Share

Bab 3 Insting

Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Vian di rumah barunya yang masih dalam cicilan. Ia bekerja di sebuah pabrik otomotif  sebagai manajer pemasaran selama empat tahun. Gajinya cukup untuk mencicil rumah dan membiayai hidup kami.

Sejak kejadian malam pertama, dia tidak pernah menyentuhku lagi. Sikapnya masih sama, baik, perhatian serta lembut. Setiap pulang dari kantor, ia selalu membawakan aku buah tangan. Entah buah-buahan ataupun kue. Ia cepat sekali memahami sifatku, meski kami baru tinggal serumah.

Ia tak pernah mengungkit kejadian malam itu dan tak pernah meminta maaf. Aku menganggapnya, itu sebagai bentuk rasa gugup Vian dalam melewati malam pertama. Meskipun, hati kecil mengatakan tidak mungkin.

     Pagi ini Vian sibuk membersihkan motor Royal Enfield Classic kesukaannya di teras rumah. Ia memiliki hobi pergi berjalan-jalan ke luar kota  dengan mengendarai motornya. Namun, entah dengan siapa ia berangkat touring. Hingga saat ini, aku belum pernah diperkenalkan dengan teman-temannya. Entahlah … apakah ia memiliki teman atau tidak. 

Terdengar suara ponsel milikku berbunyi. Dengan segera, aku mengambil ponsel yang berada di atas meja makan dan menekan tombol hijau. Seketika terdengar suara Tommy menyapa di seberang sana.

“Hallo, Tom. Hei … apa kabar?” tanyaku semringah.

Kabar baik, Anya. Apa kabarnya pengantin baru?” ledeknya kemudian tertawa kecil. “Sejak menikah, kamu jadi jarang chat aku?”

“Sekarang kan aku sibuk, Tom, Jadi Nyonya Vian,” jawabku sekenanya.

Tommy adalah sahabatku ketika di kampus dulu selain Raya. Laki-laki yang mengidolakan Messi ini selalu menemani kemanapun aku pergi. Sering membantuku terutama saat sibuk  mengerjakan skripsi. Ia bahkan menjadi pendampingku ketika wisuda sarjana.

Kami berbincang-bincang cukup lama, hingga aku tak sadar jika Vian telah berada di dalam rumah. Ia bersandar pada salah satu sisi pintu sambil menyilangkan tangan. Tatapannya begitu dingin. Aku merasa canggung dibuatnya, lantas segera kuakhiri obrolan dengan Tomy. Aku menghampiri dan mencoba menggodanya. Ia bergeming.

“Siapa itu tadi?” bentaknya.

“Yang mana, Vian?”

“Yang tadi nelpon kamu?” bentaknya lagi. Posisinya tak berubah, hanya matanya yang kini berubah seolah penuh marah.

“Sabar, Vian. Jangan emosi. Tadi itu Tommy, teman kampusku dulu.” Aku mencoba mengusap lengannya untuk sekadar menangkan, tetapi ia menghempaskan tanganku.

“Mana ponselnya!” pinta laki-laki yang baru saja menjadi suamiku.

“Untuk apa, Vian?” Insting pertahananku muncul kembali. “Kami gak ada hubungan apa-apa,” sanggahku.

“Pokoknya minta!” serunya lagi.

Ia merebut ponsel dari genggaman tanganku. “Hapus!” teriaknya.

“Jangan, Vian!” Aku mencoba merebut ponsel darinya. Namun, ia malah mendorongku hingga terjungkal dan menubruk sofa di belakangku.

“Vian!” Aku balik membentaknya. Sesaat aku lupa adab bersikap menghadapi suami, tetapi perlakuan Vian benar-benar keterlaluan.

Aku segera bangkit dari posisiku dan berdiri. “Kamu kenapa?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Aku gak suka ada laki-laki yang menelepon kamu. Jangan pernah lakuin itu lagi! Aku gak suka!” Vian bersungut-sungut. Ia mengulangi kata-katanya sebanyak dua kali,

“Ma-Maaf, Vian. Aku janji gak ngobrol lagi dengan Tommy atau teman laki-laki lain.” lirih, aku menjawab keinginannya. Memang salahku, menerima telepon dari laki-laki lain tanpa seizin dia, sekalipun itu dari sahabatku sendiri karena posisiku sekarang sudah bersuami, sudah tak pantas lagi bercanda-canda dengan laki-laki lain.

***  

Setelah beberapa waktu tinggal bersama Vian, sekarang aku tahu jika ia seorang pencemburu. Sepulang kerja, ponselku selalu diperiksanya. Meski sebenarnya riwayat telepon selalu aku hapus terlebih dahulu.

“Sudah dulu, ya, Tom. Sebentar lagi suamiku pulang,” ucapku.

“Kamu takut banget si sama suami kamu. Santai aja napa?” ujar Tommy. Nada suaranya terdengar sangat kesal sekali.

“Dia kan suami aku, wajar aja si kalo dia cemburu. Akunya aja yang bandel, masih juga teleponan sama temen cowok. Abis aku kesepian, Tom,” jawabku lirih.

“Itu namanya gak wajar tau, Nya. Cemburu itu gak mesti sampe marah-marah sampe bentak-bentak. Apalagi sampe dorong kamu. Itu namanya kekerasan!” Aku dapat menangkap kemarahan Tommy melalui nada suaranya.

