Keesok harinya, aku ingin memastikan semua kejadian yang kemarin kualami.
Aku terbangun karena suara langkah kaki di lantai kayu. Jam menunjukkan pukul 02.43 pagi. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah rumah ini tidak lagi menyimpan kehangatan.
Aku duduk diam di ranjang, menajamkan pendengaran. Langkah itu berhenti, Lalu sunyi. Tapi aku tahu aku tidak salah dengar. Ada seseorang yang berjalan di lantai bawah rumah ini, Atau mungkin dua orang.
Davin tak ada di sebelahku. Aku turun pelan-pelan, hanya mengenakan kaus longgar dan celana tidur. Tidak menyalakan lampu. Cahaya bulan yang menembus jendela cukup untuk membimbing langkahku.
Sampai di tangga, aku berhenti. Napasku tercekat. Dari balik pintu kamar tamu yang kini jadi kamar ibuku, terdengar suara. Bukan suara orang berbicara biasa. Ada bisik-bisik Pelan, Tertahan. Lalu tawa kecil yang seolah sengaja ditahan agar tidak lepas terlalu keras.
Aku tidak bisa bergerak. Kakiku seperti dipaku ke lantai. Tangan kananku sudah menyentuh pegangan pintu, tapi tidak jadi membukanya. Otakku masih berusaha menyusun alasan. Mungkin mereka hanya berbicara. Mungkin Ibu tidak bisa tidur dan Davin mencoba menenangkannya. Mungkin...
Tapi tidak ada menantu laki-laki yang berbicara dengan ibu mertuanya di kamar pada jam tiga pagi. Apalagi dalam bisik. Dalam tawa yang samar.
Aku mundur perlahan. Kembali ke kamar, menutup pintu tanpa suara, dan duduk di pojok ranjang dengan tubuh gemetar, Bukan karena dingin.
Tapi karena firasatku yang mulai menguat. Firasat yang selama ini kutolak mentah-mentah. Tapi malam itu, aku tahu: ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Paginya, saat aku turun ke dapur, aku sudah memakai wajah biasa. Wajah istri yang kelelahan. Wajah anak perempuan yang sedang berduka. Wajah yang tidak ingin dicurigai.
Ibu sedang membuat teh. Davin duduk di meja makan, menatap layar ponselnya.
“Tidur nyenyak?” tanya Ibu ceria.
“Lumayan,” jawabku singkat. “Kamu, Bu?”
“Agak susah tidur. Mungkin karena cuaca.”
Aku menoleh ke arah Davin. “Kamu juga nggak di kamar. Aku bangun tengah malam dan kamu nggak ada.”
Dia mengangkat alis. “Aku tidur di sofa. Kamu kelihatan gelisah, aku takut ganggu.”
“Oh.” Aku mengangguk.
Tapi mataku mencatat: tidak ada bekas lipatan bantal atau selimut di sofa.
Hari itu, aku kembali membuka jurnal digitalku. Di halaman pertama, kutulis:
“Jika semua hal kecil mulai terasa besar, mungkin karena memang sudah waktunya membesarkan keberanian untuk melihat yang sebenarnya.”
Aku mulai mencatat waktu-waktu Davin pulang, perubahan aroma tubuhnya, dan semua detail kecil yang aneh.
Hari ini, Davin pulang lebih awal. Katanya tidak enak badan. Tapi saat aku masuk ke kamar, dia sedang bercermin dan mencoba dua kemeja yang berbeda.
“Buat kerja besok,” katanya cepat saat melihatku.
Aku hanya mengangguk. Tapi aku tahu, tidak ada rapat besok. Ia sendiri yang bilang minggu ini hanya kerja di rumah.
Menjelang malam, aku mendengar suara notifikasi dari ponsel Ibu yang tertinggal di ruang makan. Aku tidak berniat mengintip, tapi layar menyala dan memperlihatkan satu pesan masuk.
“Aku suka kamu malam ini. Rasanya nggak mau berhenti.”
Dari kontak bernama “D.A.”
Tiba-tiba dunia seperti berputar. Aku cepat-cepat meletakkan ponsel itu kembali dan masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dingin. Tanganku gemetar, Perutku seperti kosong kembali. Seperti waktu itu, saat dokter memberitahu anakku tak bisa diselamatkan.
Aku tidak konfrontasi malam itu. Tidak juga keesokan harinya. Aku butuh lebih dari firasat dan satu pesan singkat. Aku butuh bukti.
Karena jika aku akan kehilangan rumah, suami, dan ibu dalam waktu bersamaan, aku ingin melakukannya dengan kepala tegak. Bukan karena curiga, tapi karena tahu. Aku mulai menyusun strategi kecil.
