Setelah ijab kabul di KUA bersama dengan Anita, Morgan langsung memutuskan untuk segera berangkat ke luar negeri.
"Anwar," panggil Morgan.
"Iya, Tuan."
"Kamu menyingkat namaku di dokumen pernikahan itu, bukan? Jangan sebutkan nama Prawira karena ini sangat bahaya."
"Tidak, Tuan, saya menyingkatnya dengan inisal saja. Sesuai dengan keinginan Tuan."
Morgan menghela napas. "Bagus, pastikan identitas asliku aman. Karena orang itu pasti mengincarku sekarang."
"Baik," sahut Anwar dengan kepala tertunduk. Kemudian ia menatap sekitar, memastikan tempat ini aman. "Kita harus segera pergi sekarang, Tuan Muda," kata Anwar kemudian.
"Aku belum berpamitan pada Anita," sahut Morgan.
Anwar menatap Morgan dengan pandangan iba. Namun, mereka tidak bisa mengulur waktu lebih lama.
Jika ‘orang itu’ melihat dirinya dan Morgan, maka bukan tidak mungkin kalau mereka akan melakukan sesuatu.
"Situasinya tidak aman sekarang. Kita harus bergegas, Tuan Muda."
Morgan mengepalkan tangannya kuat. Semua ini karena sepupunya yang sialan itu! Dia yakin kalau kejadian yang menimpa dirinya adalah ulah pria tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, Morgan mengalami kecelakaan yang menyebabkan mobilnya terbakar. Untungnya, dia masih bisa selamat, meski luka bakar yang dialaminya cukup parah. Tapi sebagian besar organnya masih berfungsi dengan baik. Ia hanya butuh pemulihan agar kembali seperti sedia kala.
"Sialan!" umpat Morgan kesal.
"Tuan Muda, orang itu pasti masih mengincar Anda. Terlebih setelah dia tahu kalau jasad Anda tidak ditemukan. Pasti orang itu tengah menyusuri setiap rumah sakit."
Morgan berpikir sejenak, itu memang benar adanya. Dia dalam bahaya sekarang. Terlalu banyak orang yang mengincar dan ingin membunuh dirinya.
"Kamu benar," ujar Morgan.
Anwar tidak ingin melihat majikannya itu bersedih. Lalu dia memutuskan untuk menghiburnya.
"Begini saja, bagaimana kalau Tuan Muda menghubungi Nona Anita?"
"Baiklah, aku akan mengiriminya pesan," kata Morgan akhirnya.
[Aku sudah di bandara. Jaga dirimu baik-baik.]
Morgan mengirimkan pesan tersebut kepada Anita. Setelah itu, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu masuk ke ruang tunggu bandara.
Di tempat lain, Anita membaca pesan yang dikirim oleh seseorang yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Dia membacanya dengan sekilas saja.
"Dia sudah pergi rupanya," gumam Anita.
Sampai tiba-tiba ada yang menggebrak meja kerjanya. Anita sedikit terkejut awalnya. Tetapi setelah melihat orang yang menggebrak mejanya itu, dia tidak ambil pusing.
"Kenapa?" ujar Anita setelah melihat ibu tirinya di sana.
"Kamu kenapa di sini, hah?! Siapa yang menyuruhmu bekerja di perusahaan ini? Kamu lupa kalau kamu tidak berhak?!" cecar Ayu dengan suara melengking yang memekakkan telinga.
"Bu Ayu tidak usah khawatir. Aku sudah memenuhi syaratnya kok. Aku sudah menikah," kata Anita dengan santai.
Ayu—ibu tiri Anita itu—langsung melotot tajam, tidak percaya kalau Anita sudah menikah. Dia yakin Anita pasti membohonginya.
"Kamu jangan berbohong, tidak ada bukti," kata Ayu dengan nada tajam.
Hana yang ada di sana pun ikut tersenyum meledek Anita. "Anita pasti berbohong, Ma. Dia tidak mungkin sudah menikah."
"Kamu benar, Sayang. Pertunangannya ‘kan sudah kita batalkan dulu," kata Ayu sambil tersenyum dengan puas.
Anita mengepalkan tangannya. Dugaannya memang benar, ibu tirinya sengaja membatalkan pertunangan itu agar bisa menguasai semua harta milik keluarganya.
Hana tertawa kencang. “Sebentar lagi aku yang akan bertunangan dengan putra keluarga Sanjaya," ujarnya dengan nada bangga.
"Ibu dan anak sama saja," sindir Anita sambil mendengus.
"Apa kamu bilang?!" seru Hana tidak terima.
Ayu hanya tersenyum licik, tidak terprovokasi dengan tingkah Anita yang dianggapnya sombong. "Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini. Kamu tidak pantas bekerja di kantor ini!"
"Bu Ayu tidak bisa mengusir aku dari perusahaan milik keluargaku sendiri. Ingat, aku sudah memenuhi syarat semuanya," balas Anita tenang.
Hana bersedekap dengan raut sinis. "Kalau memang kamu sudah menikah, mana buktinya?!"
