"Anda tidak bisa bekerja dan menguasai perusahaan, kecuali Anda menikah sekarang."
Sepasang mata Anita membelalak mendengar ucapan pengacara yang duduk di sebelahnya itu.
“Apa?” tanyanya, seolah memastikan telinganya masih berfungsi dengan baik.
"Ini adalah surat wasiat yang diberikan oleh Pak Hartanto," kata pengacara itu sambil menyerahkan sebuah dokumen pada Anita.
Buru-buru Anita membuka dokumen itu dan membaca isinya. Apa yang dikatakan oleh pengacara itu memang benar adanya. Tapi ini benar-benar konyol!
Wanita itu menghela napas panjang. Setelah ayahnya meninggal, semua hartanya dikuasai oleh adik tiri dan ibu tirinya. Anita benar-benar frustrasi karena tidak bisa melakukan apapun sekarang.
"Kalau begitu saya permisi dulu."
Pengacara tersebut langsung pergi begitu saja setelah memberikan surat wasiat tersebut.
Sekali lagi, Anita membaca dengan seksama dan dia mengepalkan tangannya. Bagaimanapun, harta milik ayahnya dan perusahaan milik ibu kandungnya tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang itu!
Tapi ke mana ia harus mencari suami dalam waktu dekat?!
Andai dulu pertunangannya dengan putra keluarga Sanjaya tidak batal, semua ini pasti tidak akan terjadi.
Keluarga tirinya memang licik. Pertunangan Anita dibatalkan oleh ibu tirinya, dan sekarang saudari tirinyalah yang akan bertunangan putra keluarga Sanjaya.
Anita berjalan menuju ruangan administrasi untuk membayar semua biaya rumah sakit selama ayahnya dirawat di sini.
Namun, langkahnya terhenti saat seorang pria paruh baya tiba-tiba menghampirinya.
"Tolong saya," ujar pria itu nampak kebingungan.
Anita menatapnya dengan kening berkerut. "Kenapa, Pak?"
"Saya tidak punya uang untuk biaya rumah sakit, tapi anak saya harus dioperasi segera. Saya mohon bantu saya. Saya akan melakukan apapun," ujar orang itu pada Anita, suaranya terdengar putus asa.
“Maaf, tapi saya tidak—”
“Saya mohon!” Pria tersebut tiba-tiba berlutut di kaki Anita, membuat wanita itu terkejut dan kelabakan.
“Pak, jangan begini,” kata Anita panik.
Sungguh, kepalanya sudah pusing memikirkan surat wasiat itu. Sekarang, ia harus menghadapi masalah lain yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Namun, melihat raut wajah pria tua itu, Anita benar-benar tidak tega.
Ia pun membantu pria itu untuk bangkit. “Boleh saya bertemu anak Bapak dulu?" tanyanya. Anita takut pria ini berbohong dan berniat menipu dirinya dengan meminta uang.
"Mari, dia ada di ruangan nomor 45," kata pria paruh baya tersebut.
Anita berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh pria itu. Dari ambang pintu, dia melihat orang yang diperban seperti mumi. Itu membuat Anita sedikit terkejut sehingga ia bahkan tidak berani melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam ruangan.
Namun, Anita memperhatikan dengan seksama. Dilihat dari posturnya, orang itu cukup tinggi. Tadinya, Anita mengira anaknya itu masih kecil, tetapi ternyata dia terlihat dewasa.
"Jadi … itu anak bapak?" tanya Anita memastikan.
"Iya, usianya 27 tahun. Dia mengalami insiden kebakaran ketika tengah bekerja. Tubuhnya terbakar dan dia jadi seperti ini," ujar pria tersebut dengan suara bergetar.
"Dia laki-laki?" tanya Anita, tapi suaranya seperti tengah bergumam.
"Iya, dia juga bisa berbicara, hanya saja tidak bisa banyak bergerak karena tubuhnya melepuh."