Tiga hari kemudian, aku mengajak Ibu ke salon dekat rumah. Tempat langganannya sejak dulu. Kami memesan paket creambath dan manicure. Duduk bersebelahan. Berbasa-basi ringan tentang drama yang sedang tayang dan resep kue.
Lalu aku tanya, pura-pura santai, “Bu, D.A. itu siapa?”
Dia menoleh. “Hah?”
“Di chat kamu, waktu ponselmu ketinggalan di meja. Aku nggak sengaja lihat. Ada pesan dari D.A.”
Dia tertawa kecil. “Oh, itu teman lama Ibu. Dika Arman. Dulu pernah dekat waktu Ibu masih muda. Sekarang cuma teman chat iseng.”
“Dekat sampai sekarang?”
“Ah, kamu ini. Nggak gitu. Kita cuma nostalgia.”
Aku mengangguk, tersenyum. Tapi di dalam kepala, aku tahu: Dika Arman tidak pernah ada dalam hidup Ibu sebelumnya. Dan nama lengkap Davin adalah Davin Arjuna.
Malam itu, saat semua tertidur, aku kembali ke kamar Ibu. Membuka lemari kecilnya dan memeriksa laci di bawah baju tidur. Di sana aku menemukan benda kecil berwarna hitam: flashdisk.
Tanpa ragu, aku ambil dan bawa ke kamar. Colok ke laptop. Isinya tidak banyak. Beberapa foto. Dua dokumen keuangan Dan satu folder video dengan nama samar: “Rekaman 4B.”
Tanganku gemetar saat membukanya.
Isi video adalah rekaman dari CCTV rumah. Sudut ruang tamu. Aku bahkan tidak tahu kamera itu ada.
Tapi yang membuat jantungku berhenti adalah tayangan di menit ke-08: ibuku dan Davin. Duduk berdua, Sangat dekat. Marlina menyentuh bahu Davin dan mereka tertawa. Tidak ada ciuman, Tidak ada pelukan. Tapi cara mereka saling memandang, bukan seperti ibu dan menantu. Bukan.
Keesokan harinya, aku tidak berkata apa-apa. Tidak menatap siapa pun terlalu lama. Aku hanya menulis satu kalimat di jurnal digitalku:
“Ketika ibumu mengambil suamimu, itu bukan hanya pengkhianatan. Itu pemusnahan pelan-pelan atas seluruh definisi rumah.”
Dan hari itu, aku tahu satu hal dengan pasti:
Aku tidak akan diam lagi.
“Jika benar mereka bermain di belakangku, maka mereka belum tahu siapa yang sedang mereka ajak bermain.”
Tiga hari terakhir, aku tidak banyak bicara. Bukan karena menyerah, tapi karena sedang mengamati. Marlina dan Davin semakin tenang, terlalu tenang. Mereka sudah seperti pasangan tua yang saling mengenal pola satu sama lain. Tapi justru dari ketenangan itu, aku tahu mereka mulai lengah. Dan kelengahan adalah celah paling mahal yang bisa kumiliki.Hari itu aku kembali duduk di meja makan untuk pertama kalinya dalam seminggu. Kupilih kursi yang menghadap ke dapur, agar bisa melihat pergerakan mereka. Marlina sedang memotong wortel. Davin duduk sambil membaca koran. Aku tahu mereka tahu aku ada di situ, tapi tidak ada yang menyapa lebih dari sekadar lirikan. Mungkin mereka pikir aku sudah lelah atau kalah. Mereka salah.“Bu, di mana buku catatan dapur yang biasanya?” tanyaku tiba-tiba.Marlina menoleh, masih memegang pisau. “Buku catatan apa?”“Itu, yang biasa dipakai Ayah buat nyatet belanja. Yang hijau.”“Oh itu. Udah lama hilang. Mungkin kebuang waktu bersihin gudang. Kenapa?”“Nggak a
Sudah hampir seminggu sejak aku dan Laila terakhir bertemu. Tidak ada pesan masuk darinya. Tidak ada panggilan. Mungkin dia sudah memutuskan untuk tidak terlibat. Atau mungkin, seperti yang lain, dia sedang mencari cara untuk percaya bahwa semua yang kualami hanya hasil pikiranku sendiri.Sementara itu, rumah ini semakin sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi di sini terasa seperti jalan panjang menuju keterasingan. Keberadaanku mulai di hilangkan dan psikologisku mulai terkikis sedikit demi sedikit. Situasi ini sangat tidak normal, namun berbeda dengan mereka.Marlina dan Davin tetap bersikap seolah semuanya normal. Mereka berbagi ruang dengan begitu alami, tapi selalu menjaga batas saat aku ada. Tak ada pelukan, tak ada sentuhan mencurigakan, tak ada tatapan mesra di depan mataku. Tapi aku bisa mencium aroma kedekatan mereka yang makin pekat. Dan kini mereka tidak hanya mengendalikan situasi, tapi juga ritme rumah ini. Jadwal makan, apa yang dimasak, kapan lampu dimatikan.