"Iya, benar, mana buktinya? Kami tidak percaya kalau tidak ada bukti sama sekali!" kata Ayu tak kalah sinis.
Anita tersenyum. Dia mengeluarkan dokumen pernikahan dirinya dengan Morgan.
Ayu dan Hana langsung merebut dokumen itu dan melihatnya sendiri. Mereka berdua terkejut ketika melihat bukti kalau Anita benar-benar sudah menikah.
"Tidak mungkin! Bagaimana bisa?" pekik Ayu panik karena posisinya terancam sekarang.
Hana memperhatikan foto dari suaminya Anita yang pakai perban seperti mumi, dia langsung tertawa dengan sinis.
"Kamu menikah dengan mayat, Anita? Pasti muka dari pria itu sangat jelek sekali. Makanya ditutupi!"
Ayu yang tadinya panik pun langsung melihat ke arah foto tersebut. "Anita, kamu menikah dengan pria jelek ini pasti sengaja ‘kan? Kamu memanfaatkan situasi!"
Anita tidak terpancing. Ia justru tertawa ketika mendengar ucapan Ayu barusan. "Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah, aku sudah memenuhi syarat untuk bekerja di kantor ini."
Ayu dan Hana mendengus sinis. "Sialan, dia lebih licik dari kita!" kata Ayu.
"Kita akan mengalahkan dia nanti, ayo kita pergi dulu," ajak Hana pada ibunya.
Ayu menatap tajam ke arah Anita sebelum akhirnya wanita itu memutuskan untuk pergi.
Anita tersenyum puas setelah melihat kepergian kedua orang itu. Sekarang dia akan mulai bekerja di kantor ini, tidak ada yang berani mengintimidasinya lagi.
***
Seorang pria dalam ruangan gelap terlihat mengepalkan tangannya. Dia adalah laki-laki yang haus akan sebuah kekuasaan.
"Bagaimana? Kalian sudah menemukannya?"
"Maaf, Tuan, kami sudah mencari jasadnya tetapi tidak ditemukan sama sekali."
"Bagaimana dengan rumah sakit? Apa kalian menemukan jejaknya?" tanya pria misterius itu sekali lagi.
Anak buahnya hanya menggeleng, tampak takut. "Kami juga tidak menemukan dia di rumah sakit. Mungkin saja dia sudah meninggal dan jasadnya sudah jadi abu."
"Kalian bodoh, hah?! Sebelum jasadnya ditemukan, dia masih jadi ancaman untukku!"
"Maafkan kami, Tuan. Kami akan mencarinya lagi."
"Dasar tidak becus!" umpat pria tersebut sambil melemparkan gelas kopi bekas dirinya ke lantai hingga pecahannya tercerai-berai.
Ia meninju mejanya dengan kepalan tangan. Raut wajahnya tampak mengerikan saat berdesis, "Prawira … aku pasti akan menemukanmu!"
BERSAMBUNG
Anita masih tidak habis pikir dengan semuanya. Rasanya begitu aneh, semua orang malah berusaha untuk membohongi dirinya. Membuat dia sedikit murka. Anita berjalan keluar rumah sakit, dia masih kesal karena tidak ada yang mau jujur padanya. Sampai tak lama kemudian, Hana yang baru saja turun dari mobil melihat kearah Anita. "Anita."Anita menatap kearah Hana dengan sekilas. Wanita itu sampai datang menemui dirinya. "Kenapa?" tanya Anita. "Jelaskan padaku, bagaimana bisa Prawira adalah suami misterius kamu selama ini?" kata Hana dengan nada yang marah. Anita sendiri pun tidak tahu semuanya jadi begini. "Kenapa Hana? Kamu terkejut mengetahui fakta ini.""Jadi kamu sudah tahu selama ini? Kamu sengaja menjadikan Prawira sebagai suami kamu untuk balas dendam padaku karena aku bertunangan dengan Prayoga?" tanya Hana. Anita malah tertawa ketika mendengar ucapan dari Hana barusan. "Kamu lucu sekali Hana. Bukannya memang benar seharusnya aku yang menikah dengan Prawira. Kamu lupa kalau se
Anita membalikan tubuhnya ketika mendengar suara teriakan dari seseorang yang memanggil nama Prawira. Dia langsung mematung di tempatnya ketika melihat ada orang jahat hendak akan melukai Prawira. "Astaga.""Icha?"Anita langsung menghampiri Icha yang kini sudah berlumuran dengan darah. Dia tidak tahu kalau akan kejadian seperti ini. "Icha, kejar orang jahat itu," umpat Prawira kepada anak buahnya. Dia langsung menggendong Icha untuk menyelematkan nyawa wanita itu. Prawira sedikit merasa bersalah karena Icha sampai berkorban untuk dirinya. Padahal dia yakin kalau orang itu tadi hendak akan menyerang dirinya. "Ambulan!"Prawira membawa Icha ke dalam ambulan, begitu pun dengan Anita yang ikut ke rumah sakit sekarang. Dia menggenggam tangan Icha untuk menguatkan wanita itu. "Kenapa bisa seperti ini? Dia melindungi kamu," kata Anita. "Aku tahu," jawab Prawira.Mereka sekarang mendorong Icha yang memang terluka parah, tubuhnya banyak sekali mengeluarkan darah akibat sebuah tusukan t
