Pria tua itu berlutut di kaki Ridel. “Aku mohon menikahlah dengan cucuku. Kau adalah harapan terakhirku. Aku sudah tak punya waktu lagi.”
Mata Ridel membulat sempurna mendengar permintaan tak masuk akal dari pria tua itu. Namun, tak mau membuat pria tua itu kecewa. Ridel memilih menjelaskannya secara baik-baik. Dia menggenggam pundak pria tua itu dan berkata dengan lembut, “Kek, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang dapat diputuskan secara sepihak. Tapi butuh persetujuan dua orang yang saling mencintai. Sebuah pernikahan akan gagal, kalau tak ada cinta diantara pasangannya.” Ridel terkejut ketika melihat air bening berhasil lolos dari pelupuk mata pria tua itu. “Yang dibutuhkan cucuku sekarang, bukanlah cinta, tapi seseorang yang mau menikahinya. Aku hanya membutuhkan cucuku menyetujui operasi itu. Itu saja.” “Apa?” Pria tua itu tiba-tiba mengeluarkan uang dari saku kemejanya dan membuka jam tangan miliknya, kemudian memberikannya kepada Ridel. “Untuk sekarang aku hanya memiliki ini. Tapi aku janji akan memberikan uang banyak, asalkan kau mau menikahi cucuku untuk persetujuan operasi.” “Tapi, Kek.” Percakapan keduanya terhenti, ketika sang kakek menerima telepon dari seseorang. Entah siapa. Setelah telepon ditutup, pria tua itu langsung saja berlutut di kaki Ridel dan memohon dengan bercucuran airmata, “Aku mohon selamatkan cucuku. Menikahlah dengannya. Tak ada waktu lagi menjelaskan.” Apa kakek ini menderita alzheimer? Dan ingatannya kembali di mana cucunya sakit keras dan butuh operasi? Apa mungkin cucu kesayanganya meninggal sebelum sempat di operasi? Dilihat dari penampilannya, sepertinya kakek ini orang biasa. Mungkinkah uang menjadi kendala saat itu? Tak ada salahnya aku mengikuti saran kakek ini. Setidaknya menyenangkan hatinya, di usianya yang sudah senja. Begitu mendapatkan alamat rumah sakit dari sang kakek, Ridel langsung saja memesan taksi online. Namun, sesampainya di sana Ridel justru dibuat terkejut. Di ranjang rumah sakit terbaring seorang gadis yang seputih kertas. Matanya terpejam. “Kau masih tidur, Nak?” Berlahan kelopak mata gadis itu terbuka, dia terkejut melihat sang kakek datang bersama seorang lelaki muda. “Kakek nggak bohong, kan, Nak? Tepat hari ke tujuh, kakek menemukan seseorang yang sesuai dengan kriteriamu. Dia bersedia menikah denganmu. Jadi tak ada alasan untukmu untuk tidak melakukan operasi, kan?” Ridel yang hendak melarikan diri mengurungkan niatnya, ketika mengingat kembali alasan Nadia mengkhianatinya. Kalau aku melarikan diri, terus apa bedanya aku dengan nadia? Bukankah kakek itu hanya menginginkan cucunya untuk menjalani operasi? Apa salahnya aku membantu? “Kakek, aku ingin bicara berdua dengan lelaki pilihan kakek,” pinta gadis itu. “Berapa kau dibayar kakekku?” tanya gadis itu setelah sang kakek menutup pintunya dari luar. Ridel mengeluarkan uang dan jam tangan pemberian sang kakek, kemudian menunjukannya kepada gadis itu. “Hanya itu?” gadis itu tersenyum getir. Ridel hanya menganggukan kepalanya. “Kenapa kau merusak rencanaku? Kenapa kau harus menerima tawaran kakek dengan bayaran segitu? Kau tahu kenapa aku mengajukan syarat tak masuk akal untuk persetujuan operasi? Semua ku lakukan agar kakek menyerah. Keluargaku menganggapku beban, kekasihku memilih meninggalkanku, hanya kakek yang ku miliki sekarang. Apa harus ku sakiti perasaan kakek, jika operasiku tak berhasil? Kemungkinan berhasilnya operasiku hanya 