Apakah aku sudah gila? Atau aku sudah kehilangan kesadaranku? Karena Aku mulai bicara pada benda mati. Kursi yang selalu kosong di meja makan. Jendela kamar yang memantulkan wajahku. Sendok yang kulempar ke wastafel dengan terlalu keras, berharap ada yang bertanya kenapa. Tapi tak ada, Bahkan suara gemericik air pun terdengar lebih nyata daripada suamiku sendiri. Mungkin bukan aku yang sudah gila, tapi mungkin psikologisku yang sedang dipermainkan.Hari ini, Marlina dan Davin semakin nyaman di rumah ini, seolah-olah merekalah pasangan suami istri yang sah. Mereka tertawa di dapur, bercakap di ruang tengah, duduk terlalu dekat saat menonton TV. Tapi begitu aku muncul, semuanya diam. Seolah aku perusuh dalam rumahku sendiri, seolah olah akulah yang menumpang di rumah ini.Suatu malam, aku terbangun karena haus. Saat menuruni tangga, aku melihat lampu dapur masih menyala. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, kudengar bisikan-bisikan, Suara Davin dan suara Marlina begitu samar ku dengar
Sejak hari itu, aku berhenti membedakan pagi dan malam. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bangun karena cahaya matahari, atau tidur karena rasa lelah. Di rumah ini, waktu tidak lagi berarti. Yang tersisa hanya jeda di antara satu luka dan luka yang lainnya.Davin dan Marlina semakin pandai mengatur segalanya. Mereka tidak menyembunyikan hubungan mereka dengan cara bersembunyi, mereka menyembunyikannya dengan membuatku tampak gila, sehingga tidak ada yang percaya apa pun yang kulihat atau kudengar. Dan perlahan, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.Setiap pagi, aku turun ke dapur dan mendapati meja makan hanya memiliki dua piring, Dua gelas dan Dua sendok. Aku tidak pernah tahu apakah itu disengaja atau karena mereka benar-benar sudah tidak menganggapku bagian dari rumah ini.Aku coba membuat kopi sendiri, tapi gula tidak ada di tempatnya, Air galon mendadak habis, Sendok kecil entah di mana. Semua terasa seperti teka teki dan aku adalah orang asing yang berusaha membaca bahas
Namun sangat disayangkan kebenaran dan keadialan yang ku tunggu tunggu, Tapi hari itu belum datang. Yang datang justru hari-hari penuh kehampaan, di mana aku sadar, sedikit demi sedikit, aku sedang dihapus dari hidup mereka dan dari lingkungan sosialku.Pagi itu, saat turun ke dapur, aku mendapati meja makan sudah terisi penuh. Roti panggang, telur dadar, potongan buah segar, dua cangkir kopi semuanya tampak rapi dan hangat. Tapi tak ada satupun yang untukku. Mereka seakan akan sedang menghilangkan keberadaanku di rumah ini.Marlina sedang menyusun piring, sementara Davin duduk di meja, menggulir layar ponsel.“bu belum sarapan?” tanyaku pelan.Marlina menoleh sekilas. “Oh... aku kira kamu masih tidur.”“Biasanya aku turun jam segini.”Davin mengangkat cangkir kopinya, menyesap, dan hanya menjawab, “Kami kira kamu lagi nggak mau makan bareng.” Aku diam, Tidak ada satu pun kursi yang ditarik untukk, Tidak ada piring tambahan.Aku tidak diusir, tapi perlahan ditiadakan.Beberapa hari ke
Itu pikiranku malam itu, Tapi ternyata, aku terlalu percaya diri. Terlalu yakin bahwa aku masih mengendalikan semuanya. Ternyata, mereka tidak hanya bereaksi, Mereka membalas, Bukan dengan teriakan atau perdebatan, tapi dengan hal yang lebih licik yaitu membentuk opini. Dan opini itu lebih mematikan daripada peluru.Malam itu, aku menyendiri di kamar lantai atas. Tapi kali ini, tidak sebagai pengamat, bukan sebagai pemilik rencana, Tapi sebagai perempuan yang baru saja kehilangan kendali.Keesok Paginya , setelah sarapan, aku menemukan amplop putih di depan pagar. Tidak tertulis nama, hanya satu baris singkat:“Berhenti. Atau kami akan buatmu percaya bahwa kamu memang gila.”Tanganku menggenggam kertas itu begitu kuat hingga kusut, Aku menatap sekeliling. Jalanan sepi, Tidak ada orang di luar, Hening, Tapi rasanya semua mata tertuju padaku dari balik jendela. Saat aku masuk, Marlina sedang menyapu ruang tamu. Ia melirikku sekilas, lalu tersenyum kecil.“Kamu keluar pagi-pagi? Udara ma