Anita terdiam cukup lama. Kepalanya sibuk menimbang-nimbang dengan cermat.
Kebetulan sekali umur laki-laki ini tidak jauh beda dengan dirinya. Dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk memanfaatkan situasi.
"Begini saja, Pak …." Anita menggantungkan ucapannya karena dia belum berkenalan dengan orang yang ada di hadapannya itu.
"Nama saya Anwar."
"Oke, Pak Anwar, jadi begini. Kebetulan saya tengah mencari seorang suami yang hanya dalam kertas saja. Bagaimana kalau Pak Anwar menikahkan saya dengan anak Bapak?” kata Anita. “Bapak tenang saja, semua biaya rumah sakitnya nanti akan saya bayarkan. Saya juga akan memberikan dia uang untuk melakukan operasi di luar negeri.”
Anwar membelalak mendengar ucapan Anita. “Menikah?” beonya. Tapi raut wajahnya tampak penuh perhitungan. "Boleh saya meminta waktu? Saya harus berbicara dulu dengannya," katanya lagi.
Anita hanya mengangguk sambil mengeluarkan kartu namanya. "Ini kartu nama saya. Jika Pak Anwar tidak keberatan, nanti bisa hubungi saya kembali."
"Baik, terima kasih banyak."
Anita langsung pergi setelah memberikan kartu nama tersebut. Dia tersenyum sedikit lega. Semoga saja … laki-laki itu mau menikah dengan dirinya.
***
Di sisi lain, Anwar kembali masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria tengah berbaring seperti mumi.
"Kita tidak punya uang bayar rumah sakit," ujar pria yang masih dalam perawatan itu ketika Anwar sudah berdiri di sisi ranjangnya.
"Saya bertemu dengan seseorang dan meminta bantuannya."
"Apa maksud kamu, Anwar?" tanya pria itu dengan suara berat yang membuat Anwar menunduk takzim.
"Ampun, Tuan Morgan. Saya mengaku sebagai ayah Anda dan meminta bantuan seorang wanita," ujar Anwar.
"Meminta bantuan seorang wanita? Siapa? Pasti dia meminta dengan sebuah imbalan, bukan?" tanya Morgan penuh selidik. Ia tahu, tidak ada orang yang benar-benar baik tanpa pamrih. Apalagi di dunianya yang penuh tipu muslihat.
Anwar masih menundukkan kepalanya karena takut dengan majikannya itu. Dia hanya ingin membantu dan tidak punya pilihan lain.
"Iya … dia berkata akan membantu apabila Tuan bersedia menikah dengannya," jelas Anwar. “Tapi hanya menikah di atas kertas, tidak lebih.”
"Apa kamu gila?!” Meski dibalut seperti mumi, suara Morgan terdengar lantang, membuat Anwar tersentak kaget. “Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti itu!” kata Morgan lagi.
“Maaf, Tuan ….”
Morgan menghela napas panjang. “Kalau bukan karena dikhianati oleh keluargaku sendiri, kita tidak akan seperti ini!" umpatnya dengan nada kesal.
"Saya minta maaf, Tuan Muda. Tetapi kita sudah tidak punya uang lagi. Kalau Tuan muncul di hadapan mereka sekarang, bukan tidak mungkin kalau mereka akan berusaha untuk mencelakai Tuan kembali," kata Anwar.
Morgan termenung memikirkan itu. Saat ini, dia memang butuh perlindungan karena keluarganya pasti akan berusaha untuk mencelakai dirinya lagi apabila mereka tahu dirinya masih hidup.
"Kamu benar. Aku harus bersembunyi untuk sementara waktu dan memulihkan tubuhku," ujar Morgan sambil melihat ke arah tubuhnya yang hampir semuanya diperban.
"Iya, Tuan Muda. Memang sebaiknya kita bersembunyi dulu sampai urusan kita selesai."