50% saja,” lirih gadis itu. Ridel manatap gadis itu dalam diam, dia benar-benar terpesona dengan gadis yang seputih kertas itu. Dia dapat merasakan kesunguhan dari setiap ucapannya. “Demi persetujuan operasi, kakekmu bahkan berlutut di kakiku. Bukankah kau sendiri melihat bahagianya beliau saat membawaku menemuimu? Apakah kau mau menghancurkan satu-satunya harapan kakekmu?” Gadis itu diam mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut lelaki tak dikenalnya itu. Apa dia benar-benar bersedia menikah denganku? “Kakekku lolos pada syarat yang pertama, tapi belum yang kedua,” ujar gadis itu. Dia yakin syarat kedua itu akan membuat Ridel mundur. “Syarat yang kedua?” “Syarat yang kedua, kau harus menikah denganku terlebih dahulu secara sah baik agama dan hukum. Setelah sah, baru aku mau masuk ke ruang operasi,” tantang gadis itu.___ "Tidak! Pasti buka, Ridel," teriak Fania tersadar dari pingsannya. "Apakah anda baik-baik saja? Tadi anda pingsan di bandara. Jadi kami melarikan mu ke rumah sakit." "Saya tidak butuh ke rumah sakit. Turunkan aku di sini saja, aku mau menemui Ridel!" tegas Fania dengan pikiran kacau. "Kalau yang kau maksud itu Ridel Liu seorang pengusaha muda. Maka kau tidak perlu turun, karena ambulance ini kebetulan akan menuju ke rumah sakit di mana Ridel berada." "Berita yang sedang beredar itu bohong, kan? Ridel tidak mungkin meninggal, kan?" teriak Fania histeris. Bukannya memberi jawaban, mereka justru diam membisu. Begitu tiba di rumah sakit, Fania langsung saja turun dan berlari menuju di mana ruangan Ridel berada. "Berita yang beredar luas itu bohong, kan, Alex?! Ridel tidak mungkin meninggal, kan? Jawab!" teriak Fania mengguncang pundak Alex ketika dia melihat Alex. Airmata terus saja mengalir membasahi wajah cantiknya. Tangisan Fania meledak, ketika dua perawat mendor
*** Raya mundur selangkah demi selangkah, kakinya terasa lemas. Tubuh yang lemah itu jatuh hampir menyentuh lantai kalau saja terlambat ditangkap oleh sang suami yang baru saja selesai mengangkat telepon dari anak keduanya. "Putra kita tidak mungkin meninggal kan, yah? Aku pasti sedang bermimpi! Bangunkan aku. Aku ingin melihat putraku," bisik Raya lemah.Dia membenamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Pakaian yang dikenakan Liu basah oleh airmata sang istri. Sejenak Bernad Liu diam membisu, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut si istri, sampai akhirnya dia memilih bertanya, "Dokter, apa yang dikatakan istriku benar? Apa Anda tidak salah memberi informasi?" airmata mengalir dari kelopak mata Liu. Hatinya terluka, luka yang tidak bisa diobati dengan cara apapun. Dokter menatap pasangan suami istri itu, bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa pasangan suami istri ini justru menangis? Apa aku mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan mereka? Tapi apa?! Buk
Tidak ingin mengambil resiko, dokter langsung saja menelepon Direktur dan memintanya datang ke ruangan Ridel segera. Tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Direktur mengirim pesan kepada sang dokter yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri. Dokter terbaik yang sengaja didatangkan dari negeri seberang untuk menangani Ridel. [Setelah penandatanganan kontrak ini, aku langsung ke sana. Aku sudah menyuruh asistenku menemui kamu lebih dulu. Maaf atas ketidak-nyamanannya. Aku harap kamu maklum, keluarga Liu masih shock akan kejadian yang menimpah putra tunggal mereka.] Ya! Yang ada dipikiran Direktur rumah sakit hanya satu, pasti keluarga Liu tidak mengisinkan sahabatnya masuk. Direktur merasa itu wajar karena sahabatnya itu sama sekali tidak memiliki garis wajah orang Indonesia atau negara lainnya di Asia, karena dia murni keturunan barat. Setelah penandatanganan selesai, Direktur langsung melangkahkan kakinya menuju ruang perawatan Ridel. ‘Astaga! Apa sebenarnya yang ada dibe
