"15 juta." Prawira kembali menawar benda tersebut. "20 juta," kata Hana yang kini ikutan menawar ketika melihat Prawira dan Anita tengah berdebat. Anita jadi kesal karena Hana malah ikut-ikutan menawar barang yang seharusnya milik dirinya. "30 juta!" "40 juta," balas Prawira kembali sambil melirik kearah Anita. "50 juta," kata Hana kembali. Sampai tak lama kemudian, Ayu datang membisikan sesuatu pada anaknya. "Apa kamu gila, kita tidak punya uang banyak sekarang.""Biarkan saja mah. Lagian aku sudah punya ayah yang kaya raya sekali." Hana mengatakan itu dengan nada yang sedikit bangga. "Lebih baik kamu biarkan dua orang itu berdebat saja.""Baiklah." Hana akhirnya diam dan tidak menawar lagi. "70 juta!" Anita mengatakan itu dengan sedikit penuh keberanian. "100 juta," tawar Prawira kembali membuat Anita semakin jengkel dan menatap laki-laki itu dengan tajam. "Sialan Prawira, kamu lihat Icha, dia bahkan menantang aku sekarang," bisik Anita. "Kamu bisa tawar barang itu lebih b
Umar Sanjaya tengah merasa marah setelah mengetahui kalau Prawira sudah membawa pergi Arman dari rumah sakit. Ada perasaan yang membuat dia kesal juga sekarang. "Sialan, anak tidak tahu diri itu. Dia malah memindahkan ayahku," umpat Umar Sanjaya. Dia melemparkan barang dengan penuh emosi. Setelah anaknya masuk ke dalam penjara karena kebodohannya sendiri. Dia sekarang harus bergerak sendiri. "Harusnya dari awal aku membunuh anak itu," umpat Umar. "Tuan, cara lelang akan dilakukan besok. Kemungkinan banyak sekali relasi dan rekan bisnis yang datang," kata anak buahnya. Umar Sanjaya tersenyum melihat ini. "Bukannya acara ini dilaksanakan oleh pihak Sanjaya. Aku ingin merusak momen itu," katanya dengan penuh arti. "Apa yang Tuan rencanakan?" tanya anak buahnya. "Bunuh Prawira, aku ingin kamu menghabisi dia ketika acara itu," kata Umar Sanjaya dengan penuh ambisi. "Baik Tuan." "Ingat jangan sampai gagal." Umar Sanjaya mengepalkan tangannya, kali ini dia harus bisa menghab
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah besar bercat putih itu, suasana terasa begitu tegang. Ayudia terus memandangi Yasir dengan sorot mata penuh desakan. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, seolah tengah menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja."Kamu harus memperkenalkan Hana sebagai anakmu, Yasir," ucap Ayudia dengan suara tegas, tapi masih ditahan agar tidak meninggi. "Apalagi besok malam, di acara pelelangan itu. Semua orang penting akan hadir."Yasir menarik napas dalam, pandangannya lurus ke depan menembus kaca mobil. "Tidak semudah itu, Ayudia. Andreas sudah tidak dalam kendaliku lagi. Dia bisa menghancurkan segalanya.""Lupakan Andreas!" potong Ayudia cepat, matanya berkilat penuh kemarahan. "Anak itu memang durhaka, tapi jangan lupa... kamu punya darah daging lain. Hana. Dia anakmu juga. Dia punya hak atas nama besar Sanjaya."Kata-kata itu membuat Yasir diam sejenak. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya menegang. "Aku akan mengakui Hana... hanya kalau dia bisa memb
Kamar hotel Ayu tersenyum di dalam ranjang bersama dengan seorang pria, dia memperlihatkan sebuah foto yang memang dia tidak suka. "Aku ingin kamu menghabisi dia," kata Ayudia. Yasir menatap kearah foto yang ditampilkan oleh Ayudia padanya. "Bukannya ini adalah Anwar. Mantan asisten Marwan Sanjaya dulu.""Tunggu, kamu kenal dengan dia?""Iya, tentu saja. Dulu pensiun dini setelah dikeluarkan oleh Umar Sanjaya dulu.""Ini adalah mertuanya Anita. Aku susah sekali menyelidiki tentang suaminya Anita selama ini, belum lagi dia orang misterius. Aku hanya tahu kalau Anwar adalah ayah laki-laki misterius itu."Yasir membaringkan tubuhnya menatap kearah Ayu yang ada disampingnya sekarang. "Anak dari Anwar? Kamu tahu kalau Anwar itu tidak punya anak. Dulu anaknya meninggal ketika masih kecil."Ayu terkejut dengan fakta yang barusan dia dengar itu. "Apa maksudnya ini? Jadi orang itu bukan anak Anwar.""Iya, bisa dibilang begitu.""Sialan, dari awal juga aku sudah curiga. Kalau laki-laki itu h
Anita bangun dari tidurnya dan mendapati tempat di sampingnya kosong. Selimut masih berantakan, menandakan seseorang memang pernah ada di sana.“Apa laki-laki itu sudah bangun?” gumamnya, sambil mengucek mata.Ada rasa aneh menyergap dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia miliki. Dengan langkah pelan, ia turun dari ranjang, mencuci muka, dan menggosok gigi. Setelah itu, ia memberanikan diri turun ke lantai bawah.Suara gelak tawa samar terdengar dari ruang makan. Saat melongok, ia melihat Kakek Arman duduk tenang, ditemani Prawira yang tersenyum seolah sedang menutupi sesuatu.“Ayo sarapan, Nak,” panggil Kakek Arman ramah.“Iya, Kek,” jawab Anita ragu.Ia pun duduk bersama mereka, mencoba terlihat wajar. Namun, matanya terus berkeliling mencari sosok lain yang seharusnya ada di rumah ini.“Pak Anwar ke mana?” tanyanya hati-hati.“Dia di belakang,” jawab Kakek Arman singkat.Hati Anita langsung berdebar. Bagaimana kalau Pak Anwar tahu aku tidur dengan Prawira? Apa dia
Anita sudah membaringkan tubuhnya di kasur empuk tempat tinggal Kakek Prawira. Dia terpaksa harus satu kamar lagi dengan laki-laki itu. "Bagaimana kalau Morgan mengetahui," gumam Anita sedikit gelisah. Dia harus tidur dengan Prawira, padahal Anita curiga kalau memang benar suaminya adalah bagian dari keluarga Sanjaya, dan sekarang dia harus tidur dengan Prawira. "Kamu belum tidur?" tanya Prawira dengan rambut basah ciri khas orang ketika habis mandi. Anita menoleh kearah Prawira sekilas, hampir saja dia terpesona dengan penampilan dari Prawira sekarang. Beruntung sekali dia bisa mengendalikan dirinya. "Iya, aku belum tidur.""Apa kamu khawatir kalau aku akan melakukan sesuatu?" tanya Prawira kembali. Anita memutar bola matanya jengah. "Sudah tahu pake nanya.""Bukannya aku sudah bilang, kalau pun aku tidur dengan kamu, aku tidak akan melakukan hal yang aneh.""Aku tidak percaya dengan orang bajingan seperti kamu," kata Anita. "Iya terserah kamu kalau tidak percaya," kata Prawir