Anita merasa gelisah di dalam kamarnya. Dia berharap bisa mengambil alih perusahaan yang seharusnya menjadi miliknya yang kini dipegang oleh sang ibu tiri.
Tapi bagaimana? Pria paruh baya itu masih belum menghubunginya sampai sekarang.
"Sial," umpat Anita mengingat kembali semua yang sudah terjadi.
Haruskah ia menyewa orang lain saja? Tapi ke mana ia harus mencari?
"Anita!"
Suara melengking yang familiar itu membuat Anita menghela napas panjang.
Ia keluar dari kamarnya dengan perasaan tak menentu. "Kenapa?" tanyanya, malas berbasa-basi.
"Kamu tidak malu ya?! Sekarang perusahaan sudah ada di tangan ibuku, begitu pun dengan rumah ini. Kamu sebaiknya pergi dari sini!" usir Hana—saudari tiri Anita.
Anita mendengus mendengarnya. "Dengar ya, Hana. Ini semuanya milik keluargaku, kamu tidak bisa mengambilnya, termasuk ibumu," katanya dengan nada tajam.
Tapi Hana tidak terlihat takut sama sekali. Ia malah tersenyum mencemooh. "Kamu sudah tidak punya siapapun lagi, Anita. Pertunanganmu dengan keluarga Sanjaya juga sudah dibatalkan satu tahun lalu, dan aku yang menggantikan kamu bertunangan dengan keluarga Sanjaya."
Anita memutar bola mata jengah. "Aku tidak peduli, Hana. Lebih baik kamu jangan ganggu aku," usirnya, benar-benar malas meladeni saudari tirinya itu.
"Cih, masih saja sombong! Lihat saja nanti setelah aku bertunangan dengan keluarga Sanjaya, kamu tidak akan bisa berkutik lagi!" pekik Hana.
"Terserah!"
Anita kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dia tidak bisa diam saja di sini, apalagi melihat saudara tirinya akan bertunangan dengan keluarga Sanjaya.
Suara ponselnya berdering membuat Anita tersentak dari lamunan. Ia mengambil benda pipih itu dan menjawab panggilan dari nomor asing.
"Halo?" sapa Anita ragu-ragu.
"Saya Anwar," kata suara dari seberang.
Kelegaan melingkupi Anita seketika. Akhirnya! Akhirnya pria itu menghubunginya di saat yang tepat.
"Bagaimana, Pak Anwar? Apa anak Anda mau menikah dengan saya?" tanya Anita tanpa basa-basi.
"Dia sudah setuju," ujar Anwar.
Anita langsung tersenyum lega. "Bagus kalau begitu. Bisakah Anda urus semuanya? Termasuk surat nikahnya. Aku akan datang ke rumah sakit besok dan memberikan uangnya."
"Baik," ujar Anwar tanpa penolakan.
Anita menutup panggilan. Dengan begini, dia bisa melakukan rencana selanjutnya.
Dia akan bangkit dan mengambil semua hak miliknya!
***
Keesokan harinya, Anita sudah siap dengan semua dokumen pribadi untuk syarat dia menikah dengan laki-laki itu. Namun, Anita sendiri tidak bertanya siapa nama laki-laki yang akan menikah dengannya.
Anita mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sampai tak lama kemudian dia sudah tiba di rumah sakit.
"Senang bertemu dengan Anda kembali," sambut Anwar.
"Bagaimana dengan semua dokumen nikahnya, apa sudah diurus?" tanya Anita.
"Sudah semuanya, sekarang bisa temui dia," kata Anwar.
Anita hanya mengangguk, dia lantas berjalan masuk ke dalam ruangan di mana laki-laki itu berbaring.
"Hai, aku Anita. Sebentar lagi kamu akan menjadi suamiku," kata Anita. Ia sebenarnya tidak pandai basa-basi. Tapi bagaimanapun, ia akan berusaha untuk sedikit lebih dekat dengan calon suaminya ini.
