Share

Bab 2 First Night

Semburat senja mewarnai cakrawala, menghiasi hari dimana aku akan mengucap janji bersama Vian. Deburan ombak berkejaran menciptakan irama musik ritmis. Riuh suara para tamu terdengar samar seiring angin sepoi menyibakkan kain-kain putih. Deretan kursi dan meja memenuhi hampir seluruh area. Nuansa eksterior acara bernuansakan putih gading memenuhi segala penjuru tempat. Hiasan bunga lily dengan pot tinggi tertata rapi di sepanjang  sudut. 

Aku berdiri di penghujung venue wedding. Balutan gaun berwarna putih gading senada dengan dekorasi, terpasang di tubuhku yang tergolong tinggi dan langsing. Aku sengaja memilih gaun dengan model Sabrina agar bisa leluasa bergerak.

Raya menghampiri dan memelukku. Tangannya menepuk-nepuk pundak seraya tersenyum. “Semoga ia bisa menjadi imam yang baik ya, sesuai dengan harapan kamu,” ucapnya dengan tatapan yang terlihat tulus setelah kedua tangannya lepas dari dekapan. 

“Terima kasih. Ya.” Aku menggenggam kedua tangannya.

Aku bersyukur memiliki sahabat, Raya. Perempuan berambut pendek teman sepermainanku sejak kecil. Ia tahu benar bagaimana jatuh bangunnya usahaku dalam melupakan almarhum Aldo. Oleh karena itu, sama seperti halnya Ibu, ia sangat mendukung ketika tahu aku akan menikah dengan Vian.

“Yuk!” ajaknya.

Aku menganggukkan kepala, menyambut tangan kanannya yang akan menemaniku dalam prosesi akad. Kami berjalan beriringan menuju meja akad nikah. Jantungku berdebar  ketika melihat laki-laki berpakaian serba putih duduk membelakangi kami.

Sekilas, sosoknya mirip Aldo. Berperawakan tinggi kurus dan memiliki kumis dan jambang yang tipis, hanya matanya yang berbeda. Mata Aldo lebih sipit daripada mata Vian. Jelas mata Aldo lebih kecil karena ia memiliki garis keturunan cina. Mengingat tatapannya yang menenangkan, membuatku selalu merindukan Aldo.

Suara Raya, menyadarkan lamunanku. Ia menarik kursi di sebelah kiri Vian dan menyilakan aku untuk duduk. Kemudian, ia melangkah mundur dan berbalik arah, menuju deretan kursi keluarga di belakang kami. Ayah dan seorang penghulu telah duduk di hadapan kami.

Rentetan acara dimulai. Aku berusaha mengikutinya dengan khidmat, walaupun bayangan Aldo selalu menggangguku. Pria paruh baya yang menjadi pembawa acara, sesekali melihatku. Mungkin aneh baginya, melihat wanita dalam acara pernikahan dengan ekspresi yang datar.

“Bagaimana, saksi? Sah?” tanya penghulu.

 “Sah!” tegas saksi. 

“Alhamdulillah.” Terdengar suara riuh dari para tamu undangan yang mengucap syukur.

Selesai acara akad nikah, salah satu fotografer memberi kode supaya kami berdiri. Ia meminta kami berpose sambil menunjukkan cincin. Aku dapat menangkap, wajah yang sama-sama datar ditampilkan Vian.

***

“Vian, ini tehnya.” Aku menyodorkan secangkir teh hangat ke arahnya.

Terima kasih,” ucapnya tanpa menoleh sedikitpun. Matanya terpusat pada siaran berita di televisi.

“Kalo gitu, aku tidur duluan ya. Makan malam ada di meja makan. Tadi aku pesan nasi goreng dari restoran terdekat,” seruku seraya berlalu menuju kamar, tanpa menunggu jawaban dari Vian.

Perasaan risih hadir karena ini kali pertama aku tidur selain di rumah Ayah dan Ibu. Baru saja kupegang gagang pintu, tiba-tiba sepasang tangan memegang pundak dan memaksa tubuhku untuk berbalik. Kedua manik Vian menatapku lekat seolah menelanjangi.

“Vi-Vian …,” ucapku lirih.

Vian membuka pintu lalu mengangkat tubuh dan mengantarkanku ke peraduan. Ia merebahkanku dengan perlahan dan mulai membelai wajahku yang sudah bersih dari polesan make up, sejak tadi sore. Jari jemarinya, memainkan anak rambut yang berada di area cuping telinga.

Plakkk!

“Vian! Apa-apaan ini!” Aku mendorong tubuh tinggi milik Vian. Telapak tangan kanannya masih terasa panas membekas di pipi kiriku.

Ia tak berkata apa-apa, hanya menatapku tajam. Pria beralis tebal itu kembali mendekati. Aku beringsut mundur, hingga mencapai ke sandaran ranjang. Senyumnya samar, tak dapat aku artikan.

