"Bagaimana kabarmu di sana?" tanya Nathan, paginya terasa kosong karena hanya bisa menyapa Diana lewat panggilan telepon. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan jadwalku masih padat. Bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, hanya rindu kepadamu." Bibir Nathan bekernyut menahan senyum sekaligus malu, kemudian langsung menambahi, "Tetap jaga kesehatan dan gunakan waktu istirahatmu dengan baik, Diana. Pagi ini kau sudah makan?" "Sudah! Kau juga jangan lupa makan, ya? Ehm, omong-omong, nanti malam aku ingin makan bersamamu, bisakah kau datang ke agensi hari ini?" "Kuharap aku bisa, aku akan membereskan pekerjaan dan datang ke sana secepat mungkin." "Yeay! Aku senang jika kau bisa datang, tapi aku juga tidak memaksa, selesaikanlah dulu semua pekerjaanmu sebelum datang ke sini." "Baiklah, sampai jumpa nanti sore." "Sampai jumpa!" Sebuah senyuman terus saja terukir di bibir Nathan meski sambungan telepon dengan Diana sudah berakhir. Nathan tidak sabar untuk bertemu Diana sore n
"Jadi, Hera, ada cerita menarik apa selama dua minggu terakhir?" tanya Nathan sembari memandang rekannya yang hampir 3 minggu tidak ia jumpai. Nathan sibuk menemani Diana di masa-masa promosinya yang sampai sekarang masih belum selesai. Tetapi akhirnya dia sadar bahwa dia tidak boleh melakukan itu terus menerus, dia harus menjalankan tugas yang jadi prioritas utamanya. Saat ini, dia dan Hera berada di sebuah kafe besar yang cukup ramai dan berisik. Mereka sengaja memilih tempat duduk paling ujung karena tidak ingin menanggung risiko jika rahasia mereka bocor kepada publik. Tidak lama kemudian, Hera memulai cerita panjangnya. "Dua minggu yang lalu, Direktur Park meliburkan hampir semua karyawan, pabriknya dijaga dengan sangat ketat dan hanya para pegawai terpilih yang bisa masuk, aku salah satunya. Jadi, sudah ada ilmuwan asing yang katanya akan mencoba meningkatkan kadar uranium dan membantu pembuatan senjata nuklir. Lalu, mereka juga akan membangun sesuatu di area paling belakang
Situasi Haven tampak sangat damai, di halaman depan rumah ada seorang wanita yang sedang asyik menyiram tanaman. Ketika Nathan datang dengan mobil putihnya, wanita itu langsung menyambut dan mengajak Nathan masuk ke dalam rumah. "Jo sudah menunggu di ruang kerja, di sana juga ada Julius, baru datang malam tadi," ucap wanita itu. "Julius? Sejak kapan dia ada di Korea Selatan?" gumam Nathan, jawabannya akan dia temukan setelah berjumpa langsung dengan kawan dekatnya tersebut. Sampai di sana, Nathan melihat Johansson sedang duduk dan fokus pada komputer, sedangkan Julius yang berdiri di sampingnya langsung tersenyum semringah saat menyadari kehadiran Nathan. "Apa kabar, Davis? Wah, kulihat kau semakin bugar, apa kehidupan pernikahanmu berjalan dengan lancar?" tanya Julius selagi berjabat tangan. Nathan tersengih. "Begitulah. Omong-omong, sejak kapan kau datang ke Korea dan untuk hal apa?" "Dua hari lalu, aku ditugaskan untuk ikut bersama Duta Besar dalam pertemuannya dengan Perdana
Tiga hari sejak kejadian tak menyenangkan yang dialami oleh pasangan suami istri itu, mereka berdua masih saling mendiamkan. Sempat beberapa kali Nathan mengajak Diana berbincang, tetapi hasilnya nihil, Diana tetap kukuh merajuk pada suaminya itu. Bahkan ketika tidur pun, Diana mengambil tempat paling pinggir di kasurnya agar tak bersentuhan dengan Nathan. Pada awalnya, Diana 100% sadar dengan apa yang ia lakukan, namun saat melihat Nathan yang tampak hilang semangat dan mulai tak peduli padanya, hati Diana tiba-tiba terasa sakit. Ada waktu di mana Nathan hanya tersenyum saat mereka berpapasan, tidak menyapa atau mencoba berkomunikasi dengannya kemudian langsung berangkat dari rumah. Ya, pagi ini. Pagi ini Nathan melakukan itu. Dan Diana benar-benar dibuat menyesal. "Aku tidak bisa datang hari ini, Kak, maaf," ucap Diana kepada manajernya dalam sambungan telepon. Dia menutup dan menyimpan benda pipih itu di atas meja, lalu beranjak ke dapur sebab ingin membuat minuman hangat untuk