Anita tidak menyangka laki-laki itu mendadak bangun dan duduk. Itu membuat Anita terkejut dan takut.
"Eh, ka-kamu bisa bangun?" tanya Anita, terlihat ngeri.
"Ya."
Suara berat dan dalam pria itu membuat Anita bergidik. Namun, ia benar-benar penasaran dengan rupa pria ini. Sayang sekali, dia tidak bisa melihat wajahnya.
Tetapi, Anita tidak memusingkan hal itu. Yang penting sekarang ia bisa melanjutkan rencananya.
"Kita bisa berfoto untuk dokumen pernikahannya, bukan?"
Pria itu hanya mengangguk.
"Aku sudah menyiapkan ini di kantor KUA, besok kalian bisa ke kantor untuk menikah. Aku akan menjadi saksi," kata Anwar.
"Dia sudah bisa bergerak?" tanya Anita sambil melirik ke arah Morgan.
"Aku akan membawa dia pake kursi roda dan kalian bisa melakukan ijab-kabul di sana," jelas Anwar.
"Baiklah, lakukan saja dengan cepat," kata Anita yang memang tidak mau menunggu lama. Dia harus segera punya suami.
Anwar mengambil kartu identitas milik Anita dan juga majikannya. Setelah dokumen tersebut diselesaikan dengan baik, besok mereka akan melakukan ijab kabul untuk pernikahan.
"Kalau begitu saya akan memproses semuanya. Permisi dulu, kalian boleh berbicara berdua." Anwar mengatakan itu dan keluar dari ruangan.
Kini hanya tinggal Anita dan laki-laki itu. Anita menoleh ke arah laki-laki yang dibungkus oleh perban tersebut.
"Kamu sudah tahu tentang pernikahan ini, ‘kan? Maksudku, aku hanya ingin menikah karena butuh status saja. Sebagai gantinya, aku akan membiayai kamu dan operasi kamu keluar negeri," jelas Anita.
"Namaku Morgan,” kata pria itu. “Terima kasih karena sudah mau membantuku. Meski hanya sebatas status, tapi aku harap kamu tidak menganggap pernikahan ini mainan."
Suara Morgan terdengar tenang ketika mengatakan itu, tapi entah mengapa Anita menangkap nada sinis pada suaranya.
"Tidak masalah,” balas Anita kemudian. “Asal kamu tidak menggangguku. Semuanya bisa berjalan dengan baik."
Diam-diam, Morgan tersenyum miring. Ia lantas mengangguk. "Aku akan berada di luar negeri selama dua tahun. Setelah menyelesaikan semua pengobatanku, aku akan kembali ke sini," ujarnya.
Sebenarnya bagi Anita, itu tidak terlalu penting. Lagipula yang dia butuhkan hanya status pernikahan saja.
"Kamu mau pergi berapa lama pun aku tidak masalah. Selama kamu masih berstatus suamiku, maka semuanya aman," kata Anita tidak ambil pusing.
Morgan tampak terdiam beberapa saat, sebelum ia menatap Anita tepat di manik matanya.
"Aku pasti akan membalas kebaikanmu suatu saat nanti, Anita."
Anita memperhatikan sorot pria itu yang penuh tekad. Walaupun tidak bisa melihat wajah calon suaminya, tetapi dia merasa kalau dia adalah laki-laki itu yang baik.
"Ini cek uang yang kamu minta," kata Anita kemudian.
Morgan menerimanya sambil tersenyum dengan penuh arti. "Terima kasih. Nanti dokumen pernikahannya akan diberikan oleh Anwar."
"Anwar?" ulang Anita menaikan sebelah alisnya.
"Maksudku, ayahku," ralat Morgan. Astaga, hampir saja ia ketahuan kalau Anwar sebenarnya adalah bawahannya, yang sudah bekerja lama dengan keluarganya.