"Wanita mana yang mau menjadikan aku sebagai suami di atas kertas?" tanya Morgan kemudian. Dia penasaran dengan wanita yang melakukan hal konyol seperti ini.
Anwar kemudian mengeluarkan kartu nama dari sakunya, lalu memberikannya pada Morgan.
"Ini, Tuan."
Morgan mengambilnya dan membaca dengan seksama. Diam-diam dia mengulas senyum penuh arti meski tidak terlihat.
"Anita Anindiya Hartanto…," gumam pria itu. "Menarik.”
BERSAMBUNG
Anita masih tidak habis pikir dengan semuanya. Rasanya begitu aneh, semua orang malah berusaha untuk membohongi dirinya. Membuat dia sedikit murka. Anita berjalan keluar rumah sakit, dia masih kesal karena tidak ada yang mau jujur padanya. Sampai tak lama kemudian, Hana yang baru saja turun dari mobil melihat kearah Anita. "Anita."Anita menatap kearah Hana dengan sekilas. Wanita itu sampai datang menemui dirinya. "Kenapa?" tanya Anita. "Jelaskan padaku, bagaimana bisa Prawira adalah suami misterius kamu selama ini?" kata Hana dengan nada yang marah. Anita sendiri pun tidak tahu semuanya jadi begini. "Kenapa Hana? Kamu terkejut mengetahui fakta ini.""Jadi kamu sudah tahu selama ini? Kamu sengaja menjadikan Prawira sebagai suami kamu untuk balas dendam padaku karena aku bertunangan dengan Prayoga?" tanya Hana. Anita malah tertawa ketika mendengar ucapan dari Hana barusan. "Kamu lucu sekali Hana. Bukannya memang benar seharusnya aku yang menikah dengan Prawira. Kamu lupa kalau se
Anita membalikan tubuhnya ketika mendengar suara teriakan dari seseorang yang memanggil nama Prawira. Dia langsung mematung di tempatnya ketika melihat ada orang jahat hendak akan melukai Prawira. "Astaga.""Icha?"Anita langsung menghampiri Icha yang kini sudah berlumuran dengan darah. Dia tidak tahu kalau akan kejadian seperti ini. "Icha, kejar orang jahat itu," umpat Prawira kepada anak buahnya. Dia langsung menggendong Icha untuk menyelematkan nyawa wanita itu. Prawira sedikit merasa bersalah karena Icha sampai berkorban untuk dirinya. Padahal dia yakin kalau orang itu tadi hendak akan menyerang dirinya. "Ambulan!"Prawira membawa Icha ke dalam ambulan, begitu pun dengan Anita yang ikut ke rumah sakit sekarang. Dia menggenggam tangan Icha untuk menguatkan wanita itu. "Kenapa bisa seperti ini? Dia melindungi kamu," kata Anita. "Aku tahu," jawab Prawira.Mereka sekarang mendorong Icha yang memang terluka parah, tubuhnya banyak sekali mengeluarkan darah akibat sebuah tusukan t
"15 juta." Prawira kembali menawar benda tersebut. "20 juta," kata Hana yang kini ikutan menawar ketika melihat Prawira dan Anita tengah berdebat. Anita jadi kesal karena Hana malah ikut-ikutan menawar barang yang seharusnya milik dirinya. "30 juta!" "40 juta," balas Prawira kembali sambil melirik kearah Anita. "50 juta," kata Hana kembali. Sampai tak lama kemudian, Ayu datang membisikan sesuatu pada anaknya. "Apa kamu gila, kita tidak punya uang banyak sekarang.""Biarkan saja mah. Lagian aku sudah punya ayah yang kaya raya sekali." Hana mengatakan itu dengan nada yang sedikit bangga. "Lebih baik kamu biarkan dua orang itu berdebat saja.""Baiklah." Hana akhirnya diam dan tidak menawar lagi. "70 juta!" Anita mengatakan itu dengan sedikit penuh keberanian. "100 juta," tawar Prawira kembali membuat Anita semakin jengkel dan menatap laki-laki itu dengan tajam. "Sialan Prawira, kamu lihat Icha, dia bahkan menantang aku sekarang," bisik Anita. "Kamu bisa tawar barang itu lebih b