Merenung, sepertinya adalah kegiatan rutin Nathan akhir-akhir ini. Bukan tanpa alasan. Siang tadi, dia mendapat pesan dari Johansson untuk segera memutus hubungan dengan semua orang yang ada di Korea Selatan, termasuk Diana. Padahal, tadinya Nathan ingin mengajak Diana berlibur, namun dia tidak punya banyak waktu. Selama ini, Nathan menganggap bahwa pernikahannya dengan Diana akan berlanjut sampai mereka tua. Namun kemudian dia sadar, pernikahannya itu tidak suci, hanya main-main dan merupakan bagian dari rencana yang tak bermoral. Dia tidak ingin meninggalkan Diana, tidak pernah ingin. Namun dia harus. Bohong jika Nathan berkata bahwa dia tidak jatuh cinta kepada Diana. Dia jatuh cinta, dengan sangat dalam. Tiap ucapan, tiap pemikiran, tiap senyuman, tiap-tiap bagian dalam diri Diana, Nathan mencintai semuanya tanpa terkecuali. Perasaan yang awalnya ia sangkal, justru tumbuh semakin besar. Dan perasaan itu seharusnya tidak pernah ada. Sudahlah, percuma saja Nathan berandai-andai
Dua orang itu duduk berjauhan dan saling terdiam, tak ada sedikitpun ekspresi yang tampak di wajah mereka. Diana berada di pojok kepala kasur, bersandar sambil memeluk bantal dan pandangannya tertuju jauh ke arah balkon. Sedangkan suaminya, Nathan, duduk di tepi kasur setelah memperlihatkan surat cerai yang kini tergeletak tak berguna di antara mereka. Lamunan keduanya berlangsung cukup lama, memikirkan betapa sulitnya untuk mengakhiri hubungan saat tidak ada perkara yang terjadi, kecuali perbedaan. Sayang, mereka harus kembali menjalani hidup sesuai profesi yang bertentangan satu sama lain. Diana dengan hidupnya yang bergelimang harta dan popularitas, yang selalu disorot kamera dan disebarkan ke seluruh media. Sementara Nathan, dia bergerak di 'bawah tanah' agar baunya tak sedikitpun dicium oleh lawan. Hal itulah yang seolah memaksa mereka untuk melakukannya, perpisahan. "Diana ..." "Pergilah." Ketika itu, Nathan lebih dulu membuka suara, namun Diana langsung menyela dengan suara
"NATHAN LEE! KELUAR KAU!"Teriakan itu menggelegar ke segala penjuru rumah. Diana yang sedang berada di dapur lantas berlari ke arah depan dan menemukan James Park dengan amarah yang berapi-api. "Diana! Katakan di mana Nathan Lee! Aku akan membunuhnya sekarang juga!" ketus James.Diana menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak ada, dia sudah pergi," katanya. Pria paruh baya itu segera mendekat dan mencengkeram kedua bahu Diana, pandangannya tajam menusuk, sama seperti suaranya ketika dia bicara, "Ke mana perginya Nathan Lee? Jelaskan apa yang kau maksud, Diana Park! Apa kau tahu bahwa dia adalah mata-mata? Dia mencuri informasi perusahaanku! Dasar keparat sialan itu! Katakan ke mana dia pergi!" "A-aku tidak tahu, Ayah. Dia pergi tadi malam. Aku tahu siapa dia, dan ... kami sudah bercerai," gumam Diana sembari tertunduk menyembunyikan rasa takutnya. "Kenapa? Kenapa kau membiarkannya pergi?!""Mana kutahu! Jangan salahkan aku atas perbuatan yang sudah Ayah lakukan! Kenapa Ayah bisa
Pulang, adalah waktu yang paling dinantikan oleh Nathan. Liburan musim dingin tahun ini akan sepenuhnya ia gunakan untuk pulang ke Connecticut, kampung halaman, tempat orang tua dan kedua adiknya tinggal. Meski tugas menuntut Nathan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, rumah paling nyaman tentulah ada di Kota Ridgefield. Dia turun dari bus dengan senyuman gembira. Sembari menggendong tas punggung, kakinya melangkah lebih jauh ke dalam kompleks perumahan yang hijau dan asri, hingga akhirnya tiba di depan hunian bertingkat gaya Amerika. Nathan, sejatinya hanyalah seorang anak yang sedang merindukan rumah, begitu melihat sang ibu keluar dari pintu untuk menyambutnya, senyuman Nathan langsung terlukis amat lebar dan segera menghampiri wanita baya bernama Sarah itu. "Austin, akhirnya kau pulang. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihatmu pulang dengan selamat." Sarah menangkup wajah anak sulungnya dengan bangga."Aku ingin eggnog hangat buatanmu," celetuk Nathan, itu