"15 juta." Prawira kembali menawar benda tersebut. "20 juta," kata Hana yang kini ikutan menawar ketika melihat Prawira dan Anita tengah berdebat. Anita jadi kesal karena Hana malah ikut-ikutan menawar barang yang seharusnya milik dirinya. "30 juta!" "40 juta," balas Prawira kembali sambil melirik kearah Anita. "50 juta," kata Hana kembali. Sampai tak lama kemudian, Ayu datang membisikan sesuatu pada anaknya. "Apa kamu gila, kita tidak punya uang banyak sekarang.""Biarkan saja mah. Lagian aku sudah punya ayah yang kaya raya sekali." Hana mengatakan itu dengan nada yang sedikit bangga. "Lebih baik kamu biarkan dua orang itu berdebat saja.""Baiklah." Hana akhirnya diam dan tidak menawar lagi. "70 juta!" Anita mengatakan itu dengan sedikit penuh keberanian. "100 juta," tawar Prawira kembali membuat Anita semakin jengkel dan menatap laki-laki itu dengan tajam. "Sialan Prawira, kamu lihat Icha, dia bahkan menantang aku sekarang," bisik Anita. "Kamu bisa tawar barang itu lebih b
Umar Sanjaya tengah merasa marah setelah mengetahui kalau Prawira sudah membawa pergi Arman dari rumah sakit. Ada perasaan yang membuat dia kesal juga sekarang. "Sialan, anak tidak tahu diri itu. Dia malah memindahkan ayahku," umpat Umar Sanjaya. Dia melemparkan barang dengan penuh emosi. Setelah anaknya masuk ke dalam penjara karena kebodohannya sendiri. Dia sekarang harus bergerak sendiri. "Harusnya dari awal aku membunuh anak itu," umpat Umar. "Tuan, cara lelang akan dilakukan besok. Kemungkinan banyak sekali relasi dan rekan bisnis yang datang," kata anak buahnya. Umar Sanjaya tersenyum melihat ini. "Bukannya acara ini dilaksanakan oleh pihak Sanjaya. Aku ingin merusak momen itu," katanya dengan penuh arti. "Apa yang Tuan rencanakan?" tanya anak buahnya. "Bunuh Prawira, aku ingin kamu menghabisi dia ketika acara itu," kata Umar Sanjaya dengan penuh ambisi. "Baik Tuan." "Ingat jangan sampai gagal." Umar Sanjaya mengepalkan tangannya, kali ini dia harus bisa menghab
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah besar bercat putih itu, suasana terasa begitu tegang. Ayudia terus memandangi Yasir dengan sorot mata penuh desakan. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, seolah tengah menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja."Kamu harus memperkenalkan Hana sebagai anakmu, Yasir," ucap Ayudia dengan suara tegas, tapi masih ditahan agar tidak meninggi. "Apalagi besok malam, di acara pelelangan itu. Semua orang penting akan hadir."Yasir menarik napas dalam, pandangannya lurus ke depan menembus kaca mobil. "Tidak semudah itu, Ayudia. Andreas sudah tidak dalam kendaliku lagi. Dia bisa menghancurkan segalanya.""Lupakan Andreas!" potong Ayudia cepat, matanya berkilat penuh kemarahan. "Anak itu memang durhaka, tapi jangan lupa... kamu punya darah daging lain. Hana. Dia anakmu juga. Dia punya hak atas nama besar Sanjaya."Kata-kata itu membuat Yasir diam sejenak. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya menegang. "Aku akan mengakui Hana... hanya kalau dia bisa memb
Kamar hotel Ayu tersenyum di dalam ranjang bersama dengan seorang pria, dia memperlihatkan sebuah foto yang memang dia tidak suka. "Aku ingin kamu menghabisi dia," kata Ayudia. Yasir menatap kearah foto yang ditampilkan oleh Ayudia padanya. "Bukannya ini adalah Anwar. Mantan asisten Marwan Sanjaya dulu.""Tunggu, kamu kenal dengan dia?""Iya, tentu saja. Dulu pensiun dini setelah dikeluarkan oleh Umar Sanjaya dulu.""Ini adalah mertuanya Anita. Aku susah sekali menyelidiki tentang suaminya Anita selama ini, belum lagi dia orang misterius. Aku hanya tahu kalau Anwar adalah ayah laki-laki misterius itu."Yasir membaringkan tubuhnya menatap kearah Ayu yang ada disampingnya sekarang. "Anak dari Anwar? Kamu tahu kalau Anwar itu tidak punya anak. Dulu anaknya meninggal ketika masih kecil."Ayu terkejut dengan fakta yang barusan dia dengar itu. "Apa maksudnya ini? Jadi orang itu bukan anak Anwar.""Iya, bisa dibilang begitu.""Sialan, dari awal juga aku sudah curiga. Kalau laki-laki itu h