Umar Sanjaya tengah merasa marah setelah mengetahui kalau Prawira sudah membawa pergi Arman dari rumah sakit. Ada perasaan yang membuat dia kesal juga sekarang. "Sialan, anak tidak tahu diri itu. Dia malah memindahkan ayahku," umpat Umar Sanjaya. Dia melemparkan barang dengan penuh emosi. Setelah anaknya masuk ke dalam penjara karena kebodohannya sendiri. Dia sekarang harus bergerak sendiri. "Harusnya dari awal aku membunuh anak itu," umpat Umar. "Tuan, cara lelang akan dilakukan besok. Kemungkinan banyak sekali relasi dan rekan bisnis yang datang," kata anak buahnya. Umar Sanjaya tersenyum melihat ini. "Bukannya acara ini dilaksanakan oleh pihak Sanjaya. Aku ingin merusak momen itu," katanya dengan penuh arti. "Apa yang Tuan rencanakan?" tanya anak buahnya. "Bunuh Prawira, aku ingin kamu menghabisi dia ketika acara itu," kata Umar Sanjaya dengan penuh ambisi. "Baik Tuan." "Ingat jangan sampai gagal." Umar Sanjaya mengepalkan tangannya, kali ini dia harus bisa menghab
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah besar bercat putih itu, suasana terasa begitu tegang. Ayudia terus memandangi Yasir dengan sorot mata penuh desakan. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, seolah tengah menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja."Kamu harus memperkenalkan Hana sebagai anakmu, Yasir," ucap Ayudia dengan suara tegas, tapi masih ditahan agar tidak meninggi. "Apalagi besok malam, di acara pelelangan itu. Semua orang penting akan hadir."Yasir menarik napas dalam, pandangannya lurus ke depan menembus kaca mobil. "Tidak semudah itu, Ayudia. Andreas sudah tidak dalam kendaliku lagi. Dia bisa menghancurkan segalanya.""Lupakan Andreas!" potong Ayudia cepat, matanya berkilat penuh kemarahan. "Anak itu memang durhaka, tapi jangan lupa... kamu punya darah daging lain. Hana. Dia anakmu juga. Dia punya hak atas nama besar Sanjaya."Kata-kata itu membuat Yasir diam sejenak. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya menegang. "Aku akan mengakui Hana... hanya kalau dia bisa memb
Kamar hotel Ayu tersenyum di dalam ranjang bersama dengan seorang pria, dia memperlihatkan sebuah foto yang memang dia tidak suka. "Aku ingin kamu menghabisi dia," kata Ayudia. Yasir menatap kearah foto yang ditampilkan oleh Ayudia padanya. "Bukannya ini adalah Anwar. Mantan asisten Marwan Sanjaya dulu.""Tunggu, kamu kenal dengan dia?""Iya, tentu saja. Dulu pensiun dini setelah dikeluarkan oleh Umar Sanjaya dulu.""Ini adalah mertuanya Anita. Aku susah sekali menyelidiki tentang suaminya Anita selama ini, belum lagi dia orang misterius. Aku hanya tahu kalau Anwar adalah ayah laki-laki misterius itu."Yasir membaringkan tubuhnya menatap kearah Ayu yang ada disampingnya sekarang. "Anak dari Anwar? Kamu tahu kalau Anwar itu tidak punya anak. Dulu anaknya meninggal ketika masih kecil."Ayu terkejut dengan fakta yang barusan dia dengar itu. "Apa maksudnya ini? Jadi orang itu bukan anak Anwar.""Iya, bisa dibilang begitu.""Sialan, dari awal juga aku sudah curiga. Kalau laki-laki itu h