Raut Anita tampak berpikir, tapi ia memutuskan untuk tidak memperpanjang. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu."
Sebenarnya, Anita sedikit curiga dengan sosok Morgan. Tetapi saat ini yang terpenting baginya adalah surat nikah itu. Dia butuh bukti itu untuk bekerja di perusahaan ayahnya dan mengambil semua hak miliknya.
Jadi, siapa Morgan sebenarnya … akan ia pikirkan nanti.
BERSAMBUNG
Anita masih tidak habis pikir dengan semuanya. Rasanya begitu aneh, semua orang malah berusaha untuk membohongi dirinya. Membuat dia sedikit murka. Anita berjalan keluar rumah sakit, dia masih kesal karena tidak ada yang mau jujur padanya. Sampai tak lama kemudian, Hana yang baru saja turun dari mobil melihat kearah Anita. "Anita."Anita menatap kearah Hana dengan sekilas. Wanita itu sampai datang menemui dirinya. "Kenapa?" tanya Anita. "Jelaskan padaku, bagaimana bisa Prawira adalah suami misterius kamu selama ini?" kata Hana dengan nada yang marah. Anita sendiri pun tidak tahu semuanya jadi begini. "Kenapa Hana? Kamu terkejut mengetahui fakta ini.""Jadi kamu sudah tahu selama ini? Kamu sengaja menjadikan Prawira sebagai suami kamu untuk balas dendam padaku karena aku bertunangan dengan Prayoga?" tanya Hana. Anita malah tertawa ketika mendengar ucapan dari Hana barusan. "Kamu lucu sekali Hana. Bukannya memang benar seharusnya aku yang menikah dengan Prawira. Kamu lupa kalau se
Anita membalikan tubuhnya ketika mendengar suara teriakan dari seseorang yang memanggil nama Prawira. Dia langsung mematung di tempatnya ketika melihat ada orang jahat hendak akan melukai Prawira. "Astaga.""Icha?"Anita langsung menghampiri Icha yang kini sudah berlumuran dengan darah. Dia tidak tahu kalau akan kejadian seperti ini. "Icha, kejar orang jahat itu," umpat Prawira kepada anak buahnya. Dia langsung menggendong Icha untuk menyelematkan nyawa wanita itu. Prawira sedikit merasa bersalah karena Icha sampai berkorban untuk dirinya. Padahal dia yakin kalau orang itu tadi hendak akan menyerang dirinya. "Ambulan!"Prawira membawa Icha ke dalam ambulan, begitu pun dengan Anita yang ikut ke rumah sakit sekarang. Dia menggenggam tangan Icha untuk menguatkan wanita itu. "Kenapa bisa seperti ini? Dia melindungi kamu," kata Anita. "Aku tahu," jawab Prawira.Mereka sekarang mendorong Icha yang memang terluka parah, tubuhnya banyak sekali mengeluarkan darah akibat sebuah tusukan t
"15 juta." Prawira kembali menawar benda tersebut. "20 juta," kata Hana yang kini ikutan menawar ketika melihat Prawira dan Anita tengah berdebat. Anita jadi kesal karena Hana malah ikut-ikutan menawar barang yang seharusnya milik dirinya. "30 juta!" "40 juta," balas Prawira kembali sambil melirik kearah Anita. "50 juta," kata Hana kembali. Sampai tak lama kemudian, Ayu datang membisikan sesuatu pada anaknya. "Apa kamu gila, kita tidak punya uang banyak sekarang.""Biarkan saja mah. Lagian aku sudah punya ayah yang kaya raya sekali." Hana mengatakan itu dengan nada yang sedikit bangga. "Lebih baik kamu biarkan dua orang itu berdebat saja.""Baiklah." Hana akhirnya diam dan tidak menawar lagi. "70 juta!" Anita mengatakan itu dengan sedikit penuh keberanian. "100 juta," tawar Prawira kembali membuat Anita semakin jengkel dan menatap laki-laki itu dengan tajam. "Sialan Prawira, kamu lihat Icha, dia bahkan menantang aku sekarang," bisik Anita. "Kamu bisa tawar barang itu lebih b