*** Akhirnya Fania dapat bernafas lega ketika pesawat mendarat dengan selamat di negera kebanggaannya, Indonesia. Bagaimana caraku masuk ke dalam rumah sakit? Pasti penjagaan di dalam sangat ketat, apalagi ini berkaitan dengan percobaan pembunuhan! Bagaimana kalau kepulangan ku kali ini justru membuat kondisi Ridel semakin memburuk? Bukankah Ridel sangat membenciku? Bagaimana juga kondisi si kembar? Kenapa aku harus jatuh cinta pada pria yang tidak bisa mencintaiku? Kalau dia menyayangi si kembar itu wajar, walau bagaimanapun dalam darah si kembar mengalir darahnya! Pertanyaan, keraguan, ketakutan, menjadi satu dalam benak Fania. Namun kerinduan mengalahkan semuanya. Ya! Lama berada di negeri seberang membuat Fania merindukan si kembar dan Ridel. Apalagi kejadian di malam panas itu membuat Fania sadar kalau tidak ada satu orangpun yang mampu menggantikan Ridel dihatinya. Dengan tekad yang bulat, Fania menyusun rencana sebaik mungkin. Karena hanya dengan rencana yang matang maka d
***"Kamu," menunjuk salah satu perawat. "Ambil obat yang tertulis diresep ini sekarang juga!" Dokter itu memberikannya kertas yang bertuliskan resep obat. Jelas sekali ketegangan dari pancaran mata dokter itu.Ketakutan Bernad Liu dan Raya semakin bertambah ketika melihat satu demi satu dokter berlarian memasuki ruang perawatan Ridel. Apalagi ketika ada alat-alat lain yang juga didorong memasuki ruangan.Melihat hal itu membuat Raya ketakutan dan berbisik lemah di telinga sang suami, "Putra kita akan baik-baik saja, kan?" airmata kembali lolos dari pelupuk mata wanita yang berstatus ibu dari pasien yang tengah berjuang diujung kematiannya.Setelah menunggu lama akhirnya seorang dokter membuka pintu.Suami istri itu langsung berlari kearah dokter dengan airmata yang tidak terbendung. "Bagaimana keadaan anak kami, dokter? Dia baik-baik saja kan!"Dokter itu menatap pasangan suami-istri itu, kemudian menarik nafas panjang."Dokter, bagaimana putra saya?" Raya kembali bertanya ketakutan.
“Tidak! Tidak mungkin!” Alvaro menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Kau berbohong kan, Nak? Bukankah waktu itu kau sendiri yang mengatakan pada ayah tiga tahu lalu? Bukan itu saja, bahkan bajingan ini bersedia berlutut dan memohon ampun pada ayah,” ketus Alvaro tidak percaya. “Pelakunya adalah bos di mana ayah bekerja. Pria bejat itu tahu persis, malam itu ayah tidak bisa membawa laporan secara langsung padanya. Karena kondisi ibu yang menurun drastis. Bukan hanya memperkosaku saja, tapi pria itu juga mau melemparkan aku ke bawah jembatan yang ber-air deras agar aku meninggal. Hanya dengan cara itu, dia bisa tenang menjalani hidupnya,” ujar Nanda lemas, hatinya terasa hancur.Ya! Hati Nanda hancur, ketika mengingat kejadian tragis yang menimpahnya tiga tahun lalu. Dia bahkan harus rela membatalkan pernikahan secara sepihak, tanpa alasan apapun. Sekarang hati Nanda tambah hancur, ketika menemukan sang ayah justru membuat Ridel harus terbaring koma dengan kemungkinan hidup yang sangat