    Hati berdesir. Jantungku berdetak sangat cepat, keringat dingin keluar dari pelipis dan telapak tanganku. Ada apa dengan Vian? Mengapa sikapnya berubah seperti ini. Tatapan tajam Vian tak pernah kulihat sebelumnya.

     Kedua tangan aku persiapkan, tinggal menunggu aba-aba otak jika sikap Vian membahayakan lagi seperti tadi. Kulihat tatapannya masih sama. Ia merangkak di atas ranjang, mendekatiku. Secepat kilat aku menghindarinya dan melompat dari atas ranjang.

     Aku berlari  menuju pintu keluar, tetapi ia sigap menarik belakang bajuku hingga aku tersentak. Susah payah kucoba menggapai pintu dan berpegangan pada sisi-sisinya. Akan tetapi tarikan tangan Vian begitu kuat, hingga ruas-ruas jariku memerah akibat tekanan di telapak tangan.

     Vian memeluk erat dan menarikku dari belakang. Embusan napas kasarnya sangat terasa di belakang telinga. Ia menghentakkan badan hingga akhirnya peganganku terlepas. Ia kembali membawaku ke arah ranjang. Aku meronta-ronta dan mencoba melepaskan pelukannya. Semakin aku meronta, semakin kuat ia menahanku.

   “Vi-Vian! Henti-hentikan! Aku tidak bisa bernapas!”

    Ia berbisik di telingaku “Aku, lepaskan … tapi kamu jangan kabur,” ucapnya seraya mengecup belakang kepalaku.

     Aku mengangguk perlahan, kemudian kurasakan pelukannya melonggar. Setelah dirasa cukup, aku berusaha untuk menghindar dan kabur lagi darinya. Kali ini ia berhasil menjambak rambut panjangku, hingga kulit kepala terasa terangkat. Sakit sekali.

     Vian mencengkram pundak dan membantingku ke atas ranjang. Belum lagi aku berhasil bangkit, ia sudah menyerbu dan menamparku kembali dengan sangat keras. Mataku seketika berkunang-kunang. Terdengar samar bentakan Vian “Aku bilang jangan kabur!” kemudian semuanya terasa gelap.

*** 

   Aku memicingkan mata akibat sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar. Seketika rasa terkejut hadir setelah menatap jam weker di atas meja. Pukul 06.30 pagi dan aku belum salat Subuh. Bagaimana mungkin bisa terbangun jam segini dan melupakan kewajibanku sebagai seorang muslim.

     Sejenak, berdiam diri dan menatap tubuhku yang hanya terbalut selimut. Rasa nyeri mulai terasa di area pangkal paha. Aku memeluk kedua lutut  dan menatap dinding-dinding kamar yang berwarna krem. Setelah beberapa menit, kuseret tubuhku dari ranjang dan menuju kamar mandi. Air hangat dari pancuran, mengobati rasa nyeri di kepala akibat jambakan Vian. Aku terdiam sesaat, menikmati kesendirian dalam guyuran air hingga ketukan halus di pintu menghentikan kegiatan mandiku.

   “Anya … Anya …,” panggil Vian. Suaranya berbeda dengan sikapnya semalam. Jantungku kembali berdebar-debar. Tak sadar, aku meremas pegangan besi yang ada di dalam kamar mandi.

   “Aku sudah buatkan bubur untuk kamu. Ayo makan! Nanti keburu dingin,” ucapnya lagi.

“Se-sebentar,” jawabku dengan suara pelan.

    Ragu-ragu, aku mengambil handuk dan mengintip dari celah pintu. Ia tidak ada. Aku segera menuju lemari baju dengan isi yang masih belum tertata rapi, mengambil salah satu baju dan juga mukena yang sempat aku bawa minggu lalu.

     Setelah melakukan ritual ibadah pagi, aku menuju arah dapur. Kulihat Vian tengah menuangkan bubur ke dalam mangkuk berwarna putih. Ia melempar senyuman ketika menyadari kehadiranku. Kemudian, ia menarik salah satu kursi makan seraya mengerlingkan mata, memberi kode kepadaku untuk duduk di sebelahnya

     “Ini buburnya.” Ia menyodorkan semangkuk bubur. Ragu-ragu, kujulurkan tangan kanan dan meraihnya lalu mencoba memakan bubur perlahan. Aku tak berani menatapnya yang tengah duduk menghadapku.

    Suaranya kembali terdengar “Aku sudah buatkan kamu teh dan susu hangat. Kamu suka minum apa?” tanyanya lembut.

    Sikapnya kali ini membuatku bingung. Ada apa dengannya? Mengapa sikapnya begitu manis dan bertolak belakang dengan kejadian semalam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status