Umar Sanjaya tengah merasa marah setelah mengetahui kalau Prawira sudah membawa pergi Arman dari rumah sakit. Ada perasaan yang membuat dia kesal juga sekarang. "Sialan, anak tidak tahu diri itu. Dia malah memindahkan ayahku," umpat Umar Sanjaya. Dia melemparkan barang dengan penuh emosi. Setelah anaknya masuk ke dalam penjara karena kebodohannya sendiri. Dia sekarang harus bergerak sendiri. "Harusnya dari awal aku membunuh anak itu," umpat Umar. "Tuan, cara lelang akan dilakukan besok. Kemungkinan banyak sekali relasi dan rekan bisnis yang datang," kata anak buahnya. Umar Sanjaya tersenyum melihat ini. "Bukannya acara ini dilaksanakan oleh pihak Sanjaya. Aku ingin merusak momen itu," katanya dengan penuh arti. "Apa yang Tuan rencanakan?" tanya anak buahnya. "Bunuh Prawira, aku ingin kamu menghabisi dia ketika acara itu," kata Umar Sanjaya dengan penuh ambisi. "Baik Tuan." "Ingat jangan sampai gagal." Umar Sanjaya mengepalkan tangannya, kali ini dia harus bisa menghab
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah besar bercat putih itu, suasana terasa begitu tegang. Ayudia terus memandangi Yasir dengan sorot mata penuh desakan. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, seolah tengah menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja."Kamu harus memperkenalkan Hana sebagai anakmu, Yasir," ucap Ayudia dengan suara tegas, tapi masih ditahan agar tidak meninggi. "Apalagi besok malam, di acara pelelangan itu. Semua orang penting akan hadir."Yasir menarik napas dalam, pandangannya lurus ke depan menembus kaca mobil. "Tidak semudah itu, Ayudia. Andreas sudah tidak dalam kendaliku lagi. Dia bisa menghancurkan segalanya.""Lupakan Andreas!" potong Ayudia cepat, matanya berkilat penuh kemarahan. "Anak itu memang durhaka, tapi jangan lupa... kamu punya darah daging lain. Hana. Dia anakmu juga. Dia punya hak atas nama besar Sanjaya."Kata-kata itu membuat Yasir diam sejenak. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya menegang. "Aku akan mengakui Hana... hanya kalau dia bisa memb
Kamar hotel Ayu tersenyum di dalam ranjang bersama dengan seorang pria, dia memperlihatkan sebuah foto yang memang dia tidak suka. "Aku ingin kamu menghabisi dia," kata Ayudia. Yasir menatap kearah foto yang ditampilkan oleh Ayudia padanya. "Bukannya ini adalah Anwar. Mantan asisten Marwan Sanjaya dulu.""Tunggu, kamu kenal dengan dia?""Iya, tentu saja. Dulu pensiun dini setelah dikeluarkan oleh Umar Sanjaya dulu.""Ini adalah mertuanya Anita. Aku susah sekali menyelidiki tentang suaminya Anita selama ini, belum lagi dia orang misterius. Aku hanya tahu kalau Anwar adalah ayah laki-laki misterius itu."Yasir membaringkan tubuhnya menatap kearah Ayu yang ada disampingnya sekarang. "Anak dari Anwar? Kamu tahu kalau Anwar itu tidak punya anak. Dulu anaknya meninggal ketika masih kecil."Ayu terkejut dengan fakta yang barusan dia dengar itu. "Apa maksudnya ini? Jadi orang itu bukan anak Anwar.""Iya, bisa dibilang begitu.""Sialan, dari awal juga aku sudah curiga. Kalau laki-laki itu h