Awal minggu yang aneh di Tashkent. Aku ingin segera bertemu Vian dan menceritakan segalanya. Bagaimanapun dia harus tahu. Tapi mengapa ia sulit dihubungi. Apakah ia baik-baik saja? Atau jangan-jangan … Aku segera menghentikan pikiran buruk dan lebih memilih membantu Bibi merapikan rumah.
Matahari mulai meninggi, terlihat dari bayang-bayangnya di balik pohon yang berdiri di halaman. Angin semilir menyusup mengisi ruangan melalui jendela-jendela yang sengaja aku buka.
“Nyonya, ruangan tamu, bagian tengah dan dapur sudah hampir selesai. Hanya tinggal bagian lantai atas yang belum saya bersihkan.”
“Owh … tidak apa, Bi. Besok saja. Aku ingin beristirahat dulu tanpa gangguan.
“Baik. Apa perlu saya siapkan makan siang untuk Nyonya?&rd
Setengah marah, aku membuka mapnya. Akan tetapi yang terlihat sebuah pesan, bukan tagihan.“Kembalikan barangnya. Jangan sampai laki-laki yang menumpahkan minuman itu pergi.”Deg.Aku terperangah, kemudian mendorong kursiku dan beranjak pergi. Setengah berlari aku menuju pintu belakang cafe dan sempat dihadang oleh seorang pekerja.“Maaf … laki-laki yang tadi berbicara dengan orang itu kemana?” tanyaku terburu-buru sambil menunjuk laki-laki terakhir yang melayaniku.“Dia menuju ke belakang sana,” Kepalanya bergerak kecil seolah menunjuk.Aku menggeser badannya yang menghalangiku, kemudian menyusuri meja-meja dapur untuk mencar
Aku melihat sekilas wajah tampannya dengan bulu mata yang panjang. Aku menerka-nerka atas apa yang terjadi hari ini. Mengapa aku harus menemuinya. Sementara itu, ia tidak mau menerima kunci yang diberikan. Hingga akhirnya, aku harus terjebak di sini bersamanya.Sesekali aku melirik ke arah arloji. Sudah hampir dua jam kami menunggu di sini. Dua polisi yang membawa anak itu tak juga kunjung datang.“Sampai kapan kita di sini? Sebaiknya aku pergi saja.”Laki-laki itu beranjak berdiri dan mengebut-ngebutkan jaketnya yang sedari tadi dijadikan alas untuk duduk di pinggiran parkiran.Aku menoleh ke arah polisi dan anak itu memasuki gedung. “Bagaimana jika kita menyusul mereka?”“Kau saja.
Terdengar suara langkah kaki bergerak cepat mengejar kami. Namun kali ini, suara gonggongan anjing menyertai derap langkahnya. Laki-laki itu menjauh dariku, sedangkan aku … tak ada pilihan lain selain ikut berlari. Suara gonggongan anjing semakin keras dan mendekat. Aku semakin mempercepat langkah kakiku. Laki-laki itu berhenti di sebelah kayu-kayu usang. “Ayo, Sini! Naik!” Aku menyambut tangannya yang membantuku naik ke atas. Ia mendorong pahaku. Semoga saja dia tidak berpikiran cabul karena berada tepat di bawahku. Sementara itu, tangan kanannya kujadikan pijakan untuk kaki. Setelah berhasil memanjat deretan kayu s
“Nyonya Anya!” panggilnya. “Ah … i-iya. Kenapa? Kau bisa memanggilku Anya saja.” “Owh … baiklah.,” jawabnya. “Kau punya handuk?” “Ada di dalam.” Aku merasa gugup setelah tertangkap mata menatapnya tanpa jeda. “Aku tak akan lama.” “Tak masalah,” jawabku seraya mengusap layar ponsel dan menekan nomor Vian. Aku harus memberitahunya jika ada seseorang di rumah. Jangan sampai ia tahu dari orang lain. Ini akan membuat suasana menjadi buruk. Lama kutunggu nada panggilan berbunyi, tapi suara Vian tak juga terdengar di seberang sana. Apa ia sudah tertidur padahal malam belum terlalu larut.
Jam di dinding lobi hotel menunjukkan pukul 11.05. Itu berarti sekarang di Jakarta pukul 13.05. Raya, sahabatku mungkin tengah makan siang bersama keluarganya.Ah … Raya. Aku rindu. Sudah lama tidak bertemu dengan sahabat kecilku.Mengingat Raya, semakin membuatku merasa bosan sendirian. Rasa kesepian kadang menyelimuti, tapi setidaknya hari ini Ayah datang. Itu sedikit mengobati rasa kesepianku.Di mana Ayah? Aku sudah bosan setengah mati menunggu di sini.Aku beranjak dari kursi menuju meja resepsionis.“Selamat siang, Apakah tamu atas nama Patrisia Eidween menginap di sini?”Wanita muda berparas cantik dengan balutan seragam karyawan itu menghentikan kegiatan
Aku menggunting perekat yang membungkus kotak. Kubuka perlahan dan melihat isinya. Benda ini berupa gagang seperti huruf S. Aku mengangkatnya perlahan. Keningku mengkerut. Sebuah gagang pemutar kaca jendela mobil telah dikirimkan untukku.Untuk apa ini?Aku tak tahu siapa pengirimnya dan untuk apa. Namun, firasatku menyatakan benda ini harus aku bawa, kemudian gagang itu aku masukan ke tas di bagian dalam. Sebuah foto teraba oleh kulit tanganku. Aku mengambil salah satunya.Foto itu membuatku bergidik. Bagaimana seseorang bisa mengambil foto di rumahku tanpa diketahui. Nampaknya, saat ini aku mulai tidak aman berada di rumah sendiri. Aku kembali mengamati foto itu, kemudian teringat akan Alee.Ah iya … Alee. Semua kejadian ini bermula setelah pertemuanku den
Rasa penasaran menggelitik di pikiran. Aku segera bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran air pada wastafel. Jantungku melonjak kaget, ketika kuputar kran, rupanya air itu tidak mengalir sama sekali, seperti rumah yang telah lama tidak berpenghuni.Ketika perasaan bingung melanda logika, Alee keluar dengan celana jeans dan jaket merah.“Mau minum?” Ia menenteng dua buah minuman kaleng.“Foto siapa ini?” Aku menantang Alee dengan pertanyaan.“Itu keluargaku di desa,” jawabnya tanpa beban.“Kalau begitu, tolong tunjukkan padaku. Bukalah foto ini!”Aku menyodorkan bingkai foto pada Alee.
Aku menoleh ke belakang. Rupanya van itu masih membuntuti kami.Alee mengarahkan mobil ke jalan utama yang menurun. Badanku terhentak ketika Alee memaksa mobil melaju di atas 100 meter/jam dan ban membentur pengaduh jalan.Di jalanan utama mulai terlihat beberapa mobil berlalu lalang. Namun, tak membuat Alee memperlambat kecepatan mobilnya. Ia terus memacu mobil semakin memasuki jalanan yang ramai.Benar saja. Mobil van itu mulai memperlambat kecepatannya dan semakin tertinggal jauh. Mereka tidak lagi mengejar kami.“Alee, mereka berhenti mengejar kita.” Aku menepuk pundaknya dengan girang. “Kamu berhasil!”Alee hanya menampakkan wajahnya yang semringah tanpa jawaban. Ia terus memegang kemudi dan