“Abis gimana lagi, Tom. Aku gak mungkin kan cerita sama Ayah juga Ibu-“

Terdengar suara pintu garasi terbuka. Aku mengintip dari balik tirai, ternyata benar, Vian sudah pulang.

“Tom, udah dulu ya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Tommy, aku langsung menutup pembicaraan dan menyimpan ponsel di atas lemari es. Dengan tergesa-gesa, segera kubuka pintu depan. Vian terkadang marah jika aku lama membukakan pintu.

Blug.

Ahh, dasar teledor.

Aku mengusap lutut kiriku yang menyenggol pot tanaman hias -- terletak di dekat pintu ruang tamu. Aku membetulkan posisinya lalu membuka pintu.

Vian sudah berada di depan pintu dengan posisi tangan kanan terangkat. Rupanya ia baru saja akan mengetuk pintu. Aku menarik lengkung di kedua garis bibir lalu meraih tangan kanan dan menciumnya.

Ia mengecup kening dan membalas senyumanku. Jika melihatnya seperti itu, aku selalu meyakini jika Vian adalah suami yang baik.

“Gimana kabarmu hari ini?” ia mengelus pucuk kepalaku.

“Baik.”

Aku mengambil bungkusan brownies cokelat yang dibawa Vian. Ia tahu betul kesukaanku. Minum teh hangat ditemani sepotong brownies.

“Minum dong,” pintanya seraya duduk di sofa ruang tv. Kulihat tangannya membuka kancing baju paling atas, lalu menyandarkan punggungnya di sofa.

Aku berlalu menuju dapur dan mengambil cangkir yang terletak di rak piring. Kakiku bergeser ke sebelah kanan rak piring menuju lemari penyimpanan makanan. Aku menggabungkan teh dan gula dalam cangkir, lalu memberinya air panas.

Terdengar suara tv menyala.

Aku meletakkan cangkir dalam nampan dan membawanya. Namun, sebelum tubuh ini berbalik, genggaman tangan pada nampan mengendur hingga ia terlepas dan jatuh ke atas lantai.

Prangg.

“Awww!” aku mencoba meraih tangan kanan Vian yang tengah menjambak rambutku. Denyut hebat terasa di area kulit belakang kepalaku.

“Ampun, Vian. Ampun! Lepas!” Aku berteriak histeris tetapi ia tidak mengindahkan permintaanku.

“Tadi kamu telepon siapa?” bentaknya seraya menarik rambutku lagi.

Deggg.

Sesaat teringat kejadian tadi. Aku lupa menghapus riwayat telepon bersama Tommy karena terburu-buru.

Bodohnya aku.

“A-anu ….” Tekanan tenaganya terasa di setiap helai rambutku, hingga aku meringis. Aku genggam tangan kanannya untuk mengendurkan tarikannya, tetapi ia justru semakin kalap.

“Tadi telepon siapa? Jawab!” kali ini suaranya lebih menggelegar dibandingkan sebelumnya. Rumah kami berada di pojok komplek dan terhalang satu tanah kosong, jadi tidak ada tetangga yang akan mendengarkan keributan kami.

“Ma-maaf, Vian. Tadi aku telepon Tommy lagi. Maafkan aku,” rajukku pada Vian.

Laki-laki itu mendorongku dengan kuat hingga aku terjerembab dan lengan kananku membentur tembok wastafel. Aku hanya bisa meringis menahan sakit.

Kulihat ia berlalu menuju ruang TV dan mengambil ponselku yang kini tergeletak di atas sofa. Jari-jarinya menekan tombol ponsel. “Aku hapus saja semua kontak teman-teman kamu ya!” teriaknya.

“Jangan, Vian!”

Aku segera berdiri dan berlari menuju ke arahnya. Kucoba meraih ponsel yang berada di dalam genggamannya. Namun, ia berhasil menghalangiku dengan membalikkan badan. Terpaksa, aku mendorongnya untuk merebut ponsel berwarna biru itu.

Melihat usahaku, Vian berbalik. Matanya  melotot tajam dengan tangan mengepal. Ia melemparkan ponsel yang tadi berada di genggamannya. Tangan kanannya kini beralih meraih tubuhku kemudian tangan kekarnya mencoba mengunci leherku.

Aku tak dapat menghirup oksigen dengan leluasa. Kucoba membuka mulut lebih besar lagi, tetapi kerongkonganku tertekan oleh cengkeraman tangan Vian. Hidungku kembang kempis. Badanku mulai terasa lemas.

Melihat tenagaku melemas, ia melonggarkan cekikannya. Kedua kakiku tak dapat menahan beban tubuh, hingga aku menjatuhkan diri di lantai. Vian hanya menatap dan membiarkanku terduduk di lantai.

Kutekuk kedua lutut kemudian mendekapnya. Tak terasa, bulir bening itu akhirnya terjatuh dari kedua manikku. Tak dapat membendung isakan, aku hanya bisa membenamkan wajah di antara kedua lutut. Hening, yang terdengar hanya suara isakanku.

Entah apa yang kutangisi saat ini, apakah memiliki suami pemarah atau menyesali pilihan menerima tawaran Ibu di waktu dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status