celemek di pinggangnya. Tangan mereka bertaut sebentar. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menyampaikan kedekatan yang tak wajar.“Kalian cocok juga kalau buka warung berdua,” ucapku sambil tersenyum setengah.Davin langsung mundur selangkah. Marlina menoleh dan tertawa kecil. “Ah, Ibu cuma dibantu sebentar.”Aku duduk. “Sampai diikatkan celemek juga dibantu?”Davin mengangkat bahu
Satu hal yang kupelajari dari hidup serumah dengan pengkhianat adalah: mereka paling takut pada hal yang tidak mereka ketahui. Ketika tak ada yang dikatakan, tapi semuanya terasa salah, itulah saat pertahanan mereka mulai retak. Dan hari ini, aku siap mengetuk retakan itu.Pagi ini aku bangun lebih awal. Kuikat rambutku rapi, berdandan tipis, dan memakai blus putih yang dulu sering kupakai saat kerja. Kupilih aroma parfum yang tajam tapi lembut, yang selalu membuat Davin memelukku lebih lama dulu.Lalu aku turun ke dapur seperti biasanya, duduk di meja makan, dan menatap Marlina yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.“Bu,” panggilku pelan.Ia menoleh. “Iya, Sayang?”“Semalam aku mimpi aneh.”“Wah, mimpi apa?”“Mimpi ada ular di kamar Ibu. Tapi yang aneh, ularnya bisa bicara. Dia bilang dia akan mencuri apa pun yang kupunya. Bahkan tulangku.”Wajah Marlina diam sesaat. Sendok sup di tangannya berhenti bergerak.Lalu ia tertawa kecil. “Wah, ngeri juga. Bisa jadi kamu stress karena masih
Davin tertawa ringan saat aku mengumumkan rencanaku di meja makan.“Aku butuh pindah kamar, Vin. Di atas lebih tenang. Cahaya paginya bagus. Kayaknya aku bisa mulai menulis lagi.”Dia menoleh ke arah ibuku yang sedang menuang kuah sup ke mangkuknya. “Kalau itu bisa bantu kamu pulih, nggak masalah.”Ibuku ikut mengangguk, ekspresinya antara simpati dan lega. “Ibu bantu bersihin kamarnya besok, ya?”Aku tersenyum. “Terima kasih, Bu. Aku juga nggak enak sebenarnya. Tapi aku butuh jarak.”“Kamu nggak ganggu sama sekali, Nak.”Aku tahu. Aku memang tidak mengganggu, aku hanya mengawasi.Kamar lantai atas itu dulu ruang kerja kami, sebelum aku hamil dan mulai sering lemas. Sejak saat itu ruangan itu kosong, hanya jadi tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Tapi sekarang, ruangan itu menjadi pos pengamatan. Dari jendela kecilnya, aku bisa melihat bagian belakang rumah: pintu dapur, ruang keluarga, bahkan lorong menuju kamar tamu yang kini jadi markas ibuku, atau ku sebut saja Marlina.
Ada yang berubah dari napasku sejak malam itu. Aku tidak lagi tercekat karena sedih, tapi karena menyimpan sesuatu yang belum kuberitahu siapa pun. Aku menyimpan kebenaran seperti bom yang siap meledak, tapi bukan hari ini, Bukan sekarang.Pagi datang seperti biasa. ibuku sedang di dapur, sibuk menyeduh teh. Wajahnya bersih, bibirnya dipoles warna merah muda pucat yang baru. Ia mengenakan apron yang dulunya adalah milikku, dan kini seperti milik pribadinya. Sementara Davin duduk di meja makan, menggulir layar ponsel, lalu menatap ibu mertuanya itu dengan senyum samar. Keduanya terlalu nyaman.“Aku mau ke toko buku siang ini,” kataku sambil duduk.Davin mengangguk tanpa menoleh. “Mau beli apa?”“Jurnal kosong. Aku mau mulai nulis lagi.”Marlina tersenyum. “Bagus. Menulis bisa bantu kamu pulih.”Aku mengangguk. Tapi sebenarnya, aku tak akan membeli jurnal. Aku akan membeli waktu.Setelah keluar rumah, aku tidak langsung ke toko buku. Aku berjalan kaki menyusuri gang sempit ke arah taman